Rasyid
Ridha dan Qosim Amin
(Biografi
dan Pemikirannya)
BAB
I
- PENDAHULUAN.
Dalam
Sejarah pemikir Islam modern, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha merupaka tokoh pembaharu Islam yang hidup
pada kondisi zaman dalam kekacauan dan keterpurukan lantaran kebanyakan mereka
telah meninggalkan petunjuk-petunjuk al Qur’an. Melalui Tafsirnya, yaitu
al-Manar Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berupaya mengaitkan ajaran-ajaran
al-Qur’an dengan masyarakat dan kehidupan serta menegaskan bahwa islam adalah
agama universal dan abadi, yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia disegala
waktu dan tempat. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha memiliki visi bahwasannya umat
Islam harus menjadi umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat
yang maju sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat
diberbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha juga berusaha meneruskan cita-cita
al-Urwah al-wutsqa majalah yang memuat ide-ide pemikiran Syekh Jamal al-Din
al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh yaitu memberantas bid’ah, khurafat,
takhayul, kepercayaan jabar, dan fatalis, paham-paham yang keliru tentang qada
dan qadar, praktek-praktek bid’ah dalam tarekat sufi, meningkatkan mutu
pendidikan Islam
II.
PEMBAHASAN.
A.
Rasyid
Ridha.
1) Biografi.
- Kelahiran
Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah al-Sayyid Muhammad Rasyid Rida ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baharuddin ibn al-Sayyid Munla Ali Khalifah al-Baghdadi.[1] Beliau dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil ‘Ula 1282 H (1864 M). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw.[2] Pada tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al-Manar” untuk menyebar luaskan ide-idenya dalam usaha pembaharuan.
- Pendidikan
Setelah melalui masa pengasuhan dalam lingkungan keluarga sendiri, maka pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad Rasyid Rida dimasukkan orang tuanya kesebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut Kuttab yang ada di desanya. Disinilah dia mulai membaca Alquran, menulis dan berhitung.[3] Beberapa tahun kemudian, setelah menamatkan pelajarannya di lembaga pendidikan dasar itu. Muhammad Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtidaiyah al-Rusdiyah di kota Tripoli. Di madrasah tersebut di ajarkan nahwu, sharaf, berhitung, geografi, akidah dan ibadah. Semua mata pelajaran tersebut disampaikan kepada para siswa dalam bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan karena tujuan pendidikan dan pengajaran pada madrasah itu melahirkan tenaga-tenaga kerja yang menjadi pegawai kerajaan. Dia pun keluar dari madrasah itu setelah kurang lebih satu tahun lamanya belajar disana.[4] Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di Madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan disamping itu pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern.[5] Disamping itu, Muhammad Rasyid Rida memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Gazali, antara lain I,hya’ Ulum al-Din sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama.[6]
·
Wafat
Muhammad Rasyid Rida sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu pula berjuang selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Muhammad Rasyid Rida wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai dengan senyuman.[7]
Muhammad Rasyid Rida sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu pula berjuang selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Muhammad Rasyid Rida wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai dengan senyuman.[7]
2) Pemikiran.
Muhammad Rasyid Ridha
mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuannya sejak ia masih berada di
Suria.[8] Tetapi usaha-usahanya
mendapat tantangan dari pihak kerajaan Utsmani.[9] Kemudian ia pindah ke
Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898 M.[10]
a. Pembaharuan Dalam Bidang
Teologi
Masalah aqidah di zaman hidupnya Rasyid Ridha masih belum tercemar
unsur-unsur tradisi maupun pemikiran filosof. Dalam masalah teologi, Rasyid
Ridha banyak dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh gerakan salafiyah.[11] Dalam hal ini, ada
beberapa konsep pembaharuan yang dikemukakannya, yaitu masalah akal dan wahyu,
sifat Tuhan, perbuatan manusia (af’al al-Ibad) dan konsep iman.
