Thursday, April 10, 2014

DINASTI UMAYYAH DAN PENDIDIKAN ARAB (EDUCATION OF ARAB)


By: Khofif, S.Pd.I
Mahasiswa PascaSarjana UIN Maliki Malang
10 April 2014




A.       Pemerintahan Kholifah Bani Umayyah
a)      Muawiyah bin Abi Sufyan [Muawiyah I], (661-680 M),
Masyarakat muslim merasa tentram, damai dan sejahtera setelah terbai’atnya Mu’awiyah bin Abi sufyan menjadi Kholifah pada tahun 40 H/661 M, dari yang semula porakporanda ketertiban dan kefahaman yang beraneka ragam dengan penghujung tindakan radikalis. Namun pada tahun 41 H./662 M. Kaum muslim kembali terusik dengan pengejawantahan kembali dari Kaum Khowarij yang terkkoordinir dibawah pimpinan Farwat ibn Naufal Al-Asja’i. Mereka mengadakan penyerangan terhadap pemerintahan Kholifah Muawiyah bergerak dari Irak menuju Suriyah. Dengan sigap Kholifah mengeksekusi dengan mengirimkan pasukan untuk menyerang mereka, sehingga keadaan pun kembali dalam kondisi stabil.  Farwat ibn Naufal yang gugur diganti oleh Abdulloh ibn ‘Auff sebagai pimpinan sisa dari mereka yang selanjutnya diburu oleh pembesar kufah atas perintah kholifah sampai mereka berangsur-angsur lumpuh pada tahun 43 H./663 M.
Pada tahun 48 H/668 M, ekspansi ke Constantinople yang digencarkan oleh Kholifah Utsman bin Affan yang sempat terhenti akibat beliau wafat, kembali dilanjutkan oleh Kholifah Mu’awiyah. Beliau mempercayakan kepada Panglima Sufyan ibn Auff untuk memimpin penyerangan ke utara dengan membagi pasukan perang menjadi dua kelompok besar : angkata darat menerobos Asia kecil dan angkatan laut melintasi selat Hellespont. Menanggapi hal tersebut Kaisar Constan II menyambut mereka dengan memberangkatkan armada besar menuju selat Hellespont. Tepatnya di Semenanjung selatan Asia kecil yang menjulur ke laut Ageia, kedua Armada raksasa bertemu sehingga pecahlah peperangan yang terkenal dengan istilah The Bettle of Mount Phoenix. Armada Bezantium yang dipimpin langsung oleh Kaisar Constan hancur dan dia melarikan diri menuju Constantinople sehingga Laut tengah jatuh dalam kekuasaan umat Islam.[1] Akan tetapi penyerangan selanjutnya ke kota benteng Constantinople tidak mencapai seperti apa yang diharapan, hal ini karena minimnya pengalaman dan kecanggihan senjata yang dimiliki oleh kaum muslim. Dalam keadaan penyerangan penuh digencarkan oleh kaum muslim melalaui armada laut dimana hujan panah dan batu dari kedua belah pihak (Kaum Constantinople berada dalam benteng dan Kaum Muslim diluar benteng/mengepung), dari pihak Constantinople menggunakan senjata terbaru dalam sejarah yang disebut Greek-Fire. Senjata ini melontarkan bola yang pecah mengeluarkan benda berserakan di lautan yang bisa terbakar di permukaan laut. kemudian disusul panah api yang menyebabkan kaum muslimin bermuara di lautan api. Sebagian dari mereka tidak bisa menyelamatkan diri dan sisanya kembali ke Pantai Asia. Termasuk diantara korban yang gugur yaitu sahabat Nabi Muhammad SAW bernama Abu Ayyub Al-Anshori dan dimakamkan diluar benteng.[2]
Ekspansi kembali dilanjutkan pada tahun 50 H/670 M menuju wilayah pesisir Afrika Utara di seberang Cyreneica (Libya) yang sebagiannya masih dalam kekuasaan Imperium Roma Timur dan wilayah pesisir baratnya berada dalam kekuasaan bangsa Visigoth dari Spanyol. Jumlah pasukan yang diutus berjumlah 10.000 pasukan berkuda dibawah pimpinan Panglima Okbah Bennafi Al-Fihri yang kemudian mendapat bantuan tambahan pasukan dari mesir. Menyikapi rencana tersebut Kaisar Constan II kembali menyambut mereka dengan mengirimkan pasukan ke Libya dari Chartago dengan 30.000 tentara yang mana pembekalan dan pembiayaannya di pungut melalui aksi perampasan kekayaan gereja di Roma dan berbagai kota di Italia dan Sicily. Kedua pasukan bertemu di Tripoli dengan prosentase tidak seimbang dengan kuantitas lebih unggul pasukan Imperium Roma. Namun kehendak Alloh SWT melalui kecerdasan Okbah Bennafi dalam strategi perang, pasukan Imperium Roma dapat dipukul mundur dan dihancurkan serta Napoli jatuh dalam kekuasaan Islam.
