PascaSarjana UIN Maliki Malang
Juni, 2014
A. Latar Belakang
Hadis nabi Muhammad SAW diyakini oleh mayoritas umat
Islam sebagai bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari
ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an al-Karim.Dalam hubungan antara
keduanya, hadis berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an.Interpretasi terjhadap
petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan nabi.Otoritas
Nabi sebagai pembawa risalah untuk memberikan petunjuk kehidupan yang benar
kepada umatnya hal ini dibenarkan oleh Allah SWT.Bahkan taat kepada nabi
menjadi ciri utama ketakwaan seseorang.Sebaliknya yang menentang kenabian
Muhammad atau menentang ajaran yang dibawanya menjadi ukuran kualitas keagamaan
seseorang.
Namun sayangnya, kedudukan hadis yang demikian penting
itu-menurut para ahli-dalam sejarahnya tercatat kurang menggembirakan, karena
tidak terdokumentasi secara tertulis resmi sejak awal peradaban muslim. Hal ini
menyebabkan hadis disikapi secara tidak
utuh oleh umat islam sendiri. Umat islam pada era Nabi dan sahabat, dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan khususnya di bidang keagamaan, umumnya hanya melalui ingatan
dan daya hafal saja. Analisis yang menyatakan bahwa keterlambatan penulisan
hadis itu lebih disebabkan budaya arab yang ketika itu yang belum mengenal
dunia tulis-menulis, sesungguhnya berasal dari kaum orientalis yang sengaja
untuk menciptakan anggapan bahwa memang Islam sejak awalnya tidak mendorong
kemajuan, di lain pihak untuk menciptakan terhadap keraguan hadis, bahwa bahwa
hadis itu sesungguhnya tafsiran umat terhadap segala sesuatu yang datang dari
nabi, atau mungkin dikatakan ‘buatan’ umat islam pada awal abad kedua hijriyah
yang tidak sah untuk ditaati.[1]
M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa “musibah” besar telah
terjadi dalam sejarah hadis.Sebelum khalifah Umar Ibn Abd. Al-Aziz(berkuasa
99H-101H) mengeluarkan perintah penghimpunan hadis, telah terjadi berbagai
pemalsuan hadis. Latar belakang orang-orang memalsukan hadis ini
bermacam-macam, diantaranya adalah: 1. Politik, 2. Ekonomi, 3. Golingan madzhab
fikih atau teologi, 4. Mencari muka dihadapan penguasa, 5. Hidup berzuhud, 6.
Daya tarik dalam dakwah. Maka untuk menyelamatkan hadis nabi dari ”noda-noda’
yang merusak hadis ulama bekerja keras mengembangkan berbagai pengetahuan,
menciptakan berbgai kaidah, menyusun berbagai istilah dan membuat berbagai
metode penelitian sanad dan matan hadis. Anggapan ini telah mempengaruhi sikap
umat islam sendiri terhadap hadis, baik sebagai pengingkar maupun yang menolak
hadis karena hadis mempunyai latar belakang suram. Tapi justru tantangan inilah
yang kemudian dibuktikan oleh para ulama hadis untuk lebih keras memisahkan
mana hadis dan mana budaya umat yang mengitari di sekitar hadis.[2]
Pengkajian atas hadis Nabi, sebagaimana yang dilakukan
oleh para ahli, tidak terbatas pada kadungan dan aplikasi hadis, serta yang ada
hubungan dengannya saja tetapi juga kajian tersebut terhadap periwayatan dan
materi hadis itu sendiri. Masih menurut para ahli, penelitian terhadap hadis,
penelitian terhadap sanad maupun materi hadis dianggap sangat penting, karena
boleh jadi sebagian dari apa yang sangat penting, karena boleh jadi sebagian
dari apa yang dinyatakan sebagai hadis nabi setelah diteliti dengan seksama
ternyata sangat untuk diterima sebagai hadis dari nabi.[3]Kritik
berarti upaya untuk membedakan antara apa yang benar dengan yang salah, maka
dapat dikatakan bahwa kritik telah dimulai pada masa Nabi Muhhammad SAW masih
hidup. Tapi pada masa itu, istilah ini hanya berarti “pergi menemui Nabi untuk
membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah dikatan beliau.” Sesungguhnya, pada
tahap ini ia merupakan proses
konsolidasi dengan tujuan agar kaum kuslimin merasa tenteram.[4]
Kepercayaan periwayatan hadis merupakan persoalan
kontroversial di kalangan para sarjana studi-studi Islam, tidak hanya Muslim
dan non-Muslim tetapi juga antar sesama sarjana muslim.[5]Kajian
kritik hadis kontemporer telah berkembang pada abad 19, sebagai tandingan
tehadap hasil analisis hadis yang dilakukan kaum orientalis. Salah satu ulama
yang telah melakukan kritik hadis yaitu
Syaikh Muhammad Al-Ghozali. Siapakah Syaikh Muhammad al-Ghozali tersebut?Bagaimana
kriteria kesahihan hadis yang diikuti oleh al-Ghozali?bagaimana metodologi
kritik hadis al-Ghozali dan contoh hadis apa yang ditolaknya?
