- Kronologi Masalah
Zakat untuk pembantu
Zakat adalah
harta yang kita keluarkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh
agama dan disalurkan kepada orang-orang tertentu pula sebagaimana yang
dijelaskan dalam al-Qur’an. Ada ketentuan lain dari zakat yaitu bahwa zakat
tidak boleh disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan kita.
Misalnya istri dan anak, karena mereka semua adalah tanggung jawab kita untuk
memberikan nafkah kepada mereka, dalam artian, mereka adalah tanggungan kita.
Adapun orang
yang bukan menjadi tanggungan kita seperti halnya pembantu, maka boleh
menyalurkan zakat kepada mereka. Meskipun kebutuhan mereka semuanya ditanggung
oleh majikan mereka, seperti makan minum dan tempat tinggal, tapi semua adalah
bagian dari upah pembantu atas kerjanya dirumah tersebut. Karena kebanyakan
orang menggaji pembantu dengan nilai tertentu, karena mereka sebelumnya sudah
memperhitungkan tentang biaya makan dan lain-lain yang akan diterima pembantu
dirumah tersebut.
Jadi, pada
dasarnya tanggungan yang diberikan majikan atas pembantu bukan merupakan
tanggungan yang sebenarnya, tapi itu adalah bagian dari gaji, karena para
majikan sudah memperhitungkan semua itu sebelumnya.
- Substansi Kajian
1. Pengertian Zakat
zakat menurut
bahasa berarti bertambah dan berkembang. Karena itu, setiap yang bertambah
jumlahnya dan berkembang ukurannya, ia bisa disebut zakat. Ada ungkapan Zakka
Az-zur’u, yang berarti tanaman itu berkembang dan menjadi baik. Sedangkan
pengertian zakat menurut istilah ialah beribadah karena Allah ta’ala dengan
cara mengeluarkan sebagian kewajiban berupa harta tertentu secara syar’i untuk
disalurkan kepada suatu golongan atau institusi tertentu. [1]
Adapun hubungan
antara pengertian zakat menurut bahasa dengan pengertian zakat menurut istilah
adalah, sekalipun secara tekstual zakat diihat dari aspek jumlah berkurang,
baik secara maknawi maupun secara kuantitas.[2]
Zakat juga
dapat menambah keimanan kedalam hat orang yang berzakat. Karena zakat zakat
termasuk amal shalih, sedangkan zakat dapat menambah keianan seseorang. Zakat
juga dapat menambah akhlak terpuji bagi seseorang, karena zakat itu merupakan
bentuk pengorbanan dan pemberian. [3]
2. Syarat Wajib Zakat
·
Islam
Orangkafir
tidak wajib membayar zakat, harta yang mereka berikan tidak diterima, sekalipun
pemberian tersebut dikatakan sebagai zakat. Hal ini berdasarkan firman Allah
surat At-Taubah ayat 54:[4]
·
Orang yang merdeka
Hal ini
dikarenakan bdak tidak memiliki harta. Harta yang dimiliki budak merupakan
kepunyaan majikan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“barang siapa
menjual budak yang memiliki harta maka harta tersebut menjadi kepunyaan penjal,
kecuali pembeli tersebut mengajukan persyaratan”.[5]
·
Harta mencapai nishab
Yakni seseorang
memiliki harta yang telah mencapai nishab yang sudah ditentukan ukurannya
menurut syari’at Islam. Ukuran nishab tiap-tiap harta berbeda-beda. Jika harta
yang dimiliki seorang tidak mencapai nishab, ia tidak wajib mengeluarkn zakat,
sebab ia hanya memiliki harta sedikit, tidak cukup untuk memberi bantuan (kepada
orang lain). [6]
·
Harta mencapai haul (kecuali hasil pertanian)
Jika
mengeluarkan zakat sudah diwajibkan sebelum harta tersebut mencapai haul, tentu
orang-orang merasa dirugikan. Selain itu, jika zakat baru diberikan setelah
lebih dari satu tahun, niscaya membahayakan hak orang miskin. [7]
Oleh karena
itu, diantara hikmah syariat Islam yang terdapat dalam kewajiban zakat adalah
adanya batas atau ukuran waktu pembayaran yaitu mencapai haul. Dalam ikatan
waktu tersebut (adanya syarat haul) terdapat keseimbangan antara hak orang kaya
dan hak penerima zakat.[8]
3.