Pihak imperium Roma kembali mengirimkan bala tentaranya melalui laut dari pulau Sicilia dan Italia setelah mendengar kemenangan Okbah Bennafi. Mengetehui hal ini Kholifah Mu’awiyah juga mengirimkan tentara bantuan, sehingga pasukan Imperium Roma dengan sangat mudah dihancurkan. Kemudian pasukan islam mengepung kota Carthago dan melanjutkan perjalanan menyelusuri pantai utara merebut Aljazair, mengepung kota Ceuta (Benteng pusat kedudukan bangsa Vishigoth), merebut kota Tangier di pantai Atlantik sampai kota Tiznit dari kekuasaan bangsa Vishigoth. Pasukan islam mengalami peningkatan personil dari suku Barbar yang menyatakan masuk islam karena hidayah Alloh Melalui kekaguman mereka terhadap etika dan estetika yang diimplementasikan oleh pasukan Okbah Bennafi. Dengan kekuatan yang semakin besar pasukan islam kembali ke Carthago yang notabene masih dikepung oleh sebagian tentara islam yang bertugas. Pada tahun 51 H/671 pasukan islam menggempur kota Carthago yang menyebabkan peperangan yang sangat dahsyat berlangsung beberapa bulan sehingga kota itu hancur dan porakporanda.
Selanjutnya pada tahun 52 H/672 M Kholifah Mu’awiyah merebut kembali pulau Rhodes yang pernah dikuasai pada masa Kholifah Utsman bin Affan yang melepaskan diri pada masa Kholifah Ali bin Abitholib dengan pimpinan perang Junadah ibn Abi Mu-Umayyat. Gubernur Zayad ibn Abihi mengutus pasukan dibawah pimpinan Muhallib ibn Abi Shafra untuk mengejar Kaum Khowarij yang telah membuat kerusuhan di Kerman dan Sijistan (wilayah selatan Iran) dengan berujung peperangan. Sehingga kaum Khowarij porakporanda dan berhamburan ke bebagai daerah. Panglima Muhallib melanjutkan ekspansi ke lembah Sind menguasai kota Quetta, Khalat, Garruk, Kuzhdar, Shireza, Mehar, Dadu, Sehwan dan kota tua Patala. Kemudian bergerak menuju utara menguasai kota Shikarpur, Khanpur, Bahawalpur dan daerah sekitar sungai Punjab dan Taxilia yang merupakan anak benua India bekas kekuasaan bangsa Grik. Perjalanan dilanjutkan melalui Khyber Pass memasuki dataran tinggi Pamir dan menguasai Kota Khabul dan bagian timur Afganistan yang mana penduduk di daerah ini pada akhirnya mau memeluk agama Islam dengan sangat fanatik dan gagah berani, padahal semula tidak sudi memeluk Islam walaupun wilayahnya telah dikuasai. Panglima muda dan cerdas bernama Muhallib ibn Abishafro ini masih enggan membenamkan kakinya, beliau langkahkan kakinya merebut kota tua Balkh, Tranxosiana, Bukhoro pada tahun 54 H/674 M dan Samarkand pada tahun 56 H/676 M. Dengan begitu lalulintas dagang sepanjang jalan Sutera (Silk Road) telah berada di bawah imperium Islam di mana lokasi ini merupakan jalur dagang antara Tiongkok dan dunia bagian barat.[3]
