Taman

Tuesday, March 5, 2013

Manajemen Dakwah

Bab I
Pendahuluan


1.1    Latar Belakang
Kaderisasi merupakan hal terpenting dalam organisasi. Faktor pertama yang harus diperhatikan dalam sebuah organisasi adalah manusia. Karena eksistensi sebuah organisasi ditentukan oleh faktor manusia yang mendukungnya. Sumber daya manusia (human resources) dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas menyangkut jumlah sumber daya manusia (populasi penduduk) yang sangat penting kontribusinya. Sedangkan aspek kualitas menyangkut mutu dari sumber daya manusia yang berkaitan dengan kemampuan fisik maupun kemampuan nonfisik (kecerdasan nonmental) yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir dan keterampilan-keterampilan lainnya.
Secara umum pengembangan sumber daya manusia harus berorientasi pada pendekatan diri kepada Allah swt. Dalam kaitannya dengan istilah manajemen, maka pengembangan sumber daya manusia tidak dapat dipisahkan dari aspek keseimbangan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai universal Islam yang merupakan rahmatan lil ’alamin. Pengembangan manajemen Islam mengandung tujuan untuk mengembangkan potensi da’i.
Atas dasar ini, penulis membahas tentang pembinaan kader dakwah dan etika dakwah Islamiyah. Agar kita sebagai umat muslim dan calon pendidik, dapat menjalankan amanat sebagai khalifah di bumi dan mencetak generasi penerus yang menegakkan agama Islam.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apa pengertian pembinaan kader dan etika dakwah Islamiyah?
2.    Apa tujuan pembinaan kader dakwah Islamiyah?
3.    Bagaimana etika da’i dalam berdakwah?
4.    Apa fungsi adanya etika dalam berdakwah?

1.3    Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui pengertian pembinaan kader dan etika dakwah Islamiyah.
2.    Untuk mengetahui tujuan pembinaan kader dakwah Islamiyah.
3.    Untuk mengetahui etika da’i dalam berdakwah.
4.    Untuk mengetahui fungsi adanya etika dalam berdakwah.















Bab II
Pembahasan


2.1    Pembinaan Kader Da’wah
1.    Pengertian Pembinaan Kader Dakwah
Rijalud dakwah atau kader dakwah adalah seorang yang telah tertarbiyah secara intensif sehingga memiliki kesiapan untuk berjuang dan berkorban di jalan Allah, dan juga berpotensi menjadi anashirut taghyir atau agen perubah di masyarakat. Para kader dakwah adalah mereka yang telah siap berkorban jiwa, raga, dan seluruh harta benda serta potensi yang mereka milliki.
Kader dakwah dilahirkan oleh sebuah proses pembinaan yang melingkupi berbagai aspek kehidupan. Yang menjadi perhatian adalah tarbiyatun nufus (mendidik jiwa), tajdidul arwah (memperbaharui semangat), taqwiyatul akhlaq (memperkokoh moral) dan tanmiyaturrajulah as shahihah (mengembangkan kepahlawan yang benar).
Pembinaan kader sangat berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia. Dalam perspektif Islam, pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu keharusan. Artinya, Islam sangat peduli terhadap peningkatan harkat dan martabat manusia, karena dalam Islam manusia berada pada posisi yang terhormat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Isra’: 70,
                    
