A.
Pendahuluan
Keadilan
sosial, persamaan derajat, pemerataan ekonomi, dan kehidupa saling menghargai
adalah sebuah idiologi universal dari institusi besar bernama negara yang harus ditegakkan sepanjang masa
tanpa terikat ruang dan waktu.
Dalam
sejarah Islam, Dinasti Abbasiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan besar
Islam, Umawi, Abbasiyah, dan Umaiyah, yang telah berhasil memberikan sumbangan
yang sangat signifikan dalam peradaban ummat manusia, khususnya Islam dan ummat
muslim.
Dinasti
tersebut, Abbasiyah jika ditinjau dari teori terbentuknya sebuah Dnegara, maka
dengan yakin dapat kita katakana bahwa dinasti tersebut berdiri atas dasar
teori “kekuatan senjata”. Sebuah teori yang berasaskan benturan dua kekuatan
mssa untuk saling menjatuhkan dan menguasai.
Berdasarkan
teori tersebut, maka tidak heran jika dikatakan bahwa revolusi berdarah dengan
korban darah dan kehormatan dinasti Muawiyah adalah tonggak awal dari dinasti
Abbasiyah.Akhirnya, sebagai pembahasan dari isi paper ini, akan dibahas
beberapa item yaitu (1) pengertian, (2) teori revolusi Abbasiyah, (3) kronologi
revormasi Abbasiyah, (4) langkah sistematis dan propaganda revolusi Abbasiyah,
(5) dampak revolusi Abbasiyah, (6) tokoh penting dalam revolusi Abbasiyah, (7)
aliansi Bani Abbas dalam revolusi serta alasan mereka, (8) komparasi masa sebelum Bani Abbasiyah dan sesudahnya.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Kamus
Bahasa Indonesia mengartikan term revormasi dengan “Perubahan ketatanegaraan
(pemerintahan atau keadaan sosial) yg dilakukan dengan kekerasan, seperti dengan
perlawanan bersenjata.”[1]
Revolusi adalah perubahan sosial
dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok
kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat
direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa
kekerasan atau melalui kekerasan.[2]
2.
Teori
revolusi Abbasiyah
Berkaitan dengan sebab kebangkitan Dinasti Abbasiyah ini, para ahli
sejarah mengemukakan beberapa teori yang masing-masing menitikberatkan kepada
salah satu aspek sebab utama dari kebangkitan Dinasti Abbasiyah tersebut. Dalam
hal ini paling tidak terdapat empat teori yang dikemukakan yaitu :
a.
Teori faksionalisme rasial atau teori kelompok Kebangsaan. Berdasarkan
teori ini Dinasti Umaiyah pada dasarnya adalahsebuah monarki Arab yang mengutamakan kepentingan-kepentingan
orang Arab dan melalaikan kepentingan-kepentingan orang-orang non-Arab. Implikasi
tindakan diskriminatif pihak penguasa tersebut menyebabkan orang-orang Mawali (orang0orang
yang dimerdekakan) merasa kecewa dan menggalang kekuatan untuk menggulingkan
Dinasti Umaiyah yang berpusat di Damaskus. Berdasarkan teori ini pula, jatuhnya
Dinasti Umayyah merupakan kejatuhan kerajaan dan kepentingan Arab,
sedangkan bangkitnya Dinasti Abbasiyah
adalah merupakan kebangkitan bagi orang-orang Persia.
b.
Teori faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan berdasarkan
paham keagamaan. Berdasarkan perspektif
teori ini, kaum Syiah selamanya adalah
lawan dari Dinasti Umaiyah yang dianggap telah merampas kekuasaan dari tangan
‘Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali adalah orang-orang yang paling berhak.
Keberhasilan Dinasti Abbasiyah dalam menggulingkan Dinasti Umaiyah, dari
perspektif teori ini adalah karena koalisi mereka dengan kelompok Syiah.
c.
Teori faksionalisme kesukuan. Menurut teori ini bahwa persaingan
antara suku Arab a-la zaman Jahiliyyah sebenarnya terus berlangsung dan hidup
kembali pada masa Dinasti Umaiyah. Dua suku yang selalu bertentangan antara
satu dengan yang lainnya yaitu suku Mudhariyah bagi orang-orang Arab yang
dating dari sebelah utara dan suku Yamaniyah bagi orang-orang Arab yang berasal
dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Dinasti Umayyah
didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika salah satu suku
mendukung salah satu khalifah, maka suku yang lain akan memposisikan diri
mereka sebagai oposisi. Maka potensi pertentangan antar dua suku ini terus
membesar dan berkesinambungan serta menyebar ke daerah-daerah wilayah kekuasaan
Dinasti Ummayah lainnya. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Dinasti
Abbasiyah sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat
hasil dari manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut.
d.
