Aliran Pembaharuan (Barat, Islam dan Nasionalis)
- Pendahuluan
Dalam pembaharuan di kerajaan
Usmani, dapat dilihat adanya tiga golongan pembaharuan. Pertama,
golongan Barat yang ingin mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaharuan.
Bagi golongan kedua, golongan Islam, dasar itu seharusnya adalah Islam.
Golongan ketiga, golongan nasionalis Turki, yang timbul paling kemudian,
melihat bahwa bukan peradaban Barat dan bukan Islam yang harus dijadikan dasar,
tetapi nasionalisme Turki.
Untuk dapat memahami
pembaharuan yang dianjurkan oleh ketiga golongan tersebut perlu diketahui
terlebih dahulu identitas masing-masing. Betulkah golongan Barat mengingini
westernisasi, dalam arti meniru segala apa yang ada di Barat? Dan golongan
Islam, siapakah mereka? Apakah mereka golongan yang disebut tradisionalis, yang
ingin mempertahankan tradisi yang semenjak lama telah ada pada umat Islam?
Ataukah mereka termasuk golongan yang disebut modernis, yang ingin kembali
kepada ajaran-ajaran dasar dalam Islam seperti terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadits dan mengadakan interpretasi yang sesuai dengan zaman modern? Dan
golongan nasionalis Turki, apa pendirian mereka terhadap agama? Betulkah mereka
mempunyai faham sekularisme?
- Pembahasan
Perkembangan modernisasi di Turki
semakin melaju ke depan dengan membawa visi beraneka ragam sesuai kepentingan
yang melatarbelakanginya. Pada gerakan sebelumnya dikenal adanya kebangkitan Usmani
Muda dan Turki Muda yang banyak memberi corak atas pemikiran rakyat
Turki, terutama kepada penguasa dan kaum terpelajar di sana. Pada makalah ini,
dibahas warna khas dari gerakan yang ada di Turki. Sebagaimana dikemukakan oleh
Harun Nasution bahwa gerakan pada fase ini terbagi kepada tiga kelompok, yaitu;
pertama gerakan yang berorientasi dan masih berpegang secara ketat pada prinsip
Islam yang disebut Islamisme. Kedua, gerakan yang banyak mengadopsi ( mengambil
) pemikiran, sikap hidup berdasarkan pola-pola kehidupan Barat, atau terilhami
oleh Barat ( terbaratkan ). Kelompok ini dinamakan Westernisme. Ketiga,
gerakan yang menitikberatkan ke dalam terutama menyembulkan aspek keaslian
Turkisme atau lebih tepat secara kenegaraan mereka selalu mementingkan sikap,
pola pikir dan tindakan nasional. Mereka tidak mau mengambil sesuatu yang
berbau Barat dan juga tidak mengambil sesuatu yang terilhami oleh perasaan
keagamaan ( Islam ). Sehingga para patriotisme yang tinggi membawa mereka lebih
mengutamakan nasionalitas di atas segala-galanya. Kelompok yang berpaham
demikian dinamakan Nasionalisme. ( Sani, 1998:110 )
Walaupun perlu digarisbawahi bahwa
dorongan tertinggi atas semua kelompok ide pembaharuan itu pada prinsipnya
mengacu nilai Islam, namun ada golongan yang lebih mementingkan Baratnya
daripada Islam, atau sebaliknya mementingkan Islam secara prinsip tanpa
memandang enteng ( dengan merasa masih cukup penting ) peradaban Barat. Dan ada
pula golongan yang mementingkan perasaan nasional Turki walaupun mereka pada
dasarnya juga orang Islam.
- Aliran Barat
Westernisme dalam Islam (
kebarat-baratan ) golongan atau gerakan yang mengajak umat Islam untuk menerima
pengetahuan Barat dan semua yang datang dari Barat.[1]
Pada golongan ini selain orang-orang
Barat yang mempunyai idealisme Barat, juga tokoh intelegensia Turki sendiri
yang terbaratkan dalam pemikiran dan perilakunya. Apalagi dalam hal ini Turki
merupakan bagian dari Eropa Timur ( beberapa wilayah Turki pada masa itu berada
di Eropa timur ), yang hanya agama saja berbeda dengan orang Barat, namun
mereka berada pada posisi geografis yang memungkinkan untuk menyerapkan ide
Barat secara sempurna. Dari sisi ini gagasan Barat nampak amat sesuai dengan
kondisi Turki yang ingin menapak maju modern. Golongan ini karena banyak
mengkonsumsi pemikiran Barat dalam semua aspeknya, maka mereka disebut golongan
Westernisme.