Ekspansi menjadi prioritas Kholifah Umayyah merupakan tanda praktis kesejahteraan dan keamanan sistem internal pemerintahan dan masyarakat terimplementasi dengan baik. Kesejahteraan mulai terusik ketika kholifah mengeluarkan intruksi kepada seluruh masyarakat Islam agar berbai’at kepada putranya yakni Yazid bin Mu’awiyah. Meskipun Irak, Syam(Surih dan Palestina) dan Iran menyatakan setia dan berbai’at, namun penduduk Hijaz (Arab Tengah) menyatakan statemen ketidak setujuan mereka terhadap intruksi Kholifah Mu’awiyah tersebut. Di samping sebab akhlak tidak baik yang dimiliki Yazid bin Mu’awiyah, unsur nondemokratis dalam menentukan Kholifah juga merupakan faktor utama penduduk Hijaz enggan berbai’at. Tokoh yang berada dibalik penolakan tersebut diantaranya Abdulloh bin Umar, Abdurrohman bin Abu Bakar, Husain bin Ali dan Abdulloh bin Zubair. Setelah Kholifah mengirimkan 1000 pasukan, maka rakyat Hijaz berbai’at kecuali empat tokoh tadi. Penolakan berbai’at terus terjadi sampai Kholifah Wafat dan diganti oleh Putranya yakni Yazid bin Mu’awiyah.
b)        Abdul Malik bin Marwan (65 H/685 M-86 H/705 M),
Di awal pemerintahan beliau, golongan dari Kufah yang masih tunduk pada Abdulloh bin Zubair mengadakan sikap penentangan terhadap Kholifah di bawah pimpinan Mukhtar ibn Abdillah Al-Saggaf dengan alasan tuntutan terhadap pembunuhan Sayyidina Husain bin Ali di Karbala. Sebelumnya mereka sudah mengadakan gerakan penangkapan terhadap orang yang langsung menjadi eksekutor terhadap Sayyidina Husain, yaitu Syammar ibnu Ziljausan dan Umar ibnu Sa’ad, kemudian memenggal kepala keduanya. Sekilas gerakan mereka dinilai positif, namun sepintar apapun menyimpan bangkai maka akan ketahuan juga. Rupanya mereka adalah aliran kebatinan dengan topeng agama yang mana sisi negatif gerakan ini mulai tersingkap ketika mereka mengadakan pengejaran terhadap Abdulloh ibn Zayyad yang merupakan sumber perintah pembunuhan terhadap sayyidina Husain, yang melarikan diri ke Mosul. Dalam perjalanan mereka menjunjung semacam kursi di atas keledai yang diyakini mempunyai kekuatan ghoib sebagai lambang kodrat ilahi sebagaimana Tabut-Nabi Musa AS untuk Bani Isro’il.[4]
Menyikapi hal itu Abdulloh bin Zubair memerintahkan kepada saudaranya Mashab bin Zubair Al-Wali dari wilayah Iran dan Iraq dibantu oleh Muhallib ibn Abishafro Al-Amil wilayah Khurasan untuk membasmi mereka. Dalam rangka pembasmian aliran kebatinan terseput pecahlah peperangan di sekitar Kufah yang menewaskan Mukhtar Al-Saggaf sekaligus musnahnya aliran yang dibawanya.