Teori yang menekankan kepada ketidakadilan ekonomi dan disparitas
regional. Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari Syiria mendapat perlakuan
khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu dari Dinasti Umayyah seperti
memperoleh keringanan pajak dan hak-hak pengelolaan tanah di wilayah-wilayah
yang baru ditaklukan. Sedangkan orang-orang Arab yang berasal dari sebelah
Timur, khususnya Khurasan tidak memperoleh perlakuan atau hak-hak khusus
tersebut. Mereka harus membayar pajak cukup tinggi. Dengan demikian, timbul
kekecewaan di kalangan kelompok Arab ini pun akhirnya terakumulasi dari waktu
ke waktu, dan pada akhirnya menjadi kekuatan atau potensi yang potensial dalam
menumbangkan Dinasti Umayyah dengan alas an diskriminasi social.[3]
3.
Kronologi
revormasi Abbasiyah
Kesempatan yang paling baik yang diperoleh oleh bani
Abbasiyah dalam melakukan propaganda adalah pada masa pemerintahan Umar ibn
Abdul Aziz. Pada masa ini, kebenaran dan keadilan lebih tinggi dari
segala-galanya. Tidak ada keistimewaan keturunan Umayyah dari umat Islam
lainnya. Rakyat bebas menyatakan pendapat mereka. Sungguhpun tindakan Umar ini
benar secara normatif, akan tetapi secara politis tindakannya ini telah
melemahkan pemerintahannya sendiri.
Pada masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik,
gerakan oposisi yang dilakukan oleh bani Abbasiyah telah memperoleh pengikut
yang banyak. Muhammad ibn Ali,[4]sebagai
promotor dari gerakan tersebut setelah memilih tiga daerah sebagai pusat
gerakan yaitu Hamimah, Kufah dan Khurasan. Daerah Hamimah adalah posko utama
yang mengontrol seluruh kegiatan. Daerah Kufah adalah sebagai tempat bertemunya
kader-kader utusan dari Hamimah dan kader-kader propaganda dari Khurasan.
Sedangkan Khurasan sendiri adalah sebagai tempat untuk melakukan kegiatan
propaganda.[5]
Langkah pertama yang memperoleh sukses besar dalam
propaganda tersebut dipelopori oleh Abu Muslim al-Khurasani.[6] Bentuk-bentuk propaganda yang dilakukannya
adalah menyebarkan informasi kepada masyarakat dengan mengatakan bahwa golongan
Abbasiyah termasuk golongan ahlul bait. Disamping itu dia juga menyalakan api
kebencian dan kemarahan terhadap Umayyah karena selalu melakukan intimidasi
terhadap golongan ahlul bait. Kemudian terhadap orang-orang mslim non arab
(mawali) isu yang disebarkannya adalah persamaan derajat, sehingga dari
hari-kehari api kebencian umat Islam semakim menyala dan memanas.[7]
Pada tahun 125 H Muhammad ibn Ali wafat. Sebelum
wafatnya ia telah meninggalkan wasiat kepada anaknya Ibrahim ibn Muhammad untuk
melanjutkan perjuangannya. Namun demikian, ternyata Ibrahim tidak diberi waktu
yang cukup lama untuk memimpin revolusi ini, karena tidak lama kemudian ia juga
meninggal dunia, yaitu pada tahun 129 H. Setelah itu pimpinan puncak dari
gerakan revolusi tersebut dipegang oleh saudaranya Abdullah ibn Muhammad (Abu
al-Abbas) ditangan dialah gerakan revolusi ini memperlihatkan taringnya.[8]
Sebelum wafatnya, Ibrahim sudah memerintahkan kepada
Abu Muslim untuk menggerakan revolusi fisik secara terang-terangan. Namun
demikian, ia tertangkap dan dipenjarakan.
Selanjutnya, dengan keahliannya Abu Muslim mampu
menghimpun kekuatan untuk mengempur Umaiyah melalui revolusi fisik. Ia berhasil
memanfaatkan situasi permusuhan antara orang-orang Yaman dengan orang-orang
Mudar di wilayah Khurasan. Yang menjadi gubernur di Khurasan waktu itu adalah
Nasr ibn Sayar, seorang keturunan Mudar. Dengan taktik devide et impera,
gubernur Nasr dapat dikalahkan. Setelah itu ia juga berhasil menguasai kota
Maru dan Naisabur. Sehingga seluruh kekuatan Umaiyah di selatan dapat
dikuasainya.[9] Bersamaan dengan itu, Abdullah ibn Muhammad
juga telah bergerak untuk menggempur ibu kota Umaiyah, Damaskus. Sehingga Marwan
ibn Muhammad Khalifah Umaiyah yang terakhir tidak sasnggup menghadapi
serbuannya. Ia melarikan diri dari Damaskus ke Mesir namun akhirnya dapat
ditangkap oleh pasukan Abdullah ibn Muhammad.