Asbabun
Nuzul
Pada masa Rasulullah
saw., mereka yang serakah tidak dapat menahan air liurnya melihat harta
sedekah, mereka mengharapkan mendapat percikan harta itu dari Rasulullah,
tetapi ternyata setelah mereka tidak diperhatikan oleh Rasulullah mulailah
mereka mengunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai Nabi kemudian turun
ayat al-Qur’an yang menyingkap sifat-sifat mereka yang munafiq dan serakah itu
dengan menunjukkan kepalsuan mereka itu yang hanya mengutamakan kemana sasaran
zakat itu harus dikeluarkan.[9]
4.
Orang-orang
Yang Berhak Menerima Zakat (Mustahiq)
Telah kami sebutkan di muka bahwa pembicaraan tentang zakat
berkisar pada orang yang wajib zakat, harta yang harus dizakati, dan orang yang
berhak menerimanya. QS.At-Taubah:
60: [10]
J¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûÎ#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
Imam as berkata,“fukara ialah mereka yang tidak
meminta-minta dan yang menafkahi keluarga mereka. Bukti bahwa mereka itu orang
yang tidak meminta-minta ialah firman Allah SWT, ‘Bagi orang-orang yang tercegah di jalan Allah, yang tidak mampu
bepergian dibumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang dengan
tanda (di wajah) mereka. Mereka tidak meminta-minta orang lain karena menjaga
harga diri. ‘ Orang-orang miskin adalah orang-orang lemah. Termasuk ke
dalam mereka ini lelaki, perempuan, dan anak-anak. [11]
Para ‘amil ialah
mereka yang mengambil, mengatur, dan mengumpul zakat dan yang menjaganya hingga
mereka memberikaanya kepada orang-orang yang akan membagikannya. Mu’allafah qulubuhum ialah orang-orang
yang mengesakan Allah dan meninggalkan penyembahan kepada selain Allah, tetapi
belum masuk kedalam hati mereka pengetahuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah
SAW. Untuk itu, Nabi melunakkan hati mereka dan mengajar mereka agar mereka
tahu, dan memberi bagian untuk mereka di dalam zakat, agar mereka mau belajar
dan mencintai islam. Yang dimaksud dengan fir-riqab
ialah orang-orang yang terkena kewajiban kifarah karena, umpamanya
membunuhorang yang tidak sengaja, atau karena berbuat zhihar, atau karena sumpah (yang ia langgar), atau karena membunuh
binatang buruan pada saat ihram, sedangkan mereka tidak mempunyai biaya untuk
kifarah, padahal mereka adalah orang-orang yang beriman. Maka Allah SWT
memberikan bagian kepada mereka dalam zakat agar mereka dapat mengeluarkan
kifarah dengan itu. Ghorimin ialah
orang-orang yang memiliki hutang yang mereka belanjakan di dalam ketaatan
kepada Allah tanpa menghambur-hamburkannya. Maka wajib atas Imam untuk membayar
bagi mereka dari uang zakat.
Fi
sabilillah, ialah orang-orang yang bepergian untuk berjihad tetapi
mereka tidak memliki sesuatu apapun yang memperkuat diri mereka, atau suatu
kaum mukmin yang tidak punya biaya untuk pergi haji, atau untuk melakukan
segala macam bentuk usaha yang baik, maka wajib atas Islam member mereka uang
dari zakat sehingga mereka mampu meneruskan jihad atau pergi haji. Ibn sabil ialah orang yang berada dalam
perjalanan di dalam ketaatan kepada Allah (bukan perjalanan maksiat) lalu
mereka kehabisan bekal dan uang. Maka Imam wajib mengembalikan mereka ke
kampong halaman dengan uang dari zakat.
Berdasarkan keterangan yang telah disebutkan di atas, para
fuqaha berpendapat bahwa mustahiq zakat (orang yang menerima zakat) itu ada
delapan golongan:[12]
1. Fukara
2. Masakin
3. Para
‘amil
4.
Muallafah
qulubuhum (muallaf)
5.
Fir
riqab
6.
Ghorimin
7.
