Tuesday, March 5, 2013

BARANG BAJAKAN DAN BARANG JARAHAN

BARANG BAJAKAN DAN BARANG JARAHAN
A.    Kronologis Permasalahan
    Indonesia terkenal dengan bajakannya dan memang jika tidak membajak kita tidak bisa maju karena produk asli begitu mahal, misalnya produk-produk microsoft hampir semua yang bisa kita dapatkan bajakan. karena hanya orang - orang banyak uang saja yang mampu membelinya. lalu bagaimana ya hukumnya. Apakah ada keringanan dalam membajak seperti ini? Karena saya tidak bisa membayangkan betapa tertinggalnya kita jika tidak pandai membajak software yang mahal itu.
    Undang-undang Hak Cipta secara sejarah Islam awalnya memang belum dikenal, karena umumnya filosofi para penemu dan pencipta termasuk pengarang karya-karya besar dalam Islam hanya bertujuan untuk mendapat ridha dan pahala dari Allah semata. Sama sekali jauh dari tujuan materi dan kekayaan.
    Karena itu dalam literatur klasik fiqih Islam, kita tidak mengenal hak cipta sebagai sebuah hak milik yang terkait dengan kekayaan finansial. Justru semakin dibajak atau ditiru akan semakin banggalah dia dan semakin banyak pahalanya. Selain itu juga ada rasa kepuasan tersendiri dari segi psikologisnya. Apa yang mereka lakukan atas karya-karya itu jauh dari motivasi materi / uang. Sedangkan untuk penghasilan, para ulama dan ilmuwan bekerja memeras keringat. Ada yang jadi pedagang, petani, penjahit dan seterusnya. Mereka tidak menjadikan karya mereka sebagai tambang uang.
B.    Latar belakang masalah
    Istilah bajakan adalah memperjual belikan barang (baik berupa buku, kaset, CD, software, dsb) tanpa ijin pemilik hak cipta. Sehingga istilah ini sebenarnya tidak pernah muncul kecuali setelah munculnya seperangkat aturan baik nasional maupun internasional tentang pengaturan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
    Kenyataannya banyak kaum muslimin yang ‘terperangkap’ pada pemikiran barat-kapitalis ini. Akibatnya, mereka melakukan kesalahan dalam menetapkan status hukum. Sebagai contoh seorang ustadz saat ditanya tentang status hukum menggunakan barang bajakan maka beliau menyatakan: 
    Pada akhir-akhir ini sering terjadi pelanggaran terhadap hak cipta dalam bidang ilmu, seni dan sastra (intelektual properti). Pelanggaran terhadap hak cipta terutama yang berupa pembajakan buku-buku, kaset-kaset yang berisi musik dan lagu, dan film-film dari dalam dan luar negeri, sudah tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, tidak hanya menimpa pada pemegang hak cipta (pengarang, penerbit, pencipta musik dan lagu, perusahaan film, dan perusahaan perekaman kaset), melainkan negara juga yang dirugikan, karena tidak memperoleh pengahasilan atas keuntungan yang diperoleh dari pembajakan tersebut.
    Pembajakan terhadap intelektual properti (karya ilmiah dan lain-lain) dapat mematikan gairah kreativitas para pencipta untuk berkarya, yang sangat diperlukan untuk kecerdasan untuk kehidupan bangsa dan akselerasi pembangunan negara. Demikian pula pembajakan terhadap hak cipta, dapat merusak tatanan sosial, ekonomi, dan hukum di negara kita. Karena itu, tepat sekali sudah diundangkan UU no. 6 tahun 1982 tentang hak cipta yang dimaksud untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu, seni dan sastra.
    Namun di dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta. Berdasarkan laporan dari berbagai asosiasi organisasi yang berkatian dengan hak cipta buku dan penerbitan, musik dan lagu, film dan rekaman video dan komputer, bahwa pelanggaran terhadap hak cipta masih berlangsung; bahkan semakin meluas sehingga sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreativitas untuk mencipta serta dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam arti seluas-luasnya.
    Karena itu, lahirlah UU no. 7 tahun 1987 tentang hak cipta yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan materi UU no.6 tahun 1982 tetang hak cipta agar lebih mampu memberantas/menangkal pelanggran-pelnaggran terhadap hak cipta.
C.    Substansi Kajian
1.    Pengertian Barang Bajakan
Berbicara mengenai barang bajakan sangatlah bertalian dengan melanggar hak cipta. Sebelum membahas lebih lanjut, yang dinamakan hak cipta  sebagaimana diungkapkan dalam pasal 1 ayat 1 UUHC No. 16 tahun 2002 adalah: Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.yaitu pengertian secara khusus dan umum.
