Tuesday, February 5, 2013

REVOLUSI ABBASIYAH (TEORI, IMPLEMENTASI, dan DAMPAK PERUBAHAN SOSIAL)


A.    Pendahuluan
Keadilan sosial, persamaan derajat, pemerataan ekonomi, dan kehidupa saling menghargai adalah sebuah idiologi universal dari institusi besar bernama  negara yang harus ditegakkan sepanjang masa tanpa terikat ruang dan waktu.
Dalam sejarah Islam, Dinasti Abbasiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan besar Islam, Umawi, Abbasiyah, dan Umaiyah, yang telah berhasil memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam peradaban ummat manusia, khususnya Islam dan ummat muslim.
Dinasti tersebut, Abbasiyah jika ditinjau dari teori terbentuknya sebuah Dnegara, maka dengan yakin dapat kita katakana bahwa dinasti tersebut berdiri atas dasar teori “kekuatan senjata”. Sebuah teori yang berasaskan benturan dua kekuatan mssa untuk saling menjatuhkan dan menguasai.
Berdasarkan teori tersebut, maka tidak heran jika dikatakan bahwa revolusi berdarah dengan korban darah dan kehormatan dinasti Muawiyah adalah tonggak awal dari dinasti Abbasiyah.Akhirnya, sebagai pembahasan dari isi paper ini, akan dibahas beberapa item yaitu (1) pengertian, (2) teori revolusi Abbasiyah, (3) kronologi revormasi Abbasiyah, (4) langkah sistematis dan propaganda revolusi Abbasiyah, (5) dampak revolusi Abbasiyah, (6) tokoh penting dalam revolusi Abbasiyah, (7) aliansi Bani Abbas dalam revolusi serta alasan mereka, (8) komparasi masa sebelum Bani Abbasiyah dan sesudahnya.




B.     Pembahasan
1.         Pengertian
Kamus Bahasa Indonesia mengartikan term revormasi dengan “Perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yg dilakukan dengan kekerasan, seperti dengan perlawanan bersenjata.”[1]
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan.[2]
2.         Teori revolusi Abbasiyah
Berkaitan dengan sebab kebangkitan Dinasti Abbasiyah ini, para ahli sejarah mengemukakan beberapa teori yang masing-masing menitikberatkan kepada salah satu aspek sebab utama dari kebangkitan Dinasti Abbasiyah tersebut. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat teori yang dikemukakan yaitu :
a.         Teori faksionalisme rasial atau teori kelompok Kebangsaan. Berdasarkan teori ini Dinasti Umaiyah pada dasarnya adalahsebuah monarki  Arab yang mengutamakan kepentingan-kepentingan orang Arab dan melalaikan kepentingan-kepentingan orang-orang non-Arab. Implikasi tindakan diskriminatif pihak penguasa tersebut menyebabkan orang-orang Mawali (orang0orang yang dimerdekakan) merasa kecewa dan menggalang kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Umaiyah yang berpusat di Damaskus. Berdasarkan teori ini pula, jatuhnya Dinasti Umayyah merupakan kejatuhan kerajaan dan kepentingan Arab, sedangkan  bangkitnya Dinasti Abbasiyah adalah merupakan kebangkitan bagi orang-orang Persia.
b.        Teori faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan berdasarkan paham keagamaan.  Berdasarkan perspektif teori ini,  kaum Syiah selamanya adalah lawan dari Dinasti Umaiyah yang dianggap telah merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali adalah orang-orang yang paling berhak. Keberhasilan Dinasti Abbasiyah dalam menggulingkan Dinasti Umaiyah, dari perspektif teori ini adalah karena koalisi mereka dengan kelompok Syiah.
c.         Teori faksionalisme kesukuan. Menurut teori ini bahwa persaingan antara suku Arab a-la zaman Jahiliyyah sebenarnya terus berlangsung dan hidup kembali pada masa Dinasti Umaiyah. Dua suku yang selalu bertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu suku Mudhariyah bagi orang-orang Arab yang dating dari sebelah utara dan suku Yamaniyah bagi orang-orang Arab yang berasal dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Dinasti Umayyah didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika salah satu suku mendukung salah satu khalifah, maka suku yang lain akan memposisikan diri mereka sebagai oposisi. Maka potensi pertentangan antar dua suku ini terus membesar dan berkesinambungan serta menyebar ke daerah-daerah wilayah kekuasaan Dinasti Ummayah lainnya. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Dinasti Abbasiyah sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat hasil dari manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut.