Gerakan Westernisme, juga menggolkan
ide-ide sekularisme dalam basis kekuatannya. Mereka berusaha mengadopsi pemikiran
Barat secara intensif, sehingga aspek sosial kemasyarakatan selalu diteropong
dengan pandangan-pandangan sekular.
Golongan terdiri dari beberapa tokoh yang dalam gerakan
pembaharuan di Turki sebelumnya juga banyak mengedepankan pemikiran Barat
secara intensif, namun tokoh yang dianggap paling mutakhir adalah Tawfik Fikret
( 1867-1951 ) seorang pemikir sekaligus sastrawan yang banyak mengkritik dan
menentang kaum tradisional. Dan satunya lagi adalah Abdulllah Jewdat (
1869-1932 ). Seorang intelektual bergelar Doktor yang dianggap pendiri
Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Mereka ini merupakan orang yang cukup gigih
dalam mendorong perjalanan pembaharuan Turki dengan gagasan-gagasan Barat.[2]
Tawfik Fikret banyak melontarkan kritikan terhadap ulama tradisional yang
dianggapnya telah membawa umat Islam ke dalam situasi fatalis. Umat Islam pada
masa itu sangat tergantung kepada paham keagamaan tradisional. Sedangkan paham
tradisional itu dalam banyak hal telah membawa kemunduran, seperti berserah
total kepada nasib, memberikan gambaran tentang kekuasaan dan keadilan Tuhan
selalu sewenang-wenang dan seperti seorang raja yang zalim. Pendapat ulama
tradisional itu, dikecam Fikret sehingga ia banyak dimusuhi para ulama.
Dalam banyak hal pemikiran golongan Barat secara umum
mempunyai kesamaan. Dapat dilihat dalam pemikiran Abdullah Jewdat. Ia
menganggap bahwa kelemahan umat Islam pada saat itu bukan terletak pada ajaran
Islam tapi pada sistem sosial dan kekhalifahan. Yang perlu dirubah adalah
Kerajaan Usmani bukan sultan. Begitu juga tentang Islam, yang perlu dirubah
adalah umatnya. Selama ini keadaan umat Islam terjangkiti sikap bodoh, malas,
patuh kepada ulama secara membuta, walaupun ulamanya itu bodoh. Hal-hal yang
diajarkan oleh ulama bodoh itu dianggap ajaran Islam. Mereka terperangkap dalam
perilaku demikian karena menganggap benar. Akhirnya pemikiran tokoh ini pun
dianggap musuh ulama dan Islam saat itu.[3]
Golongan Barat tidak setuju dengan konsep kenegaraan. Negara
bagi mereka harus bersifat sekuler, dalam arti harus dipisahkan dari agama,
seperti halnya di Barat. Tetapi karena masih terikat pada ajaran Islam, mereka
tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai cara pemisahan itu. Konsep
din-u-devlet masih besar pengaruhnya dalam masyarakat dan disamping itu
wujudnya telah diperkuat pula oleh Konstitusi 1876. oleh karena itu mereka
menganjurkan supaya sekularisasi diadakan bukan terhadap negara, tetapi
terhadap masyarakat.[4]
Dalam bidang pendidikan golongan Barat ingin membawa
kebebasan mimbar, kebebasan berdiskusi, olahraga, pekerjaan tangan, dan
sebagainya. Guru harus mengetahui ilmu jiwa dan ilmu sosial. Tujuan pendidikan
ialah membina pemuda yang dapat berdiri sendiri, cerdas, jujur dan patriotis.