    Hak secara khusus didefinisikan sebagai “Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan sesama manusia, baik mengenai individu (orang), maupun mengenai harta”.  “Kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang atas yang lainnya”.Secara umum, hak diartikan sebagai “Suatu ketentuan yang dengannya syara’ menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum”.Sumber hak itu sendiri menurut Ulama fiqh ada lima, yaitu; Pertama, syara’, seperti berbagai ibadah yang diperintahkan. Kedua, akad, seperti akad jual beli, hibah, dan wakaf dalam pemindahan hak milik. Ketiga, kehendak pribadi, seperti janji dan nazar. Keempat, perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang. Kelima, perbuatan yang menimbulkan kemadaratan bagi orang lain, seperti mewajibkan seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaiannya dalam menggunakan barang milik orang lain.
    Dari definisi tersebut dapat kita gambarkan betapa besar penghargaan yang diberikan kepada seorang pencipta karena dia telah mencurahkan segala kemanpuanya untuk melahirkan ciptaan yang bermanfaat bagi sesama. Hal ini sangat tidak berlebihan karena islam sendiri juga menghormati seorang pencipta dengan bukti diharamkannya mengklaim ucapan orang lain sebagai ucapanya sendiri, atau menisbatkannya kepada selain orang yang mengucapkanya. Bahkan pengatasnamaan (penisbatan) kepada selain pemiliknuya adalah tindakan dusta dan penipuan yang diharamkan secara syar’i.
    Jadi, barang bajakan merupakan barang hasil tiruan dalam hal ini tanpa legalisasi dari sang pemilik barang tersebut.

a.    Kasus Pembajakan
    a).    Kasus Perampasan Pematenan
Kasus pematenan pembuatan tempe beberapa waktu yang lalu oleh pihak asing adalah contoh hal yang naif tentang dampak negatif pematenan ini. Bagaimana mungkin tempe yang entah sudah berapa generasi menjadi makanan orang Indonesia, tiba-tiba dipatenkan oleh orang dari luar negeri atas namanya. Jadi bila nanti ada orang Indonesia membuat pabrik tempe yang besar dan bisa mengekspor, harus siap-siap diklaim sebagai pembajak oleh mereka. Karena patennya mereka yang miliki.
Jadi setiap satu potong tempe yang anda makan, sekian persen dari harganya masuk ke kantong pemegang paten. Padahal mereka barangkali tidak pernah makan tempe. Dalam kasus seperti ini, bagaimana mungkin kita dikatakan sebagai pencuri hasil karya mereka?  Padahal tempe adalah makanan kebangsaan kita, bukan ? Sehingga nama tempe begitu akrab di telinga dan entah karena motivasi apa, kita sering menyebut kita ini sebagai bangsa tempe.
Karena itu kita tidak pernah mendengar bahwa Imam Bukhori menuntut seseorang karena dianggap menjiplak hasil keringatnya selama bertahun-tahun mengembara keliling dunia. Bila ada orang yang menyalin kitab shohihnya, maka beliau malah berbahagia. Begitu juga bila Jabir Al-Hayyan melihat orang-orang meniru/menjiplak hasil penemuan ilmiyahnya, maka beliau akan semakin bangga karena telah menjadi orang yang bermanfaat buat sesamanya. Hak cipta barulah ditetapkan dalam masyarakat barat yang mengukur segala sesuatu dengan ukuran materi. Dan didirikan lembaga untuk mematenkan sebuah penemuan dimana orang yang mendaftarkan akan berhak mendapatkan royalti dari siapa pun yang meniru/membuat sebuah formula yang dianggap menjiplak. Kemudian hal itu menjalar pula di tengah masyarakat Islam dan akhirnya dimasa ini, kita mengenalnya sebagai bagian dari kekayaan intelektual yang dimiliki haknya sepenuhnya oleh penemunya.
Namun dalam prkatek kesehariannya, ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan selain demi kemashlahatan para pemilik hak cipta itu, yaitu hak para konsumen yang ternyata juga terhalang haknya untuk mendapatkan karya yang seharusnya.
b).    Kasus Pembajakan Software
INDONESIA itu surga untuk semua yang bernama barang bajakan. Mulai dari perangkat keras, sampai program-program komputer. Vendor mana saja boleh saja membuat ekslusif produk-produknya, tapi tetap saja, di Indonesia, ada banyak jalan menuju Roma, banyak cara membajak barang. Barang-barang bajakan menyebar ke mana-mana sampai kampung-kampung terpencil.
