Historical Approach to the ‘Umar Progressive
Thought
Oleh: Sulhan
A. Latar belakang Masalah
Salah satu ciri utama pemikiran Khalifah yang kedua, Umar
Ibn Khattab adalah bahwa ia menganggap dirinya berhak atas otoritas yang luas
sebagai penguasa. Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya sendiri, bukan
hanya pada urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi juga dalam
masalah perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.[1]
Pemikiran progressif Umar yang sangat popular adalah
kebijakan yang diambilnya yang terkesan sangat berani pada saat memutuskan
masalah para pencuri pada masa paceklik. Umar dianggap berani tidak menerapkan
had mencuri (Had al-Sariqoh) terhadap para pencuri di masa itu. Hal ini
dianggap oleh kalangan Islam liberal sebagai energy positif untuk lebih
menumbuh-suburkan ciri khas pemikiran keislamannya.[2]
Pro-kontra terhadap pemikiran progressif Umar tidak
hanya terjadi pada masa itu, di mana mayoritas pemikiran para sahabat lebih
cenderung kanan, ahlu al-hadits, akan tetapi hal itu berlanjut pada masa
sekarang. Munawir Sjadzali, dalam makalahnya berjudul Reaktualisasi Ajaran
Islam menulis tentang Umar bin Khathab: Selama menjabat beliau telah mengambil
banyak kebijaksanaan dalam bidang hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
bunyi ayat-ayat Alquran.[3]
Brangkat dari paparan di atas, terdapat suatu
teori yang menyatakan bahwa tidak
ada satupun pemikiran yang benar-benar lepas dari latar belakang pemikirnya. Hal ini mendorong
Penulis untuk mengungkap kilas balik (track record) latar belakang
kehidupan pribadi sosok
Umar Ibn Khattab. Tulisan ini akan
dimulai dengan suguhan kepribadian Umar pada masa jahiliyah, kemudian masa umar
masuk Islam, masa-masa mendampingi Nabi, masa mendampingi Khalifah Abu Bakar, hingga
pada masa beliau menjadi Khalifah yang kedua.
Adapun metode yang penulis gunakan adalah study pustaka
literatur-litaratur sejarah tentang Umar Ibn Khattab. Sumber literatur sejarah
yang akan Penulis kutib terbagi menjadi dua, yang pertama adalah sumber utama (primary
resource) diantaranya adalah Tarikh
al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam, Tarikh Ibn Mas’ud, Tarikh Khulafa’,
Umar Ibn Khattab, Karya Muhammad Husain Haikal. Sedangkan yang kedua adalah
sumber sekunder/secondary resource, diantara yaitu Sejarah Khalifah,
The Great Leader of Umar Bin al-Khattab, Para Pewaris Muhammad, dan
buku-buku sejarah lainnya.
B. Paparan Data
1. Silsilah ‘Umar Ibn Khattab
Umar Ibn Khattab lahir pada tahun 13 paca tahun Gajah.[4]
Ayahnya bernama al-Khattab Ibn Nufail Ibn Abd Uzza Ibn Abdullah Ibn Qurt Ibn
Razah Ibn ‘Ady Ibn Ka’ab.[5]
Sedangkan Ibunya bernama Khatmah Binti Hasyim Ibn Mughiroh
Ibn ‘Umar al-Makhzumi. Rasulullah memberikannya julukan Abu Hafs setelah
beliau memeluk Islam.[6]
Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki
dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya
putih kemerah-merahan.[7]
Postur tubuhnya tinggi besar seolah-olah ia sedang mengendarai kendaraan karena
saking tingginya, tubuhnya kuat dan tidak lemah. Ia suka menyemir rambut dan
jenggotnya dengan bahan pewarna al-hinna. Ia memiliki cambang yang
panjang dan lebat. Kalau berjalan, jalannya cepat, kalau bicara, omongannya didengar,
dan kalau memukul, pukulannya sangat menyakitkan.[8]
Umar
tinggal di kapung yang terletak di Safa dan bergabung dengan kabilah Banu Sahm
yang berada di sebelahnya. Nenek moyang Umar merasa dipacu oleh persaingan antara
dua kelompok tersebut, yang kendati jumlah orangnya lebih kecil dengan
kedudukan yang lemah dibandingkan dengan kabilah-kabilah besar lainnya. Dalam
ilmu dan kearifan mereka lebih tinggi. Ilmu dan kearifan ini menempatkan mereka
lebih terkemuka dalam
tugas-tugas sebagai penengah dan dalam mengambil keputusan
jika timbul
perselisihan. Mereka yang menjadi
juru bicara mewakili
Kuraisy dalam menghadapi kabilah-kabilah lain manakala
timbul perbedaan pendapat,
yang biasanya berakhir
dengan perundingan Kepemimpin mereka disukai dalam menghadapi perselisihan; mereka fasih berbicara, pandai
bertutur kata. Kearifan itu kemudian melahirkan orang yang bernama Zaid bin Amr, salah seorang yang
menjauhi penyembahan berhala dan
menolak makanan dari hasil
kurban untuk berhala
itu. Di samping
dia ada pula orang
yang bernama Umar
bin Khattab, yang
merasa bangga karena
ia menjadi anggota kabilah
itu.[9]
Ayahnya Khattab, sebenarnya adalah orang
yang cerdas, sangat dihormati di kalangan masyarakatnya, pemberani. Dengan
tangkas dan tabah ia memimpin Bani Ady dalam beberapa pertempuran.[10]
Selain itu, Khattab dikenal sebagai pria yang kasar dank eras. Hal itu tampak
misalnya ketika ia menganiaya keponakannya sendiri, Zaid Ibn Amr Ibn Nufail,
ayah Sa’id Ibn Zaid, salah satu sepuluh orang yang diberi kabar gembira (al-‘asyrah
al-mubasysyarina bi al-jannah). Zaid termasuk orang yang menolak dengan
keras untuk menyembah berhala. Ia mengngkari perilaku kaumnya yang melakukan
adat dan perbuatan jahiliyah. Ia sering mengatakan, “wahai kaum Quraisy, demi
zat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya, tidak ada seorangpun diantara kalian
yang tetap berada dalam agama Ibrahim, kecuali Aku” ayah Sa’id ini meninggal
lima tahun setelah kenabian. Khattab dikenal sering menyiksa setiap orang dari
kaumnya yang masuk islam. Sifat kasar dan keras inilah yang kemudian diwarisi
anaknya, Umar ibn Khattab.[11]
2. Umar di Masa Jahiliyah
Masa kecil dan
remaja
Semasa
anak-anak Umar dibesarkan seperti layaknya anak-anak Quraisy. Yang kemudian
membedakannya dengan yang lain,
ia sempat belajar baca-tulis,
hal yang jarang
sekali terjadi di
kalangan mereka. Dari semua
suku Kuraisy ketika
Nabi diutus hanya
tujuh belas orang yang
pandai baca-tulis. Sekarang
kita mengatakan bahwa
dia termasuk istimewa di antara teman-teman sebayanya.