Dua pasukan tersebut yaitu pasukan Abu Muslim
al-Khurasani dan pasukan Abdullah ibn Muhammad bertemu di Kufah. Disana telah
menunggu Abu Salamah al-Khalal, ia mengundang seluruh penduduk Kufah untuk
berkumpul di mesjid untuk memilih seorang khalifah. Dalam pidatonya ia
mengatakan: “Abu Muslim telah berhasil membela agama Islam dan menghancurkan
Umayyah yang penuh dosa. Oleh karena itu kita harus memilih seorang imam atau khalifah yang akan memimpin umat
Islam. Tidak ada yang lebih utama dalam hal kesalehan, kemampuan dalam segala
kebajikan yang diperlukan untuk kedudukan tersebut selain dari Abdullah ibn
Muhammad.”
Dialah yang diusulkan kepada umat Islam supaya
dipilih menjadi khalifah. Mendengar penjelasan tersebut seluruh orang yang
hadir di mesjid Kufah pada waktu itu mengatakan setuju dengan mengumandangkan
takbir. Sejak itu resmilah Abdullah ibn Muhammad (Abu Abbas as-Saffah) menjadi
khalifah.[10]
Peristiwa ini terjadi pada hari kamis tanggal 30
Oktober 749 M,[11]
dan merupakan hal yang sangat penting sekali artinya karena seseorang tidak
akan sampai ketampuk pemerintahan sebelum dilakukan pembaiatan terhadapnya.
Pembaiatan tersebut adalah semacam penobatan yang dilakukan oleh rakyat, dan
merupakan satu-satunya pegangan yang pasti bagi seseorang untuk menaiki tahta
kekhalifahannya.
Abdullah ibn Muhammad dalam pidato pertamanya setelah
dibaiat, mengatakan : “Sesungguhnya aku berharap kalian tidak akan lagi
didatangi oleh kezaliman pada saat kebaikan telah datang kepada kalian, tidak
pula kehancuran pada saat perbaikan telah kalian dapatkan.” Setelah itu berdiri
pula pamannya, Daud ibn Ali dan menegaskan kepada orang banyak : “Demi Allah
gerakan yang telah kami lakukan sama sekali tujuannya bukanlah untuk menumpuk
harta, membangun istana atau yang lainnya, akan tetapi sesungguhnya kami telah
bertindak demi memprotes perampasan hak kami, dan demi membela putra-putra
paman kami (Ali ibn Abi Thalib), juga dikarenakan buruknya perlakuan Umaiyah
terhadap kalian, baik penghinaan mereka terhadap kalian maupun monopoli mereka
terhadap harta yang menjadi hak kalian. Maka dengan ini kami berjanji kepada
kalian demi kesetiaan kami kepada Allah dan Rasulnya, dan demi kehormatan Abbas
untuk memimpin kalian semua sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah,
melaksanakan kitab Allah, dan berjalan baik dikalangan umum maupun khusus,
dengan teladan Rasulullah saw.”[12]
4.
Langkah
sistematis dan propaganda revolusi Abbasiyah
Muhammad Ibn Ali al-Abbas mulai melakukan pergerakannya dengan
langkah-langkah awal yang sistematis, diantaranya yaitu;
Pertama, membuat propaganda agama untuk menghasut rakyat menentang kekuasaan
Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah. Kedua,
membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi
ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah.
Ketiga, ide tentang
persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu propaganda itu ada
isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana hal tersebut tidak
pernah terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni:
Pertama dilaksanakan
dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas
nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam
kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150
orang di bawah para pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya
adalah Muhammad Ibn Ali.
Kedua, menggabungkan para pengikut Abu
Muslim al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.[13]
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar semangat api
kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama memperoleh
sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu Muslim
al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli al-Ba’it,
sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian dan kemarahan
terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide persamaan antara
orang-orang Arab dengan non Arab karena objek propaganda Abu Muslim tersebut
adalah wilayah Khurasan yang notabene merupakan basis kelompok Mawali.
5.