Dari sudut etik-moral, praktek pembajakan tentu tidak dapat dibenarkan. Ia bertentangan dengan prinsip-prinsip etik-moral. Dalam tindak pembajakan, terdapat pihak yang dirugikan dan terzalimi, yaitu si pemilik hak cipta barang tersebut. Al-Quran dengan tegas mengatakan agar setiap orang tidak boleh berbuat zalim atau terzalimi (la tadhlimun wa la tudhlamun). Para pembajak adalah pihak yang zalim, sementara yang dibajak adalah pihak yang terzalimi.
Terkait dengan soal pembajakan tersebut, ada sebuah ayat dalam al-Quran yang memerintahkan agar kita tidak memakan harta orang lain secara batil. “Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (kerelaan) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan akan memasukkannya ke dalam neraka,” [QS, al-Nisa` (4): 29].
                    •       
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Dalam mengomentari ayat tersebut, al-Fakhr al-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatihul Ghaib [Lihat Juz V, hlm. 72] menyatakan bahkan pengertian “makan” tidak hanya melulu merujuk pada makna yang lazim dan hakiki, melainkan juga pada maknanya yang ghair lazim, majazi atau kiasan. Dalam definisi ini, maka pembajakan jelas masuk dalam kategori “memakan” harta orang lain dengan cara yang batil. Pembajakan adalah tindakan batil yang benderang. Di dalam pembajakan tidak akan dijumpai suatu kerelaan dari si pemilik hak cipta. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak halal harta milik seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya”.
Sementara itu, dari sudut fiqh pembajakan tidak bisa diberikan toleransi sedikitpun. Dalam kerangka itu ada dua perkara yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pembajakan dapat dimasukkan ke dalam perbuatan ghasab. Syeikh Nawawi al-Banteni dalam Nihayah al-Zain mendefinsikan ghasab sebagai perampasan hak orang lain secara zalim. Dalam pokok soal ini, jelas bahwa pembajak telah menggashab hak orang lain.
Sebagai konsekuensinya, pembajak dituntut untuk membawa barang bajakannya itu ke hadapan sang pemilik untuk dimintakan tanggapannya. Kalau si pemilik rela, maka ia bebas. Sebaliknya, jika si pemilik meminta ganti rugi yang layak dan rasional, maka si pembajak harus memenuhinya. Dalam konteks Indonesia, UU No. 6/1982 mengenai hak cipta yang disempurnakan dalam UU No. 7/1987 mestinya menjadi acuan dan ketentuan yang mengikat bagi seluruh warga bangsa.
Akan tetapi, ada pendapat, tetap saja harus dibedakan antara pembajakan yang bersifat konsumtif (istihlaki), dipakai untuk diri sendiri dan yang bersifat produktif (intaji), diperbanyak dan dijualbelikan kepada orang lain. Kedua pembajakan tersebut dari sudut fiqh Islam jelas berbeda. Pembajakan yang dilakukan hanya untuk konsumsi pribadi, tidaklah sama belaka hukumnya dengan pembajakan produktif yang sedari awal memang sengaja dirancang untuk mengeruk keuntungan material-ekonomi sebanyak-banyaknya.
Kalau pembajakan konsumtif biasanya terjadi untuk kepentingan individu semata, maka pembajakan produktif justru berlangsung dalam skala yang besar. Dengan demikian, jika pembajakan produktif tidak bisa diragukan lagi derajat keharamannya, maka pembajakan konsumtif, menurut saya, adalah hanya setingkat dengan hukum makruh. Hanya seseorang yang memiliki kesadaran tinggi yang enggan dan menjauh dari perkara ke-makruh-an itu.
Hukum Mengcopy software
Dalam masalah ini, para ulama kontemporer terbagi menjadi tiga pendapat:
Pertama: Mengharamkan secara mutlak baik mengcopy maupun menggunakan software2 yang tidak asli, jika hal tersebut dilarang oleh yang membuatnya. Baik itu muslim maupun kafir non harbi. Inilah fatwa mayoritas ulama kontemporer.
Kedua: boleh mengcopy dan menggunakan software yang tidak asli untuk kepentingan pribadi, bukan untuk diperjualbelikan, jika memang ia membutuhkannya, dan menurut dugaan kuatnya software aslinya telah terjual banyak dan pembuat softwarenya telah meraup keuntungan yang cukup dan dapat menutupi biaya pembuatan software tsb.
Ketiga: membolehkan secara mutlak, terutama bila berkaitan dengan ilmu-ilmu penting, sebab dengan tidak boleh mengcopy dan menggunakan kecuali software yang asli, berarti menyembunyikan dan membatasi manfaat dari ilmu tersebut.