Artinya: “dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Pembinaan kader dakwah adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan untuk membentuk dan mengembangkan potensi da’i/da’iah sehingga terbentuk manusia yang memiliki kesiapan untuk berjuang dan berkorban di jalan Allah dan berpotensi menjadi perubah di masyarakat. Merupakan sebuah keniscayaan bagi pemimpin atau manajer muslim untuk membina para da’i dalam program latihan dan pengembangan terencana, untuk meningkatkan kualitas pribadi, maupun keterampilan teknis mereka. Upaya peningkatan kualitas ini merupakan suatu latihan yang diorganisasikan untuk meningkatkan kualitas kerja (job performance) dan mengembangkan potensi setiap da’i.
Dalam dunia dakwah pengembangan sumber daya da’i lebih ditekankan pada pengembangan aspek mental, spiritual, dan emosi serta psycho-motoric manusia untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, citra ideal sumber daya manusia muslim adalah kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diimbangi dengan kekuatan keimanan.
2.    Dasar-Dasar Pembinaan Kader Dakwah
a.    Al Fahmu ad Daqid (pemahaman yang luas). Kader dakwah yang memiliki pemahaman Islam yang benar akan terpelihara dari berbagai penyimpangan.
b.    Al Iman al amiq (keyakinan yang kuat). Kader dakwah harus memilliki keyakinan yang kuat dan tertanam di dalam jiwanya bahwa Islamlah satu-satunya sistem yang mampu memenuhi kebutuhan manusia dunia dan akhirat. Firman Allah dalam QS Az Zukhruf: 43,
     •      
Artinya: “Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.”
Selain itu kader juga harus meyakini bahwa Allah senantiasa bersama orang-orang yang membela agama-Nya. Firman Allah dalam QS Al Hajj: 40,
               ••                         
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan Kami hanyalah Allah’. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.”
c.    At Takwin al matin (pembinaan yang kokoh)
Agar kader dakwah tetap konsisten di atas jalan dakwah maka ada Anashirut Tsabit (faktor-faktor pendukung konsistensi) yang perlu diperhatikan yaitu:
a.    Dawamuluju ilallah (senantiasa kembali kepada Allah)
b.    Taqorrub ilallah menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap muslim. Semakin dekat seseorang dengan Allah semakin besar peluangnya untuk mendapatkan rahmatNya ialah istiqomah di jalan dakwah.
c.    Ma’rifatu thobi’atu thoriq (mengenal karakter jalan dakwah)
Diantara karakter jalan dakwah adalah jalan yang panjang, bertingkat, dan banyak rintangan. Setiap kader dakwah harus memperkuat dirinya dengan kesabaran, nafas panjang, dan memahami bahwasanya ia mungkin saja meninggal lebih dulu sebelum melihat kemenangan. Yang penting ia mati di jalan Allah.
d.    Adamu tanazu’ (menghindari konflik internal). Konflik internal biasanya terjadi disebabkan ta’adud qiyadah (dualisme kepemimpinan) dan ta’adud taujihat (banyaknya sumber arahan) / bila hawa nafsu yang mengarahkan pendapat dan pemikiran (QS Al Anfal : 46)
           •      
Artinya: “dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
3.    Tujuan dan Fungsi Pembinaan Kader Dakwah
a.    Manusia adalah makhluk Allah yang berani untuk mengemban amanah yang mana sebelumnya amanah ini telah ditolak oleh langit, bumi, dan gunung (QS. Al Ahzab: 72). Dengan demikian kehadiran manusia di muka bumi tak lain sebagai khalifah (QS. Al Baqarah: 30) dan untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz Dzariat: 56). Maka manusia diberi kesempurnaan (QS. Al Infithar: 6-8). Secara ringkas manusia mengemban dua amanah, yaitu amanah risalah yang terkait dengan tujuan penciptaan manusia, dan amanah wazhifah yang terkait dengan tugas dan fungsi manusia diciptakan.
b.    Membentuk kepribadian yang taat beribadah kepada Allah dengan menghambakan diri dan sebagai pemakmur bumi sesuai fungsinya sebagai khalifah dimana kegiatannya itu berdasarkan peraturan yang datang dari Allah (wahyu maupun sunatullah). Mereka adalah manusia yang terbebas dari penghambaan manusia terhadap manusia lain dan terbebas dari kekangan hawa nafsu.
c.    Langkah awal dalam melakukan pembinaan adalah membentuk persepsi (tashawur) dengan sedikitnya tiga kriteria. Yang pertama adalah mengerti Islam. Kedua adalah benar, yaitu menyampaikan Islam seperti yang dipahami oleh salafus saleh. Ketiga adalah menyeluruh, dan tidak menyampaikannya sebagian kemudian dicampur dengan kebatilan.
d.    Memberikan persepsi (tashawur) yang jelas terhadap Islam, yang benar dan menyeluruh.
e.    Komponen dasar pembentukan kepribadian muslim dan da’i adalah pendirian, keyakinan, pemikiran, perasaan, perilaku, dan watak. Dasar pembentukan komponen tersebut adalah akidah Islamiyah.
f.    Tiga syarat seorang da’i adalah adanya pemahaman yang benar dan luas (al fahmu ad daqiq) yang bersumber dari Al Qur’an dan sunah, adanya iman yang mantap (al imanu al amiq) yang meyakini bahwa Islam adalah yang benar-benar haq dan selainnya adalah batil, adanya hubungan yang kokoh kepada Allah (al ittishalu al watsiq).
g.    Syakhshiyah daiyah (kepribadian dai) diharapkan akan menjadi praktisi dakwah dimana ia harus memiliki wawasan harakah yang cukup, memiliki pengalaman lapangan, memiliki tanggung jawab (ma’uliyah) dan memiliki kapabilitas,