Dampak
revolusi Abbasiyah
a.
Bidang
politik
Pada
mulanya, banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu
stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Kemajuan politik dan kebudayaan yang di capai oleh pemerintahan islam pada masa
ini tidak ada tandingannya di kala itu. Kemajuan politik berjalan seiring
dengan kemajauan peradapan dan kebudayaan sehingga Islam mencapai masa
keemasan, kejayaan, dan kegemilanagan. Gerakan-gerakan ini seperti
sisa-sisa Bani Umaiyah dan kalangan intern
Bani Abbas, revolusi al-khawarij di Afrika utara, gerakan zindik di Persia,
gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa serta aliran pemikiran keagamaan,
semuanya dapat dipadamkan[14].
b.
Ilmu
pengetahuan
Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa
Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika
Ar-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan
terjamin walaupun ada juga pemberontakan, dan luas wilayahnya mulai dari Afrika
Utara hingga ke India
Pada masanya hidup pula para filusuf, pujangga, ahli baca
Al-Quran dan para ulama di bidang agama. Didirikan perpustakaan yang diberi
nama Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat membaca,
menulis dan berdiskusi. Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai orang yang taat
beragama, menunaikan ibadah haji setiap tahun yang diikuti keluarga dan
pejabat-pejabatnya serta para ulama dan berderma kepada faqir miskin.
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama seperti
ilmu Alquran, qira’at, hadits, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat
mazhab fiqih tumbuh dan berkembang pada masa dinasti Abbasiyah. Disamping itu
berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam,
geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan
jimia.[15]
Kecanggihan teknologi masa ini juga terlihat dari
peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur Masjid Agung Cordoba,
Blue Mosque di Konstantinopel atau menara spiral di Samara yang dibangun oleh
khalifah Al-Mutawakkil, Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yang dibangun di
Seville, Andalusia pada tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yang dibangun di
atas bukit yang menghadap ke kota Granada.
Kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1)
Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab
dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu
pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting di bidang pemerintahan. selain itu mereka
banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama
Filsafat.
2)
Gerakan Terjemah Pada masa daulah
ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama
di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah.[16]
c.
Bidang
ekonomi
Perkembangan ekonomi Dinasti Abbasiyah bisa kita lihat dari
berkembang pesatnya roda perekonomian, khusunya dalam aspek perdagangan. Komoditi
yang menjadi primadona pada masa itu adalah bahan pakaian atau tekstil yang
menjadi konsumsi pasar Asia dan Eropa. Sehingga industri di bidang penenunan
seperti kain, bahan-bahan sandang lainnya dan karpet berkembang pesat.
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam industri ini adalah kapas, sutra dan
wol.[17]
Industri lain yang juga berkembang pesat adalah pecah belah, keramik dan
parfum. Disamping itu berkembang juga industri kertas yang di bawa ke Samarkand
oleh para tawanan perang Cina tahun 751 M. di Samarkand inilah produksi dan
ekspor kertas dimulai. Hal ini rupanya mendorong pemerintah pada masa Harun
al-Rasyid lewat wazirnya Yahya ibn Barmak mendirikan pabrik kertas pertama di
Baghdad sekitar tahun 800 M.[18]
Adalah satu bukti manuskrip Arab tertua yang ditulis diatas kertas yang
ditemukan adalah manuskrip tentang hadis yang berjudul Gharib al-Hadis
karya Abu Ubayd al-Qasim ibn Sallam (w. 837 M) yang dicetak bulan Dzulqa’dah
252 H (13 November – 12 Desember 866), disimpan di perpustakaan Leiden.[19]
Komoditas lain yang berorientasi komersial selain, logam, kertas,
tekstil, pecah belah, hasil laut dan obat-obatan adalah budak-budak. Mereka
setelah dibeli oleh tuannya dipekerjakan seperti di ladang pertanian,
perkebunan dan pabrik. Namun bagi pemerintah, budak-budak direkrut sebagai
anggota militer demi pertahanan negara.[20]
Sebagai alat tukar, para pelaku pasar menggunakan mata uang dinar (emas) dan
dirham (perak). Penggunaan mata uang ini secara ekstensif mendorong
tumbuhnya perbankan. Hal ini disebabkan para pelaku ekonomi yang melakukan
perjalanan jauh, sangat beresiko jika membawa kepingan-kepingan tunai uang
tadi. Sehingga bagi para pedagang yang melakukan perjalanan digunakanlah sistem
yang dalam perbankan modern disebut Cek, yang waktu itu dinamakan Shakk.