Fi
sabilillah
8.
Ibn
sabil
1.
1 dan
2 Fukara dan Masakin
Sebagian orang mengatakan bahwa kata fakir dan miskin, jika
keduanya disebut bersama-sama, mka masing-masing menunjukkan makna yang
tersendiri. Tetapi jika keduanya terpisah maka keduanya menunjukkan makna yang
sama. Mereka mengatakan bahwa perbedaan keduanya jika keduanya bertemu ialah
bahwa orang yang fakir tidak meminta-minta. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada
gunanya membahas soal ini setelah diketahui bahwa kedua-duanya memiliki dan
sama-sama berhak menerima zakat karena mereka membutuhkan.
Orang fakir atau miskin yang boleh diberi zakat, menurut
syariat, ialah orang yang tidak mempunyai biaya hidup selama satu tahun untuk
dirinya dan keluarganya. Sedangkan orang kaya, menurut syariat, ialah orang
yang benar-benar telah memiliki biaya hidup untuk satu tahun atau mampu untuk
memilikinya, maksudnya bahwa dia mempunyai pekerjaan dimana hasilnya dapat
mncukupi dan memenuhi kebutuhan hidupnya hari demi hari. Imam Shadiq as
berkata, “zakat haram hukumnya bagi orang yang mempunyai biaya hidup satu
tahun, dan orang yang mempunyai biaya hidup setahun ini wajib mengeluarkan
zakat fitrah”. [13]
Menurut Hanafi, orang fakir adalah orang yang mempunyai
harta kurang dari nishab, sekalipun dia sehat dan mempunyai pekerjaan.[14]
Menurut Syafi’i dan Hambali, orang yang mempunyai separu dari kebutuhannya, ia
tidak bisa digolongkan kedalam golongan fakir, dan ia tidak boleh menerima
zakat. Menurut Imamiyah dan Maliki, orang fakir menurut syara’ adalah orang
yang tidak mempunyai bekal untuk berbelanja selama satu tahun dan juga tidak
mempunyai bekal untuk menghidupi keluarganya. [15]
Yang dikatakan sebagai orang miskin menurut Imamiyah,
Hanafi, dan Maliki adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang
fakir. Menurut Hambali dan Syafi’i, orang fakir adalah orang yang keadaan
ekonominya lebih buruk dari pada orang miskin, karena yang dinamakan fakir
adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu, atau orang yang tidak mempunyai
separuh dari kebutuhannya. [16]
Memperkaya
orang fakir
Penulis kitab Had’iq dan penulis kitab jawahir menukil dari
penulis yang masyhur bahwasanya dibolehkan member zakat kepada orang fakir
dengan jum;lah yang dapat mencukupi hidupnya selama beberapa tahun, bukan satu
tahun saja, dengan syarat jumlah tersebut diberikan sekaligus, bukan beberapa
kali. Sebab dengan diberi sekali maka ia telah memiliki biaya hidup satu tahun
sehingga menurut syari’at ia sudah dianggap kaya, dank arena itu dia tidak
boleh diberi zakat lagi. Mereka yang berpendapat demikian bersandar pada
beberapa riwayat dari Ahlul Bait As.[17]
Pengaku
Fakir
Setiap orang yang mengaku fakir diterima pengakuannya selama
tidak diketahui kebohongannya, dan dia bisa dineri apa yang ia butuhkan dari
zakat. Penulis kitab jawahir berkata “tidak ada khilaf yang berarti pada yang
demikian itu”. dan di alam kitab madarik di sebutkan bahwa yang demikian itu
adalah populah dari madzhab ulama’ kita. [18]
Demikian pula sangat dikenal dari kebiasaan para ulama’,
baik dahulu mauoun sekarang, bahwa mereka selalu member zakat kepada orang yang
memintanya selama tidak diketahui kebohongan orang tersebut, adapun hadits
masyhur yang mengatakan, “mudda’i (orang yang mengaku sesuatu atau pihak
penuntut) ahrus mendatangkan bukti, sedangkan orang yang mengingkari harus
bersumpah”.
Kebanyakan para fiqaha mengatakan bahwa seorang yang mampu
bekerja mencari uang, tidak boleh diberi zakat, sebab dia dianggap kaya.