d.        Teori yang menekankan kepada ketidakadilan ekonomi dan disparitas regional. Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari Syiria mendapat perlakuan khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu dari Dinasti Umayyah seperti memperoleh keringanan pajak dan hak-hak pengelolaan tanah di wilayah-wilayah yang baru ditaklukan. Sedangkan orang-orang Arab yang berasal dari sebelah Timur, khususnya Khurasan tidak memperoleh perlakuan atau hak-hak khusus tersebut. Mereka harus membayar pajak cukup tinggi. Dengan demikian, timbul kekecewaan di kalangan kelompok Arab ini pun akhirnya terakumulasi dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya menjadi kekuatan atau potensi yang potensial dalam menumbangkan Dinasti Umayyah dengan alas an diskriminasi social.[3]
3.         Kronologi revormasi Abbasiyah
Kesempatan yang paling baik yang diperoleh oleh bani Abbasiyah dalam melakukan propaganda adalah pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz. Pada masa ini, kebenaran dan keadilan lebih tinggi dari segala-galanya. Tidak ada keistimewaan keturunan Umayyah dari umat Islam lainnya. Rakyat bebas menyatakan pendapat mereka. Sungguhpun tindakan Umar ini benar secara normatif, akan tetapi secara politis tindakannya ini telah melemahkan pemerintahannya sendiri.
Pada masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik, gerakan oposisi yang dilakukan oleh bani Abbasiyah telah memperoleh pengikut yang banyak. Muhammad ibn Ali,[4]sebagai promotor dari gerakan tersebut setelah memilih tiga daerah sebagai pusat gerakan yaitu Hamimah, Kufah dan Khurasan. Daerah Hamimah adalah posko utama yang mengontrol seluruh kegiatan. Daerah Kufah adalah sebagai tempat bertemunya kader-kader utusan dari Hamimah dan kader-kader propaganda dari Khurasan. Sedangkan Khurasan sendiri adalah sebagai tempat untuk melakukan kegiatan propaganda.[5]
Langkah pertama yang memperoleh sukses besar dalam propaganda tersebut dipelopori oleh Abu Muslim al-Khurasani.[6]  Bentuk-bentuk propaganda yang dilakukannya adalah menyebarkan informasi kepada masyarakat dengan mengatakan bahwa golongan Abbasiyah termasuk golongan ahlul bait. Disamping itu dia juga menyalakan api kebencian dan kemarahan terhadap Umayyah karena selalu melakukan intimidasi terhadap golongan ahlul bait. Kemudian terhadap orang-orang mslim non arab (mawali) isu yang disebarkannya adalah persamaan derajat, sehingga dari hari-kehari api kebencian umat Islam semakim menyala dan memanas.[7]
Pada tahun 125 H Muhammad ibn Ali wafat. Sebelum wafatnya ia telah meninggalkan wasiat kepada anaknya Ibrahim ibn Muhammad untuk melanjutkan perjuangannya. Namun demikian, ternyata Ibrahim tidak diberi waktu yang cukup lama untuk memimpin revolusi ini, karena tidak lama kemudian ia juga meninggal dunia, yaitu pada tahun 129 H. Setelah itu pimpinan puncak dari gerakan revolusi tersebut dipegang oleh saudaranya Abdullah ibn Muhammad (Abu al-Abbas) ditangan dialah gerakan revolusi ini memperlihatkan taringnya.[8]
Sebelum wafatnya, Ibrahim sudah memerintahkan kepada Abu Muslim untuk menggerakan revolusi fisik secara terang-terangan. Namun demikian, ia tertangkap dan dipenjarakan.