Orang-orang Arab masa
itu tidak mengangga pandai baca-tulis itu
suatu keistimewaan, bahkan mereka malah
menghindarinya dan
menghindarkan anak-anaknya dari
belajar.
Sesudah Umar beranjak remaja
ia bekerja sebagai
gembala unta ayahnya di
Dajnan atau di
tempat lain di
pinggiran kota Mekah. Sudah kita
sebutkan ia bercerita tentang
ayahnya serta tindakannya yang
keras kepadanya saat ia menggembalakan
untanya. Penulis al-'Iqdul Farid menyebutkan bahwa
pada suatu hari
Umar berkata kepada
an-Nabigah al-Ja'di: Perdengarkanlah nyanyianmu kepadaku tentang dia. Lalu
diperdengarkannya sebuah kata dari dia. "Engkau yang mengatakan
itu?" tanyanya"Ya." "Sering
benar kau menyanyikan
itu di belakang Khattab." Menggembalakan unta sudah
merupakan kebiasaan
dikalangan anak-anak Kuraisy
betapapun tingkat kedudukan
mereka.
Beranjak
dari
masa remaja ke masa pemuda sosok
tubuh Umar tampak berkembang lebih
cepat dibandingkan teman-teman
sebayanya, lebih tinggi
dan lebih besar.
Ketika Auf bin
Malik melihat orang banyak berdiri
sama tinggi, hanya
ada seorang yang
tingginya jauh melebihi yang
lain sehingga sangat mencolok.
Bilamana ia menanyakan siapa orang itu, dijawab :
Dia Umar bin Khattab.[12]
Pada
masa jahiliyah, Umar ibn Khattab tidak hanya melakoni pekerjaannya sebagai
pengembala. Sejak muda, ia sudah terampil dalam berbagai bidang olahraga. Ia
terampil dalam bermain gulat dan pandai menunggang kuda. Disamping itu ia juga
terampil dalam mencipta dan mendendangkan syair.[13]
Ia juga menaruh perhatian terhadap masalah sejarah dan urusan-urusan kaum
kuraisy. Ia sangat gemar mengunjungi pasar-pasar besar, seperti ‘Ukaz, pasar
Majannah, dan pasar Dzu al-Majaz. Kunjungan ke pasar-pasar ini ia gunakan untuk
berdagang dan mempelajari sejarah bangsa Arab serta untuk mengetahui pelbagai
peristiwa yang sedang terjadi, kontes pembanggan keturunan, dan persengketaan
diantara suku.[14]
Di pasar-pasar tersebut terkadang juga diselenggarakan unjuk kebolehan untuk
mencipta dan memperdandangkan syair di antara para penyair terkemuka. Hal ini
menjadikan sejarah bangsa Arab menjadi dinamis, tidak statis. Terkadang,
pertunjukan-pertunjukan di pasar-pasar tersebut menyulut perang antar-suku.
Pasar ‘Ukaz sendiri telah menyulut api perang sebanyak empat kali.
Perang-perang antar suku ini dinamalan perang al-fajjar.[15]
Pendidikan dan
Konsep Pemikirannya
Inilah
yang membuatnya lebih percaya diri dan lebih punya rasa harga diri. Orang yang
berharta selalu perlu menjaga hubungan baik dengan semua orang untuk melindungi
dan memperbesar kekayaanya. Orang
yang dalam usaha
perdagangan, keberhasilannya bergantung pada kelihaian
serta menguasai segala
seluk beluknya Tetapi orang yang
haus ilmu dan
ingin menambah pengetahuannya, harta kekayaan tak banyak mendapat perhatian,
sebab orang yang sudah keranjingan harta cenderung tidak memperhatikan
ilmu dan lebih
banyak menggantungkan diri
pada masalah-masalah dunia
dan tunduk pada yang lebi menguasainya.
Tetapi orang yang
memandang dunia dan
harta itu rendah dan
memburu ilmu dan
pengetahuan lebih membanggakan diri, sampai-sampai ia mau
menjauhi orang, maka ia tidak akan
tertarik pada segala yang ada
di tangan mereka
karena ia sudah
lebih tinggi dari semua
mereka. Tingkat ini yang belum dicapai Umar
di masa mudanya. Rasa bangga dan percaya diri yang luar biasa itu,
itulah yang benar- benar
dihayatinya
Usaha Umar dalam memburu pengetahuan membuatnya
sejak mudanya ia memikirkan nasib
masyarakatnya dan usaha apa yang akan
dapat memperbaiki keadaan mereka. Ini juga
kemudian yang membuatnya bangga, bersikeras
dan menjadi fanatik
dengan pendapatnya sendiri tentang tujuan yang ingin dicapainya
itu. Ia tidak mau dibantah atau berdebat. Karena sikap keras dan
ketegarannya itu sehingga dengan
fanatiknya ia berlaku begitu sewenang-wenang. Ia akan mempertahankan pendapatnya dengan tangan besi
dan dengan ketajaman
lidahnya. Tetapi yang demikian
ini bukan tidak mungkin akan mengubah pendapat
orang lain yang
dihadapinya untuk menjadi bukti
kuat dalam pembelaannya dan
untuk mematahkan alasan
lawan.[16]
Sifat
fanatik tersebut mungkin saja muncul karna sifat beliau yang keras dan kasar.
Apa yang dikatakan umm Kulsum binti Abu Bakar tentang watak-nya yang keras dan
kasar, dan apa yang dikatakan Umm Aban
bahwa ia selalu
bermuka masam dan hidupnya yang serba
keras, merupakan sebagian dari
wataknya yang sejak
masa mudanya, dan
kemudian tetap begitu dalam
perjalanan hidup selanjutnya. Sesudah menjadi khalifah, maka dalam
doa pertamanya ia berkata: "Allahumma ya
Allah, aku sungguh tegar,
maka lunakkanlah hatiku. Ya Allah, aku
ini lemah, berilah aku
kekuatan. Ya Allah aku
sungguh kikir jadikanlah aku
orang pemurah." Sejak mudanya ia
sudah mewarisi sikap keras
dan kasar itu dari
ayahnya, kemudian
didukung pula oleh
tubuhnya yang tetap
kekar dan kuat.[17] Catatan sejarah yang lain menulis bahwa Umar
pernah melamar Istri Yazid bin Abi Sufyan, tetapi lamaran itu ditolak karena ia
yakin bahwa Umar itu mudah marah ketika keluar dan memasuki rumah. Bahkan
Aisyah yang memiliki hubungan dekar dengan khalifah, menghalangi dia menikahi
saudara perempuannya karena alasan yang sama.[18]
Kedudukan Umar
di tengah-tengah kaumnya.