Zurarah meriwayatkan dari Imam Baqir as, yang mengatakan , “sedekah tidak halal
untuk orang yang mapu bekerja, dan tidak juga untuk orang yang sehat jasmani
yang mampu menanggung jerih payah kerja.”
2.
Ke-3 Para
‘Amil
Para Amil zakat ialah, para pengumpul zakat yang ditunjuk
oleh imam atau wakilnya untuk mengumpulkannya dari para pembayar zakat dan
menjaganya, kemudian menyerahkannya kepada orang yang akan membagikannya kepada
para mustahiq. Apa yang diterima oleh para amil dari bagian zakat itu dianggap
sebagai upah atas kerja mereka, bukannya sedekah, oleh karena itu, mereka tetap
diberi walaupun mereka kaya.[19]
Semua madzhab sepakat bahwa amil zakat adalah orang-orang
yang bertugas untuk meminta sedekah. [20]
Disyaratkan bahwa seorah ‘amil haruslah baligh, berakal,
beriman, dan adil, minimal dapat dipercaya, karena Imam Aliamirul mukninin as
berkata kepada seorang pengumpul zakat, “ jika engkau memiliki uang untuk
disedekahkan maka janganlah engkau menunujuk wakil untuk itu kecuali seseorang
yang tulus, menghendaki kebaikan, dapat dipercaya, dan dapat menjaganya,”.
3. Ke-4 Muallafah
Qulubuhum
Salah satu kelompok penerima zakat ialah orang-orang yang
disebut muallafah qulubuhum, yaitu orang-orang yangdijanjikan hati mereka dan
disatukan atas islam, untuk mencegah kejahatan mereka, (agar mereka tidak
berbuat jahat kepada islam), atau agar mereka mau membantu kaum muslim dalam
membela diri atau membela islam. Mereka ini diberikan zakat, walaupun mereka
kaya.[21]
Fuqaha’ kita berselisih pendapat tentang apakah muallaf ini
khusus bagi mereka yang tidak menunjukkan keislaman mereka, ataukah termasuk
orang yang menunjukkan keislaman tetapi diragukan.
Menurut sebagian madzhab islam, bagian untuk muallaf ini
telah gugur, dan permasalahan ini sudah tidak ada lagi setelah islam menyebar,
dan Allah Allah telah memuliakan agamanya dengan kekuatan dan jumlah kaum
muslim yang banyak.
4. Ke-5 fir Riqab
Yang dimaksud dengan riqab adalah budak. Sedangkan kata-kata
menunjukkan bahwa zakat untuk bagian ini bukannya deberikan kepada mereka,
tetapi digunakan untuk membebaskan mereka dan memerdekakan mereka. Inilah
salah-satu pintu yang dibuka oleh Islam untuk memberantas perbudakan
sedikit-demi sedikit. Seperti kita ketahui, pada masa sekarang ini sudah tidak
ada lagi perbudakan.
Menurut semua madzhab riqab adalah orang yang membeli budak
dari harta zakatnya untuk memerdekakannya.[22]
5. Ke-6 Gharimin
Mereka ialah orang-orang yang
menanggung beban hutang dan mereka tidak mampu membayarnya. Maka hutang mereka
itu dilunasi dengan bagian dari zakat, dengan syarat mereka itu tidak
menggunakan hutng tersebut untuk dosa dan maksiat.
Semua madzhab berpendapat, Gharim
adalah orang-orang yang mempunyai hutang
yang dipergunakan untuk perbuatan yang bukan maksiat.[23]
Imam as berkata, “Garimin” ialah
orang-orang yang terkena hutang yang mereka gunakan di dalam ketaatan kepada
Allah tanpa menghambur-hamburkannya. Maka wajib atas seorang Imam untuk
melunasi hutang mereka dari uang zakat.
6. Ke-7 Sabilillah
Sabilillah ialah
segala sesuatu yang diridhai oleh Allah dan yang mendekatkan kepada Allah,
apapun dia, seperti membuat jalan, membuat sekolah, rumah sakit, irigasi,
mendirikan masjid, dan sebagainya. Dimana manfaatnya adalah untuk kaum muslim
atau selainnya.
Menurut empat madzhab selain Imamiyah, sbilillah adalah
orang-orang yang berpegang secara suka rela untuk membela Islam.