Dengan adanya sistem ini pembiayaan menjadi fleksibel. Artinya uang bisa
didepositokan di satu bank di tempat tertentu, kemudian bisa ditarik atau
dicairkan lewat cek di bank yang lain. Dan cek hanya bisa dikeluarkn oleh
pejabat yang berwenang yaitu bank. Lebih jauh bank pada masa ini kejayaan Islam
juga sudah memberikan kredit bagi usaha-usaha perdagangan dan industri. Selain
itu bank juga sudah menjalankan fungsi sebagai Currency Exchange (penukaran
mata uang).[21]
d.
Bidang
sosial-kemasyarakan
Masyarakat
pada masa Daulah Abbasiyah ini memiliki watak dan karakter yang unik dan
berbeda dari masyarakat pada masa daulah Umaiyah. Kehitrogenan tersebut terjadi karena wilayah operasional
Daulah Abbasiyah merupakan wilayah bekas reruntuhan kerajaan Parsia, maka
kebudayaan bangsa Persia merasuk kedalam kehidupan sosial masyarakat Daulah
Abbasiyah.
Kaum
wanita misalnya, cenderung menikmati tingkat kebebasan yang sama dengan kaum
wanita pada masa daulah Umaiyah, tidak jarang dari mereka yang mengukir
prestasi yang cemerlang dan mempunyai pengaruh dipemerintahan, misalkan
Khayzuran, istri al-Mahdi, Zubaydah istri al-Rasyid dan ibu al-Amin dan Buran,
istri al-Makmun, tidak jarang pula yang mampu bersaing dengan laki-laki di
bidang sastra, musik dan lain sebagainya seperti halnya Ubaydah al-Thunburiyah
yang kondang sebagai biduanita pada masa al-Makmun.[22]
Dari
segi berpakaian, kaum Hawa pada masa itu sudah memiliki trend mode
yang diikuti oleh para wanita lainnya, trend mode itu
diperkenalkan oleh ‘Ulayyah saudara Tiri Al-Rasyid dengan rambut berbentuk
kubah yang pada bagian bawahnya diikat gelungan yang bisa dihiasi dengan
permata, selain itu juga perempuan memakai gelang jaki dan gelang tangan.
Kaum
adam pun memiliki busana dengan corak yang beragam dengan model yang terbatas,
mereka menggunakan tutup kepala seperti topi hitam yang tinggi dan mengerucut, qolansuwah
yang terbuat dari bahan sintetis atau bulu binatang yang diperkenalkan pertama
kalinya oleh kholifah al-Mansyur. Celana panjang yang lebar (sarawil)
dari Parsia. Kemeja, rompi dan jaket (qufithan), dengan ditambah jubah
luar (‘aba’ atau jubbah. Ditambah dengan sorban dan mantel hitam
(thaylasan) sebagaimana yang dipakai oleh para teolog atas instruksi Abu
Yusuf seorang hakim terkenal pada masa khalifah al-Rasyid.[23]
Bahkan kholifah al-Mansur adalah orang pertama yang memakai topi khas Parsia (qalanis)
yang kemudian diikuti oleh rakyatnya.[24]
Perabotan
rumah tangga yang paling popular pada masa itu adalah diwan.[25]
Tempat duduk yang ditinggikan dalam bentuk kursi, bantal yang diletakkan diatas
kasur kecil segi empat (mathrah) di lantai untuk manjadi tempat
pembaringan yang nyaman. Karpet buatan tangan dipakai untuk menutupi lantai.
Makanan disajikan dalam nampan lebar dari perunggu yang diletakkan diatas meja
rendah didepan diwan atau bantal. Dirumah-rumah orang berada, nampan-nampan
itu terbuat dari perak, dan meja kayu berlapis eboni, kulit kerang mutiara,
atau tempurung kura-kura. Orang-orang yang pernah memelihara kalajengking,
berang-berang, kumbang sebagai bagian dari hidup mewah, yang mengganggap nasi
adalah makanan beracun dan menggunakan roti tipis untuk alat tulis, pada saat
itu telah beralih dengan menu-menu dari negeri berperadapan tinggi termasuk
menu makanan dari Parsia seperti daging rebus beraroma, manisan, faludzah.
Minuman non al-kohol yang berupa syurbah menjadi minuman sehari-hari.