Umar
ibn Khattab punya kelebihan dalam kekuatan dan keberanian. Semua orang Quraisy
mengenalnya dengan sifat itu, karena itulah, untuk suatu urusan, Umar ibn
Khattab selalu ditunjuk sebagai duta mereka. Jika misalnya terjadi konflik
internal atau perang yang melibatkan kaum Quraisy dengan pihak lain, mereka
pasti menunjuk Umar sebagai juru bicara dan wakil mereka.[19]
Ibn
al-Atsir mengatakan, Umar tergolong pembesar Quraisy. Di zaman Jahiliyah bila
ada urusan yang menuntut didelegasikannya seorang utusan pada pihak lain,
mereka akan memilih Umar ibn Khattab. Kaum Quraisy, jika terlibat konflik
bersenjata, baik internal atau yang melibatkan orang lain, akan mengutus Umar
sebagai juru runding. Bila ada seseorang yang menyerang, atau orang lain yang
membanggakan diri di depan kaum Quraisy, mereka akan menjadikan Umar sebagai lawan
orang itu untuk menandinginya.[20]
Hal ini wajar terjadi karena selain Umar memiliki kekuatan dan keberanian, ia
juga pandai mengolah kata-kata dan fasih berbicara.
3. Mendampingi Nabi
Kesetiaan
Umar pada Rasulullah s.a.w sejak masuk Islam, ibarat kesetiaan kepala pada
tubuh, malam dan siang, bayangan dan pemilik bayangan. Umar tak pernah berpisah
dengan Rasulullah, baik ketika beliau melakukan perjalanan maupun tidak. Bahkan
bagi Umar, waktu terindah adalah saat bertemu dengan kekasihnya, Muhammad s.a.w
berada di sisi Rasulullah adalah harapan dan kesenangan tersendiri bagi Umar.
Tak ayal peristiwa yang dialami Rasulullah, semuanya disaksikan oleh Umar ibn
Khattab.[21]
Bukti
kecintaan Umar kepada Rasulullah terlihat pada suatu riwayat yang menyatakan
“Kami sedang bersama Nabi Muhammad s.a.w Beliau ketika itu sedang memegang
tangan Umar ibn Khattab. Umar lalu mengatakan, ‘wahai Rasulullah, kau lebih aku
cintai dari segala sesuatu kecuali diriku’ Nabi menjawab, ‘Tidak, demi Dzat
yang aku berada dalam genggaman-Nya, sampai aku lebih kau cintai daripada
dirimu sendiri’ Umar lalu berkata, ‘sekarang demi Allah, Kau lebih aku cintai
daripada diriku sendiri’ Nabi berkata, ‘Sekarang, wahai Umar’.”[22]
Cinta
dan kesetiaan dan pengorbanan Umar ibn Khattab terhadapa Rasulullah s.a.w tidak
dapat diragukan lagi. Penulis-dalam konteks tulisan ini- tidak perlu mengulas
panjang lebar tentang masalah itu. Akan tetapi yang menjadi titik tekan adalah
bagaimana proses interaksi Umar dengan Rasulullah dalam masalah ilmu, sehingga
dengan ini, diharapkan akan ditemukan korelasi antara pemikiran progresif Umar
dengan latar belakang kehidupannya, baik sejak kecil, remaja, dan dewasa (pada
masa Jahiliyah), ataupun ketika mendampingi dakwah Rasulullah melalui segara
bentuk interaksi transfer of knowledge.
Keilmuan
Umar
Umar
Ibn Khattab tergolong ulama terkemuka dan hakim yang adil. Ia menjadi rujukan
para sahabat sepeninggal Rasulullah s.a.w. Tak heran, karena sahabat ini
belajar langsung di madrasah Rasulullah s.a.w Ia memperoleh “hidangan” ilmu
secara langsung dari Rasulullah s.a.w. Rasulullah sendiri mengakui dan bersaksi
atas hal itu.
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hadits Abdullah ibn Umar, “Aku mendengar
Rasulullah s.a.w bersabda, ‘saat tidur aku bermimpi, aku diberi semangkuk susu.
Lalu aku minum sampai aku melihat susu itu keluar di antara jari-jariku. Aku
berikan sisanya kepada Umaar ibn Khattab’. ” mendengar cerita itu, para sahabat
bertanya, “bagaimana engkau menakwilkan mimpi itu, wahai Rasulullah?” beliau
menjawab, “ilmu” (HR.Bukhori Muslim)[23]
Imam
Nawawi menjelaskan, susu ditafsirkan dengan ilmu karena keduanya sama-sama
memberikan manfaat dan mendatangkan kebaikan. Susu adala makanan bagi bayi yang
bisa membuat mereka sehat, dan badan menjadi kuat. Sedang ilmu merupakan sebab
kebahagiaan dunia dan akhirat.[24]
Mimpi
Rasulullah s.a.w memang benar adanya, tafsir mimpi yang beliau lakukan juga
benar. Bahkan penjelasan Imam Nawawi juga sangat tepat sekali. Hal ini karena
Umar adalah sahabat yang paling menonjol dalam hal keilmuan daripada sahabat
yang lain. Pada masa nabi, terdapat beberapa peristiwa yang menunjukkan
kecerdasan Umar dalam memutuskan sesuatu, dan hal itu mayoritas dibenarkan oleh
wahyu yang turun setelahnya.
Salah
satu peristiwa yang terjadi adalah masalah perang badar dan tawanan perang.[25]
Muslimin menawan tujuh puluh orang Kuraisy,
kebanyakan pemimpin-pemimpin
dan orang-orang berpengaruh di kalangan mereka. Umar bin
Khattab termasuk orang
yang paling keras
ingin membunuh para
tawanan itu. Tetapi
para tawanan itu
masih ingin hidup
dengan jalan penebusan. Mereka mengutus
orang kepada Abu
Bakr agar membicarakan dengan
Rasulullah untuk bermurah hati
kepada mereka dan mereka bersedia
membayar tebusan. Abu Bakr
berjanji akan berusaha. Tetapi
karena mereka khawatir Umar akan
mempersulit keadaan, mereka juga mengutus
orang kepada Umar dengan
pesan seperti kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka
penuh curiga. Abu Bakr datang menemui Rasulullah
dengan permintaa agar bermurah hati kepada para
tawanan perang itu atau
menerima tebusan dari mereka, yang berarti dengan
demikian akan memperkuat Muslimin. Tetapi Umar tetap keras
dan tegar. "Rasulullah, " katanya. "Mereka
musuh-musuh Allah. Dulu mereka mendustakan, memerangi dan mengusir
Rasulullah. Penggal sajalah leher
mereka. Mereka inilah
biang orang-orang kafir, pemuka-pemuka orang
sesat. Allah sudah menghina kaum musyrik itu dengan
Islam." [26]
Dalam hal
ini Rasulullah bermusyawarah dengan Muslimin dan berakhir dengan menerima tebusan dan
Nabi membebaskan mereka.Tetapi tak
lama sesudah itu datang
wahyu dengan firman
Allah ini :
"Tidak sepatutnya seorang
nabi akan mempunyai tawanan- tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki
harta benda dunia; Allah menghendaki akhirat. Allah Mahakuasa, Mahabijaksana."