a)
Akal dan Wahyu Menurut Rasyid Ridha, dalam
masalah ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengikuti petunjuk dari
wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan
dan argumentasi terutama kepada mereka yang masih ragu-ragu.[12]
b)
Sifat Tuhan Dalam menilai sifat Tuhan, di
kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan,
terutama dari kalangan Mu’tazilah[13] dan Asy’ariyah.[14] Mengenai masalah ini,
Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana pandangan kaum Salaf, menerima adanya
sifat-sifat Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan
tafsiran maupun takwil.[15]
c)
Perbuatan Manusia Pembahasan teologi tentang
perbuatan manusia bertolak dari pertanyaan apakah manusia memiliki kebebasan
atas perbuatannya (freewill) atau perbuatan manusia hanyalah diciptakan
oleh Tuhan (Predistination).[16] Perbuatan manusia menurut
Rasyid Ridha sudah dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapkan Tuhan yang
disebut Sunatullah, yang tidak mengalami perubahan.[17]
d)
Konsep Iman
Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam.[18] Oleh karena itu, upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk mengembalikan keberagamaan ummat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pandangan Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas pembenaran hati (tasdiq) bukan didasarkan atas pembenaran rasional.
Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam.[18] Oleh karena itu, upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk mengembalikan keberagamaan ummat kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Pandangan Rasyid Ridha mengenai keimanan didasarkan atas pembenaran hati (tasdiq) bukan didasarkan atas pembenaran rasional.
b. Dalam Bidang Pendidikan
Di antara aktivitas
beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga pendidikan yang
bernama “al-Dakwah Wal Irsyad” pada tahun 1912 di Kairo. Mula-mula
beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel terutama meminta bantuan
pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena adanya keluhan-keluhan dari
negeri-negeri Islam, di antaranya Indonesia, tentang aktivitas misi Kristen di
negeri-negeri mereka. Untuk mengimbangi sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan
sekolah misi Islam.[19]
i.
Muhammad Rasyid Ridha juga merasa perlu
dilaksanakannya ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. untuk itu ia melihat
perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut: teologi,
pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu
kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan
keluarga), yaitu disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain yang biasa
diberikan di Madrasah-madrasah tradisional.[20]
ii.
Pandangan Terhadap Ijtihad Rasyid Ridha dalam
beristimbat terlebih dahulu melihat nash, bial tidak ditemukan di dalam
nash di dalam nash, ia mencari pendapat sahabat, bila terdapat pertentangan ia
memilih pendapat yang paling dekat dengan dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan bila
tidak ditemukan, ia berijtihad atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah.[21] Dalam hal ini, Rasyid
Ridha melihat perlu diadakah tafsir modern dari Al-Qur’an yaitu tafsiran yang
sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya, Muhammad Abduh. Ia menganjurkan
kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern.[22] Kuliah-kuliah tafsir itu
dimulai pada tahun 1899 dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh Muhammad
Abduh dalam kuliahnya inilah yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar.[23]
c.
Dalam bidang Politik
Dalam bidang politik, Muhammad Rasyid Rida juga tidak ketinggalan,
sewaktu beliau masih berada di tanah airnya, ia pernah berkecimpung dalam
bidang ini, demikian pula setelah berada di Mesir, akan tetapi gurunya Muhammad
‘Abduh memberikan nasihat agar ia menjauhi lapangan politik. Namun nasihat itu
diturutinya hanya ketika Muhammad ‘Abduh masih hidup, dan setelah ia
wafat, Muhammad Rasyid Rida aktif kembali, terutama melalui majalah al-Manar.[24]
B. Qosim
Amin
Biografi.
Qasim Amin Bik, dilahirkan pada
bulan Desember 1863 di kota Iskandaria, Mesir. Ayahnya, Muhammad Bik Amin
adalah keturunan Turki yang menetap di Mesir. Ketika Kerajaan Turki Usmani
berjaya dan menguasai seluruh kawasan Arab, para pejabat tinggi kerajaan diberi
tugas khusus pada setiap propinsi yang ada di wilayah Kerajaan Usmani. Muhammad
Bik Amin, sebagai salah seorang pejabat kerajaan, mendapat tugas di Mesir.