B. Pembahasan
1.
Sejarah Hidup Syekh Muhammad al-Ghazali
Syekh Muhammad al-Ghazali lahir pada tanggal 22 September
1917 tahun 1917 M di Al-Bahirah, Mesir.Suatu daerah yang dikenal banyak
dilahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka pada masa itu, seperti Muhammad ‘Abduh,
Mahmud Syaltut, Hasan Al-Banna, dan Muhammad Al-Madani.[6]
Pada usia 10 tahun Syekh Muhammad al-Ghazali sudah
berhasil menghatamkan hafalan al-Quran 30 juz, pendidikan dasar dan
menengahnya, ia tempuh di sekolah agama. Pada tahun 1973, ia melanjutkan pendidikannya
pada jurusan Dakwah, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Mesir, dan
lululs pada tahun 1941 M. Kemudian melanjutkan studi ke Fakultas Bahasa Arab
pada perguruan tinggi yang sama, selesai pada tahun 1943.
Muhammad al-Ghazali lebih dikenal sebagai da’i terutama
di Timur Tengah. Materi ceramahnya yang selalu segar, gaya bahasanya, semangat,
dan keterbukaannya, merupakan daya tarik dakwahnya.[7]Selain
sebagai da’i, ia juga merupakan seorang akademisi yang disegani baik di
almamaternya maupun di berbagai perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas
Ummul Qura di Makkah, Universitas Qatar di Qatar, Universitas Amir Abdul Qadir
al-Islamiyah di Aljazair.
Al-ghozali telah berjuang dalam dua medan, pertama
terhadap musuh-musuh yang membenci memerangi Islam. Medan kedua adalah umat
islam yang tidak mengetahui hakikat islam tapi mengklaim sebagai ahli Islam.
Mereka lebih berbahaya dari kelompok pertama. Al-ghozali menamakan mereka
sebagai “kelompok pemecah belah” karena mereka sering memecah belah umat islam
dengan memunculkan isu-isu sepele dalam islam. Biasanya mengangkat
masalah-masalah khilafiyah dalam Islam.[8]
Syekh Muhammad al-Ghazali wafat pada hari sabtu tanggal 9
Syawal 1416 bertepatan dengan tanggal 06 Maret 1996, ketika beliau sedang
berada di Saudi Arabia untuk menghadiri seminar Islam dan Barat.Syeikh Muhammad
Al-Ghazali mewariskan enam puluh buku lebih dalam berbagai tema, plus ceramah,
seminar, khutbah, nasihat, kajian dan dialog yang disampaikan di Mesir maupun
di luar Mesir. Diantara buah karya beliau adalah: 1. Minhuna na’lam. 2.Al-Islam
wal istibdadus siyasi. 3.Aqidatul muslim. 4.Fiqhus sirah. 5.Khuluqul muslim.
6.Laisa minal Islam. Sebagian besar buku-buku beliau telah diterjemahkan ke
beberapa bahasa, antara lain: bahasa Inggris, Turki, Perancis, Urdu, Indonesia
dan lain sebagainya.
2.
Kriteria Kesahihan dan pembagian Hadis menurut Muhammad
Al- Ghpzali
Ulama dari berbagai bidang keislaman sepakat bahwa hadis
yang dapat dijadikan hujjah hanya hadis yang berkualitas sahih, sehingga para
muhaddis menetapkan kriteria kesahihan hadis, baik dari segi sanad maupun dari
segi matan.[9]
a. Kriteria Kesahihan Sanad Hadis
1) Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang
yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti dan benar-benar memahami
apa yang didengarnya. Kenudian ia meriwayatkannya tepat seperti aslinya.
2) Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus
seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak
dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.[10]
3) Kedua sifat tersebut di atas harus dimiliki oleh
masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal
itu tidak terpenuhi dari seseorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak
dianggap mencapai derajat sahih.
b. Kriteria Kesahihan Matan Hadis
1) Mengenai matan (materi) hadis itu sendiri, ia harus
tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam
periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat
dipercaya)
2) Hadis tersebut harus bersih dari illah qadihah yaitu
cacat yang diketahui para ahli oleh para ahli hadis, sehingga mereka
menolaknya.
3) Matan hadis sesuai dengan al-Quran yaitu matan tidak
boleh bertentangan dengan isi al-Qur’an.
4) Matan hadis sejalan dengan matan hadis sahih lainnya
yaitu matan hadis sesuai dengan matan hadis yang lain yang lebih sahih.
5) Matan hadis sejalan dengan fakta sejarah yaitu matan
hadis harus sesuai dengan sejarah,
adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis
memiliki sandaran validitas yang kokoh.
6) Redaksi matan
hadis menggunakan bahasa Arab yang baik.
7) Kandungan matan hadis sesuai dengan prinsip-prinsip
umum ajaran agama islam yaitu kandungan dari matan hadis sejalan dengan prinsip
yang ada pada ajaran agama Islam dan tidak boleh bertentangan.
Persyaratan tersebut cukup menjamin ketelitian dalam
penukilan serta penerimaan suatu berita tentang Nabi Muhammad SAW.Merupakan
suatu keberanian untuk menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia tidak
pernah dijumpai contoh ketelitian dan kehati-hatian yang menyamainya.Tetapi hal
yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup untuk mempraktekkan
persyaratan-persyaratan tersebut.
Sangat banyak ulama yang bertakwa kepada Allah dan
bertanggung jawab dan sangat teliti dalam memelihara sunnah Nabi, Cara-cara
mereka untuk menyaring sanad hadis sungguh merupakan hal yang sangat terpuji
dan layak dikagumi oleh siapa saja. Dan di samping mereka, banyak pula yang
meneliti matan-matan hadis kemudian memisahkan mana yang dinilai syadz atau
cacat.
Pada pronsipnya Muhammad al-Ghozali menyepakati beberapa
rumusan yang dibuat oleh jumhur ulama ahli hadis, bahwa setelah diadakan
seleksi yang ketat terhadap hadis-hadis Nabi dari zaman ke zaman yang telah
dilakukan oleh para ulama dari periode ke periode berikutnya, akhirnya
hadis-hadis tersebut terkumpul dalam kitab-kitab hadis yang dari segi kualitasnya
terdiri dari hadis sahih, hasan, dlaif, dan maudhu’.[11]
Sementara pembagian hadis dilihat dari periwayatannya
sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama ahli hadis yang terbagi pada
hadis mutawatir dan ahad, dalam pandangan
muhammad al-Ghozali tidak ada persoalan yang mendasar yang mendapat
pembahasan persoalan yang mendasar, yang mendapat pembahasan yang luas. Hanya
Mhammad al-ghozali mempersoalkan kehujjahannya.Ia menyatakan:
Sekali-kali kami tidak hendak melemahkan suatu hadis yang
masih bisa disahihkan, tetapikami benar-benar berkeinginan agar setiap hadis
dipahami di dalam kerangka makna-makna yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Dari segi pemahaman hadis , Muhammad al-Ghozali dalam
menilai dan memahami makna suatu hadis terlebih dahulu membandingkan Al-Quran.
Sehingga hadis-hadis yang bertentangan langsung atau tidak langsung dengan
Al-Qur’an-darisegi periwayatannya hadis itu sahih- tetap ditolak dan dinyatakan
sebagai suatu hadis yang tidak sahih. Bahkan ia mengkritik orang yang hanya
menyibukkan diri dengan hadis nabi dan kurang memperhatikan Al-Qura’an.
Secara umum tidak ada perbedaan yang mendasar antara
Syekh Muhammad al-Ghazali dengan para pengumpul hadis lainnya dalam menentukan
kriteria kesahihan hadis.Namun prakteknya Muhammad al-Ghazali tidak konsisten
dengan kriteria yang ditetapkannya. Dalam menentukan kesahihan matan hadis, ia
hanya terfokus pada kriteria pertama, yaitu matan hadis harus sesuai dengan
prinsip-prinsip al-Quran.
3.