(Qur'an, 8:67).[27]
Begitulah
Umar, memberikan pendapatnya sekitar
peristiwa Badr, seolah
sudah melihat peristiwa
itu sebelum terjadi,
seperti halnya dengan soal
azan untuk salat.
Dengan demikian Nabi
dan kaum Muslimin
sangat menghargai pendapatnya, kedudukannya makin
tinggi di samping Nabi
dan di kalangan
kaum Muslimin umumnya.
Wahyu
turun memperkuat pendapat Umar
mengenai para tawanan perang.[28] Ini juga yang
membuat Umar makin dekat di hati Nabi.
Ia telah menjadi pendampingnya seperti juga Abu Bakr:
Hafsah putri Umar
istri Khunais bin Huzafah,
adalah salah seorang yang
mula-mula dalam Islam.
Tetapi Hafsah ditinggalkan wafat oleh Khunais beberapa bulan sebelum Perang Badr. Kemudian
Rasulullah menikah dengan Hafsah, seperti dengan
Aisyah putri Abu
Bakr sebelum itu. Pertalian semenda ini
makin mempererat hubungan
Nabi dengan Umar, sehingga dengan demikian lebih memudahkan Umar sering datang menemui
Nabi, seperti juga Abu Bakar.
Karena
semakin dekatnya Umar dengan Rasulullah, Umar yang memiliki pemikiran cedas,
ulet, dan kritis, selalu mengikuti perjalanan tasyri’ al-Islamy yang
dilakukan oleh Rasulullah dengan kontrol wahyu. Pemikiran progresif beliau
semakin terasah pada masa Khalifah Abu Bakar al-Siddiq.
4. Umar di Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah
Rasulullah mengahadap Allah s.w.t, terjadi peristiwa yang sangat genting pada
masa itu, dimana jasad Rasul belum dikebumikan, kaum muslimin berada dalam
masalah besar. Mereka berdiskusi sangat a lot sekali hingga benih-benih
perpecahan mulai tampak, kalau saja bukan Umar yang membai’at Abu bakar agar
menjadi pengganti Nabi untuk memimpin kaum muslimin, serta mengakhiri
perselisihan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, niscaya perselisihan di
bukit bani Tsaqifah tersebut akan berujung pada perpecahan di antara umat Islam
waktu itu.
Setelah
terpilihnya Abu Bakr sebagai Khalifah, seluruh urusan umat Islam berasa pada
tampuk kepemimpinannya. Umar adalah sahabat dan penasihat terdekat. Hal ini
yang menbuat Umar menjadi nominator terkuat meneruskan kekhalifahan Abu Bakr.
Maka ketika Abu Bakr wafat, kaum muslimin sepakat membai’at Umar sebagai
Khalifah baru.[29]
Karena
posisinya yang sangat dekat dengan Kholifat Abu Bakar, maka dalam
kebijakan-kebijakan, baik politik maupun keagamaan, Umar selalu memberikan
kontribusi pemikiran-pemikiran progresifnya. Salah satu pemikiran ijtihadnya
adalah masalah pemhimpunan al-Quran. Sebebutkan dalam beberapa riwayat bahwa
ketika terjadi ekspedisi Yamamah, dan banyak dari penghafal al-Quran yang ikut
dalam peperangan mati syahid, Umar ibn Khattab dating dating menemui Abu Bakr
yang sedang berada di Masjid. Umar berkata kepada Abu Bakr “Pembunuhan yang
terjadi dalam perang yamamah sudah makin memuncak” katanya kemudian kepada Abu
Bakr, “saya hawatir di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal
al-Quran yang akan terbunuh, sehingga al-Quran akan banyak yang hilang. Saya
mengusulkan agar al-Quran dihimpun” usul yang dirasakan Abu Bakar sangat
tiba-tiba itu dijawab dengan pertanyaan, “bagaimana saya akan melakukan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam”[30]
maka terjadilah dialog panjang antara kedua tokoh itu yang kemudian membuat Abu
Bakr puas dengan pendapat Abu Bakar.[31]
Ketika kesepakatan untuk menghimpun al-Quran itu disampaikan kepada Zaid ibn
Tsabit[32]
untuk melakukan penghimpunan al-Quran. Respon yang sama dilakukan oleh Zaid ibn
Tsabit, beliau berkata, “bagaimana anda berdua melakukan itu, yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.” maka kata Abu Bakar”itu sungguh bagus”
kemudian Zaid menyudahi pembicaraan itu dengan mengatakan, “Kemudian Allah
membukakan hasti saya seperti terhadap Abu Bakar dan Umar”. Zaid meninggalkan
termpat itu dan selanjutnya bekerja melacak dan menghimpun al-Quran dari
lempengan-lempengan, dari tulang-tulang, kepingan-kepingan pohon kurma dan dari
hapalan sahabat Nabi.[33]
Pemikiran-pemikiran
progressif yang lahir dari kecerdasan, keuletan, dan ketelitian Umar semakin
berkembang pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Tercatat ada sedikitnya ada empat
kasus yang beliau ijtihadi pada masa khalifah Abu bakar ini, termasuk kasus
penghimpunan al-Quran.