Dalam pelaksanaan tugasnya itu, ia mengawini puteri penduduk setempat. Dari
hasil perkawinannya itu, lahirlah puteranya yang diberi nama Qasim Amin Bik.
Karenanya, pada diri Qasim Amin mengalir darah Turki dan Arab Mesir.
Sebagian
dari kehidupan keluarga Muhammad Bik Amin dijalaninya di Iskandariyah, dan
karenanya, Qasim Amin memulai pendidikannya di Madrasah Ra’s al-Tin (setingkat
Sekolah Dasar) di kota ini. Ketika keluarga tersebut berpindah tempat tinggal
di Kairo, maka Qasim juga pindah ke Madrasah Tajhiziyah (setingkat Tsanawiyah).
Setelah tamat dari madrasah ini, Qasim memasuki perguruan tinggi dengan memilih
Fakultas Hukum. Ia memperoleh gelar lisanis (lc.) pada tahun 1881 dengan
menduduki peringkat pertama, dalam usia yang masih relatif muda, 18 tahun.
Setelah
itu, ayahnya mengutus Qasim ke Maktab al-Mahami (pimpinan Mushtafa Fahmi).
Kemudian ia menjabat sebagai Kepala Kementerian selama 18 tahun, hingga Mesir
berada di bawah kekuasaan Inggris. Selanjutnya, Qasim bergabung dengan keluarga
Sa’ad Zaglul hingga ia mempersunting anaknya, Zhafiyah. Namun, sebelum ia
tinggal bnersama isterinya, Qasim berangkat ke Francis sebagai utusan untuk
mempelajari hukum dan perundang-undangan.
Ketika di
Paris, Qasim bertemu dengan Jamal al-Din al-Afgani dan Muhammad ‘Abduh. Dari
‘Abduh-lah, Qasim belajar bahasa Francis. Atas kerja sama mereka bertiga, ia
membentuk media “Surat Kabar” yang diberi nama al-‘Urwah al-Wustqa. Dalam media
itulah, mereka menyuarakan gerakan nasionalisme. Sekembalinya dari Paris, Qasim
bekerja pada Pengadilan Mesir, dan pekerjaan itu digelutinya hingga ia wafat
pada tahun 1908, dalam usia 45 tahun.
- Emansipasi wanita
Usaha Amin memberdayakan dan mengangkat martabat
perempuan, di mata Amin, adalah usaha untuk menegakkan apa yang di
pandangnya sebagai prinsip ideal Islam vis avis realitas sosial
perempuan Mesir, dan juga demi sebuah kemajuan bangsa.
Gagasan ini muncul sebagai refleksi dan wujud kepedulisn
intelektual Amin terhadap realitas perempuan Mesir, Ia juga melihat perempuan
di Mesir tidak telah dipinggirkan dalam
relasi laki-laki.
Ide emansipasi
wanita yang dicetuskan oleh Qasim Amin timbul karena sentakan tulisan wanita
prancis Duc. D’ Haorcourt yang
mengkritik struktur sosial masyarakat
Mesir, terutama keadaan perempuan di sana. Lalu ia mengkaji status wanita di
Barat dan di Timur, dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa :
1.
Merasa perhatian atas nasib kaum wanita, di Barat yang sangat bebas
pergaulannya sehingga merendahkan martabat itu sendiri dan di Mesir sangat
terkengkang sehingga menghilingkan kebebasan wanita.
2.
kaum wanita mencapai setengah penduduk di setiap negeri dan tidak mungkin
memajukan negara (umat islam) tanpa mengikuti sertakan wanita.
3.