Menurut Imamiyah, sabilillah adalah orang-orang yang berada
dijalan Allah secara umum, baik orang yang berperang, orang-orang yang mengurus
masjid-masjid, orang yang berdinas di rumah sakit dan sekolah-sekolah, dan
semua bentuk kegiatan kemaslahatan umum.
7. Ke-8 Ibn Sabil
Imam as berkata, “ibn sabil ialah orang yang
kehabisan bekal dan uang dalam perjalanan di dalam ketaatan kepada Allah (bukan
menjalankan maksiat). Maka, seorang Imam harus membantu hingga dapat kembali ke
rumahnya dari uang sedekah”.
Menurut semua madzhab adalah orang yang menempuh perjalanan
ke negri lain dan sudah tidak punya harta lagi.[24]
5.
Yang Tidak Berhak Menerima
Zakat
Setelah
kita ketahui mustahiq (penerima zakat/shadaqah) yang telah ditetapkan Allah,
sekarang akan kita sebutkan orang-orang yang tidak boleh menerima zakat dan
tidak boleh menerimanya, mereka adalah:
1. Orang-orang kafir dan
mulhid.
Dalam
hadits Muadz: "(Zakat) itu diambil dari orang kaya mereka dan di bagikan
kepada orang miskinnya" yakni: diambil dari orang kaya muslimin dan
diberikan kepada orang faqir yang muslim.
Ibnul
Mundzir berkata: "Telah ijma' ahlul ilmu yang kami hafal ilmunya bahwa
seorang kafir dzimmi tidak diberi zakat maal sedikitpun."
2. Bani Hasyim
Yang dimaksud disini adalah keluarga
Ali bin Abi Thalib, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far, keluarga Abbas serta
keluarga Harits.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk keluarga Muhammad, karena
itu adalah kotoran harta manusia."
Hasan (cucu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) radiallahu 'anhu mengambil
korma shadaqah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
"Kuh, kuh (supaya Hasan membuangnya), Tidakkah kau tahu bahwa kita tidak
memakan shadaqah." (Muttafaq alaih)
3. Bapak dan anak-anak sendiri
Telah sepakat fuqaha bahwasanya tiddak
boleh memberikan zakat kepada bapak, kakek, ibu, nenek, anak, cucu, karena
orang yang berzakat itu memang wajib menafkahi bapaknya, anaknya, kalaupun
mereka faqir mereka tetap kaya karena anaknya, bapaknya atau cucunya kaya. Maka
jika zakat disalurkan kepada mereka berarti telah mengambil manfaat sendiri dan
tidak mengeluarkan zakat.
4. Istri
Para ulama telah ijma' bahwa seseorang
tidak boleh memberikan zakat kepada istrinya, hal ini dikarenakan dia wajib
menafkahi istrinya, sehingga tidak butuh lagi zakat, seperti dua orang tua,
kecuali kalau dia terlilit hutang maka diberi dari bagian gharimin untuk
melunasi utangnya.
6.
Pendapat Empat Madzhab Mengenai
Mustahiq Zakat
1.
Faqir
adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali
Imam Hanafi : Orang faqir adalah
orang yang mempunyai harta kurang dari satu nishob.
Imam Maliki : Orang faqir adalah
orang yang mempunyai harta, sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk
keperluannya selama satu tahun.
Imam Syafi’i : Orang faqir adalah
orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta kurang dari ½
(seperdua) keperluannya dan tidak ada orang yang menanggungnya.
Imam Hambali : Orang faqir adalah
orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua)
keperluannya
2.
Miskin
adalah orang yang mempunyai sedikit harta untuk dapat menutupikebutuhannya ,
akan tetapi tidak mencukupi.
Imam Hanafi : Orang miskin adalah
orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.
Imam Maliki : Orang miskin ialah
orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.
(menurut keduanya orang miskin ialah
orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang faqir )
Imam Syafi’i : Orang miskin adalah
orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.
Imam Hambali : Orang miskin adalah
orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.
3.
Amil menurut kesepakatan semua Imam Madzhab,
adalah orang yang bertugas mengurus dan membagikan zakat kepada yang berhak
menerimanya. Dengan syarat:
- mengerti tentang zakat
- dapat dipercaya.