Kemudian
ketika sakit Abu Bakar semakin parah, ia mengumpulkan beberapa oarng dari
pemuka sahabat. Abu bakar memerintahkan untuk memilih pemimpin mereka, agar
kejadian di bukit bani Tsaqibah tidak terulang lagi. Para sahabatpun
menyelenggarakan musyawarah. Setiap orang menolak dirinya dicalonkan dan malah mencalonkan
sahabat lain yang dianggap layak menjadi khalifah. Karena musyawarah tersebut
tidak membuahkan hasil, maka mereka mengembalikan persoalan tersebut kepada Abu Bakar. Abu
Bakar, Setelah melakukan musyawarah, meminta pendapat Abdurrahman ibn Auf
tentang Umar ibn Khattab, kemudian Utsman ibn Affan. Mereka berdua sama-sama
menjawab bahwa Abu Bakar lebih tahu tentang Umar daripada keduanya. Kemudian
terpilihlah Umar ibn Khattab sebagai Khalifah pengganti Abu Bakar.[34]
5. Menjabat Khalifah Kedua
Menjabat
Khalifah kedua sebagai pengganti Abu Bakar adalah suatu kehormatan tersendiri
bagi Umar ibn Khattab. Akan tetapi, kalau dilihat dari track record sebelumnya,
baik Khattab maupun Umar sendiri, sosok Umar sebenarnya memiliki darah-darah
kepemimpinan yang amat kental. Khattab, ayah Umar, adalah seorang pemimpin suku
Bani Adi,[35]
sedangkan Umar sendiri, karena keberanian dan kecerdasannya, selalu ditunjuk
untuk menjadi duta kaumnya ketika ada konflik baik internal ataupun melibatkan
suku-suku yang lain.[36]
Maka keputusan Abu Bakar menunjuk Umar untuk meneruskan tugas kekhalifahan
adalah suatu keputusan yang tepat.
Gaya
kepemimpinan Umar berbeda dengan khalifah Abu Bakar. Rasul Ja’farian melakukan
analisa yang hasilnya dia menemukan karakteristik kepemimpinan Umar. Umar Ibn Khattab menganggap dirinya berhak atas otoritas
yang luas sebagai penguasa. Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya
sendiri, bukan hanya pada urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi
juga dalam masalah perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.[37]
Karena
kecintaannya kepada Ilmu, maka beliau sangat mendukung aktifitas-aktifitas
ilmiyah. Salah satu statemen beliau adalah “Ilmu itu meski tidak memberikan
manfaat kepadamu, ia tidak akan membahayakanmu”. Statemen yang lain adalah
“meninggalnya seribu ahli Ibadah lebih ringan dari pada meninggalnya seorang
ahli ilmu yang benar-benar memahami halal dan haram”. Statemen yang lain adalah
“belajarlah ilmu dan ajarkan pada orang, belajarlah keteduhan dan ketenangan,
bersikap rendah dirilah pada orang yang mengajarkan ilmu padamu dan pada orang
yang kau ajari, jangan sombong terhadap ulama’ nicaya ilmumu tidak mengajari
kebodohanmu”.[38]
Statemen Umar tersebut menunjukkan bahwa beliau sangat mengapresiasi ilmu, para
pencari ilmu, dan yang mengajarkan ilmu. Beliau sangat mendorong segala macam
aktifitas ilmiyah pada masa kepemimpinan nya untuk menciptakan suasana ilmiyah
di kota Madinah. Selain anjuran untuk bergelut dalam dunia ilmiyah, Umar juga
memberikan warning kepada para sahabat untuk hati-hati dengan penyakit
sombong, mereka harus selalu menciptakan suasana saling “respek” meski terjadi
perselisihan pendapat, tidak boleh ada fanatisme pendapat.
Kecintaan
Umar terhadap ilmu menjadikan beliau sangat responsif menghadapi setiap
peristiwa yang terjadi. Sesuai analisa yang dilukan oleh Rasul Ja’farian, Umar memiliki otoritas yang
sangat luas untuk memberikan fatwa dari hasil pemikirannya sendiri dalam
menyikapi setiap persoalan yang terjadi, baik politik maupun agama. Hal ini,
sebetulnya adalah masa puncak di mana Umar sangat leluasa untuk mengasah dan
mengembangkan intelektualnya yang dibangun mulai masa kecil. Akan tetapi, hal
yang perlu untuk digaris bawahi adalah bahwa Umar sangat hati-hati dalam
memutuskan suatu perkara. Kebersamaan dan kedekatannya dengan Nabi serta
kedekatannya dengan Khalifah Abu Bakar membuatnya memiliki pengalam yang lebih
daripada sahabat yang lain. Umar telah banyak makan asam garam baik ketika
mendampingi Nabi maupun Khalifah Abu Bakar. Dari kebersamaannya dengan Nabi dan
Abu Bakar, Umar berusaha mengambil substansi dari apa yang pernah dilakukan
baik oleh Nabi maupun oleh Abu Bakar. Substansi tersebut beliau gunakan sebagai
alat untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan konteks dan tempat yang
berbeda.
Salah
satu produk pemikiran (ijtihad) Umar yang masih mengalami pro-kontra sampai
saat ini adalah kebijakan beliau untuk tidak menerapkan hukuman potong tangan (had
al-sariqoh) pada para pencuri. Umar melihat adanya daruroh pada
permasalahan tersebut. Peristiwa pencurian tersebut terjadi pada musim
paceklik, dimana sangat sulit bagi orang Madinah untuk mencari pekerjan.
Ditambah lagi hilangnya rasa kepedulian sesame di kalangan kaum muslimin. Orang
kaya waktu itu, tidak mau tau terhadap apa yang dialami saudara seagama mereka.
Akibatnya adalah marak terjadi pencurian dan perampokan. Setelah memahami
dengan cermat kasus tersebut, Umar tidak menerapkan perintah al-Quran untuk
memotong tangan para pencuri tersebut. Hal ini dilakukan karena Umar berfikir
jika potong tangan diterapkan, maka orang-orang akan semakin susah untuk
menjalani kehidupan mereka hanya satu tangan ketika melakukan pekerjaan.
Pemikiran-pemikiran
(ijtihad-ijtihad) semakin berkembang dan sampai pada puncaknya di masa ini. Selain
menjadi seorang pemimpin Negara, beliau adalah faqih karena kecerdasan
dan keluasan ilmunya yang mulai diasah dari sejak kecil, remaja, waktu
mendampingi Nabi, hinggan menjadi penasehat Khalifah Abu Bakar.
C. Analisis
Seperti telah diuraikan dalam latarbelakang masalah,
Penulis ingin mengulas kilas balik kehidupan pribadi seorang Umar bin Khattab.
Hal ini dilakukan karena pada masa Nabi maupun Khulafaur Rasyidin, jarang
ditemukan sahabat yang memiliki pemikiran cerdas seperti halnya sahabat Umat.
Oleh karena itu, berangkat dari sebuah teori yang menyatakan bahwa tidak ada
satupun pemikiran yang benar-benar lepas dari latarbelakang pemikirnya.
Pada bagian analisis ini, Penulis berusaha untuk
memaparkan korelasi antara kehidupan Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam
dengan hasil produk pemikiran-pemikiran progresifnya.
Khattab, ayah Umar, meski berkepribadian kasar, tapi
beliau adalah orang yang cerdas, tidak jarang beliau memecahkan persoalan yang
dialami sukunya waktu itu. Selain itu, beliau adalah orang dipercayai untuk
memimpin sukunya. Dua hal positif yang dimiliki oleh Khattab ini yang kemudian
diwariskan kepada anaknya, Umar bin Khattab.