Minuman
beralkohol sering menjadi konsumsi secara bersama-sama dan atau pula secara
sendiri-sendiri. Bahkan para khalifah, wazir, putra mahkota dan para hakim
tidak lagi memegang teguh ketentuan agama, khususnya ketentuan tentang keharaman
arak.[26]
Pesta
persahabatan yang menyajikan arak dan nyanyian (majlis al-Syirab)
menjadi hal yang lazim dijumpai, tuan rumah dan para tamu memercikkan parfum
atau air mawar pada janggut mereka serta mengunakan busana yang berwarna
terang, ruangan dibuat harum dengan kayu cendana yang dibakar, para biduanita
yang berpartisipasi dalam acara tersebut mayoritas adalah para budak tuna
susila.[27]
Salah
satu gaya hidup yang dilakukan oleh masyarakat pada masa daulah Abbasiyah
adalah berendam di tempat pemandian umum, tempat pemandian umum merupakan
tempat bersenang-senang dan merupakan bagian dari kemewahan. Pemandian umum
pada masa itu terdiri dari kamar-kamar dengan lantai bermotif mozaik dan bagian
dalam dinding terbuat dari marmer yang mengelilingi ruang utama yang luas,
ruang paling dalam yang dinauangi kubah dengan atab bundar yang trasnparan,
sehingga memungkinkan cahaya masuk kedalam ruangan, dipanaskan dengan uap yang
naik dari pusat semburan air di tengah, ruang bagian luar di gunakan untuk
duduk dan menikmati makanan dan minuman.[28]
Para
sarjana, musisi, penyanyi, penyair, sering berkumpul dalam suatu tempat, budaya
ini berasal dari Parsia yang kemudian telah melembaga pada masa awal daulah
Abbasiyah dan menjadi profesi pada masa al-Rasyid.[29]
Pada
masa daulah Abbasiyah ini, berburu masih diminati oleh para Khalifah serta para
putra mahkota sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah pada masa daulah
Amawiyah. Dalam kondisi tertentu, pesta perburuan diadakan dengan membentuk
lingkaran yang mengelilingi tempat binatang buruan itu dikumpulkan.[30]
Hal
lain yang dilakukan untuk mengisi waktu luang adalah dengan melakukan permainan
dalam ruangan, misalkan catur, dam-daman yang berasal dari India, dan juga
permainan di luar ruangan. Adapun permainan luar ruangan yang popular masa-masa
itu adalah polo (jukan berasal dari bahas Parsia Chawgan), kriket
(shawlajan), lempar lembing.[31]
6.
Beberapa
tokoh Penting dalam revolusi Abbasiyah
Beberapa tokoh yang berperan penting dalam proses berdirinya
Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.
a. Muhammad
bin Ali
Muhammad
bin Ali merupakan peletak dasar-dasar pendirian kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia
memulai gerakan yang disebut dakwah , yaitu gerakan propaganda kepada
umat Islam bahwa yang lebih berhak memegang jabatan kekhalifahan adalah
kelompok Bani Abbasiyah. Gerakan ini berhasil menjaring pengikut-pengikut yang
setia, terutama di wilayah khurasan.
b. Abu Abbas as-Saffah bin Muhammad
Ia meneruskan usaha ayahnya dalam
gerakan dakwah. Setelah gerakan berhasil menumbang Khalifah Marwan
(khalifah terakhir Bani Umayyah), ia dikukuhkan menjadi khalifah dan dianggap
sebagai pendiri kekhalifahan Bani Abbasiyah. Akan tetapi, ia hanya memerintah
dalam waktu yang relative pendek, yaitu empat tahun (750-754M).
c. Abu
Muslim al-Khurasan
Ia merupakan tokoh kunci dalam gerakan dakwah Bani
Abbasiyah. Kelihaiannya dalam berpropaganda berhasil menarik banyak pengikut di
daerah asalnya,Khurasan. Setelah kelompok Bani Abbasiyah cukup kuat, mereka
mulai menyerang kekuatan Bani Umaiyah di daerah tersebut dengan Abu Muslim
al-khurasani sebagai panglimanya. Hal itu berakhir dengan tumbangnya Khalifah
Marwan dari Bani Umaiyah.[32]
7.