4.Muallaf
adalah orang yang baru masuk islam dan asih lemah imannya.
Imam Hanafi : Mereka tidak diberi zakat lagi sejak zaman kholifah Abu Bakar
As-Shiddiq.
Imam Maliki : Madzhab ini mempunyai
dua pendapat tentang muallaf, yaitu
1. Orang kafir yang ada harapan masuk
islam.
2. Orang yang baru memeluk islam.
Imam Syafi’i : Mempunyai dua
pengertian tentang muallaf,
1. Orang yang baru masuk islam dan
masih lemah imannya.
2. Orang islam yang berpengaruh dalam
kaumnya dengan harapan orang disekitarnya akan masuk islam.
Imam Hambali : Muallaf adalah orang
islam yang ada harapan imannya akan bertambah teguh atau ada harapan orang lain
akan masuk islam karena pengaruhnya.
5. Riqob adalah memerdekakan budak,
mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
Imam Hanafi : Riqob adalah hamba yang
telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang atau
dengan harta lainnya.
Imam Maliki : Riqob adalah hamba
muslim yang dibeli dengan uang zakat dan dimerdekakan
Imam Syafi’i : Riqob adalah hamba
(budak) yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya.
Imam Hambali : Riqob adalah hamba
yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang yang
telah ditentukan oleh tuannya.
6. Ghorimin adalah orang yang berhutang
karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.
Imam Hanafi : Ghorimin adalah orang
yang mempunyai hutang, sedangkan hartanya diluar hutang tidak cukup satu
nishob. Dan ia diberi zakat untuk membayar hutangnya.
Imam Maliki : Ghorimin adalah orang
yang berhutang sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya. Dan
diberi zakat dengan syarat hutangnya bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).
Imam Syafi’i : Mempunyai beberapa
pengertian tentang ghorimin yaitu,
- orang yang berhutang karena
mendamaikan dua orang yang berselisih.
- orang yang berhutang untuk
kepentingan dirinya sendiri.
- orang yang berhutang karena menjamin
hutang orang lain.
Imam Hambali : Mempunyai beberapa
pengertian tentang ghorimin yaitu,
- orang yang berhutang untuk
mendamaikan dua orang yang berselisih.
- orang yang berhutang untuk dirinya
sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram tetapi dia sudah bertaubat.
7.
Fisabilillah adalah orang yang berada dijalan Allah.
Imam Hanafi : Fisabilillah adalah
bala tentara yang berperang pada jalan Allah.
Imam Maliki : Fisabilillah adalah
bala tentara, mata-mata dan untukmembeli perlengkapan perang dijalan Allah.
Imam Syafi’i : Fisabilillah adalah
bala tentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri dan tidak mendapat gaji
serta tidak mendapatkan harta yang disediakan untuk berperang.
Imam Hambali : Fisabilillah adalah
bala tentara yang tidak mendapat gajidari pemerintah.
8. Ibnu Sabil adalah orang yang sedang
dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat, dan mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya.
Imam Hanafi : Ibnu Sabil adalah orang
yang sedang dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya.
Imam Maliki : Ibnu Sabil adalah orang
yang sedang dalam perjalanan, sedang ia butuh untuk ongkos pulang kenegerinya.
Dengan syarat perjalanannya bukan untuk maksiat
Imam Syafi’i : Ibnu Sabil adalah
orang yang mengadakan perjalanan yang bukan maksiat tetapi dengan tujuan yang
sah.
Imam Hambali : Ibnu Sabil adalah orang
yang keputusan belanja dalam perjalanan yang halal.
7.
Tata Cara Pembagian Zakat
Adapun tentang tata cara pembagian
zakat kepada mustahik ada beberapa pendapat, diantaranya yaitu:
1. Menurut madzhab Syafi’i, zakat harus
dibagikan kepada delapan ashnaf (golongan) secara merata. Tapi jika pada waktu
pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf saja, maka zakat boleh dibagikan
hanya kepada beberapa ashanaf yang ada tanpa harus menyisihkan pembagian zakat
untuk ashnaf yang tidak ada.