Masyarakat menganggap bahwa pendidikan wanita tidak peting. Bahkan masih ada
yang mempertanyakan apakah boleh menurut syara’ mendidik wanita.
4. Masyarakat (arab) waktu itu
memandang wanita hanya sebagai objek seksual dan menjadi pengganggu kaum pria. Untuk itu mereka harus
di pingit jika akan keluar dari rumah, dan mereka juga harus menutup seluruh tubuhnya.
5.
Para ulama berpendapat bahwa aurat kaum wanita adalah seluruh tubuhnya
kecuali muka dan kedua telapak tangan.
6. Pandangan masyarakat terhadap
wanitapun menjadi rendah, boleh di madu semau hati, dan bila sudah tidak suka
dengan mudah bisa di ceraikan.
Selanjutnya ada beberapa
pendapat Qasim Amin di antaranya adalah:
1. Wanita memegang posisi penting dalam
mempersiapkan generasi penerus yang baik melalui, pendididkan anak-anak di
rumah tangga sebagai pendamping suami dan berperan akan kehidupan sosial yang
kesemuanya itu dapat dilakukan dengan
baik jika wanita di beri pendidikan. Dan wanita juga bisa seperti pria yang
mempunyai potensi yang besar dalam
menempu pendidikan dan mempunyai kesempatan mengembangkan kemampuan atau
kreatifitas yang di milikinya.
2. Hijab untuk menutup muka dan telapak
tangan dan dilarangnya wanita keluar rumah, itu sudah menjadi tradisi
masyarakat yang menghalangi kebenasan bergerak bagi wanita. Tetapi dalam
Al-Quran dan hadist tidak melarang wanita menampakan muka dan telapak tangan di
depan umum.
3. Pengertian para ulama tentang akad
nikah adalah kurang tepat. Sebab
definisi itu lebih mengarah kepada meletakkan wanita dalam perkawinan sebagai
objek sosial.
4. Asas perkawinan dalam islam adalah poligami hanya di izinkan dalam
keadaan khusus yang di benarkan dalam syara’
bukan dengan alasan untuk maemberi
kesempatan kepada pria untuk melampiaskan nafsu syahwad.
PENUTUP.
Setelah membahas tentang masa
pemerintahan Mesir pada masa Qasim Amin penyusun dapat menyimpulkan bahwa
gagasan pembaharuan Amin ini berasal dari ketidakpuasannya setelah ia melihat realitas sosial; perempuan
dan perlakuannya.
Untuk menyiapkan kenyataan ini, Amin
mencoba menawarkan alternatif pada tingkat intelektual dan pada tingkat praktis
sosial untuk alternatif yang pertama Amin menawarkan perlu di lakukan upaya
mengembalikan martabat seorang perempuan
dan desakralitas untuk perempuan sebagai jalan untuk mewujudkan visi ideal islam tentang perempuan
itu
Daftar Pustaka
Asmuni, Muhammad Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994)
Athaillah, A., Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, (Banjarmasin:
Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990)
Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks,
dan Kontekstualisasi, ( Yogyakarta : Qalam, 2002)
Harahap, Syahrin, Islam Dinamis : Menggali Nilai-nilai
Ajaran Alquran dalam Kehidupan modern di Indonesia, (Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, 1997)
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha
dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000)
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998)
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
Shiddieqy, Hasbi Ash-, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1994)
[1] A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr
al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), h.
13; Gelar “Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasanya
diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan dari Rasulullah saw.
Keluarga Muhammad Rasyid Rida dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang
sangat taat beragama serta mempunyai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga
dikenal dengan sebutan “Syaikh”. Muhammad Quraish Shihab, Studi
Kritis Tafsîr al-Manar, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), cet.
ke-1, h. 59.
[2] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994),
h. 280.
[3] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
Qur’ani, Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, ( Yogyakarta :
Qalam, 2002), cet. ke-1, h. 64.