Metodologi Kritik Hadis Syekh Muhammad al-Ghazali
Muhammad al-Ghozali selanjutnya mengatakan pula” suatu
hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang
terpisah dari yang lainnya.Tetapi setiap hadis harus digabungkan dengan hadis
lainnya. Kemudian hadis-hadis yang tergabung itu diperbandingkan dengan apa
yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an al-karim. Alquran adalah adalah kerangka yang
hanya dengan berada di dalam batasannya saja kita dapat mempraktikkan hadis, bukan
melampauinya. Dan siapa saja yang berani menyatakan bahwa hadis (atau sunnah)
lebih berwenang dari Al-Qur’an,atau dapat menghapus hukum-hukum di dalamnya,
maka ia adalah seorang yang terpedaya oleh hawa nafsunya.[12]
Para ahli hadis dalam menetapkan dapat diterimanya suatu
hadis tidak mencukupkan diri pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi
yang bersangkutan.Hal itu dikarenakan samapai kepada kita melalui mata rantai
rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya.Oleh karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat
lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadis di sela-sela mata rantai
tersebut.Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat diterimanya
rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana
hadis yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak.[13]Penggunaan
metodologi dalam penelitian ilmiah adalah hal yang tidak boleh diabaikan.Karena
dengan menggunakan metode penelitian, suatu penelitian dapat berjalan dengan
prosedural yang tepat dan bermanfaat, sehingga penelitian yang dilakukan dapat
menjadi efektif dan efisien. Begitu juga dengan penelitian ilmiah dalam
mengritik hadis, seorang ahli hadis atau ilmuan islam yang akan melakukan
kritik terhadap hadis, haruslah menggunakan metodologi penelitian yang akurat, yang
mampu menggali seluas-luasnya segala hal yang berkaitan dengan hadis sebelum
membuat suatu kesimpulan keotentifikasian hadis.
Salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam metode
kritik hadis adalah dengan menggunakan desain studi kepustakaan, dengan
pendekatan analisi isi (Content Analysis).Pendekatan analisis isi diarahkan
pada pengujian otentisitas dan pengujian teks matan hadis.[14]Pendekatan
deskriptif lebih ditekankan pada saat
uji kebenaran nisbah (asosiasi) ungkapan hadis kepada narasumbernya dan dalam
melacak kaidah kritik matan hadis versi muhadditsin maupun fuqaha berikut
instrumen pengoperasiannya. Sedang perbandingan dimaksudkan untuk menemukan
titik temu (persamaan) dan perbedaan parameter kritik atas substansi doktrinal
matan.
Dalam meneliti atau mengkritik suatu hadis, Muhammad
al-Ghazali tidak menggunakan langkah-langkah tertentu sebagaimana yang telah
dilakukan ulama hadis.Berdasarkan hasil penelitian Bustamin, beliau menemukan
bahwa Muhammad al-Ghazali tidak konsisten dalam menentukan kualitas suatu
hadis.Hal ini dapat dilihat pada saat Muhammad al-Ghazali mensyaratkan kualitas
perawi perawi hadis untuk menentukan kesahihan suatu hadis.Metodologi kritis
hadis Muhammad al-Ghazali terpusat pada matan hadis. Oleh karena itu, Ali
Musthafa Yaqubmenilai bahwa Muhammad al-Ghazali dalam mengkritik hadis, ia
tidak mengikuti kriteria penulisan ilmiah dan tidak pula mengikuti metodologi
kritik hadis yang telah ditetapkan oleh Muhadditsin.[15]
Yusuf Qardhawi juga mengatakan bahwa Syekh Muhammad
al-Ghazali tidak memperdulikan takhrij al-hadis dalam meneliti hadis.Sementara
para ahli hadis menempatkan takhrij al-hadis sebagai langkah awal untuk
melakukan penelitian hadis.[16]Menurut
muhadditsin ada 3 langkah dalam metodologi kritik hadis. Langkah metologinya
sebagai berikut:
a. Takhrij Al-Hadis
Sebab perlunya kegiatan ini adalah untuk mengetahui
asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti, mengetahui semua riwayat hadis yang
akan diteliti, untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid atau mutabi’ pada
sanad yang diteliti.