2. Menurut jumhur ulama (yang terdiri
dari imam Hanafi, Maliki dan Hambali) zakat tidak harus dibagikan kepada
delapan ashnaf (golongan) secara merata, melainkan boleh dibagikan hanya kepada
salah satu dari delapan ashnaf.
Berdasarkan penjelasan imam Syafi’i dan
jumhur ulama (Hanafi, Maliki dan Hambali), zakat harus dibagikan kepada delapan
ashnaf, tapi jika pada saat pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf
saja, maka zakat boleh dibagikan hanya kepada beberapa ashanaf yang ada tanpa
harus menyisihkan pembagian zakat untuk ashnaf yang tidak ada. Dan jika seluruh
hasil pengumpulan zakat sudah dibagikan semua lalu muncul ashnaf lain yang
belum menerimanya, maka mereka tidak berhak menuntut pembagian zakat.
3. Menurut fatwa yang disampaikan oleh
al-Lajnah al-Daimah Li al-Buhus al-Ilmiyah Wa al-Ifta’ Saudi Arabia, bahwa
seluruh wajib segera dibagikan kepada para mustahik, Karen pada dasarnya tujuan
utama zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan para fakir miskin dan membayar
hutang para gharim. Dan hasil pengumpulan zakat tidak boleh dijadikan modal
usaha oleh Badan Amil Zakat (BAZ) atau dipinjamkan kepada para penngusaha.
4. Menurut Kajian Fiqih Islam, zakat
yang diserahkan kepada para mustahik harus dapat mereka miliki secara nyata.
Oleh karena itu zakat tidak boleh diserahkan oleh muzakki kepada mustahik dalam
bentuk pembebasan hutang.
8.
Pengertian Pembantu Rumah Tangga
Pekerja
rumah tangga, pembantu rumah tangga (disingkat PRT) atau sering disebut
pembantu saja adalah orang yang bekerja di dalam lingkup rumah tangga majikannya.
Di Indonesia
saat masa penjajahan Belanda, pekerjaan pekerja
rumah tangga disebut baboe (dibaca "babu"), sebuah
istilah yang kini kerap digunakan sebagai istilah konotasi
negatif untuk pekerjaan ini.
Pekerja
rumah tangga mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak serta
menghidangkan makanan, mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh anak-anak. Di
beberapa negara, pembantu rumah tangga dapat pula merawat orang lanjut usia
yang mengalami keterbatasan fisik.
Banyak
negara mendatangkan pekerja rumah tangga dari luar negeri. Negara semacam itu
termasuk kebanyakan negara di Timur Tengah,
Hong Kong,
Singapura,
Malaysia,
dan Taiwan.
Sumber utama pekerja rumah tangga mencakup Filipina,
Thailand,
Indonesia,
Sri Lanka,
dan Ethiopia.
Taiwan juga mendatangkan pekerja rumah tangga dari Vietnam
dan Mongolia.
- Pembahasan
Zakat untuk pembantu
Zakat adalah harta yang kita keluarkan
dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama dan disalurkan
kepada orang-orang tertentu pula sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an.
Ada ketentuan lain dari zakat yaitu bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada
orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Misalnya istri dan anak, karena
mereka semua adalah tanggung jawab kita untuk memberikan nafkah kepada mereka,
dalam artian, mereka adalah tanggungan kita.
Adapun orang yang bukan menjadi
tanggungan kita seperti halnya pembantu, maka boleh menyalurkan zakat kepada
mereka. Meskipun kebutuhan mereka semuanya ditanggung oleh majikan mereka,
seperti makan minum dan tempat tinggal, tapi semua adalah bagian dari upah
pembantu atas kerjanya dirumah tersebut. Karena kebanyakan orang menggaji
pembantu dengan nilai tertentu, karena mereka sebelumnya sudah memperhitungkan
tentang biaya makan dan lain-lain yang akan diterima pembantu dirumah tersebut.
Jadi, pada dasarnya tanggungan yang
diberikan majikan atas pembantu bukan merupakan tanggungan yang sebenarnya,
tapi itu adalah bagian dari gaji, karena para majikan sudah memperhitungkan
semua itu sebelumnya.