Aliansi
Bani Abbas dalam revolusi serta alasan mereka
Imperium kedua Islam ini muncul setelah terjadi revolusi sosial yang
di peroleh oleh para keturunan Abbas dan di dukung oleh kelompok oposisi yang
membrontak kepada kekuaasan Bani Umayyah seperti (1) Syiah, (2) Khawarij, (3) Qodariyah,
(4) Mawali (non –Arab) dan (5) suku Arab bagian Selatan.[33]
Ada beberapa alasan mengapa kelompok oposisi pada masa Daulah
Umayyah membrontak, yaitu:
pertama, konfrontrasi politik pasca
meninggalnya Ali Ibn Abi Thalib memuncak ketika pembantaian Husein Ibn Ali
beserta pengikut- pengikutnya pada peristiwa karbala oleh Yazid Ibn Muawiyyah
membuat kelompok Syiah wajib menuntut balas ( qishas ) terhadap pembunuh Husen
beserta pengikut- pengikutnya tersebut, selain itu kedekatan historis dan
pertalian darah antara keluarga Abbas dengan keluarga Ali. Hatta, kedua
keturunan ini sama – sama mengklaim bahwa jabatan khalifah wajib berada di
tangan mereka.
kedua, kelompok
Khawarij merasa Daulah Umaiyah memonopoli politik sehingga tertutup kesempatan
bagi kaum Khawarij.
Ketiga,
ketidakpuasan kaum muslimin terutama golongan Qodariyyah dan Arab bagian
Selatan terhadap Daulah Umaiyah yang korup, memihak kelompok tertentu dan suka
berpoya- poya.
Keempat, kelompok Mawali yaitu
orang- orang non Arab yang baru masuk Islam, kebanyakan berasal dari Persia
yang di perlakukan sebagai warga kelas dua dan di bebani pajak yang sangat
tinggi. Selain itu mereka selalu berpegang teguh kepada teori hak raja yang
suci dalam arti bahwa kepemimpinan itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Oleh sebab
itu mereka mendukung gerakan yang dilakukan oleh Bani Abbas, karena mereka
termasuk keluarga dari Nabi Muhammad.
Terakhir, suku Arab Selatan, orang- orang
Qois Yaman, sangat membenci Bani Umaiyah karena tersingkir dari lingkaran
kekuasaan Bani Umaiyah yang lebih memilih pesaing mereka, suku Arab Utara, Qais
dan Mudar, orang- orang Yaman inilah yang menjadi salah satu tulang punggung
kektatan Abu Muslim, Jenderal Persia yang menjadi salah satu inti kekuatan
gerakan Revolusi Abbasiyah. Kemudian sebab – sebab yang lain yang mendukung
berdirinya Daulah Bani Abbasiyah adalah (1) Dasar kesatuan untuk menghadapi
perpecahan yang timbul dari Daulah sebelumnya.(2) Dasar universalitas, tidak
berdasarkan kesukuan, (3) Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak di
angkat atas keningratan (4) Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi masyarakat
Islam, (5) Pemerintahan bersifat muslim moderat, ras arab hanyalah di pandang
sebagai salah satu bagian saja di antara ras ras yang lain .(6) Hak memerintah
sebagai ahli waris Nabi masih ada.[34]
8.
Komparasi
Masa Sebelum Bani Abbasiyah dan Sesudahnya
Penggantian
Umaiyah oleh Abbasiyah di dalam kepemimpinan masyarakat Islam lebih dari
sekedar penggantian dinasti.Ia merupakan revolusi dalam sejarah islam, suatu
titik balik, yang pentingnya dengan revolusi Prancis, dan revolusi Rusia dalam
sejarah barat.[35]
Adapun
perbedaan-perbedaan antara Daulah Abbasiyah, dan Daulah Umaiyah yaitu:
a. Dengan
berpindahnya Ibu Kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi
jauh dari pengaruh arab, sedangkan dinasti Bani Umaiyah sangat berorientasi
kepada Arab. Dan pengaruh kebudayaan Bani Abbasiyah pada periode pertama dan
ketiga adalah Persia dan kedua yaitu pengaruh bangsa Turki
b. Dalam
penyelenggaraan Negara, pada masa Bani Abbasiyah ada jabatan Wazir yang
membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada pada masa Bani Umaiyah
c. Ketentaraan
professional terbentuk pada masa Bani Abbas, sedangkan sebelumya, belum ada tentara
khusus yang professional
d. Kerajaan
Abbasiyah berdasarkan kekuasaan yang diperoleh dengan kesatuan yang dapat
menghadapi perpecahan yang timbul, sedangkan kerajaan Bani Umaiyah
didirikan atas dasar satu kekuatan yang mengambil alih kekuasaan dengan
menggunakan politik dasar satu kekuatan yang mengambil alih kekuasaan dengan
menggunakan politik yang telah memecah belah kesatuan ummat
e. Abbasiyah
berdasarkan kekholifahan pada keluarga Nabi, sedangkan Umaiyah bukan.[36]
C. Penutup
Kesimpulan
Dari berbagai
data di atas, dapat kita simpulkan bahwa
1. Dinasti
Abbasiyah adalah sebuah Dinasti yang didirikan dengan bantuan sebuah gerakan
sosial yang bernama revolusi.