Selanjutnya, dengan keahliannya Abu Muslim mampu menghimpun kekuatan untuk mengempur Umaiyah melalui revolusi fisik. Ia berhasil memanfaatkan situasi permusuhan antara orang-orang Yaman dengan orang-orang Mudar di wilayah Khurasan. Yang menjadi gubernur di Khurasan waktu itu adalah Nasr ibn Sayar, seorang keturunan Mudar. Dengan taktik devide et impera, gubernur Nasr dapat dikalahkan. Setelah itu ia juga berhasil menguasai kota Maru dan Naisabur. Sehingga seluruh kekuatan Umaiyah di selatan dapat dikuasainya.[9]  Bersamaan dengan itu, Abdullah ibn Muhammad juga telah bergerak untuk menggempur ibu kota Umaiyah, Damaskus. Sehingga Marwan ibn Muhammad Khalifah Umaiyah yang terakhir tidak sasnggup menghadapi serbuannya. Ia melarikan diri dari Damaskus ke Mesir namun akhirnya dapat ditangkap oleh pasukan Abdullah ibn Muhammad.
Dua pasukan tersebut yaitu pasukan Abu Muslim al-Khurasani dan pasukan Abdullah ibn Muhammad bertemu di Kufah. Disana telah menunggu Abu Salamah al-Khalal, ia mengundang seluruh penduduk Kufah untuk berkumpul di mesjid untuk memilih seorang khalifah. Dalam pidatonya ia mengatakan: “Abu Muslim telah berhasil membela agama Islam dan menghancurkan Umayyah yang penuh dosa. Oleh karena itu kita harus memilih seorang  imam atau khalifah yang akan memimpin umat Islam. Tidak ada yang lebih utama dalam hal kesalehan, kemampuan dalam segala kebajikan yang diperlukan untuk kedudukan tersebut selain dari Abdullah ibn Muhammad.”
Dialah yang diusulkan kepada umat Islam supaya dipilih menjadi khalifah. Mendengar penjelasan tersebut seluruh orang yang hadir di mesjid Kufah pada waktu itu mengatakan setuju dengan mengumandangkan takbir. Sejak itu resmilah Abdullah ibn Muhammad (Abu Abbas as-Saffah) menjadi khalifah.[10]
Peristiwa ini terjadi pada hari kamis tanggal 30 Oktober 749 M,[11] dan merupakan hal yang sangat penting sekali artinya karena seseorang tidak akan sampai ketampuk pemerintahan sebelum dilakukan pembaiatan terhadapnya. Pembaiatan tersebut adalah semacam penobatan yang dilakukan oleh rakyat, dan merupakan satu-satunya pegangan yang pasti bagi seseorang untuk menaiki tahta kekhalifahannya.
Abdullah ibn Muhammad dalam pidato pertamanya setelah dibaiat, mengatakan : “Sesungguhnya aku berharap kalian tidak akan lagi didatangi oleh kezaliman pada saat kebaikan telah datang kepada kalian, tidak pula kehancuran pada saat perbaikan telah kalian dapatkan.” Setelah itu berdiri pula pamannya, Daud ibn Ali dan menegaskan kepada orang banyak : “Demi Allah gerakan yang telah kami lakukan sama sekali tujuannya bukanlah untuk menumpuk harta, membangun istana atau yang lainnya, akan tetapi sesungguhnya kami telah bertindak demi memprotes perampasan hak kami, dan demi membela putra-putra paman kami (Ali ibn Abi Thalib), juga dikarenakan buruknya perlakuan Umaiyah terhadap kalian, baik penghinaan mereka terhadap kalian maupun monopoli mereka terhadap harta yang menjadi hak kalian. Maka dengan ini kami berjanji kepada kalian demi kesetiaan kami kepada Allah dan Rasulnya, dan demi kehormatan Abbas untuk memimpin kalian semua sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah, melaksanakan kitab Allah, dan berjalan baik dikalangan umum maupun khusus, dengan teladan Rasulullah saw.”[12]
4.         Langkah sistematis dan propaganda revolusi Abbasiyah
Muhammad Ibn Ali al-Abbas mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang sistematis, diantaranya yaitu;
 Pertama, membuat propaganda agama untuk menghasut rakyat menentang kekuasaan Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah. Kedua, membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah.
 Ketiga, ide tentang persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu propaganda itu ada isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana hal tersebut tidak pernah terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni:
 Pertama dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya adalah Muhammad Ibn Ali.
Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.[13]
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene merupakan basis kelompok Mawali.