Pendidikan agama harus dibersihkan dari supervisi dan ke dalam kurikulumnya
dimasukkan logika dan ilmu pengetahuan modern.[5]
Dalam bidang ekonomi, kemunduran menurut golongan Barat
disebabkan oleh keengganan orang Turki untuk menerima peradaban Barat dan
tetapnya mereka berpegang pada tradisi dan institusi yang telah usang. Keadaan
ekonomi dapat diperbaiki hanya dengan menerima sistem ekonomi Barat dengan
corak kapitalisme, liberalisme, individualisme dan ide bekerja untuk penumpukan
harta yang terdapat di dalamnya. Juga harus diterima pemikiran liberal Barat
dan kemajuan teknologinya. Sikap mental ketimuran yang dipengaruhi oleh faham
fatalisme dan rasa benci pada perubahan harus dihilangkan.
Beberapa pemikiran mereka yang lain adalah tentang
nasionalitas. Menurut mereka, Barat saat ini maju karena menerapkan
rasionalitas dalam hidupnya. Rasionalitas itu juga dianggap tiang
dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu juga terhadap agama, bangsa Barat
hanya mau menganut agama rasional. Karena bangsa Barat dapat dianggap guru,
maka segala yang berbau Barat mesti diambil. Murid mesti taat pada guru.[6]
Semua aspek-aspek penting yang dapat
mendorong kemajuan dianggap oleh golongan Barat sebagai ideologi baru yang
mampu membangkitkan modernisasi Turki dan rakyatnya. Ditilik dari segi ini,
jelas bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga menafsirkan Islam sesuai dengan
tuntutan zaman. Dengan kata lain, Islam diusahakan selalu cocok dengan
pemikiran modern. Kalau tidak cocok, bukan pemikiran modernnya yang keliru
melainkan nilai Islamnya belum dapat diserasikan. Rasa bersimpati terhadap
Barat dan semua aspeknya, bahkan bisa jadi mendorong mereka akan mengambil
sesuatu yang negatif, asalkan nilai itu memang datang dari Barat.[7]
Terlepas dari itu semua, nuansa
pembaharuan di Turki memang mempunyai citra tersendiri yang boleh jadi malah
dianggap unik. Mengingat pertarungan ide untuk mengedepankan masing-masing
kepentingan dengan tujuan yang sama yaitu menghantarkan Turki kepada kemajuan
adalah dianggap hal yang wajar bagi semua negara berkembang dan bahkan pernah
jaya pada masa sebelumnya. Dari sini, yang dilihat secara keseluruhan nampaknya
tidak bisa dipungkiri bahwa pembaharuan atau modernisasi Turki dianggap sepenuhnya
bernilai positif.
- Aliran Pembaharuan Islam
Kriteria Islam yang dijadikan patokan kelompok ini dalam
menggagas pembaharuan tanpa membedakan latar belakang keturunan, suku bangsa.
Tokoh penting yang berperan dalam mempertahankan prinsip Islam sebagai dasar
pembaharuan di Turki adalah Mehmed Akif (1870-1936). Ia sangat respek terhadap
nilai-nilai Islam sehingga segala sesuatu perlu dicermati dalam kacamata Islam.
Menurut pendapat Mehmed Akif, agama Islam tidak pernah
menghambat kemajuan. Sebagai perbandingan menurutnya bangsa Jepang dapat maju
karena mengambil kemajuan Barat. Yang mereka ambil adalah ilmu pengetahuan dan
teknologinya. Bukan agama dan perilaku moralnya. Sedangkan Islam malah
sebaliknya yaitu mengambil peradaban ( perilakunya ), dan ini penting menurut
mereka.[8]
Kaum intelegensi Turki suka sekali meniru Barat, jadi, letak kemunduran umat
Islam bukan pada agamanya, melainkan pada sikap yang keliru dalam mengambil
sesuatu yang datangnya dari Barat.
Menurut golongan Islam, kelemahan umat Islam selama ini
tidak terletak pada syari’at. Tapi terletak pada syari’at yang tidak dijalankan
oleh umat Islam terutama oleh Khalifah Usmani. Agar umat Islam tidak mundur,
maka syari’at ini perlu dijalankan. Lebih lanjut, selama ini pemerintahan di
Turki tidaklah dapat dikatakan pemerintahan Islam, karena nilai Islam tidak
dijalankan dalam sistem kekhalifahan, jadi menurut golongan ini Kerajaan Usmani
bukanlah kerajaan Islam.
