A.
Aspek Ekonomi Masa Daulah UTSMANIYYAH
(1281-1934 M)
Dalam pemerintahan Usmani tanah adalah milik kerajaan
dan diatur oleh Undang-undang yang berasal dari warisan Bizantium, yaitu
bernama an-Nizam al-Iqta, undang-undang agraria yang membagi tanah
menjadi beberapa kategori. Yang terkecil disebut al-Iqta al-Asgar atau timar.
Tanah ini diberikan kepada para tuan tanah serta digarap para petani dan
hasilya diberikan kepada pemilik tanah. Petani menggarap hanya mengambil hasil
tanah sekedar untuk dimakan. Pemerintah menugaskan seseorang untuk
mengawasi pemilik timar yang berkewajiban menyerahkan pajak kekayaan
dan menyerahkan dua atau empat ekor kuda atau beberapa pelaut untuk ditugaskan
di angkatan laut. Tanah yang lebih luas dari timar disebut zi’anah dan pemiliknya dinamakan za’im, yaitu
mereka yang telah berjasa terhadap negara. Seorang za’im harus
menyerahkan pajak kepada pemerintah pusat dan harus mengirimkan sejumlah
pasukan sesuai luas zi’anah. Timar dan zi’anah
tidak dapat lepas dari pemeriksaan pemerintah pusat. Tanah yang lebih luas dari zi’anah diberikan kepada wali
atau gubernur, yang disebut tanah khass yang tidak diperiksa oleh pemerintah
pusat[1].
Perekonomian penduduk yang mapan merupakan
syarat utama bagi kelangsungan hidup Dinasti Turki Usmani. Penaklukan pada masa
pemerintahan Ustman Ibn Erthogrol bertujuan untuk menguasai beberapa jalur
perdagangan dan beberapa sumber produktif. Tokoh-tokoh besar sufi (babas)[2]
menjadi pimpinan dalam perpindahan masyarakat Turki dan kemudian mereka
membangun pemukiman tempat-tempat yang baru mereka singgahi dan mereka turut
membantu menjadikan daerah-daerah tersebut menjadi area pertanian[3].
Tiga dari empat penduduk Turki adalah petani dan penggembala, desa pertanian
tradisional Turki terdiri atas rumah-rumah yang terbuat dari bata lumpur yang
dijemur, tanpa perhiasan apapun karena berabad-abad Anatolia merupakan rute
penaklukan, maka para penghuni desa lebih suka membangun rumah seperti itu,
sehingga tidak mudah terlihat oleh musuh[4].
Gelombang perpindahan orang-orang Turki ke
wilayah barat merupakan tempat pencarian lahan-lahan padang rumput, lahan
pertanian yang produktif, dan menguasai kota-kota perdagangan, beberapa point
penting yaitu dikuasainya rute perdagangan cepat di Iran dan lebih lanjut dari
Asia ke Laut Tengah. Perluasan menjadi sumber penghasilan dan berguna untuk
membuat senjata-senjata baru dan menciptakan teknik peperangan untuk
mengorganisir tentara[5].
Tanaman utama di Turki adalah gandum dan
barley, yang ditanam pada musim gugur dan dipanen dalam musim panas berikutnya,
sebagian tanah yang baik ditanami padi-padian, sayur-sayuran, terutama bawang,
mentimun dan semangka melimpah pada musim semi dan musim panas, buah-buahan
iklim sedang seperti apel dan ceri, melimpah pada musim gugur. Sementara itu
industri perikanan Turki didasarkan pada penangkapan ikan sepanjang pantai
utara dan di selat yang memisahkan bagian Asia dan bagian Eropa dengan
memanfaatkan perpindahan ikan dari Laut Hitam ke Laut Tengah[6].
Kemerosotan ekonomi pada masa Daulah
Utsmaniyah terjadi akibat perang yang tidak pernah berhenti, sehingga
perekonomian negara merosot drastis. Pendapatan berkurang, sementara belanja
negara sangat besar termasuk untuk membiayai perang[7].
B.
Aspek Sosial Budaya Masa Daulah UTSMANIYYAH
(1281-1934 M)
Masyarakat
Turki terdiri dari masyarakat muslim dan non-muslim, mereka hidup berdampingan
dengan damai sesuai dengan ajaran Islam yang menghormati agama lain. Pada masa
Ustman ibn Erthogrol masih merupakan masa terjadinya gelombang nomadik dari
Timur Tengah. Bangsa Turki tidak hanya berasal dari Asia Tengah tetapi juga
berasal dari Arab, Kurdi, Yunani, Persia, Romawi, Circasia, Armenia, Georgian
dan Yahudi. Masyarakat Kurdi dan Arab beragama Islam, masyarakat islam lainnya
berasal dari emigran muslim negara-negara Islam terutama Asia Tengah, dan
orang-orang kristen yang masuk agama Islam[8].