Terjadi keresahan mendalam dalam hati Kholifah Abdul Malik bin Marwan dengan bertambah kuatnya kedudukan Abdulloh bin Zubair yang ditambah dengan gerakan pendukungnya yang dinilai otoriter. Karena semenjak tahun 64-72 H setiap jama’ah Haji diharuskan mengangkat bai’at terhadap Abdlloh bin Zubair. Gerakan tersebut tidak membuat Kholifah serta merta menyikapi dengan pemikiran pendek, karena terfokus dengan stabilisasi internal pemerintahan. Setelah lima tahun berjalan barulah beliau menyikapi gerakan Abdulloh bin Zubair dengan terlebih dahulu mengusai Irak, Iran, Khurasan sampai Bukhoro yang merupakan penyuplai dana yang sangat besar untuk gerakan mereka. Tepatnya pada awal tahun 72 H/692 M, melalui daerah Tho’if sekitar 120 Km dari Mekkah Kholifah menyerang Baitulloh dengan pasukan besar dibawah pimpinan panglima Hujjaj ibn Yusuf. Tidak seperti serangan sebelumnya, kali ini rupanya Alloh SWT menghendaki Abdulloh bin Zubair menjadi syahid dalam membela kaum Muslimin khususnya daerah Hijaz dengan keyakinan ketidak absahan Kholiwah yang ada. Pasukan Kholifah baru bisa menembus Ka’bah setelah selang waktu tujuh bulan berkecamuk di arena pertempuran. Abdulloh bin Zubair terjepit hingga berperang dengan baground Ka’bah. Beliau terbunuh akibat terkena pelontar dan kepalanya dijunjung dengan ujung tombak, kemudian diturunkan atas permintaan dari ibunda beliau.
Kemelut internal pemerintahan Kholifah Abdul Malik menyebabkan mengecilnya daerah kekuasaan islam akibat dikuasinya daerah-daerah tertentu oleh pemerintahan Imperium Roma dan serangan dari suku Ber-ber pedalaman. Pada tahun 77 H/697 M pertempuran yang dipimpin oleh Panglima Ibn Walid guna merebut kembali Asia kecil dari tangan Imperium Roma menelan korban dari pihak muslim sebanyak 200.000 jiwa dan pihak Roma diatas jumlah tersebut. Kota benteng Lazuca dan Baruncium yang selama ini sulit ditundukkan akhirnya juga bisa dikuasai umat islam. Kemudia pada tahun 78 H/698 M Kholifah mengirimkan 4.000 pasukan berkuda dibawah pimpinan Hassan ibn Nukman yang selanjutnya dapat bantuan pasukan dari wilayah Mesir dan Syiria menuju Afrika utara dan berhasil menguasai dan meratakan kota benteng Karthago yang sebelumnya dikuasai oleh Imperium Roma. Dalam tahun ini juga Kota benteng Karthago kembali dikuasai oleh pasukan gabungan Kaisar Leontius dan Bangsa Goths Spanyol. Menyikapi hal tersebut kholifah mengirimkan bantuan pasukan darat dan laut untu Panglima ibn Nukman yang bertahan di Kairwan. Pertempuran akhirnya terjadi di darat dan laut yang memporak-porandakan pasukan gabungan Roma dan Goths sehingga wilayah Afrika Utara hingga sekarang masih berada dalam kekuasaan Islam.[5]
c)        Umar bin ‘Abdul ‘Aziz [‘Umar II], (717-720M),
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Abd al-Aziz –rahimahullaahu ta’ala- tahun 99 H/717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah –rahimahullaahu ta’ala-, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin ‘Abdullah al-Ghafiqi –rahimahullaahu ta’ala-. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordreu, Poiter, dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours. Akan tetapi, diantara kota Poiter dan Tours itu ia ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan. Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliranMonofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.[6]
Rakyat dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam. Berkenaan dengan itu Amerali, seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan Barat) menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan, tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan besi penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakkan. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri.
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol masih berada di bawah pemerintahan Romawi (Byzantine), berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam. Awal kehancuran kerajaan Ghoth adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa Rahimahumullah.[7]
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderick yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin. Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokon-tokoh pejuang dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.