Pada masa kecilnya, Umar ibn Khattab memang dibesarkan
seperti layaknya anak-anak Quraisy. Akan tetapi yang istimewa darinya yang
kemudian membedakannya dengan yang lain adalah bahwa ia sempat belajar baca-tulis,
hal yang jarang
sekali terjadi di
kalangan mereka. Dari semua suku
Kuraisy ketika Nabi diutus hanya
tujuh belas orang yang
pandai baca-tulis.
Sekarang kita mengatakan bahwa dia
termasuk istimewa di antara teman-teman sebayanya.
Orang-orang Arab masa itu tidak menganggap pandai baca-tulis itu suatu keistimewaan, bahkan mereka malah
menghindarinya dan menghindarkan anak-anaknya
dari belajar.
Itulah awal di mana Umar kecil mendapatkan
kesempatan istimewa untuk memulai langkahnya masuk dalam dunia intelektual.
Suatu generalisasi yang hampir tidak terbantahkan bahwa baca tulis adalah
kompetensi yang harus dimiliki seseorang untuk masuk dalam dunia intelektual.
Umar, pada masa kecilnya adalah orang yang yang memiliki kompetensi langka yang
pada masa itu hamper mayoritas orang Arab tidak suka atau bahkan melarang
anaknya untuk belajar baca-tulis. Oleh karena itu, Umar adalah orang yang
istimewa di kalangannya waktu itu, karena dialah satu-satunya orang yang
belajar baca-tulis dan kemudian memiliki kompetensi dalam hal itu.
Pada masa mudanya, Umar memilki beberapa keahlian,
diantaranya adalah adu gulat, memacu kuda, menyukasi sastra, baik mencipta dan
mendendangkan syair, dan yang paling penting lagi adalah ia sangat menyukai
ilmu pengetahuan. Nampaknya kompetensi baca-tulis yang ia miliki mulai
memberikan stimulus positif kepadanya dengan mendorongnya untuk menyukasi
sastra dan ilmu pengetahuan.
Adapun terkait dengan kesukaannya dalam masalah
sastra. Dia selalu datang ke pasar-pasar di Makkah-di antaranya adalah pasar
Ukaz- untuk menonton para penyair yang mendendangkan syairnya. Tidak hanya
menonton, terkadang ia juga mencipta dan mendendangkan syairnya.
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan, beliau termasuk
orang yang memiliki paradigma berbeda dengan orang-orang pada masanya. Beliau
memang, seorang pedagang-karena mayoritas mata pencaharian di sana adalah
berdagang, bertani, dan ternak- beliau memang menjelajahi berbagai Negara untuk
berdagang, seperti ke syam atau bahkan ke syiria. Akan tetapi nampaknya Umar
memiliki misi lain dari hanya sekedar mencari laba dalam perdagangan. Misi
tersebut adalah ilmu pengetahuan dan sejarah. Umar sangat mencintai ilmu
pengetahuan, kecintaannya kepada pengetahuan membuat misi untuk meraih laba
dalam perdagangannya tersebut menjadi dinomerdua-kan, bahkan, ada
riwayat yang menyatakan bahwa Umar selalu mendapatkan rugi dalam berdagang, hal
itu terjadi karena ia lebih memburu ilmu pengetahuan dan sejarah daripada fokus
sama pekerjaanya sebagai pedagang.
Hal lain yang tidak kalah penting untuk disoroti
adalah bahwa karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan sejarah, beliau
mulai memikirkan nasib masyarakatnya dan
usaha apa yang akan dapat memperbaiki keadaan mereka. Hal ini
benar-benar kejadian langka di masa itu.
Akhirnya, pondasi intelektualisme Umar ibn Khattab
mulai dibangun dengan kecintaannya pada sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan.
Pondasi intelektualisme tersebut semakin kokoh dan bahkan berkembang dengan
begitu cepat karena disokong oleh kecerdasan dan keuletannya dalam merespon
setiap peristiwa yang terjadi.
Setelah Umar ibn Khattab memeluk Islam, pondasi
intelektualisme yang kokoh tersebut kemudian diteruskan menjadi sebuah bangunan
yang sangat megah. Kehadiran sosok Nabi Muhammad yang penuh dengan muatan ilmu
pengetahuan dan hikmah dapat memberikan muatan ilmu kepada Umar yang sangat
haus akan ilmu pengetahuan. Intelektualisme Umar ibn Khattab Ibarat tanaman di
musim hujan yang kemudian dipupuk hingga tumbuh subur.[39]
Intelektualisme Umar semakin berkembang pada masa
Abu Bakar menjabat sebagai Khalifah. Faktor kedekatannya dengan sang Kholifah
membuat pemikiran-pemikiran beliau semakin terasah dan mendapat tempat. Hal ini
terbukti beliau sangat responsif menyikapi berbagai macam persolan yang terjadi
di masa itu. Salah satunya adalah persoalan penghimpuan al-Quran. Umar
berpendapat untuk menghimpun al-Quran karena banyak dari penghapal al-Quran
yang wafat.[40]
Intelektualisme progresif Umar sampai pada puncaknya
ketika beliau menjabat sebagai Khalifah yang kedua, sebagai penerus Khalifah
Abu Bakar. Umar ibn Khattab memiliki tipe kepemimpinan yang berbeda dengan
pendahulunya, Abu Bakar. Hal tersebut terletak pada karakteristik pemikirannya
yang kemudian menjadi tipe dan gaya kepemimpinannya. Salah satu ciri utama pemikiran Umar Ibn Khattab adalah
bahwa ia menganggap dirinya berhak atas otoritas yang luas sebagai penguasa.
Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya sendiri, bukan hanya pada
urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi juga dalam masalah
perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.[41]
Hal ini disebabkan oleh kepribadiannya yang kasar dan fanatik terhadap dirinya
sendiri. Maka dengan otoritas yang ia miliki, yang tidak hanya dalam masalah
politik saja, akan tetapi menyentuh pada ranah keagamaan, maka intelektualisme
progresif beliau mencapai pada puncaknya. Hal ini terbukti dengan banyak sekali
fatwa-fatwa beliau terkait persoalan-persoalan yang terngah dihadapi, baik
menyangkut masalah politik, maupun keagamaan.[42]
Selain faktor politik diatas, faktor lain yang
sangat berpengaruh terhadap semakin berkembangnya pemikiran progressif Umar
adalah kondisi sosial. Perubahan-perubahan luar biasa yang terjadi akibat keberhasilan
umat Islam dalam melakukan ekspansi ke berbagai daerah waktu itu menjadi sebab
munculnya berbagai macam permasalahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.[43]
Tuntutan untuk menyesuaikan masyarakat Islam dengan keadaan kontemporer adalah salah satu hal yang harus segera
diselesaikan. Beberapa permasalahan yang muncul akibat perubahan-perubahan
tersebut membuat nalar berfikir Umar semakin terasah, hingga muncullah berbagai
macam fatwa beliau sebagai respon terhadap problem sosial pada waktu itu.