Tentu pendapat yang paling hati-hati ialah pendapat pertama, namun jika memang antum terdesak dan sangat membutuhkan program tsb, cobalah cari program lain yang bisa menggantikan, dan bila tetap tidak ada atau harganya tidak terjangkau, maka seingat ana, Syaikh Utsaimin membolehkan penggunaannya secara terbatas, alias bukan untuk diperjual belikan.

Kedua, telah dijelaskan di dalam fiqh bahwa persyaratan orang yang hendak menjual sesuatu barang (ba`i’) adalah agar yang bersangkutan berada dalam kepemilikan yang sempurna atas barangnya itu (al-milk al-tamm). Dengan demikian, barang bajakan tidak bisa menjadi milik dari si pembajak, kecuali ada pemindahan hak milik secara sah dan legal. Artinya, kepemilikan para pembajak terhadap barang bajakannya itu tidak diakui dan dipandang semu oleh fiqh Islam. Oleh karena itu, maka pembajak tidak boleh menjual dalam bentuk apapun atas barang bajakannya itu pada orang lain.
Memang, kalau pembajakan dilarang akan mematikan ekonomi banyak keluarga. Cuma, pembajakan akan dapat melumpuhkan kreativitas seseorang untuk berkarya. Dunia kepenciptaan akan terganggu. Betapa seseorang yang berjerih payah berkarya secara tiba-tiba mesti dibajak tanpa sepengetahuan dan seizin si empunya.
Akan lebih baik kalau kita lebih kreatif menciptakan sesuatu yang baru sehingga membuka lapangan kerja yang baru pula. Karena bukan tidak mungkin, VCD bajakan misalnya, itu diproduksi oleh orang-orang yang punya modal besar dan penjual-penjual di lapak-lapak di pinggir jalan hanya dimanfaatkan oleh orang-orang itu. Dan terbukti, berulang kali yang ditangkap dan dirazia hanya mereka sedangkan pemodalnya tidak.
Untuk menentukan apakah membeli compact disc atau CD -- misalnya yang berisi piranti lunak (software) atau musik -- bajakan atau palsu  dapat dikenakan sanksi pidana menurut Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), maka terlebih dahulu perlu dijabarkan unsur-unsur yang terkandung dari pasal tersebut.
Pasal 480 KUHP menyebutkan: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah:
Ke-1.    Karena bersalah menadah, barangsiapa membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau karena mau mendapat untung, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan;
Ke-2.    Barangsiapa mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang-barang itu diperoleh karena kejahatan.”
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 480 KUHP meliputi:
1)    Barangsiapa: setiap subjek hukum yang diakui oleh undang-undang;
2)    Membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau karena mau mendapat untung, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan: unsur ini merupakan perbuatan-perbuatan materiil yang harus dilakukan seseorang untuk dapat terjerat Pasal 480 KUHP.
Jika mengacu pada pertanyaan awal, apakah pembeli CD bajakan dapat dikenakan sanksi pidana dengan mengacu pada Pasal 480 KUHP, maka sesuai dengan unsur-unsur yang telah dijabarkan di atas, pembeli CD bajakan dapat terjerat Pasal 480 KUHP. Hal ini karena perbuatan “membeli sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan” termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana menurut Pasal 480 KUHP. Lebih lanjut juga diatur bahwa selain pembeli, barangsiapa yang menyimpan atau menyembunyikan juga dapat dijerat dengan pasal ini.
Pembeli CD bajakan sudah sepatutnya menyangka bahwa barang tersebut merupakan barang yang diperoleh karena kejahatan. Pembajakan dalam tindak pidana diatur secara khusus dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan adanya pengaturan dalam undang-undang ini, maka masyarakat secara umum dianggap telah mengetahui bahwa pembajakan merupakan salah satu bentuk kejahatan.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembeli CD bajakan dapat dijerat dengan Pasal 480 KUHP mengenai penadahan.  Dasar hukum:
1)    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek     van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).
2)    Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.



Berikut fatwa Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia mengenai hukum memakai barang bajakan, yaitu:
Tidak dibenarkan bagi anda untuk menggandakan program-program komputer  yang pemiliknya melarang untuk digandakan kecuali atas seizinnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka." 
Dan juga berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبة من نَفْسٍ
"Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali atas kerelaan darinya".  Dan juga berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَبَقَ إِلَى مُبَاحٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
"Barang siapa telah lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang mubah (halal) maka dialah yang lebih berhak atasnya".