5.         Dampak revolusi Abbasiyah
a.    Bidang politik
Pada mulanya, banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Kemajuan politik dan kebudayaan yang di capai oleh pemerintahan islam pada masa ini tidak ada tandingannya di kala itu. Kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajauan peradapan dan kebudayaan sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilanagan. Gerakan-gerakan ini seperti sisa-sisa Bani Umaiyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-khawarij di Afrika utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan[14].
b.   Ilmu pengetahuan
Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Ar-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan, dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India
Pada masanya hidup pula para filusuf, pujangga, ahli baca Al-Quran dan para ulama di bidang agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai orang yang taat beragama, menunaikan ibadah haji setiap tahun yang diikuti keluarga dan pejabat-pejabatnya serta para ulama dan berderma kepada faqir miskin.
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama seperti ilmu Alquran, qira’at, hadits, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqih tumbuh dan berkembang pada masa dinasti Abbasiyah. Disamping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan jimia.[15]
Kecanggihan teknologi masa ini juga terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur Masjid Agung Cordoba, Blue Mosque di Konstantinopel atau menara spiral di Samara yang dibangun oleh khalifah Al-Mutawakkil, Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yang dibangun di Seville, Andalusia pada tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yang dibangun di atas bukit yang menghadap ke kota Granada.
Kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1)        Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting di bidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
2)         Gerakan Terjemah Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah.[16]

c.    Bidang ekonomi
Perkembangan ekonomi Dinasti Abbasiyah bisa kita lihat dari berkembang pesatnya roda perekonomian, khusunya dalam aspek perdagangan. Komoditi yang menjadi primadona pada masa itu adalah bahan pakaian atau tekstil yang menjadi konsumsi pasar Asia dan Eropa. Sehingga industri di bidang penenunan seperti kain, bahan-bahan sandang lainnya dan karpet berkembang pesat. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam industri ini adalah kapas, sutra dan wol.[17] Industri lain yang juga berkembang pesat adalah pecah belah, keramik dan parfum. Disamping itu berkembang juga industri kertas yang di bawa ke Samarkand oleh para tawanan perang Cina tahun 751 M. di Samarkand inilah produksi dan ekspor kertas dimulai. Hal ini rupanya mendorong pemerintah pada masa Harun al-Rasyid lewat wazirnya Yahya ibn Barmak mendirikan pabrik kertas pertama di Baghdad sekitar tahun 800 M.[18] Adalah satu bukti manuskrip Arab tertua yang ditulis diatas kertas yang ditemukan adalah manuskrip tentang hadis yang berjudul Gharib al-Hadis karya Abu Ubayd al-Qasim ibn Sallam (w. 837 M) yang dicetak bulan Dzulqa’dah 252 H (13 November – 12 Desember 866), disimpan di perpustakaan Leiden.[19]
Komoditas lain yang berorientasi komersial selain, logam, kertas, tekstil, pecah belah, hasil laut dan obat-obatan adalah budak-budak. Mereka setelah dibeli oleh tuannya dipekerjakan seperti di ladang pertanian, perkebunan dan pabrik. Namun bagi pemerintah, budak-budak direkrut sebagai anggota militer demi pertahanan negara.[20] Sebagai alat tukar, para pelaku pasar menggunakan mata uang dinar (emas) dan dirham (perak). Penggunaan mata uang ini secara ekstensif mendorong  tumbuhnya perbankan. Hal ini disebabkan para pelaku ekonomi yang melakukan perjalanan jauh, sangat beresiko jika membawa kepingan-kepingan tunai uang tadi. Sehingga bagi para pedagang yang melakukan perjalanan digunakanlah sistem yang dalam perbankan modern disebut Cek, yang waktu itu dinamakan Shakk. Dengan adanya sistem ini pembiayaan menjadi fleksibel. Artinya uang bisa didepositokan di satu bank di tempat tertentu, kemudian bisa ditarik atau dicairkan lewat cek di bank yang lain. Dan cek hanya bisa dikeluarkn oleh pejabat yang berwenang yaitu bank. Lebih jauh bank pada masa ini kejayaan Islam juga sudah memberikan kredit bagi usaha-usaha perdagangan dan industri. Selain itu bank juga sudah menjalankan fungsi sebagai Currency Exchange (penukaran mata uang).[21]
d.   Bidang sosial-kemasyarakan
Masyarakat pada masa Daulah Abbasiyah ini memiliki watak dan karakter yang unik dan berbeda dari masyarakat pada masa daulah Umaiyah.  Kehitrogenan tersebut terjadi karena wilayah operasional Daulah Abbasiyah merupakan wilayah bekas reruntuhan kerajaan Parsia, maka kebudayaan bangsa Persia merasuk kedalam kehidupan sosial masyarakat Daulah Abbasiyah.