[4] Ibid., h. 14
[5] Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h. 69; Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh ulam besar Syam
ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jirr. Syaikh inilah yang mempunyai andil
sangat besar terhadap pemikiran Muhammad Rasyid Rida, karena hubungan antara
keduanya tidak terhenti walaupun kemudian sekolah di tutup oleh pemerintah
Turki, Syaikh Husain al-Jarr juga memberikan kesempatan kepada Muhammad Rasyid
Rida untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan ini kelak
mengantarnya memimpin majalah al-Manar. M. Quraish Shihab, op. cit.,
h. 60-61.
[6] Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam,
(Surabaya : al-Ikhlas, 1994), h. 83.
[7] M. Quraish Shihab, op. cit.,
h. 63.
[8] ewaktu Muhammad Abduh berada dalam
pembungan di Beirut, Rasyid Ridha mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan
berdialog dengan murid al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan dan
dialog ini meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Rasyid Ridha mulai
menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Suria. Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Op.Cit., h. 70.
[9] Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam, Ibid., h. 70.
[10] Karena merasa terikat dan tidak bebas
dari tekanan Kerajaan, ia memutuskan untuk pindah ke Mesir, dekat dengan
Muhammad Abduh. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid.,
h. 70.
[11] Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi
Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta:
Pustaka Dinamika, 2000), h. 18.
[12] Ibid., h. 23;
sungguhpun Rasyid Ridha menghargai daya akal manusia, baik dalam bentuk ilmu
zahir maupun filsafat sebagai ikhtiar manusia memahami berbagai penomena
disekitarnya, akan tetapi nilai-nilai yang dihasilkan dari akal tersebut tidak
dapat disejajarkan dengan wahyu. Ibid., h. 2
[13] Mu’tazilah beranggapan bahwa Maha melihat
dan seterusnya, bukanlah sifat Tuhan tetapi zat Tuhan. Ibid.,
h. 32.
[14] Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Ibid., h. 33.
[15] Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkenaan dengan sifat-sifat Allah, Rasyid Ridha menghendaki pemahaman secara
tekstual dengan mengikuti pendekatan yang dilakukan oleh kaum Salaf. Ia kurang
sependapat dengan cara yang dilakukan mutakallimin yang memberikan takwil
terhadap sifat-sifat Allah secara dealiktika. Ibid., h. 37.
[16] Dalam menawab pertanyaan tersebut, yang
muncul pertama kali adalah aliran kadariyah dan jabariyah. Ibid.,
h. 38.
[17] Paham Sunatullah dalam pandangan Rasyid
Ridha berkait dengan hukum kemasyarakatan yaitu ketentuan-ketentuan yang
terpola dalam perbuatan-perbuatan manusia tertentu dengan akibat yang tertentu
pula. Dalam membahas persoalan perbuatan manusia ini, Rasyid Ridha cenderung ke
Kadariyah yaitu bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan kebebasan
dalam berbuat. Ibid, h. 40-43
[18] Masalah iman dan kufur merupakan
kontroversi yang muncul dalam pembahasan yang bersifat teologis yang berawal
dari persoalam politik yang bergeser menjadi persoalan aqidah. Ibid.,
h. 43-45.
[19] Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam,
(Surabaya : al-Ikhlas, 1994), h. 85.
[20] Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam, Op.Cit., h. 71.
[21] Muhaimin, Op.Cit., h. 58.
[22] Muhammad Abduh tidak sepaham dengannya
dalam hal ini. Namun karena selalu didesak, Muhammad Abduh akhirnya setuju,
untuk memberikan kuliah tafsir Al-Qur’an di al-Azhar. Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam, Ibid., h. 70.
[23] Keterangan-keterangan yang disampaikan
oleh Muhammad Abduh dalam kuliah tafsir itu ia catat dan seterusnya ia susun
dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahk`n selanjutnya kepada
Muhammad Abduh untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan, karangan itu ia
siarkan dalam al-Manar.
[24] Muhammad Yuseran Asmuni, Ibid.,
h. 86.
No comments:
Post a Comment