Rujukan :
Dari
uraian permasalahan di atas, dijelaskan bahwasanya diperbolehkannya embayar
zakat kepada pembantu rumah tangga. Pendapat ini melalui beberapa analisis,
untuk mengetahui berhak atau tidaknya seorang majikan membayar zakat pada
pembantunya.
Seperti
yang kita tahu bahwa pembantu adalah orang yang bekerja di
dalam lingkup rumah tangga majikannya
untuk meringankan beban mereka.
Dari pendapat kami, pembantu rumah
tangga itu ada yang berhak menerima zakat dan ada yang tidak berhak menerima
zakat.
-
Pembantu yang berhak menerima
zakat:
Pembantu
yang berhak menerima zakat adalah pembantu yang gajinya dibawah UMR. Dalam hal
ini pembantu dikategorikan sebagai orang yang miskin, karena pendapatan yang ia
miliki selama satu bulan tidak mencukupi kebutuhannya. Kebanyakan yang kita
tahu, rata-rata gaji para pembantu di negara kita bekisar mulai dari 500-700
ribu rupiah saja, bahkan masih banyak pembantu rumah tangga yang mendapat gaji
hanya 300 ribu rupiah saja. Padahal pemerintah sudah menetapkan UMR bagi setiap
pekerja di Indonesia bahkan pembantu rumah tanggasekalipun. UMR yang di
tetapkan oleh pemerintah adalah kurang lebih 1.500.000 ribu rupiah. akan tetapi
sampai sekarang ini yang terealisasi hanya 1.250.000 rupiah saja.
Dengan kata lain, ketika seseorang
menerima gaji dbawah UMR, orang tersebut termasuk dalam kategori miskin dan
boleh menerima zakat dari majikannya.
Seperti yang telah kami uraikan diatas
bahwa, orang yang miskin adalah orang
yang tidak mempunyai biaya hidup selama satu tahun untuk dirinya dan
keluarganya.
-
Pembantu yang tidak berhak
menerima zakat:
Untuk
pembantu yang tidak berhak menerima zakat adalah, pembantu yang gajinya minimal
sudah UMR atau lebih dari UMR. UMR dijadikan sebgai acuan untuk mengukur kadar
kemampuan memenuhi kebutuhan seseorang adalah, karena UMR sudah di sesuaikan
dengan anggaran pengeluaran tiap bulan, sehingga ketika seseorang yang menerima
gaji dibawah UMR, ia dikatakan sebagai orang yang miskin dan berhak menerima
zakat. Sedangkan orang yang menerima gaji yang sudah UMR, sudah diperkirakan
orang tersebut bisa memenuhi kebutuhannya selama satu bulan. Bisa dikatakan
bahwa orang yang bisa memenuhi kebutuhannya setiap bulan, berarti orang
tersebut juga bisa memenuhi kebutuhannya selama setahun dan seterusnya.
SKEMATIKA
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Jawad Mughniyah. 2000. Fiqih
Lima Madzhab. Jakarta: Lentera Basritama.
Jawad Mughniyah, Muhammad. 2000. Fiqih
Lima Madzhab. Jakarta: Lentera Basritama.
[1]
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fiqih Zakat Kontemporer Soal Jawab Ihwal
Zakat Dari yang Klasik hingga Terkini. Hal.11
[2]
Ibid. Hal.11
[3]
Ibid. Hal.12
[4]
Shekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Fatwa-fatwa Zakat. Hal.8
[5]
Ibid. Hal.9
[6]
Ibid. Hal.1o
[7]
Ibid. Hal.10
[8]
Ibid. Hal.10
[11]
Ibid, hal: 443
[12][12] Ibid, hal: 435
[13]
Ibid, hal: 435
[14]
Muhammad Jawad Mughni, Fiqih Lima Madzhab. Hal.189
[15]
Ibid. Hal.190
[16]
Ibid. Hal. 190
[17]
Ibid, hal: 436
[18]
Ibid, hal: 437
[19]
Ibid, hal: 438
[20]
Muhammad Jawad Mughni, Fiqih Lima Madzhab. Hal.192
[21]
Ibid, hal: 439
[22]
Muhammad Jawad Mughni, Fiqih Lima Madzhab. Hal.193
[23]
Muhammad Jawad Mughni, Fiqih Lima Madzhab. Hal.193
[24]
Ibid. Hal.193
No comments:
Post a Comment