Kaum wanita misalnya, cenderung menikmati tingkat kebebasan yang sama dengan kaum wanita pada masa daulah Umaiyah, tidak jarang dari mereka yang mengukir prestasi yang cemerlang dan mempunyai pengaruh dipemerintahan, misalkan Khayzuran, istri al-Mahdi, Zubaydah istri al-Rasyid dan ibu al-Amin dan Buran, istri al-Makmun, tidak jarang pula yang mampu bersaing dengan laki-laki di bidang sastra, musik dan lain sebagainya seperti halnya Ubaydah al-Thunburiyah yang kondang sebagai biduanita pada masa al-Makmun.[22]
Dari segi berpakaian, kaum Hawa pada masa itu sudah memiliki trend mode yang diikuti oleh para wanita lainnya, trend mode itu diperkenalkan oleh ‘Ulayyah saudara Tiri Al-Rasyid dengan rambut berbentuk kubah yang pada bagian bawahnya diikat gelungan yang bisa dihiasi dengan permata, selain itu juga perempuan memakai gelang jaki dan gelang tangan.
Kaum adam pun memiliki busana dengan corak yang beragam dengan model yang terbatas, mereka menggunakan tutup kepala seperti topi hitam yang tinggi dan mengerucut, qolansuwah yang terbuat dari bahan sintetis atau bulu binatang yang diperkenalkan pertama kalinya oleh kholifah al-Mansyur. Celana panjang yang lebar (sarawil) dari Parsia. Kemeja, rompi dan jaket (qufithan), dengan ditambah jubah luar (‘aba’ atau jubbah. Ditambah dengan sorban dan mantel hitam (thaylasan) sebagaimana yang dipakai oleh para teolog atas instruksi Abu Yusuf seorang hakim terkenal pada masa khalifah al-Rasyid.[23] Bahkan kholifah al-Mansur adalah orang pertama yang memakai topi khas Parsia (qalanis) yang kemudian diikuti oleh rakyatnya.[24]
Perabotan rumah tangga yang paling popular pada masa itu adalah diwan.[25] Tempat duduk yang ditinggikan dalam bentuk kursi, bantal yang diletakkan diatas kasur kecil segi empat (mathrah) di lantai untuk manjadi tempat pembaringan yang nyaman. Karpet buatan tangan dipakai untuk menutupi lantai. Makanan disajikan dalam nampan lebar dari perunggu yang diletakkan diatas meja rendah didepan diwan atau bantal. Dirumah-rumah orang berada, nampan-nampan itu terbuat dari perak, dan meja kayu berlapis eboni, kulit kerang mutiara, atau tempurung kura-kura. Orang-orang yang pernah memelihara kalajengking, berang-berang, kumbang sebagai bagian dari hidup mewah, yang mengganggap nasi adalah makanan beracun dan menggunakan roti tipis untuk alat tulis, pada saat itu telah beralih dengan menu-menu dari negeri berperadapan tinggi termasuk menu makanan dari Parsia seperti daging rebus beraroma, manisan, faludzah. Minuman non al-kohol yang berupa syurbah menjadi minuman sehari-hari.