Golongan Islam di sini amat kuat
berpegang kepada prinsip tradisional tanpa mengadakan dan mencerna gagasan
Barat. Dengan kata lain mereka kembali kepada dasar-dasar ajaran Islam baik
Al-Qur’an maupun Hadits tanpa mengadakan interpretasi terhadap ajaran itu dan
tidak pula mau menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Ciri khas demikian lebih
banyak mewarnai gagasan-gagasan mereka, yang dianggap mewakili Islam
tradisional.
Pemikiran yang cukup aktual pada masa itu adalah tentang
pakaian wanita. Golongan Islam sangat anti dengan kebebasan pakaian wanita.
Terkait dengan pakaian wanita, golongan ini tidak sependapat dengan konsep
Barat yang menerapkan hak dan kewajiban wanita sama dengan laki-laki,
sebagaimana dalam konsep emansipasi yang didengung-dengungkan. Tinggi rendahnya
martabat wanita bukan terletak pada pakaian dan kebebasannya, melainkan pada
ketaatannya menjalankan syari’at. Menurut Musa Kazim, seorang tokoh golongan
ini, wanita tidak dapat diberikan status dan hak yang tinggi karena ia
mempunyai emosional. Kalau wanita diberikan hak yang sama dengan laki-laki,
sudah dapat dipastikan tiap wanita akan pergi ke Mahkamah menuntut perceraian,
hal demikian akan membuka seluruh rahasia rumah tangga yang tadinya tersimpan
rapi.[9]
Walaupun golongan Islam ini dianggap tradisional menurut
penilaian Harun Nasution, namun mereka tidak pernah menolak kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang datangnya dari Barat. Mereka sependapat tentang
masuknya pengetahuan umum dalam kurikulum sekolah madrasah. Walaupun demikian,
mereka menolak konsep sekularisasi yang diterapkan melalui modernisasi
pendidikan. Pendidikan yang diterapkan hendaknya mengacu kepada nilai-nilai
Islam, tanpa itu kerontokan moral tidak mudah dapat dihindari. Hanya agamalah
yang dapat menyelamatkan mereka dari dekadensi moral tersebut.[10]
Golongan Islam tidak menentang kemajuan ekonomi dan pemuka
mereka, Ahmed Nazmi menganjurkan supaya umat Islam mempelajari dasar-dasar dan
hukum ekonomi modern. Yang mereka tentang ialah faham kapitalisme dan
individualisme yang terdapat di dalam sistem ekonomi Barat. Tetapi juga mereka
menolak sosialisme dan komunisme, karena keduanya bersama dengan kapitalisme
tergolong dalam hal-hal buruk yang ditimbulkan peradaban Barat. Bunga uang
mereka samakan dengan riba, dan oleh karena itu masyarakat yang menghalalkan
bunga uang, dalam pandangan mereka pasti akan runtuh dan hancur. Makin banyak
praktek bunga uang dijalankan makin banyak kapital yang dimonopoli kaum
kapitalis, dan makin meningkat kemiskinan dalam masyarakat demikian. Asuransi
juga dianggap riba dalam bentuk lain oleh sebagian dari golongan Islam. Sebagian
lain berpendapat bahwa asuransi membawa kepada kekufuran karena di dalam
asuransi terdapat faham tidak percaya pada qadha dan qadhar Tuhan. Pembaharuan
yang diingini golongan Islam amat terbatas. Mereka lebih banyak mempertahankan status
quo daripada mengadakan perubahan dalam institusi-institusi tradisional
Kerajaan Usmani.[11]
Dari uraian-uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pembaharuan yang dikehendaki golongan Islam ialah membuat Kerajaan Usmani
sempurna sifat ke-Islamannya. Hukum yang dipakai di dalamnya harus hukum Islam
dan pimpinan negara harus terletak di tangan kaum ulama.