Hukum ini berlaku baik pencetus program adalah seorang muslim atau kafir selain kafir harbi (yang dengan terus terang memusuhi umat Islam), karena hak-hak orang kafir selain kafir harbi dihormati  layaknya hak-hak seorang muslim.
Hukum Menjual, Membeli Barang Bajakan
Hukum sah dan tidaknya jual beli tergantung terpenuhi atau tidaknya rukun dan syarat jual beli yang ada. Mengingat banyaknya persyaratan yang ada dalam rukun jual beli, point kali ini hanya menyikapi hak cipta  dari sisi sebagai ma’qud ‘alaih (objek transaksi).
Dalam poin pertama telah disinggung bahwa hak cipta  termasuk dalam kategori manfaat karena realita yang terjadi dimasyarakat (urf) telah menunjukan bahwa menjual barang ciptaan apabila disertai dengan hak ciptanya (hak memperbanyak dan mengedarkan) maka harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan menjualnya tanpa menjual hak cipta  dari karya tersebut dalam pandangan fiqh manfaat boleh diperjualbelikan. Dengan demikian hukum menjual belikan hak cipta  adalah sah akan tetapi melihat hak cipta adalah manfaat, maka perlu adanya tempat yang menampungnya, dan tempat inilah yang pada akhirnya menjadi ma’qud ‘alaih.
Contoh Transaksi menjual Barang Bajakan atau Manipulasi Hak Cipta
Transaksi menjual hak cipta bisa kita contohkan sebagai berikut : pencetak kita anggap sebagai pembeli hak cipta  dari pengarang yang mana transaksi tersebut harus dilakukan pada tempat yang  diwujudkan dalam bentuk naskah kitab disertai dengan syarat bahwa pengarangnya melepaskan haknya secara penuh.
2.    Hak Cipta
    Kelebihan istimewa yang dimiliki manusia adalah kemampuannya dalam menalar, merasa, dan mengindra. Dengan menalar manusia mampu mencipta dan mengembangkan pengetahuannya, dan hal inilah yang secara prinsip membedakan antara makhluk tingkat rendah dengan makhluk tingkat tinggi, yaitu manusia. Ilmu menjadi furqan (pembeda) antar makhluk, bahkan pembeda kualitas antar manusia itu sendiri.
Kemampuan manusia dalam berfikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan telah melahirkan temuan-temuan baru yang belum ada sebelumnya seperti; bisa menciptakan lagu,pembuatan film yang dapat di nikmati masyarakat banyak contohya.
Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, ditemukannya hal-hal baru tersebut telah melahirkan kesadaran akan adanya hak baru di luar hak kebendaan atau barang. Pengakuan atas segala temuan, ciptaan, dan kreasi baru yang ditemukan dan diciptakan baik oleh individu atau kelompok telah melahirkan apa yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Undang-undang hak cipta (UUHC) yang pertama berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 yang berasal dari Belanda yang diamandemen oleh UU No 6 tahun 1982 yang mendapat penyempurnaan pada tahun 1987. Departemen Kehakiman pada tahun 1989 mengeluarkan UUHP, pada tahun 1992 mengeluarkan UUHM, dan yang terakhir UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, hak cipta diakui dan mempunyai perlindungan hukum yang sah, dan pelanggarnya dapat dituntut dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun dan atau denda maksimal Rp 5.000.000.000.00.
Ulasan di atas adalah pandangan hukum positif terhadap masalah hak cipta.dan makalah ini akan membahas tentang jual beli barang bajakan menurut hukum islam dimana kita nisa melihat respon syariat islam tentang barang bajakan.
a.    Hak Cipta Menurut Pandangan Islam
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mewajibkan penyebarluasan ilmu dan ajaran agama seperti dalam Surat Al-Maidah ayat 67 dan Yusuf ayat 108. Dan di samping itu terdapat pula beberapa ayat yang melarang (haram), mengutuk dan mengancam dengan azab neraka pada hari akhirat nanti kepada orang-orang yang menyembunyikan ilmu, ajaran agama, dan mengkomersialkan agama untuk kepentingan dunia kehidupan duniawi, seperti Firman Allah:
       • ••                
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima. (QS. Ali-Imran: 187).
•           •• ••                •          
Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, kecuali mereka yang telah taubat dan Mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka terhadap mereka Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 150-160)
•                   •                         •   
Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, Yaitu Al kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang Amat pedih. Mereka Itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka Alangkah beraninya mereka menentang api neraka. (QS. Al-Baqarah: 174-175).
Demikian pula terdapat beberapa hadits yang senada dengan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut di atas, antara lain hadits Nabi riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Hakim dari Abu Hurairah ra.: “barang siapa ditanyai tentang sesuatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diberi pakaian kendali pada mulutnya dari api neraka pada hari kiamat.”