Minuman beralkohol sering menjadi konsumsi secara bersama-sama dan atau pula secara sendiri-sendiri. Bahkan para khalifah, wazir, putra mahkota dan para hakim tidak lagi memegang teguh ketentuan agama, khususnya ketentuan tentang keharaman arak.[26]
Pesta persahabatan yang menyajikan arak dan nyanyian (majlis al-Syirab) menjadi hal yang lazim dijumpai, tuan rumah dan para tamu memercikkan parfum atau air mawar pada janggut mereka serta mengunakan busana yang berwarna terang, ruangan dibuat harum dengan kayu cendana yang dibakar, para biduanita yang berpartisipasi dalam acara tersebut mayoritas adalah para budak tuna susila.[27]
Salah satu gaya hidup yang dilakukan oleh masyarakat pada masa daulah Abbasiyah adalah berendam di tempat pemandian umum, tempat pemandian umum merupakan tempat bersenang-senang dan merupakan bagian dari kemewahan. Pemandian umum pada masa itu terdiri dari kamar-kamar dengan lantai bermotif mozaik dan bagian dalam dinding terbuat dari marmer yang mengelilingi ruang utama yang luas, ruang paling dalam yang dinauangi kubah dengan atab bundar yang trasnparan, sehingga memungkinkan cahaya masuk kedalam ruangan, dipanaskan dengan uap yang naik dari pusat semburan air di tengah, ruang bagian luar di gunakan untuk duduk dan menikmati makanan dan minuman.[28]
Para sarjana, musisi, penyanyi, penyair, sering berkumpul dalam suatu tempat, budaya ini berasal dari Parsia yang kemudian telah melembaga pada masa awal daulah Abbasiyah dan menjadi profesi pada masa al-Rasyid.[29]
Pada masa daulah Abbasiyah ini, berburu masih diminati oleh para Khalifah serta para putra mahkota sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah pada masa daulah Amawiyah. Dalam kondisi tertentu, pesta perburuan diadakan dengan membentuk lingkaran yang mengelilingi tempat binatang buruan itu dikumpulkan.[30]
Hal lain yang dilakukan untuk mengisi waktu luang adalah dengan melakukan permainan dalam ruangan, misalkan catur, dam-daman yang berasal dari India, dan juga permainan di luar ruangan. Adapun permainan luar ruangan yang popular masa-masa itu adalah polo (jukan berasal dari bahas Parsia Chawgan), kriket (shawlajan), lempar lembing.[31]
6.         Beberapa tokoh Penting dalam revolusi Abbasiyah
Beberapa tokoh yang berperan penting dalam proses berdirinya Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.
a.    Muhammad bin Ali
Muhammad bin Ali merupakan peletak dasar-dasar pendirian kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia memulai gerakan yang disebut dakwah , yaitu gerakan propaganda kepada umat Islam bahwa yang lebih berhak memegang jabatan kekhalifahan adalah kelompok Bani Abbasiyah. Gerakan ini berhasil menjaring pengikut-pengikut yang setia, terutama di wilayah khurasan.
b.     Abu Abbas as-Saffah bin Muhammad  
Ia meneruskan usaha ayahnya dalam gerakan dakwah. Setelah gerakan berhasil menumbang Khalifah Marwan (khalifah terakhir Bani Umayyah), ia dikukuhkan menjadi khalifah dan dianggap sebagai pendiri kekhalifahan Bani Abbasiyah. Akan tetapi, ia hanya memerintah dalam waktu yang relative pendek, yaitu empat tahun (750-754M).
c.     Abu Muslim al-Khurasan
Ia merupakan tokoh kunci dalam gerakan dakwah Bani Abbasiyah. Kelihaiannya dalam berpropaganda berhasil menarik banyak pengikut di daerah asalnya,Khurasan. Setelah kelompok Bani Abbasiyah cukup kuat, mereka mulai menyerang kekuatan Bani Umaiyah di daerah tersebut dengan Abu Muslim al-khurasani sebagai panglimanya. Hal itu berakhir dengan tumbangnya Khalifah Marwan dari Bani Umaiyah.[32]
7.         Aliansi Bani Abbas dalam revolusi serta alasan mereka
Imperium kedua Islam ini muncul setelah terjadi revolusi sosial yang di peroleh oleh para keturunan Abbas dan di dukung oleh kelompok oposisi yang membrontak kepada kekuaasan Bani Umayyah seperti (1) Syiah, (2) Khawarij, (3) Qodariyah, (4) Mawali (non –Arab) dan (5) suku Arab bagian Selatan.[33]
Ada beberapa alasan mengapa kelompok oposisi pada masa Daulah Umayyah membrontak, yaitu:
pertama, konfrontrasi politik pasca meninggalnya Ali Ibn Abi Thalib memuncak ketika pembantaian Husein Ibn Ali beserta pengikut- pengikutnya pada peristiwa karbala oleh Yazid Ibn Muawiyyah membuat kelompok Syiah wajib menuntut balas ( qishas ) terhadap pembunuh Husen beserta pengikut- pengikutnya tersebut, selain itu kedekatan historis dan pertalian darah antara keluarga Abbas dengan keluarga Ali. Hatta, kedua keturunan ini sama – sama mengklaim bahwa jabatan khalifah wajib berada di tangan mereka.