Penduduk
Turki sebagian besar menggunakan bahasa Turki yang berbeda dari kebanyakan
bahasa Eropa. Bahasa Turki diklasifikasikan ke dalam kelompok bahasa yang
terkenal sebagai Ural-Altaic. Nama itu diambil dari barisan pegunungan Ural
yang memisahkan antara Eropa dan Asia, dan pegunungan Altaic di jantung Asia.
Walaupun demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa bahasa Turki lebih tepat
kalau dimasukan dalam keluarga Altaic yang terpisah. Bahasa Turki merupakan
bahasa resmi negara. Diantara bahasa-bahasa yang digunakan kelompok-kelompok
minoritas, yang terpenting adalah bahasa Kurdi (terutama di daerah bagian timur
dan tenggara), dan di kota-kota besar terdapat kelompok-kelompok minoritas
terpenting adalah bahasa kecil yang memakai bahasa Yunani, Armenia dan
lain-lain[9].
Dari sisi
latar belakang etnis, bahasa, adat, organisasi politik, dan pola kebudayaan
serta teknologi, menampilkan keragaman kemanusiaan. Namun Islam menyatukan
mereka meskipun sering kali terjadi totalitas kehidupan mereka, namun Islam
terserap dalam konsep aturan keseharian, memberikan tata ikatan kemasyarakatan
dan memenuhi hasrat mereka meraih kebahagiaan hidup. Lantaran keberagaman
tersebut, Islam berkembang menjadi keluarga besar umat manusia. Syariat Islam
menjadi landasan kehidupan Usmani, Islam menjadi agama resmi negara dan segala
urusan di bawah pengendalian negara[10].
Kebudayaan
Turki Usmani merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan, diantaranya
kebudayaan Persia, Bizantium, dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak
mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja.
Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium.
Sedangkan, ajaran-ajaran tentang prinsip ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan,
keilmuan, dan huruf mereka terima dari bangsa Arab[11].
Orang-orang Turki Usmani memang dikenal sebagai bangsa yang suka dan mudah
berasimilasi dengan bangsa asing dan terbuka menerima kebudayaan dari luar. Hal
ini mungkin karena mereka masih miskin kebudayaan. Bagaimanapun, sebelumnya
mereka adalah orang nomad yang hidup di dataran Asia Tengah[12].
Di dalam
pengembangan seni, Turki Usmani terkenal dengan seni arsitekturnya.
Pengembangan seni arsitektur islam dapat dilihat berupa bangunan-bangunan
masjid yang indah, seperti masjid al-Muhammadi, atau masjid Jami’ Sultan
Muhammad al-Fatih, masjid Agung Sulaiman dan masjid Abi Ayyub al-Anshari.
Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu
masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asalnya
gereja Aya Shopia. Hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar-gambar
kristiani yang ada sebelumya[13].
Berikut
adalah gambar Masjid Aya Shopia pada masa sekarang yang berubah fungsi menjadi
museum:
Gambar I.
Tampak dari luar
Gambar II.
Tampak dari dalam
Pada masa
Sulaiman di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah,
rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, vila, dan pemandian umum.
Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun dibawah kordinator Sinan,
seorang arsitek asal Anatolia[14].
[1]
Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid IV, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), hlm. 239
[2]
Istilah dalam bahasa Turki untuk ayah (lelaki tua). Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, Bagian I dan II, terj. Adang Efendi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1988), hlm. 847
[3] Ibid,
hlm. 471
[4]
Susanti, Kedudukan Istambul dalam Peradaban Islam Abad XV, Skripsi,
(Yogyakarta: Fakultas Adab, 2001), hlm. 17
[5]
Albert Haurani, A History of The Arap People (Cambridge: Harvard
university Press, 2002), hlm. 214
[6]
Susanti, op.Cit., hlm.13-14
[7]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.168
[8]
Susanty, op.cit., hlm. 17
[9]
Ibid, hlm. 19
[10] Ibid,
hlm. 19
[11]
Binnaz Toprak, Islam and Political Development in Turkey, (Leiden:
E.J.Brill, 1981), hlm. 43
[12]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.135-136
[13] Ibid.
hlm. 136
[14]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan Press, 1970),
hlm. 713-714
No comments:
Post a Comment