2.2    Etika dalam Dakwah
1.    Pengertian Etika Dakwah Islamiyah
Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehedak baik yang tetap. Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang menyertai suatu tindakan.  Etika tidak sama dengan ajaran moral, karena etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Jadi, etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran, oleh sebab itu etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama.
Etika dakwah Islamiyah adalah ilmu yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan dakwah yang berkaitan dengan baik buruknya perilaku, dan apa yang seharusnya dan apa yang tidak sepatutnya dilakukan oleh setiap pelaku dakwah sesuai dengan syariat Islam. Da’i atau da’iyah adalah subjek atau pelaku dakwah. Oleh karena itu bagi seorang da’i atau da’iyah memiliki moralitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan tolak ukur yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengukur kualitas perilaku (moralitas) seseorang adalah norma-norma moral. Norma-norma moral bagi da’i atau da’iyah tentunya akan sangat diukur oleh norma-norma yang diajarkan oleh syariat Islam, yang kemudian akan menjadi moralitas yang berbentuk dalam akhlak da’i atau da’iyah.
2.    Prinsip Etika Dakwah Islamiyah
Beberapa prinsip yang harus dijadikan acuan etika dalam berdakwah adalah sebagai berikut:
Pertama, memahami hakikat dakwah dan apa yang diajarkan dengan landasan ilmu yang benar. Hal ini sesuai petunjuk Al Qur’an dalam surat Yunus ayat 108. Bahkan Ibnul Qayyim Aljauziyah ketika menjelaskan ayat 125 dari surat An-Nahl “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hikmah dan mauizhatil hasanah adalah ilmu sebelum berdakwah, berbelas kasih saat berdakwah, dan bersikap arif setelah berdakwah.
Kedua, etika dakwah yang juga sebagai prinsipnya adalah tidak memaksakan kehendak. Hal ini mengingat ketetapan Allah dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 99,
        •    ••      
Artinya: “dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.”
Ketiga, jangan mempersulit masalah dan mengedepankan kemudahan. Hal ini ditetapkan Allah dalam Al Qur’an Al Baqarah ayat 185, yang artinya “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. 
3.    Etika Dakwah dan Dialog menurut Dr. Yusuf Qardhawi
Pertama, harus memelihara hak orang tua dan sanak kerabat. Tidak diperbolehkan menghadapi ayah, ibu, dan saudara dengan cara yang kasar. Seseorang tidak boleh memarahi mereka dengan tuduhan durhaka, bid'ah, atau menyeleweng dari agama. Mereka, khususnya kedua orang tua, mempunyai hak untuk diperlakukan secara lemah lembut. Allah SWT berfirman, "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah kedua-nya di dunia dengan baik." (QS. Luqman: 15).
Kedua, memperhatikan tingkat umur. Tidak seyogianya seorang da'i mengabaikan faktor perbedaan umur mad'u (penerima dakwah) dengan alasan bahwa Islam mengajarkan persamaan. Ia tidak boleh menyamakan gaya pembicaraan terhadap dua kelompok penerima dakwah yang berbeda. Misalnya, antara orang tua dan pemuda. Menyamakan penerima dakwah merupakan tindakan keliru, karena persamaan (egaliterianisme) yang diajarkan Islam adalah dalam masalah kehormatan manusia dan hak-hak asasi universal. Egaliterianisme ini tidak sampai menghalangi hak-hak tertentu yang harus dijaga seperti hak-hak sanak kerabat, rumah tangga, dan kepemimpinan. Salah satu ajaran etika Islam adalah yang kecil menghormati yang besar dan yang besar mengasihi yang kecil. Rasulullah saw. bersabda, "tidak termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi anak-anak, tidak menghormati orang tua, dan tidak mengenali orang yang berilmu" (HR Ahmad).
Ketiga, memelihara hak orang-orang terdahulu. Kita tidak boleh mengingkari orang-orang terdahulu yang banyak berjasa dalam berdakwah dan menebar ilmu ke seluruh lapisan umat Islam. Tak sepantasnya kita melupakan jasa-jasa mereka dan mencelanya setelah karya-karya mereka mulai kehilangan relevansinya dengan era kontemporer, atau karena sang tokoh tampak mulai lemah meskipun sangat kuat semasa jaya.
4.    Etika Dakwah Islamiyah
Dalam soal dakwah semua acuan kembali kepada teladan tunggal yang ditetapkan Allah untuk dirujuki dalam menghadapi berbagai masalah hidup dan kehidupan, baik menyangkut duniawi maupun ukhrawi. Semua contoh yang terbaik itu ada pada diri Rasulullah SAW.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al Ahzab: 21,
                   