 kedua, kelompok Khawarij merasa Daulah Umaiyah memonopoli politik sehingga tertutup kesempatan bagi kaum Khawarij.
 Ketiga, ketidakpuasan kaum muslimin terutama golongan Qodariyyah dan Arab bagian Selatan terhadap Daulah Umaiyah yang korup, memihak kelompok tertentu dan suka berpoya- poya.
Keempat, kelompok Mawali yaitu orang- orang non Arab yang baru masuk Islam, kebanyakan berasal dari Persia yang di perlakukan sebagai warga kelas dua dan di bebani pajak yang sangat tinggi. Selain itu mereka selalu berpegang teguh kepada teori hak raja yang suci dalam arti bahwa kepemimpinan itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Oleh sebab itu mereka mendukung gerakan yang dilakukan oleh Bani Abbas, karena mereka termasuk keluarga dari Nabi Muhammad.
Terakhir, suku Arab Selatan, orang- orang Qois Yaman, sangat membenci Bani Umaiyah karena tersingkir dari lingkaran kekuasaan Bani Umaiyah yang lebih memilih pesaing mereka, suku Arab Utara, Qais dan Mudar, orang- orang Yaman inilah yang menjadi salah satu tulang punggung kektatan Abu Muslim, Jenderal Persia yang menjadi salah satu inti kekuatan gerakan Revolusi Abbasiyah. Kemudian sebab – sebab yang lain yang mendukung berdirinya Daulah Bani Abbasiyah adalah (1) Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari Daulah sebelumnya.(2) Dasar universalitas, tidak berdasarkan kesukuan, (3) Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak di angkat atas keningratan (4) Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi masyarakat Islam, (5) Pemerintahan bersifat muslim moderat, ras arab hanyalah di pandang sebagai salah satu bagian saja di antara ras ras yang lain .(6) Hak memerintah sebagai ahli waris Nabi masih ada.[34]
8.         Komparasi Masa Sebelum Bani Abbasiyah dan Sesudahnya
Penggantian Umaiyah oleh Abbasiyah di dalam kepemimpinan masyarakat Islam lebih dari sekedar penggantian dinasti.Ia merupakan revolusi dalam sejarah islam, suatu titik balik, yang pentingnya dengan revolusi Prancis, dan revolusi Rusia dalam sejarah barat.[35]
Adapun perbedaan-perbedaan antara Daulah Abbasiyah, dan Daulah Umaiyah yaitu:
a.       Dengan berpindahnya Ibu Kota  ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh dari pengaruh arab, sedangkan dinasti Bani Umaiyah sangat berorientasi kepada Arab. Dan pengaruh kebudayaan Bani Abbasiyah pada periode pertama dan ketiga adalah Persia dan kedua yaitu pengaruh bangsa Turki
b.      Dalam penyelenggaraan Negara, pada masa Bani Abbasiyah ada jabatan Wazir yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada pada masa Bani Umaiyah
c.       Ketentaraan professional terbentuk pada masa Bani Abbas, sedangkan sebelumya, belum ada tentara khusus yang professional
d.      Kerajaan Abbasiyah berdasarkan kekuasaan yang diperoleh dengan kesatuan yang dapat menghadapi perpecahan yang timbul, sedangkan kerajaan  Bani Umaiyah didirikan atas dasar satu kekuatan yang mengambil alih kekuasaan dengan menggunakan politik dasar satu kekuatan yang mengambil alih kekuasaan dengan menggunakan politik yang telah memecah belah kesatuan ummat
e.       Abbasiyah berdasarkan kekholifahan pada keluarga Nabi, sedangkan Umaiyah bukan.[36]