B.       Keadaan pendidikan

1.        Visi dan misi
Spektrum setiap perjalanan segala macam bentuk subtansi, tidak akan lepas dari sumbangan dan pengaruh berbagai faktor yang mengitarinya. Hal yang sama juga terjadi pada ranah pendidikan, termasuk perjalanan pendidikan Islam pada masa bani Umayyah dimana dimensi politik, sosial, budaya dan agama ikut campur tangan mewarnai sistem dan bentuk implementasi pendidikan. Ekspansi akbar teritorial yang digencarkan oleh para punggawa bani Umayyah dalam beberapa periode, disamping beresultan semakin luasnya daerah kekuasaan, juga secara otomatis meningkatkan volume kebutuhan primer maupun sekunder dan pelayanan dari pemerintah untuk Masyarakat  yang tidak bisa hanya dipandang dengan sebelah mata . Dalam hal ini pendidikan pun merupakan kebutuhan yang pokok dalam mensejahterakan dan meningkatkan pola hidup bermasyarakat yang harus diprogramkan oleh pemerintah pada saat itu.
Dalam kondisi yang menuntut keahlian yang terpadu antara profesionalisme hati dan otak, pada masa bani Umayyah secara eksplisit pendidikan mempunyai visi unggul dalam ilmu agama dan umum, sejalan dengan kebutuhan zaman dan masing-masing wilayah Islam. Sedangkan untuk mewujudkannya terdapat misi yang diprogramkan, diantaranya :
1.    Menyelenggarakan pendidikan agama dan umum secara seimbang.
2.    Melakukan penataan kelembagaan dan aspek-aspek pendidikan Islam.
3.    Memberikan pelayanan pendidikan pada seluruh wilayah Islam secara adil dan merata.
4.    Menjadikan pendidikan sebagai penopang utama kemajuan wilayah Islam.
5.    Memberdayakan Masyarakat agar dapat memecahkan masalahnya sesuai dengan kemampuannya sendiri.
Dalam istilah tercatat bahwa faktor yang terpenting dalam pembangunan adalah membangun manusia yang membangun pembangunan. Mungkin inilah yang paralel dengan apa yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan bani Umayyah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terukir dari sejarah perjalanan usaha pembangunan bangsa Indonesia, dimana prioritas pembangunan bertumpu pada perbaikan dan penambahan infra struktur, baik dalam bidang ekonomi, industri dan pariwisata dengan mengenyampingkan peningkatan pembangunan SDM. Akibatnya, rendahnya SDM yang tersedia tidak mampu mengimbangi SDA dan teknologi yang tinggi yang ada. Dalam menanggulanginya terpaksa mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri bahkan mengadakan kerjasama yang lebih menguntungkan pihak luar. Dengan tidak ada penanganan yang serius dalam proses pembangunan bangsa melalui peningkatan SDM dalam hal ini pendidikan, sampai saat ini bangsa Indonesia masih sangat bergantung pada pihak luar, baik dalam segi ekonomi, tenaga ahli maupun dalam pendidikan itu sendiri. Berbeda halnya dengan Malaysia dan Singapura, dimana pembangunan negara, mereka start dengan program peningkatan SDM. Dalam hal ini pendidikan merupakan langkah utama yang digalakkan bahkan tidak sedikit dari pelajar mereka yang dikirim untuk belajar ke luar negeri. Sehingga walaupun pada awalnya mereka tertinggal dalam infrastruktur, namun saat ini kita yang tertinggal bahkan segalanya.
Pada tahun 1960-an yang di pelopori oleh Presiden Soeharto, negara Indonesia merupakan negara terbaik dalam bidang ekonomi Asia di bawah Cina dan Thailand. Sehingga banyak dana tergelontor ke Indonesia dari donatur dunia yang sebenarnya menitik beratkan pada pengembalian yang relatif tinggi dibandingkan dengan pendapatan Indonesia yang masih rendah.[8] Belum lagi pengaruh negatif sejarah pendidikan Indonesia masa belanda yang terjadi diskriminatif perbedaan pelayanan pendidikan kaum priyayi dan pribumi walaupun akhirnya muncul gerakan pendidikan oleh Syekh Abdulloh Ahmad di Minangkabau berwujud Madrasah adabiyah yang di dalamnya sudah mulai diajar ilmu agama dan umum tanpa membedakan suku peserta didik.[9]
Bukan hanya kesalahan dalam memulai pembangunan, bahkan bangsa kita masih kurang tepat dalam melaksanakan pembangunan itu sendiri, khususnya dalam pendidikan, yang mana masih kental dengan adanya dikotomi ilmu. Hal inilah yang mewarnai hasil SDM bangsa dengan hasil lulusan berkriteria manusia berotak tanpa hati dan manusia berhati tanpa otak. Sebenarnya langkah terbaik dalam mencapai kesuksesan dalam pembangunan khususnya menata peradaban, adalah dengan menoleh pada sejarah. Sebagaimana proses pembangunan yang dilakukan pada masa bani Umayyah yang mencapai hasil yang gemilang melalui pendidikan yang didalamnya tanpa ada dikotomi ilmu.