- Aliran Pembaharuan Nasionalisme
Aliran Nasionalisme ini adalah mereka yang sudah berusaha
sekuat tenaga mencoba berbagai alternatif dalam memecahkan berbagai problema
kehidupan rakyat Turki, dan bahkan mereka dianggap telah mengambil sintesis
antara aliran westernisme dengan islamisme. Usaha ini mereka lakukan
untuk kepentingan yang lebih mendesak mengingat terpecahnya berbagai golongan
di Turki karena banyaknya kepentingan di antara rakyat.. Beberapa tokoh penting
yang perlu dicatat antara lain: Yusuf Akcura ( 1876-1933 ), Zia Gokalp (
1875-1924 ), dan Mustafa Kemal Attaturk ( 1881-1938 ).
Yusuf Akcura merupakan tokoh pembaharuan yang mengedepankan
pemikiran penghimpunan masyarakat Turki. Ia berusaha menyatukan visi masyarakat
Turki baik yang ada di wilayah itu maupun mereka yang berada di Rusia ( Kazan
), Krimea dan Azarbaijin sebagai satu bangsa. Pada saat itu
ada tiga kekuatan yang selalu berbeda di dalam kerajaan Usmani. Mereka dari
golongan Islam, Rakyat Turki dan Rakyat bukan Islam. Bagi mereka ini yang
terpenting menghidupkan perasaan nasional terhadap tanah airnya sendiri. Persatuan
serupa hanya bisa kuat kalau mereka diikat oleh perasaan satu agama dan satu
bangsa. Karena kesatuan demikian amat sulit sebab ada tantangan lain dari
rakyat Rusia, maka yang perlu ditumbuhkan adalah sikap nasionalisme.
Ide demikian dikembangkan lagi oleh Zia
Gokalp seorang yang dianggap pendiri Nasionalisme Turki. ia lahir di
Diyabakr dan setelah menamatkan sekolah tinggi modern yang mengajarkan berbagai
pengetahun umum termasuk bahasa Perancis, lalu memasuki Sekolah Dokter Hewan di
Istambul. Pengetahuan agama Islam seperti bahasa Arab, filsafat, teologi dan
tasawuf ia dapatkan dari pamannya.
Nasional yang dipahamkan orang
selama ini, menurutnya keliru. Perasaan nasional tumbuh selama ini hanya
didasarkan atas bangsa, bukan berdasarkan kebudayaan. Kebudayaan sangat luas,
dan bersifat unik, nasional dan subyektif. karena berdasarkan kebudayaan, maka
Turki Usmani yang ada selama ini adalah bersifat nasional yang secara geografi
terbatas pada wilayah kekuasaan Republik Turki saja.
Selama ini menurut Zia, kebudayaan
Turki seperti masih kabur dan menghilang dikalahkan oleh kebudayaan Islam. Untuk
dapat menumbuhkan kebudayaan Turki itu, rakyat Turki perlu mengikis
tradisi-tradisi, konstitusi-konstitusi berdasarkan Islam yang selama ini
dianggap banyak melahirkan kemunduran. Kebudayaan nasional pun akhirnya dapat
dihidupkan.
Dalam kehidupan bernegara, Turki tidak
perlu memakai syari’at Islam sebagai dasar negara. Negara hanya dapat berjalan
berdasarkan perundangan negara bukan agama. Agama perlu dipisahkan secara tegas
dari kepentingan negara, begitu juga sebaliknya. Secara administrasi, negara Turki
perlu menata sistem pemerintahannya. Misalnya kekuasaan Syaikh Islam harus
dihapuskan dan dikembalikan kepada parlemen, pemindahan Mahkamah Syari’at dari
jurisdiksi Syaikh al-Islam kepada Kementerian Kehakiman, begitu juga pemindahan
madrasah dari kekuasaan Syaikh itu kepada Kementerian Pendidikan. Walaupun
Mahkamah Syari’at bisa diperlukan, namun fungsinya dialihkan kepada aktivitas
muamalat semata. Jadi soal-soal diniah memang berada pada ulama dan
soal-soal kenegaraan berada pada umara. Dengan demikian negara
mutlak berdasarkan nilai-nilai sekuler.