C. Penutup
Kesimpulan
       Dari berbagai data di atas, dapat kita simpulkan bahwa
1.    Dinasti Abbasiyah adalah sebuah Dinasti yang didirikan dengan bantuan sebuah gerakan sosial yang bernama revolusi.
2.    Revolusi Abbasiyah dilakukan dengan pnuh perhitungan dan persiapan yang matang.
3.    Aliansi utama revolusi Abbasiyah adalah kaum Syiah, Khow`rij, dan kaum mawali.
4.    Propaganda terbesar dan paling berpengaruh dalam revolusi Abbasiyah adalah (1) kepemimpinan di atas sunnah nabi dan syariatillah, (2) kepemimpinan selayaknya dipegang keluarga nabi saw, (3) KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) pejabat dinasti Muawiyah, dan (4) keadilan sosial, persamaan hak dan kewajiban serta kerukunan beragama.

Daftar Pustaka
Hitti, K, History of The Arabs, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010.
al- Maududi, Abu Ala, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, cet. IV, 1992.
Ali, Amir, Short History of The Saracend, NewDelhi: Kitab Bhayan, 1981.
Amin, Ahmad, 1972,  Dhuha al-Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdah, Jilid I, 1972.
Darsono, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.
Hitti, K,  History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi, 2005.
Lombard, Maurice, The Golden Age of Islam , New York : American Elsevier, 1975.
Mahmudunnasir, 1994, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rosda Karya, hlm 246
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mufrodi, Ali,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Saunders, JJ, a History of Medieval Islam, London: Routledge and Kegan Paul, 1980.
Setiawan, Ebta \, KBBI Freeware offline versi 1,1, 2010.
Syalabi, A, , Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna,  1993.
Thohir, Ajib, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1994.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008.
http://dandyprasetya.blogspot.com/2012/04/pengertian-revolusi.html


[1] Ebta Setiawan, 2010, KBBI Freeware offline versi 1,1.
[2] http://dandyprasetya.blogspot.com/2012/04/pengertian-revolusi.html
[3] M. Atho Mudzhar, 1998, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 86-89
[4] A. Syalabi, 1993, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna,  hlm. 10.
[5] Ibid.
[6] JJ. Saunders,1980,  a History of Medieval Islam, London: Routledge and Kegan Paul, hlm. 101.
[7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, OP. Cit,  hlm. 14.
[8] Joesoef  Souyb, 1988, Sejarah Daulah Abbasiyah I Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 17.
[9] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, 1994, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, hlm. 45.
[10] Syed Amir Ali, 1981, Short History of The Saracend, NewDelhi: Kitab Bhayan, hlm. 208.
[11] K. Hitti, 2005, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi, hlm.  335.
[12] Abu Ala al-Mawdudi, 1992, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, cet. IV, hlm. 248-249.
[13] Ali Mufrodi, 1997, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, hlm. 88.
[14] Badri Yatim, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, hlm. 59
[15] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Op. Cit,  hlm. 103
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Op. Cit, hlm. 55-56
[17] Maurice Lombard, 1975, The Golden Age of Islam , New York : American Elsevier,  hlm. 182.
[18] K. Hitti, History of The Arabs, Op. Cit,  hlm.  433.
[19] Ibid.
[20] Maurice Lombard, The Golden Age of Islam Op. Cit,  hlm. 195-203
[21] K. Hitti, History of The Arabs, Op. Cit,  hlm.  320.
[22] Ibid,  hlm 415-416
[23] Ibid.
[24] Ibid. hlm 365.
[25] Sebuah sofa yang mengisi tiga sisi ruangan.
[26] Phillip K.Hitti, 2010, History of The Arabs, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, hlm 420
[27] Ibid, hlm 421
[28] Ibid, hlm 421-422.
[29] Ibid, hlm 420.
[30] Ibid, hlm 424-425.
[31] Ibid, hlm 423.
[32] Darsono, 2003, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, hlm.30
[33] Ajib Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 44-45.

[34] Ajib Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam,Op. Cit, hlm 44-45.
[35] Syed Mahmudunnasir, 1994, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rosda Karya, hlm 246
[36] Ahmad Amin, 1972,  Dhuha al-Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdah, Jilid I, hlm. 290

No comments:

Post a Comment