D. Kesimpulan
Sebuah teori yang menyatakan bahwa tidak ada satupun
pemikiran yang benar-benar lepas dari latar-belakang pemikirnya sekarang
semakin kokoh dan tidak terbantahkan. Tulisan ini membuktikan kebenarkan teori
tersebut. Pemikiran progrssif umar ternyata tidak serta merta muncul tanpa
didasari oleh latarbelakang kehipunnya. Proses yang begitu panjang dilalui umar
untuk sampai pada posisi agung tersebut. Umar memulainya dengan belajar
baca-tulis, dimana anak seusianya tidak melakukan hal itu, atau bahkan
ayah-ayah mereka menjauhkan mereka dari hal tersebut. Lalu kemudian, kompetensi
baca-tulis yang ia miliki memberikan stimulus positif kepadanya, sehingga ia
mulai menyukai dan bahkan mencintai sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan
membuatnya mulai berfikir untuk melakukan perubahan-perubahan berarti bagi
kaumnya agar lebih baik. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuatnya lupa
akan misi utama dalam berdagang, yaitu laba, ia lebih mementingkan ilmu dan
sejarah, sehingga seringkali ia merugi dalam perdagangannya.
Setelah memeluk Islam, kehadiran Nabi yang penuh
dengan Ilmu dan hikmah dapat memuaskan Umar yang sedang lapar akan ilmu
pengetahuan. Lalu kemudian intelektualismenya semakin berkembang pada masa kepemimpinan
Abu Bakar karena kedekatannya dengan beliau. Lalu pada akhirnya,
intelektualisme beliau benar-benar sampai pada puncaknya ketika beliau menjabat
sebagai Khalifah yang kedua. Faktor politik, ekonomi, dan sosial membuat
intelektualime beliau semakin bergejolak, sehingga mucullah fatwa-fatwa beliau
sebagai respon terhadap setiap permasalahan yang dihadapinya.
Daftar Pustaka
Rasul
Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah
Khilafah, Jakarta, Al-Huda
Munawir Sjazali. 1993.
Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press
Al-Suyuthi,
1351 H, Tarikhu al-Khulafa’, Mesir
Muhammad Husain Haikal,
cet. Ketujuh 2007, Umar bin Khattab, Jakarta, Mitra Kerjaya
Indonesia,
Abu Ja’far Muhammad ibn
Jarir al-Thobary, 2001, Tarikh
al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam,
Beiru Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Ibrahim
al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul
Anam, Jakarta, Qisthi Pess
Muhammad
Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta,
Pustaka al-Kautsar
Ali
Hasan Ibrahim, Al-Tarikh al-Islam al-‘Am
Muhammad
Ahmad Abu an-Nashr, Umar bin Khathab
Rasul
Ja’fariyan, 2006, The History of Caliphs,
terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda
Ibnu
Sa’ad, ath-Thabaqot al-Kubra, jilid 4
Nawawi,
Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Jilid 5
Muhammad
Abdul Fattah ‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts,
Kairo, Maktabah al-Mutanabby
Muhammad
Ibn Ahmad Ibn Utsman al-Dzahaby, 1988, Al-Khulafa al-Rasyidun, min Tarikh
al-Islam, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Jalaluddin
Abdurrahman al-Suyuthi, tt, Tarikhu al-Khulafa, Kairo, Dar al-Fikr
al-Islamy
Hepi
Andi Bastoni, 2008, Sejarah Para Kholifat, Jakarta, Pustaka al-Kautsar
Umar-bin-khattab
on http//.www.supportmadrasahkita.blogspot.com/2010/05/.html. diakses pada tgl.
27 Desember 2012 jam 15.11
Barnaby Rogerson, 2007,
The Heirs of The Prophet Muhammad, terj. Ahmad Asnawi, Para Pewaris
Muhammad, Yogyakarta, Diglossia Media,
[1] Rasul
Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah
Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal.99
[2] Statement Peneliti Freedom Institute, Ahmad
Sahal, dalam artikelnya berjudul Umar bin Khattab dan Islam Liberal menyebut
Islam Liberal mendapat energi dari Umar bin Khathab.
[3] Munawir Sjazali.
1993. Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press
[4] Al-Suyuthi, 1351 H, Tarikhu
al-Khulafa’, Mesir, hal. 74
[5] Muhammad Husain
Haikal, cet. Ketujuh 2007, Umar bin Khattab, Jakarta, Mitra
Kerjaya Indonesia, hal. 8
[6] Muhammad Abdul Fattah
‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts, Kairo,
Maktabah al-Mutanabby, hal.109
[7] Riwayat al-Harits
dari Muhammad Ibn sa’ad dari Muhammad Ibn Umar. Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn
Jarir al-Thobary, 2001, Tarikh al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam, Beiru Lebanon, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 562. Adapun terkait masalah kulit Umar, Penulis
menyimpulkan ada dua pendapat yang kontradiktif tentang wakna kulitnya, satu
pihak mengatakan sawo matang, sedangkan
di pihak yang lain mengatakan kulitnya putih kemerah-merahan. Setelah menulis
melakukan tinjauan pustakan, ternyata ada sejarawan yang menafsiri kedua
perbedaan tersebut. Beliau berpendapat bahwa kulit Umar memang putih
kemerah-merahan, namun di kemudian hari, tepatnya pada masa paceklik, warna kulitnya
menjadi sawo matang. Hal ini disebabkan
karena Umar banyak makan minyak dan tidak mau makan daging. Umar melakukannya
karena sebab melihat kondisi umat di masa itu tengah mengalami kesusahan. Maka
dengan pertimbangan itu, Umar tak mau
minum susu dan makan daging agar tidak ada bedanya antara dirinya dengan
rakyat yang tengah didera kesusahan. (lihat: Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa
fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess,
hal.338)
[8] Muhammad Ash-Shalaby,
2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar.
Hal. 15-16
[9] Muhammad Husain
Haikal, Op.Cit, hal. 8
[10] Muhammad Husain
Haikal, Op.Cit, hal. 10
[11] Ibrahim al-Quraibi,
2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam,
Jakarta, Qisthi Pess, hal.316
[12] Muhammad Husain
Haikal, Op.Cit, hal.12
[13] Ali Hasan Ibrahim, Al-Tarikh
al-Islam al-‘Am, hal 226.