Golongan Nasionalis, juga menolak
pendapat para ulama tradisional tentang bunga bank. Menurut Mansurizade, salah
seorang tokoh golongan ini, bunga bank itu tidak riba dan haram. Yang
diharamkan dalam Al-Qur’an bukanlah penyewaan uang, tetapi penjualan uang. Riba
baik di dalam Al-qur’an maupun dalam Hadits digambarkan sebagai soal jual beli.
Imam-imam besar dalam mazhab fiqh buka di Bab riba, tapi di Bab Ijarah (
sewa menyewa ). Jadi yang diharamkan disini menjual uang bukan penyewaan atau
peminjaman. Penyewaan dan peminjaman itu halal, yang diharamkan adalah riba.
Golongan nasionalis Turki juga
mengingini pembaharuan dalam status kaum wanita. Wanita menurut Zia Gokalp
diikut sertakan dalam pergaulan sosial dan kehidupan ekonomi. Juga mereka harus
diberi hak yang sama dalam soal pendidikan, perceraian dan warisan. Poligami
juga harus dihapuskan.[12]
Dalam bidang pendidikan, mereka
berusaha menciptakan sistem pendidikan yang khusus sesuai dengan kebudayaan
Nasional Turki sendiri yang berasaskan nilai-nilai sekuler modern, tidak
berdasarkan Islam.[13]
Berbeda dengan tokoh-tokoh nasionalisme
di atas, Mustafa Kemal Attaturk merupakan tokoh nasionalis yang berusaha
menggabungkan semua kepentingan, baik Islam, Barat maupun perasaan keturkian.
Walaupun ide keislaman yang paling terkebelakang dalam perimbangan kepentingan
dibandingkan dengan ide-ide nasionalisme dan ide Barat, namun Islam tetap
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemikiran Mustafa Kemal Attaturk.
Ide-ide pembaharuan Attaturk merupakan
penggabungan dari nilai Islam, westernisasi, dan nasionalisme. Walaupun yang
paling menonjol adalah usaha westernisasi dengan ditopang oleh nasionalisme
yang kokoh. Dalam persoalan bernegara, ia memang berusaha membangun suatu
konstitusi baru.
Apa yang dilakukan oleh Attaturk
dalam proyek westernisasi dan sekularisasinya, sebenarnya secara formal hanya
meneruskan ide-ide para nasionalis dan westernisasi sebelumnya. Namun
langkah-langkah yang diambilnya lebih praktis, karena ia memakai kekuasaan.
Sebagai pemimpin tertinggi Turki pada masa itu, program pembaharuannya walaupun
mendapat tantangan dari golongan ulama tradisional namun ia tetap berpegang
teguh kepada rancangan yang sudah ditetapkan.
Walaupun Republik Turki berusaha
menjadi negara sekuler, namun sesungguhnya ia masih belum sepenuhnya menjadi
sekuler. Menurut Harun Nasution, Attaturk sungguh pun berusaha mambangun Turki
modern sebagaimana negara Barat, namun ia tidak sampai menghilangkan agama.
Dengan kata lain agama masih diperhatikan oleh agama.
Attaturk memang sangat melarang sesuatu
yang berbau agama, terutama yang berhubungan dengan negara, seperti sebutan
Turki sebagai negara Islam, para ulama yang mempunyai wewenang dan kekuasaan
mengurusi negara dengan dasar keulamaannya. Selain itu, ia juga melarang
partai-partai yang mengatasnamakan agama, seperti Partai Islam, Partai Kristen,
dan sebagainya. Segala yang berhubungan dengan kepentingan negara mesti
dibebaskan dari pengaruh dan kekuasaan agama.
Terkait dengan kedudukan Attaturk
sebagai seorang perancang negara yang sekularistik, ternyata jiwanya boleh
dianggap sebagai seorang yang kuat dalam memahami Islam. Menurutnya, Islam
adalah agama yang rasional yang sangat diperlukan oleh umat Islam. Tapi agama
yang rasional ini telah dirusak oleh umatnya. Oleh sebab itu ia melihat perlu
diadakan pembaharuan keagamaan. Al-Qur’an menurutnya perlu diterjemahkan ke
dalam bahasa Turki supaya mudah dipahami.