Yang dimaksud dengan ilmu yang wajib dipelajari (fardhu ‘ain) dan wajib pula disebarluaskan ialah pokok-pokok ajaran Islam tentang aqidah, ibadah, muamalah dan akhlaq. Di luar itu, hukumnya bisa jadi fardhu kifayah, sunnah atau mubah, tergantung pada urgensinya bagi setiap individu dan umat (al-Zabidi, Taisirul Wusul ila Jami’ al-Ushul, vol. III, Cairo, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1934, hlm. 153).
Mengenai hak cipta seperti karya tulis, menurut pandangan Islam tetap pada penulisnya. Sebab karya tulis itu merupakan hasil usaha yang halal melalui kemampuan berfikir dan menulis, sehingga karya itu menjadi hak milik pribadi. Karena itu karya tulis itu dilindungi hukum, sehingga bisa dikenakan sanksi hukuman terhadap siapapun yang berani melanggar hak cipta seseorang. Misalnya dengan cara pencurian, penyerobotan, penggelapan, pembajakan, plagiat dan sebagainya.
Islam sangat menghargai karya tulis yang bermanfaat untuk kepentingan agama dan umat, sebab itu termasuk amal saleh yang pahalanya terus menerus bagi penulisnya, sekalipun ia telah meninggal, sebagaimana dalam hadits Rasul riwayat Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah ra.: “apabila manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya, kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan dia.”
Karena hak cipta itu merupakan hak milik pribadi, maka agama melarang orang yang tidak berhak (bukan pemilik hak cipta) memfotokopi, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk bisnis. Demikian pula menerjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya, juga dilarang, kecuali dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberi hak untuk menerbitkannya.
Perbuatan meng-copy, mencetak, menerjemahkan, menduplikasi, memperbanyak, memodifikasi dan sebagainya yang bermotif komersial terhadap karya/produk seseorang atau suatu pihak tanpa izin pemilik hak cipta atau ahli warisnya yang sah atau yang diberi wewenang oleh penulisnya, merupakan perbuatan tidak etis dan zhalim yang dilarang oleh Islam. Sebab perbuatan semacam itu bisa termasuk kategori pencurian dan men-ghasab hak orang lain ataupun penggelapan dan penipuan dalam konteks melanggar amanat/perjanjian kesepakatan antara para pihak terkait.
Adapun dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan tersebut di atas antara lain:
a)    Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh:188 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil….”
b)    Hadits Nabi riwayat Daruqutni dari Anas (hadits marfu’): “tidak halal harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.”
c)    Hadits Nabi: “Nabi bertanya, ‘apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut (muflis, Arab) itu?’ jawab mereka (sahabat): ‘orang yang bangkrut di kalangan kita ialah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali’. Kemudian Nabi bersabda: ‘sebenarnya orang bangkrut (bangkrut amalnya) dari umatku itu ialah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh-nuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Lalu amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah dizhalimi/dirugikan dan jika hal ini belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah dizhalimi itu ditransfer kepada si zhalim itu, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.”
Ayat dan kedua hadits di atas mengingatkan umat Islam agar tidak memakai/menggunakan hak orang lain, dan tidak pula mengkonsumsi ataupun memanfaatkan harta orang lain, kecuali dengan persetujuan dan kerelaannya. Pelanggaran terhadap hak orang lain termasuk hak cipta juga bisa termasuk ke dalam kategori muflis, yakni orang yang bangkrut amalnya nanti di akhirat.
Islam menghormati hak milik pribadi, namun hak milik pribadi itu juga memiliki dimensi sosial dan lingkungan, karena hak milik pribadi maupun perusahaan pada hakikatnya adalah hak milik Allah yang diamanahkan kepada seseorang atau suatu perusahaan. Karenanya, karya, produk, inovasi dan kreasi itu pun harus dapat dimanfaatkan oleh umat manusia baik melalui transaksi komersial yang terjangkau maupun charity yang bersifat sosial, tidak boleh dirusak, disembunyikan, maupun dimonopoli oleh pemilik dan pembuatnya. Karena universalitas dimensi kesosialan tersebut dalam ketentuan Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perusahaan wajib menunaikan tanggungjawab sosial dan lingkungan baik melalui pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) maupun zakat perusahaan ataupun pemegang saham. Selain itu, dalam penentuan tarif dan harga penjualan produk dan jasa terkait hak cipta tersebut juga harus berasaskan keadilan Islam bukan semangat kapitalisme yaitu dengan mempertimbangkan aspek keterjangkauan masyarakat dan social benefit selain commercial benefit.