[14] Ash-Shalaby, 2008, The
Great Leader of Umar Bin Khattab, hal. 20
[15] Muhammad Ahmad Abu
an-Nashr, Umar bin Khathab, hal. 17
[16] Muhammad Husain
Haikal, Op.Cit, hal. 15-16
[17] Muhammad Husain
Haikal, Ibid
[18] Rasul Ja’fariyan, 2006, The
History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta,
Al-Huda, hal.77
[19] Ibrahim al-Quraibi,
2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, Loc.Cit. hal. 316
[20] Ibrahim al-Quraibi,
2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, Loc.Cit. hal. 316
[21] Ibrahim al-Quraibi,
2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam,
Jakarta, Qisthi Pess, hal. 326
[22] Hadits Riwayat
Bukhori dari Abdullah Ibn Hisyam, lihat; Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa
fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal.
326-327
[23] Ibrahim al-Quraibi,
2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam,
Jakarta, Qisthi Pess, hal. 333
[24] An-Nawawi, Syarh
an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Jilid 5, hlm. 525
[25] Masalah tersebut hanya
salah satu kasus yang pernah mejadi hasil produk ijtihad Umar, pembahasan lebih
lengkap tentang ijtihad Umar akan dibahas pada bahasan tersendiri.
[26] Muhammad Abdul Fattah
‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts, Kairo,
Maktabah al-Mutanabby, hal.122
[27] Muhammad Husain
Haikal, Op.Cit, hal.47-48
[28] Sempat mucul
generalisasi yang terkesan berlebihan terkait masalah ini. Generalisasi
tersebut muncul dari statemen Ali r.a dan Adbullah ibn Umar r.a. adapun
statemen Ali adalah riwayat dari Ibn ‘Asakir dari Ali r.a., beliau berkata “Inna
fi al-Qurani la ra’yan min ra’yi Umar’” terjemahan bebasnya mungkin adalah
“sesungguhnya dalam al-Quran terdapat pendapat dari salah satu pendapat Umar”
sedangkan statemen Abdullah Ibn Umar adalah atsar marfuk kepada Ibn Umar,
beliau berkata “apa yang dikatakan manusia tentang sesuatu, kemudian untuk
berkomentar (member fatwa hokum tentang masalah itu) pasti ayat al-Quran turun
sebagaimana yang ditetapkan Umar”. Lihat : Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi,
tt, Tarikhu al-Khulafa, Kairo, Dar al-Fikr al-Islamy, hal.133. dalam
masalah Penulis sependapat dengan Ibrahim al-Quraiby. Beliau berpendapat bahwa
ketika Umar memiliki pendapat tentang suatu kasus, wahyu Allah turun sesuai
pendapatnya. Menurut Imam Nawawi –yang dikutip oleh beliau- adalah bahwa Umar
pernah berkata , “Pendapatku sesuai dengan firman Allah pada tiga hal. Pertama,
aku mengatakan ‘wahai Rasulullah, andai anda menjadikan maqam Ibrahim
sebagai tempat sholat’ lalu turun ayat, ‘dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai
tempat shalat’. Kedua, aku
mengatakan, ‘wahai Rasulullah, orang yang masuk menemui istri Anda ada yang
baik, dan ada pula yang jahat. Andai anda memerintahkan istri anda agar mereka
memakai hijab’. Lalu setelah itu, ayat tentang hijab turun, ketiga, suatu ketika istri-istri Rasul saling cemburu
satu sama lain. Kemudian aku mengatakan,
‘jika kalian ditakdirkan bercerai dengan Rasulullah, semoga beliau mendapatkan
ganti istri-istri yang lebih baik
daripada kalian’. Ayat yang sesuai dengan pendapat itu lalu turun ”. lihat:
Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris
Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal.338-339
[29] Hepi Andi Bastoni,
2008, Sejarah Para Kholifat, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, hal. 13
[31] Muhammad Husain
Haikal, Op.Cit, hal. 740
[32] Sekretaris Rasulullah
yang menjadi salah satu sahabat yang bertugas untuk menulis Kalam Allah.
[33] Muhammad Husain
Haikal, Op.Cit, hal. 741
[34] Muhammad Ash-Shalaby,
2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar.
Hal.115-117
[35] Muhammad Husain
Haikal, Op.Cit, hal. 10
[36] Ibrahim al-Quraibi,
2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam,
Jakarta, Qisthi Pess, hal. 316
[37] Rasul Jafariyan, 2006, The History of Caliphs,
terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal.99
[38] Muhammad Ash-Shalaby,
2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar.
Hal. 262-263
[39] Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya ide-ide(ijtihad) Umar yang mendapatkan legitimasi wahyu
(dibenarkan oleh wahyu), salah satunya adalah 1) persoalan tawanan perang
badar, Abu Bakar berpendapat untuk tidak membunuh tawanan pebgdsrang, sedangkan
Umar bersikukuh untuk membunuh mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Allah.
Kemudian turun wahyu yang membenarkan pendapat Umar. 2)persoalan istri-istri
Nabi yang tidak menutup aurat di dalam rumah mereka, kemudian Umar mengusulkan
kepada Nabi untuk menyuruh mereka untuk menuntup aurat. Kemudian turun wahyu
tentang wajibnya menutup aurat. Dan ijtihad-ijtihad beliau yang lain.
[40] Persoalan lain adalah
masalah pemberian terhadap muallaf. Pada masa Rasulullah, beliau menyuruh
memberikan sesuatu kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Akan tetapi pada
masa Abu Bakar, Umar berpendapat untuk menghentikan pemberian itu. Beliau
berpendapat bahwa Islam sudah tumbuh menjadi komunitas yang kuat, jadi tidak
lagi butuh orang-orang yang masuk Islam tidak secara total (orang-orang yang
mengharap pemberian Karena termasuk muallaf). Nabi melakukan itu, karena beliau
melihat waktu itu Islam memang butuh untuk memperkokoh eksistensi Islam. Jadi
barang siapa yang ingin masuk Islam karena unsur “pemberian” itu, maka
hendaklah mengurungkan niatnya.
[41] Rasul
Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah
Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal.
99
[42] Salah satu fatwa
beliau yang cukup popular adalah kebijakan beliau tentang para pencuri di musim
paceklik yang melanda Madinah waktu itu. Umar mengambil kebijakan dengan tidak
menerapkan had mencuri (Had al-sariqoh). Umar dianggap berani tidak
menerapkan had mencuri (Had al-Sariqoh) terhadap para pencuri di masa
itu. Hal ini dianggap oleh kalangan Islam liberal sebagai energy positif untuk
lebih menumbuh-suburkan ciri khas pemikiran keislamannya.
[43] Barnaby Rogerson,
2007, The Heirs of The Prophet Muhammad, terj. Ahmad Asnawi, Para
Pewaris Muhammad, Yogyakarta, Diglossia Media, hlm. 212
No comments:
Post a Comment