Cerminan dari pencapaian tersebut, terdapat tidak sedikit munculnya statemen dan subtansi baru yang bisa menopang kemajuan sosial pada masanya dan masa selanjutnya, antara lain ;
1.    Melakukan pemisahan antara kekuasaan agama dan politik.
2.    Melakukan pembagian kekuasaan kedalam beberapa bentuk provinsi.
3.    Membentuk organisasi dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam bentuk departemen/dewan.
4.    Membentuk organisasi keuangan yang terpusat pada baitul mal yang diperoleh dari pajak.
5.    Membentuk organisasi ketentaraan yang umumnya terdiri dari keturunan orang arab.
6.    Membentuk organisasi kehakiman.
7.    Membentuk lembaga sosial dan budaya.
8.    Membentuk bidang seni dan sastra dengan menggunakan bahasa arab.
9.    Membentuk lembaga seni rupa seperti seni ukir, pahat dan kaligrafi.
10.Membentuk lembaga arsitektur

2.        Kurikulum
Berbicara pendidikan, sudah barang tentu didalamnya haruslah terdapat komponen utamanya, yakni kurikulum. Sebagus apapun visi dan misi suatu pendidikan tanpa didukung dengan kehadiran dan keberlakuan kurikulum yang sistematis dan efektif serta relevan dengan tujuan pendidikan, maka kesuksesan membawa keadaan lebih baik hanya akan jadi spektrum lamunan belaka. Pada zaman bani Umayyah, kurikulum yang diterapkan telah diserasikan dengan dengan visi dan misi yang telah ditentukan. Kurikulum tersebut berisi :
1.    Ilmu agama : Al-Qur’an, Hadits dan Fiqih.
2.    Ilmu sejarah dan geografi : biografi, kisah dan riwayat
3.    Ilmu pengetahuan bidang bahasa : nahwu, shorof dan lain-lain
4.    Ilmu filsafat : mantiq, kimia, astronomi, matematika dan kedokteran.[10]
Walaupun kurikulum pada masa bani Umayyah tidak terstruktur dengan sistematis yang diantarnya harus didukung dengan adanya hidden curiculum, namun segala ketentuan yang sistematis terjadi pada praktek berlangsungnya pendidikan itu sendiri. Hal ini terbukti dari hasil karya yang dihasilkan, kontribusi pendidikan terhadap berbagai instansi termasuk pemerintahan dan lahirnya berbagai tokoh ahli dalam disiplin keilmuan. Sedangkan sistem pelaksanaan pembelajaran pada masa Bani Umayyah sudah menyamai dengan proses pendidikan kita saat ini, yaitu sistem desentralisasi. Setiap daerah dan propinsi diberi hak memproses pendidikan sesuai dengan kebijakan masing-masing, akan tetapi harus berada pada garis ketentuan umum dari pemerintah terutama peraturan bahasa arab adalah bahasa universal khususnya dalam pendidikan.
