Karakter dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perkembangannya
Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian
menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas moral dan
mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif
terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter
hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang
(encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon (1983) mendefinisikan karakter
sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan
dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh
masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi
sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung
jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun;
(5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong; (6) Percaya diri, Kreatif dan
Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah hati; (9)
Toleran, cinta damai dan kesatuan. Jadi, menurut Ratna Megawangi, orang yang
memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter
tersebut.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang filsuf terkenal Cina – menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan – baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas – sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang filsuf terkenal Cina – menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan – baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas – sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jika sosialisasi dan pendidikan (faktor nurture) sangat penting dalam
pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu dilakukan ? Menurut
Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter perlu dilakukan sejak
usia dini. Erik Erikson – yang terkenal dengan teori Psychososial Development –
juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak
adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan
berkembang secara perlahan tapi pasti (dalam Hurlock, 1981). Dengan kata lain,
bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak di usia dini, maka dia
akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan.
Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981)menyatakan bahwa usia dua tahun pertama
dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal
dan sosial.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral
dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah
– nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi
karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut
harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.
Pembinaan Karakter Anak yang Dilakukan oleh Keluarga
Pada dasarnya, tugas dasar perkembangan seorang anak adalah mengembangkan
pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja. Dengan kata lain,
tugas utama seorang anak dalam perkembangannya adalah mempelajari ”aturan main”
segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh, anak harus belajar memahami
bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu (hukum-hukum fisika), seperti :
benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau ke samping (hukum gravitasi
bumi); benda tidak hilang melainkan pindah tempat (hukum ketetapan obyek), dll.
Selain itu, anak juga harus belajar memahami aturan main dalam hubungan
kemasyarakatan, sehingga ada hukum dan sanksi yang mengatur perilaku anggota
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam Vasta, 1992), jika suatu
bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa tersebut harus memiliki aturan-aturan
yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut
dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu ada etika dalam bicara, aturan dalam
berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial lainnya. Jika tidak, hidup ini akan
”semrawut” karena setiap orang boleh berlaku sesuai keinginannya masing-masing
tanpa harus mempedulikan orang lain. Akhirnya antar sesama menjadi saling
menjegal, saling menyakiti, bahkan saling membunuh, sehingga hancurlah bangsa
itu.
Memahami ”aturan main” dalam kehidupan dunia dan menginternalisasikan dalam
dirinya sehingga mampu mengaplikasikan ”aturan main” tersebut dalam kehidupan
sehari-hari dengan sebaik-baiknya merupakan tugas setiap anak dalam
perkembangannya. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, antri, tidak
menyeberang jalan dan parkir sembarangan, tidak merugikan atau menyakiti orang
lain, mandiri (tidak memerlukan supervisi) serta perilaku-perilaku lain – yang
menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap aturan sosial – merupakan hasil
dari perkembangan kualitas moral dan mental seseorang yang disebut karakter.
Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang – yang
mengindikasikan kualitas karakter ini – tidak terjadi dengan sendirinya. Telah
disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor nurture juga berpengaruh. Dengan
kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang dilakukan oleh keluarga,
sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan penting, bahkan mungkin
lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang.
Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang
berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga
fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal.
Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro,
maka semua pihak – keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan
sebagainya – turut andil dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain,
mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung
jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak mudah, oleh karena itu diperlukan
kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR” yang sangat
penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat
ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah
(spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut
Aristoteles (dalam Megawangi, 2003), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur
hidup individu dan masyarakat.
a. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan Utama
Pendidikan
Karakter Anak
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam
menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga
adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika
keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun
akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah
masyarakat – seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala
macam kebobrokan di masyarakat – merupakan akibat dari lemahnya institusi
keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi
pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam
Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik,
mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga,
sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga
merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi
Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal
untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik,
dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi
lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama
dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan
pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi
lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan
keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat
yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki
kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak
di rumah.
b. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi
terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada tiga
kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman,
dan stimulasi fisik dan mental.
Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil
dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena
lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi.
Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan
emosi anak. Menurut Bowlby (dalam Megawangi, 2003), normal bagi seorang bayi
untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap
awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman
ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada
anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting
dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang
besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut
pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari
seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada
anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan
mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias
mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
c. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan
Karakter Anak
dalam Keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter)
pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada
anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak
dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum
dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan
lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak
dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga
meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter
anak.
Secara umum, Baumrind mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu :
(1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola asuh Authoritative, (3) Pola asuh
permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola
asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2)
Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif.
Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pola asuh otoriter mempunyai ciri :q
Kekuasaan orangtua dominanü
Anak tidak diakui sebagai pribadi.ü
ü Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat.
Orangtua menghukum anakü jika anak tidak patuh.
Pola asuh demokratis mempunyai ciri :q
Adaü kerjasama antara orangtua – anak.
Anak diakui sebagai pribadi.ü
Adaü bimbingan dan pengarahan dari orangtua.
Ada kontrol dari orangtua yangü tidak kaku.
Pola asuh permisif mempunyai ciri :q
Dominasi pada anak.ü
Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua.ü
Tidak ada bimbingan danü pengarahan dari orangtua.
Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.ü
Kekuasaan orangtua dominanü
Anak tidak diakui sebagai pribadi.ü
ü Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat.
Orangtua menghukum anakü jika anak tidak patuh.
Pola asuh demokratis mempunyai ciri :q
Adaü kerjasama antara orangtua – anak.
Anak diakui sebagai pribadi.ü
Adaü bimbingan dan pengarahan dari orangtua.
Ada kontrol dari orangtua yangü tidak kaku.
Pola asuh permisif mempunyai ciri :q
Dominasi pada anak.ü
Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua.ü
Tidak ada bimbingan danü pengarahan dari orangtua.
Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.ü
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang
banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung
menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh
permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat)
sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong
anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil
pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang
tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh
keluarga.
Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan
kelekatan emosi orangtua – anak sehingga antara orang tua dan anak seakan
memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si
patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993)
menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan
keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan
interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan
remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap
kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk
berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak.
Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana
yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi
terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter
anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind
yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan
anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang
otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta
agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam
menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak
yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan
agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk
kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara
otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya
dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik
secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka
atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman fisik yang umum
diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku
anak karena : (a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk
belajar); (b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku
agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak
menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera
melakukan setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah laku agresif orangtua menjadi
model bagi anak.
Hasil penelitian Rohner (dalam Megawangi, 2003) menunjukkan bahwa
pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya
(karakter atau kecerdasan emosinya). Penelitian tersebut – yang menggunakan
teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh
orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection)
anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan
kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang
diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih
sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara
fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra).
Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang
tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan
kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul,
mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat
indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak
baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat
penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai
dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima
membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi
dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan
kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli
dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak
merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang
tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi
pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan
orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan
negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif
kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua
kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak.
Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan
karakter yang baik.
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan “good character’ kepada anak.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan “good character’ kepada anak.
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi
akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau
mempunyai kecerdasan emosi rendah.
1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat
menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak
percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak
dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya.
la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang
lain.
2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada “peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
Penutup
2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada “peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
Penutup
Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya
dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah – nature) dan lingkungan (sosialisasi
atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum
dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi
dan pendidikan sejak usia dini.
Meskipun semua pihak bertanggung jawab atas pendidikan karakter calon
generasi penerus bangsa (anak-anak), namun keluarga merupakan wahana pertama
dan utama bagi pendidikan karakter anak. Untuk membentuk karakter anak keluarga
harus memenuhi tiga syarat dasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik, yaitu
maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Selain itu, jenis
pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan
pendidikan karakter anak di rumah. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga
akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Kegagalan keluarga dalam melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya,
akan mempersulit institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah)
dalam upaya memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak
akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena
itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat
tergantung pada pendidikan karakter anak-anak mereka dalam keluarga.
No comments:
Post a Comment