Hal tersebut adalah sangat baik dan terpuji untuk dilakukan secara komit oleh perusahaan dan pribadi pemegang hak cipta sebagai kesadaran sosial dan lingkungan selain juga menekan kecenderungan masyarakat kepada pembajakan dan barang bajakan jika disparitas harga barang yang original dan bajakan tidak terlalu jauh.
Fatwa dari ulama-ulama terkemuka di abad ini.
Ketahuilah bahwa syari'at Islam mengakui adanya hak atas kekayaan intelektual, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk karya tulisan, program komputer, karya seni atau lainnya, maka sudah sepantasnya bila kita menghormati harta kekayaan saudara kita. Ketahuilah bahwa bagaimana pun sikap kita terhadap hak-hak saudara kita, maka demikian pulalah saudara kita akan memperlakukan kita. Ingatlah pepatah Arab:
كَمَا تَدِينُ تُدَان
"Sebagaimana anda memperlakukan orang lain, maka demikianlah mereka akan memperlakukan anda."
Hukum Pembajakan dan Barang Bajakan
Pelanggaran terhadap hak cipta dalam bidang ilmu, seni dan sastra, kreasi dan inovasi teknologi (intellectual property) pada prinsipnya merupakan tindakan kriminal sebagaimana pelanggaran hak milik orang lain pada umumnya. Pelanggaran pada hak cipta sudah tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, tidak hanya menimpa kepada para pemegang hak cipta (pengarang, penerbit, pencipta musik/lagu, perusahaan produser rekaman dan film, dan lain-lain) yang menghambat semangat kreasi dan ide, melainkan juga negara yang dirugikan, karena tidak memperoleh pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh dari pembajak tersebut.
Pembajakan terhadap intellectual property dapat mematikan gairah kreativitas para pencipta ide, kreasi dan inovasi untuk berkarya, yang sangat diperlukan untuk kecerdasan kehidupan bangsa dan akselerasi pembangunan negara. Demikian pula pembajakan terhadap hak cipta dapat merusak tatanan sosial, ekonomi dan hukum di negara kita. Karena itu tepat sekali diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di berbagai bidang.
Namun di dalam pelaksanaan ketentuan perundangan terkait hak cipta di Indonesia masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta. Berdasarkan laporan dari berbagai asosiasi profesi yang berkaitan erat dengan hak cipta di bidang buku dan penerbitan, musik dan lagu, film dan rekaman video, dan komputer, bahwa pelanggaran terhadap hak cipta masih tetap berlangsung; bahkan semakin meluas sehingga sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreativitas untuk mencipta, serta dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Dengan diklasifikasikannya pelanggaran terhadap hak cipta sebagai tindakan pidana, berarti bahwa tindakan-tindakan negara terhadap para pelanggar hak cipta tidak lagi semata-mata didasarkan atas pengaduan dari pemegang hak cipta. Tindakan negara akan dilakukan baik atas pengaduan pemegang hak cipta yang bersangkutan maupun atas dasar laporan/informasi dari pihak lainnya. Karena itu aparatur penegak hukum diminta untuk bersikap lebih aktif dalam mengatasi pelanggaran hak cipta itu.
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
(Nomor 1 Tahun 2003)
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan bahwa : Dalam hukum Islam, Hak Cipta dipandang sebagai salah satu huquq maliyyah (Hak Kekayaan) yang mendapatkan perlindungan hukum (masnun) sebagaimana mal (kekayaan) Hak Cipta yang mendapatkan perlindungan hukum Islam sebagaimana dimaksud angka 1 tersebut adalah Hak Cipta atas ciptaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagaimana mal, Hak Cipta dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qud alaih), baik akad mua’wadhah (pertukaran, komersil), maupun akad tabarru’at (non komersial), serta diwaqafkan dan diwarisi. Setiap bentuk pelanggaran terhadap Hak Cipta, terutama pembajakan, merupakan kezaliman yang hukumnya adalah HARAM.
Dari sudut pandang agama MUI melalui komisi Fatwa MUI, pada tanggal 17 Februari 2003, mengeluarkan Fatwa yang mengatakan bahwa pembajakan itu adalah perbuatan maksiat berupa pencurian hak cipta orang lain sehingga pantas untuk dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan. Sedang pembeli kaset bajakan dapat dikategorikan sebagai konsumen barang haram.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi pada hari Sabtu, 14 Dzulqo’dah 1423 H/18 Januari 2003 M, memutuskan bahwa:


Pertama: Ketentuan Hukum
1.    Dalam hukum Islam, Hak Cipta dipandang sebagai salah satu huquq maliyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (Mashun) sebagaimana mal (kekayaan).