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
Beberapa etika dakwah Islamiyah yang hendaknya dilakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain sebagai berikut:
a.    Sopan
Sopan berhubungan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak sama. Masing-masing memiliki standar sendiri, akan tetapi aturan yang berlaku umum dapat dijadikan rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan. 
Kesopanan harus kita pelihara dalam perbuatan dan pembicaraan. Cara mengenakan pakaian, bentuk serta model pakaian harus dijaga serapi mungkin, sehingga tidak melanggar norma-norma tertentu dan tidak membosankan. Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh da’i juga harus sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan. Karena itulah kesopanan menjadi hal yang dipertimbangkan oleh da’i dalam melakukan aktivitas dakwahnya.
b.    Jujur
Dalam menyampaikan aktivitas dakwahnya, seorang da’i hendaklah menyampaikan suatu informasi dengan jujur. Terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar, tidak menyampaikan berita bohong dan memutarbalikkan keadaan yang sebenarnya. Tidak sepantasnya seorang da’i berdusta, sebab dusta akan merugikan dirinya sendiri dan mad’u-nya. Seorang da’i harus senantiasa memelihara tutur katanya. Ia tidak berbicara kecuali dengan kejujuran, ia tidak berfatwa melainkan dengan ilmu serta pemahaman yang diketahuinya.
c.    Tidak Menghasut
Seorang da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut apalagi memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun kepada kelompok lain yang berselisih faham. Karena jika itu dilkukan, yang bingung dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai objek dakwah. Adapun yang perlu diingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas dakwahnya itu ia harus menyampaikan kebenaran bukan harus menghasut atau melakukan provokasi.

d.    Tawadhu’ (tidak sombong)
Sifat tawadhu merupakan akhlak orang-orang sholih, orang yang tawadhu’ tidak suka menonjolkan diri, tidak sombong dan selalu menjaga agar dirinya tetap dihargai orang lain menurut apa adanya. Seorang da’i yang tawadhu’ akan selalu menjauhkan diri dari sifat dan perbuatan yang berlebih-lebihan, selalu bersikap toleran terhadap sesamanya, menghormati dan menghargai pendapat orang lain, serta pendai bergaul. Dengannya pula, seorang da’i dapat menarik banyak pendukung dan pengikut, serta menjadikan dirinya dicintai oleh masyarakat, sehingga apa yang diucapkannya dapat menggugah hati sanubari mereka. 
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’ara’: 215,
   •     
Artinya: “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.”
e.    Al Rahmah (kasih sayang)
Sesungguhnya setiap da’i harus mempunyai hati yang mengalir rasa kasih sayang kepada sesama manusia dan hendaklah berbuat baik kepada mereka serta menasehati mereka. Tanda kasih sayang kepada mereka adalah mengajak mereka kepada agama Allah, karena dengan penerimaan dakwah itulah kelepasan mereka dari adzab neraka dan keberuntungan mereka dengan memperoleh keridhaan Allah. Dengan sikap itu, bermacam-macam keinginan dan kebaikan dapat dicapai, yang tidak mungkin tercapai dengan cara kekerasan dan kekasaran.
f.    Uswatun Hasanah
Seorang da’i harus dapat menjadi contoh atau teladan yang baik bagi para mad’u-nya, maka dari itu bagi seorang da’i sesungguhnya harus menjadi uswah hasanah terhadap apa yang didakwahkan. Jika tidak, maka tidak akan ada orang yang mau mendengar perkataannya. Walaupun ia adalah orang yang pandai dalam ilmu agama, tetapi apabila perilakunya tidak sesuai dengan syari’at Islam dan norma-norma yang berlaku, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaat dan orang-orang tidak akan melihatnya dengan pandangan hormat.
g.    Mempunyai niat yang baik
Seorang da’i harus mempunyai niat yang baik dalam berdakwah, sehingga tidak mengharapkan imbalan, harta, atau kedudukan, tetapi semata-mata mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Beberapa perilaku etika yang berlaku dalam masyarakat, hendaklah dipahami oleh setiap da’i atau mubaligh dalam melakukan aktivitas dakwahnya. Sehingga dengan demikian aktivitas dakwah akan berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan keresahan dan benturan-benturan baik dikalangan antar da’i maupun dikalangan masyarakat pada umumnya, karena da’i bukanlah provokator.
5.    Fungsi Etika Dakwah
Etika membantu manusia bertindak secara bebas dan dapat mempertanggungjawabkannya, etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu manusia dalam mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu ia lakukan.
Etika dakwah juga  memiliki peranan yang besar dalam mempersiapkan kader dai yang etis dan professional. Selain iitu profesionalisme juga terlihat dari perilaku  dan apa yang ada dalam dirinya. Setelah seorang dai memiliki nilai-nilai etis,  tentunya akan melahirkan profesionalisme. Jika seorang dai memiliki sifat ini etis dan professional tentunya kegiatan dakwah akan berjalan secara optimal.