Terbentuknya kurikulum pada setiap unit pendidikan pada masa Bani Umayyah dengan berbagai disiplin ilmu, tidak menghilangkan gaya dan model alfabeth Islam. Mungkin inilah yang juga belum dilirik oleh sistem pendidikan bangsa Indonesia. Pendidikan Islam era bani Umayyah punya keunikan tersendiri dalam penerapannya, dimana Ilmu yang diprioritaskan untuk dipahami pertama kali adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang selanjutnya disusul ilmu fiqih kemudian ilmu-ilmu yang lain. Terdapat tidak sedikit tokoh yang muncul dalam ilmu hadits : Imam Bukhori, Ishaq bin Rohwiyah, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal dan yang lainnya. Sedangkan Ulama’ ahli fiqih : Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dan yang lainnya. Pada masa ini pula sudah mulai proses penerjemahan dari kitab-kitab yunani ke bahasa arab.[11]
3.        Lembaga
Pergerakan pendidikan yang terstruktur dan sistematis tak ubahnya gulungan ombak yang menggoreskan lukisan pasir di pantai atau melodi hembusan angin yang membubuhkan lipatan pasir di padang sahara, yakni menumbuhkan lembaga-lembaga pendidikan di berbagai tempat dan kalangan. Walaupun dalam faktor internal, pendidikan pada masa bani Umayyah sudah mulai tertata dengan baik, akan tetapi bentuk dan model kelembagaan masih dominan dipengaruhi oleh faktor eksternal, utamanya dari segi pisau politik. Budaya monarki yang masih membalut roda pemerintahan, membawa dampak adanya klasifikasi dan spesialisasi berdasarkan ras dan suku masyarakat menjadi terkotak-kotak yang selanjutnya menjalar mewarnai pendidikan.
Adapun lembaga-lembaga pendidikan yang terbentuk pada masa dinasti bani Umayyah antara lain :
1.    Istana
Kegiatan pendidikan yang diaplikasikan dalam istana dengan sub menu pokok ilmu agama dan umum, bukan hanya terbatas pada prioritasi aspek kognitif, akan tetapi sudah mulai menyentuh dan menekankan juga pendidikan pada ranah aspek afektif dan psikomotorik. (Abdul Malik ibn Marwan)
2.    Badiah
Lembaga pendidikan ini merupakan lembaga yang mempelajari khusus bahasa arab yang masih murni, tidak terkontaminasi oleh adopsi dari bahasa lain dan perjalanan waktu. Berdirinya Badiah dilatar belakangi oleh program arabisasi daulah bani Umayyah yang dari lembaga ini kemudian muncullah Qowa’id Al-Lughoh. Melalui badi’ah inilah bahasa arab menyebar luas ke seluruh teritorial di bawah kekuasaan Islam, termasuk diantaranya : Irak, Syria, Mesir, Lebanon, Libya, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Yaman, Emirat Arab dan sekitarnya. (160 H./776 M.)
3.    Perpustakaan
Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan serta ditambah dengan kegiatan pendidikan yang berupa penelitian, mewajibkan tersedianya perpustakaan sebagai tempat khusus yang dapat mendukung pemenuhan segala kebutuhan dalam kegiatan pendidikan khususnya penelitian. Selanjutnya perpustakaan bertambah fungsi sebagai kegiatan belajar mengajar, seminar buku oleh pengarangnya, analisis buku bacaan, penyalinan dan penerjemahan buku. Al-Hakam ibn Nasir (350 H./961 M.) mendirikan perpustakaan besar di Kordoba.