Ide-ide yang dikemukakan Attaturk
dianggap sebagai pemikiran yang radikal pada saat itu. Namun nyatanya, dalam
proses dan perkembangan eksistensi tiga golongan gerakan pembaharuan yang
ada di Turki, maka dua kekuatan ( Islam dan Barat ) dianggap gagal memenuhi
hasrat rakyat Turki. Kendati masyarakat Turki lebih banyak beragama Islam,
namun dasar-dasar gerakan yang menamakan ”Islam” sebagai basis kekuatan
nampaknya begitu kaku dan amat tradisional. Bahkan terkesan hanya sekedar label
Islamnya, namun intinya berisi ”kekuatan lama” yang ditunggangi oleh kekuatan
khalifah Usmani. Sedangkan kelompok Barat, dinilai tidak mengakar pada khazanah
peradaban Turki, hanya lebih terfokus pada Baratnya sebagai nilai.
Dalam banyak hal Attaturk memang mengambil dasar-dasar pemikiran Barat
sebagai inspirasi pembaharuannya. Namun ia bisa menumbuhkan semangat
nasionalisme ( peradaban Turki ) dalam berbagai dimensi, sehingga dengan secara
sadar rakyat Turki lebih memilih model yang ditawarkan Attaturk.
Hal lain yang menguntungkan, menurut
Harun Nasution, bahwa saat itu model argumen nasionalisme sebagai motivasi
kebangkitan hidup bernegara di sebagian besar negara Islam dianggap trendi dan
mampu menarik simpati. Sehingga manakala nasionalisme dijadikan isu gerakan
berbangsa-bernegara, tentu saja membuat banyak negara Islam akan mencoba gaya
baru isu kenegaraan tersebut. Selebihnya, tentu saja karena rangsangan
kebangkitan nasionalisme itu didorong oleh penjajahan Barat yang saat itu
dianggap maju, dari kesadaran tentang kemajuan Barat itu. Tumbuh cita-cita
ingin mengambil sesuatu yang positif dari negara maju ( Barat ) tersebut.
Situasi demikian sedang melanda sebagian besar negara Islam bahkan negara yang
bukan Islam di Timur. Jadi, ide nasionalisme dan pembaharuan inilah yang
menjadi daya tarik gagasan Attaturk sehingga mampu mengalahkan saingan-saingannya
terutama di kalangan ulama dan penguasa Usmani.
- Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa baik golongan Barat maupun
golongan Nasionalis Turki tidaklah mengabaikan Islam dan pemikiran pembaharuan
mereka. Keduanya menginginkan pembaharuan dalam Islam dan bukan di luar Islam.
Dalam hal ini mereka sefaham dengan golongan Islam. Perbedaan mereka dengan
golongan Islam ialah bahwa golongan Islam dalam pembaharuan bersifat
tradisional, sedangkan golongan lainnya bersifat modernis, ingin mempertahankan
tradisi dalam Islam.
Golongan Barat dan nasionalis Turki, walaupun telah banyak dipengaruhi oleh ide
sekuler Barat, tetapi karena masih terikat pada agama, tidak berhasil merubah
Kerajaan Usmani menjadi negara sekuler. Walau pembaharuan yang mereka kehendaki
bersifat radikal, tetapi dalam keradikalan itu mereka tidak berniat menentang
agama. Dengan kata lain pembaharuan mereka, kendatipun kelihatan radikal, masih
diusahakan supaya tidak ke luar dari Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Gibb. 1993. Aliran-aliran Modern dalam Islam. Jakarta:
Rajawali Pers.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Thalhas. 2002. Asal Usul Dua Kutub Gerakan Islam. Jakarta: Galura
Pase.
Sani, Abdul. 1998. Lintasan Sejarah Pemikiran
Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
[1] Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,
2005, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 304
[2] Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan
Modern dalam Islam, 1998, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.
116-117
[3]
Ibid.
[4] Nasution, Harun, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 1996,
Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 134
[6]
Sani, Loc. Cit. hlm. 117-118
No comments:
Post a Comment