2.    Hak Cipta yang mendapat perlindungan hukum Islam sebagaimana dimaksud angka 1 tersebut adalah hak cipta atas ciptaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3.    Sebagaimana mal, Hak Cipta dapat dijadikan objek akad (al-ma’qud ‘alaih), baik akad mu’awadhah (pertukaran, komersial), maupun akad tabarri’at (non-komersial), serta diwakafkan dan diwarisi.
4.    Setiap bentuk pelanggaran hak cipta, terutama pembajakan, merupakan kedzaliman yang hukumnya adalah haram.

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ كِتَابُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ وَالْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
“Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang membebaskan.” (HR. Ibnu Maajah)

وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no 1403)




3.    Ghanimah (Harta Rampasan)
1.    Pengertian Ghanimah
    Ghanimah adalah harta yang diperoleh di medan perang.  Adapaun ketentuan hukum pembagiannya adalah dibagi 5 bagian. Hendaklah panglima mengambil 1/5 bagian untuk dipergunakan bagi kemaslahatan kaum Muslimin. Sedangkan 4/5 bagian sisanya diperuntukkan bagi anggota pasukan tentara yang ikut berperang baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal itu berdasarkan keterangan yang dituturkan Umar: “Ghanimah itu diperuntukkan bagi orang yang ikut berperang”. (HR. Al-Bukhari). Pasukan berkuda (kavaleri) mendapatkan 3/5 bagian dan pasukan pejalan kaki (infantri) mendapatkan 1/5 bagian.allah berfirman:
      •                               
 ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang[613], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil[614], jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[615] yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan[616], Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu
Nabi Muhammad saw.bersabda:
عَنْ أَبِى عَمْرَةَ ر.ع. أَنَّ ا لنِّبِىَّ ص.م. أَعْطَى لِلْفَرَ سِ سَهْمَيْنِ وَ لِكُلِّ اِنْسَا نٍ سَهْمٌ فَكَا نَ لِفَا رِسٍ ثَلَا ثَةُ اَسْهُمٍ {روه أبو داد}
Artinya: “dari Abu Amrah r.a., bahwa Nabi saw. telah memberikan untuk kuda dua bagian, dan bagi tiap-tiap seorang satu bagian, maka jumlah bagi orang yang berkuda adalah tiga bagian”.
Sisanya, yaitu seperlima dibagi atas lima bagian, yaitu untuk:
a)    Allah dan Rasul;
b)    Karib kerabat Nabi;
c)    Anak-anak yatim;
d)    Orang miskin;
e)    Ibnu Sabil, artinya orang-orang yang sedang terlantar di rantau atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh.
Menurut pengarang Tafsir al-Khazin, hak allah dan Rasul pada masa sekarang hendaklah diserahkan kepada segala hal yang dapat menambah kekuatan Islam. Adapun karib kerabat Nabi, menurut pendapat Abu Hanifah, sekarang tidak ada lagi maka boleh dialihkan pada karib kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil.
Syarat-syarat Menerima Seperlima, yaitu:
Disyaratkan bagi orang-orang yang akan menerima seperlima ialah:
a)    Islam;
b)    Baligh
c)    Berakal;
d)    Merdeka;
e)    Laki-laki
Bila salah satu syarat itu tidak ada, umpamanya anak-anak dan perempuan yang turut berperang, mereka boleh diberi bagian dari rampasan itu.






SKEMATIKA MASALAH





















DAFTAR RUJUKAN
Fatwa Al Lajnah Ad Da'imah 13/188, fatwa no: 18453, Mawqi’ Al Ifta’ (http://alifta.net)
HR. All Baihaqi dan Daruquthni. Lihat Irwaul Gholil no. 1459.
Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007). Hlm. 677.
Shahih Al Jaami.......no. 6714.
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul Haq, 2008), hlm. 441
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 2000), hlm. 52
Yusuf qordowi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Surakarta: Darul Ma’rifah, 2000), hlm. 25
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4695/apakah-pembeli-cd-bajakan-bisa-dijerat-pasal-penadahan.com
http://reconomication.blogspot.com/2011/03/jual-beli-barang-bajakan-menurut hukum.html
http://saifanshori.blogspot.com/2010/07/hak-cipta.html
Himpunan Fatwa MUI (sejak 1975), Erlangga, hlm. 429

No comments:

Post a Comment