4.    Al-Bimaristan
Lembaga ini merupakan rumah sakit tempat berobat dan perawatan orang sakit serta sekaligus berfungsi sebagai tempat melakukan magang dan penelitian bagi calon dokter. Dalam istilah sekarang sama halnya dengan Teaching Hospital (Rumah sakit Pendidikan). Pada masa ini cucu Mu’awiyah (Kholid ibn Yazid) sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Dia memerintah sarjana yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke bahasa arab yang mana penerjemahan ini merupakan awal sejarah berlangsungnya alih bahasa dari barat ke arab. (Al-Walid ibn Abdul Malik). Adopsi melalui penerjemahan buku-buku persia, Romawi, India dan Yunani oleh islam bukan hanya mengambil subtansi isi sebagai wujud taqlid, akan tetapi dari ilmu yang diserap dikembangkan menjadi disiplin ilmu yang jauh berkembang dari pada asalnya.[12]
Tidak hanya sebagai pelaku yang pasif dalam proses pendidikan, bimaristan juga memberi kontribusi terhadap lembaga kedokteran begitu juga sebaliknya. Sehingga keduanya saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain guna mencapai hasil yang maksimal dalam tercapainya tujuan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat melalui ranah pendidikan.[13]
Dalam dekade terkhir ini kita sudah mulai menyentuh dan meraba apa yang sudah digapai oleh umat islam sebelumnya. Diantaranya bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa sentral (bahasa Indonesia materi wajib UN), banyaknya penerjemahan buku-buku asing baik bahasa inggris atau bahasa arab ke bahasa Indonesia sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan yang merupakan orang yang pertama kali menerjemahkan syair-syair bahasa persia ke bahasa arab,[14] terdapatnya unit pendidikan yang mempunyai tempat khusus praktik ilmu khususnya dalam bidang kesehatan dan begitupun dari pihak rumah sakit atau industri yang mulai menerima dan meminta tenaga ahli dari instansi pendidikan. Akan tetapi dengan masih rendahnya mutu pendidikan yang resultan terhadap hasil produk pendidikan berkualitas dibawah standart kelayakan kerja, maka pengambilan tenaga ahli masih merekrut dari luar negeri.
Akan tetapi berbagai bentuk munculnya lembaga pendidikan dan sistemnya yang baru pada masa bani Umayyah bukan berarti menghapuskan tradisi pendidikan yang lama dari masa Rosululloh SAW hingga masa khulafa’ur Rosyidin. Pola pengajaran dengan sistem kuttab, membaca dan menulis Al-Qur’an dimana Masjid sebagai sentral, masih tetap eksis mewarnai perjalanan proses pendidikan. Hanya saja terdapat perbedaan sebagai wujud perkembangan sistem pendidikan dibandingkan yang terdahulu. Misalnya, pada masa bani Umayyah seorang guru (Mu’addib) sudah mulai dijamin kesejahteraannya meliputi pemenuhan biaya hidup, penghormatan dan tempat tinggal. Akan tetapi bagi anggota didik yang terbilang masih lemah dalam hal ekonomi, pendidikannya berlangsung di kebun atau pekarangan dekat Masjid dan guru masih belum ada jaminan kesejahteraan terkecuali hanya bersumber dari Masyarakat tanpa campur tangan dari pemerintah.[15]


[1]Sou’yb, Joesoef. (Sejarah Daulat Umayyah Di Damaskus). Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Hal. 22.
[2] Ibid, Hal. 44.
[3]Sou’yb, Joesoef. (Sejarah Daulat Umayyah Di Damaskus). Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Hal. 29-42.
[4] Sou’yb, Joesoef. (Sejarah Daulat Umayyah Di Damaskus). Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Hal. 90.
[5][5] Ibid, 115
[6] Ibid, 133
[7] Ibid, 173-179.
[8] Hill, Hal. Ekonomi indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002. Cet, 2. Hal, 9.
[9] Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005. Hal, 17.
[10][10] Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Cet,1. Hal, 134.
[11] Bakar, Hammad Al-Alyan. Al-Tarbiyah Wa Al-Ta’lim fi Daula Al-Islamiyah Khilal Al-Qorn 14 min Al-Taba’iyyah ila Al-Sholah. Daru Al-Anshor. Hal,26.
[12] Mansur. Junaedi, Mahfudz. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005. Hal, 27.
[13] Abdud Da’im, Abdulloh. Al-Tarbiyah Abara Al-Tarikh Min  Al-Ushuri Al-Qodimah Hatta Awa’ili Al-Qorni Al-‘Isyrin. Libanon: Daru Al-Alam Al-Malayin. Hal, 160.
[14] As-Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa’, Sejarah Penguasa Islam: Khulafa’urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah. Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Cet, 4. Hal, 260.
[15]Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rosululloh Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Cet, 2. Hal, 61.

No comments:

Post a Comment