Bab III
Penutup


Kesimpulan
Pembinaan kader dakwah adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan untuk membentuk dan mengembangkan potensi da’i/da’iah sehingga terbentuk manusia yang memiliki kesiapan untuk berjuang dan berkorban di jalan Allah dan berpotensi menjadi perubah di masyarakat. Etika dakwah Islamiyah adalah ilmu yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan dakwah yang berkaitan dengan baik buruknya perilaku, dan apa yang seharusnya dan apa yang tidak sepatutnya dilakukan oleh setiap pelaku dakwah sesuai dengan syariat Islam.
Tujuan pembinaan kader dakwah adalah membentuk kepribadian yang taat beribadah kepada Allah dengan menghambakan diri dan sebagai pemakmur bumi sesuai fungsinya sebagai khalifah dimana kegiatannya itu berdasarkan peraturan yang datang dari Allah (wahyu maupun sunatullah). Mereka adalah manusia yang terbebas dari penghambaan manusia terhadap manusia lain dan terbebas dari kekangan hawa nafsu.
Dalam soal dakwah semua acuan kembali kepada teladan tunggal yang ditetapkan Allah untuk dirujuki dalam menghadapi berbagai masalah hidup dan kehidupan, baik menyangkut duniawi maupun ukhrawi. Semua contoh yang terbaik itu ada pada diri Rasulullah SAW. Beberapa etika dakwah Islamiyah yang hendaknya dilakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain sabar, jujur, tidak menghasut, tawadhu’ (tidak sombong), al Rahmah (kasih sayang), uswatun hasanah, dan mempunyai niat yang baik.
Etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu manusia dalam mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu ia lakukan. Etika dakwah juga  memiliki peranan yang besar dalam mempersiapkan kader dai yang etis dan professional.

Daftar Rujukan


Amin, Samsul Munir. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah.
An-Nabiry, Fathul Bahri. 2008. Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i. Jakarta: Amzah.
Arif, Syaiful. Tarbiyah dan Pembentukkan Kader Dakwah. http://syaiful-arif.blogspot.com/2009/11/tarbiyah-dan-pembentukkan-kader-dakwah.html, diakses pada tanggal 7 Oktober 2012 pukul 10.30 WIB.
AS, Enjang. 2009. Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Asyahari, Muhammad Sofwan. http://sofiswa.blogspot.com/2011/12/kode-etika-dakwah.html, diakses pada tanggal 7 Oktober 2012 pukul 10.30 WIB.
Khunainah, Siti. http://sayyidahkhunainah23.blogspot.com/2010/11/makalah-dakwah.html, diakses pada tanggal 7 Oktober 2012 pukul 10.40 WIB.
Prayitno, Irwan. 2005. Kepribadian Dai: Bahan Panduan bagi Dai dan Murabbi. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna.
Tajiri, Hajir. 2009. Etika Dakwah. Bandung: Widya Padjajaran.

No comments:

Post a Comment