2. Revolusi
Abbasiyah dilakukan dengan pnuh perhitungan dan persiapan yang matang.
3. Aliansi
utama revolusi Abbasiyah adalah kaum Syiah, Khow`rij, dan kaum mawali.
4. Propaganda
terbesar dan paling berpengaruh dalam revolusi Abbasiyah adalah (1)
kepemimpinan di atas sunnah nabi dan syariatillah, (2) kepemimpinan selayaknya
dipegang keluarga nabi saw, (3) KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) pejabat
dinasti Muawiyah, dan (4) keadilan sosial, persamaan hak dan kewajiban serta
kerukunan beragama.
Daftar Pustaka
Hitti, K, History
of The Arabs, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010.
al-
Maududi, Abu Ala, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, cet. IV, 1992.
Ali, Amir, Short History of The
Saracend, NewDelhi: Kitab Bhayan, 1981.
Amin, Ahmad, 1972, Dhuha al-Islam, Kairo : Maktabah
al-Nahdah, Jilid I, 1972.
Darsono, Tonggak
Sejarah Kebudayaan Islam, Solo:Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.
Hitti,
K, History of The Arabs, terj. R.
Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi, 2005.
Lombard,
Maurice, The Golden Age of Islam , New York : American Elsevier, 1975.
Mahmudunnasir,
1994, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rosda Karya, hlm
246
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mufrodi,
Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,
Jakarta: Logos, 1997.
Saunders,
JJ, a History of Medieval Islam, London: Routledge and Kegan Paul, 1980.
Setiawan,
Ebta \, KBBI Freeware offline versi 1,1, 2010.
Syalabi, A, , Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993.
Thohir, Ajib,
Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Tim
Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: PT. Ikhtiyar
Baru Van Hoeve, 1994.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008.
http://dandyprasetya.blogspot.com/2012/04/pengertian-revolusi.html
[1]
Ebta Setiawan, 2010, KBBI Freeware offline versi 1,1.
[2]
http://dandyprasetya.blogspot.com/2012/04/pengertian-revolusi.html
[3] M. Atho Mudzhar, 1998, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan
Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 86-89
[4] A. Syalabi, 1993, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta:
Pustaka al-Husna, hlm. 10.
[5] Ibid.
[6] JJ.
Saunders,1980, a History of Medieval
Islam, London: Routledge and Kegan Paul, hlm. 101.
[7] A.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, OP. Cit, hlm. 14.
[8]
Joesoef Souyb, 1988, Sejarah Daulah
Abbasiyah I Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 17.
[9] Tim
Penyusun Ensiklopedi Islam, 1994, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: PT.
Ikhtiyar Baru Van Hoeve, hlm. 45.
[10] Syed Amir Ali, 1981, Short History of The Saracend,
NewDelhi: Kitab Bhayan, hlm. 208.
[11] K.
Hitti, 2005, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi
Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi, hlm.
335.
[12] Abu
Ala al-Mawdudi, 1992, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, cet. IV,
hlm. 248-249.
[13] Ali
Mufrodi, 1997,
Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, hlm. 88.
[14]
Badri Yatim, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:Raja Grafindo
Persada, hlm. 59
[16]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Op. Cit, hlm. 55-56
[17]
Maurice Lombard, 1975, The Golden Age of Islam , New York : American
Elsevier, hlm. 182.
[18] K.
Hitti, History of The Arabs, Op. Cit,
hlm. 433.
[19] Ibid.
[20]
Maurice Lombard, The Golden Age of Islam Op. Cit, hlm. 195-203
[21] K.
Hitti, History of The Arabs, Op. Cit, hlm.
320.
[22] Ibid, hlm 415-416
[23] Ibid.
[24] Ibid.
hlm 365.
[25]
Sebuah sofa yang mengisi tiga sisi ruangan.
[26]
Phillip K.Hitti, 2010, History of The Arabs, Jakarta : PT. Serambi Ilmu
Semesta, hlm 420
[27] Ibid,
hlm 421
[28] Ibid,
hlm 421-422.
[29] Ibid,
hlm 420.
[30] Ibid,
hlm 424-425.
[31] Ibid,
hlm 423.
[33] Ajib Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 44-45.
[34] Ajib Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam,Op.
Cit, hlm 44-45.
[35]
Syed Mahmudunnasir, 1994, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja
Rosda Karya, hlm 246
[36]
Ahmad Amin, 1972, Dhuha al-Islam, Kairo
: Maktabah al-Nahdah, Jilid I, hlm. 290
No comments:
Post a Comment