b. Penelitian Sanad Hadis
Penelitian ini terdiri dari al-i’tibar, yaitu penelitian
terhadap pribadi periwayat dan metode yang digunakannya, yang meliputi:
penelitian kualitas dan kapasitas pribadi periwayat, al-jarh wa al-ta’dil,
persambungan sanad, syuzuz, dan ‘illat. Kritik sanad (kritik ekstern) merupakan
tela’ah atas prosedur periwayatan hadis melalui jalur sanad dari sejumlah
perawi yang secara runtut menyampaikan matan hadis hingga perawi terakhir.[17]
c. Penelitian Matan Hadis
Untuk menentukan kesahihan matan suatu hadis, para ulama
telah melakukan pepenlitian dan kritik secara seksama terhadap matan-matan
hadis.sehinnga dapat disusun beberapa kriteria atau kaedah yang dapat dijadikan
tolak ukur bagi sebuah matan yang sahih.Tolak ukur yang dijadikan pegangan oleh
ulama beragam. Al-Khathib Al-Bagdadi misalnya, menjelaskan bahwa matan hadis
yang maqbul adalah matan yang memiliki indikator sebagai berikut:
1) Tidak bertentangan dengan akal yang sehat yaitu dapat
dibuktikan dengan fakta ilmiah.
2) Tidak bertentangan dengan hukum al-Quran yang telah
muhkam yaitu sesuai dengan hukum di dalam al-Qur’an yang telah ada.
3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir yaitu tidak
bertentangan dengan hadis yang sahih.
4) Tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi
kesepakatan ulama masa lalu
5) Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti
6) Tidak bertentangan dengan hadis yang kwalitas
kesahihannya lebih kuat yaitu harus sejalan dengan hadis yang kesahihannya
lebih kuat dan akurat dari matan tersebut.
Dari tolak ukur yang berbeda-beda, tingkat akurasi
penelitian hadis lebih ditentukan oleh ketepatan dan ketetapan metodologis,
kecerdasan dan kapasitas intelektual, keluasan pengetahuan dan kecermatan
seorang peneliti hadis.[18]
Atau penelitian matan ini dilakukan setelah diketahui kualitas sanad hadis,
dilanjutkan dengan penelitian susunan lafad matan yang semakna untuk dijadikan
sebagai studi banding. Selanjutnya dilakukan penelitian bahasa dan kandungan
matan hadis.[19]
4.
Hadis-Hadis Yang Ditolak Syekh Muhammad Al-Ghazali
Banyak hadis yang ditolak oleh Syekh Muhammad Al-Ghazali,
dalam pembahasan ini hanya dicantumkan beberapa diantaranya, yaitu:
a.
Hadis yang menjelaskan tentang mayit yang disiksa karena
tangisan keluarganya, terdapat dalam delapan kitab hadis dengan 37 jalur sanad,
masing-masing dalam Sahih Bukhari lima jalur, Sahih Muslim tujuh jalur, Sunan
At-Turmuzi tiga jalur, Sunan An-Nasa’i enam jalur, Sunan Abu daud satu jalur,
Sunan Ibnu Majah satu jalur, Mus-nad Ahmad tiga belas jalur, dan dalam Muata’
Malik satu jalur. Hadisnya sebagai berikut.
حَدَّثَنِي عَلِيُّ
بْنُ حُجْرٍحَدَّثَنَاعَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍعَنْ الشَّبَانِيِّ عَنْ آَبِيْ
بُرْدَةَ عَنْ اَبِيْهِ قَلَ لَمَّا
آُصِيْبَ عُمَرُجَعَلَ صُهَيْبٌ يَقُولُ وَاَخَاهُ فَقَالَ لَهُ عَمَرُيَا
صُهَيْبُ آَمَا عَلِمْتَ اَنَّ رَسُوْ الله صَلَّى لله عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَلَ
إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَبُبِبُكَاءِالْحَيّ
Artinya: Orang yang meninggal di
azab karena ditangisi yang hidup.
Hadis di atas telah memenuhi
kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari ketersambungan sanad maupun dari
segi kapasitas dan kualitas perawi, serta sanad hadis tersebut memiliki musahid
dan mutabi’.Dengan adanya jalur pendukung, baik pada tingkat sahabat (musahid)
maupaun pada tingkat tabi’in (mutabi’) sampai pada tingkat musannif, maka sanad
hadis tersebut semakin baik dan kuat.Dari 37 jalur sanad hadis diteliti
terlihat bahwa redaksi matan hadis tersebut memiliki perbedaan satu dengan
lainnya, dapat disimpulkan bahwa hadis itu diriwayatkan secara makna.[20]
Sementara menurut Muhammad
al-Ghazali dari 37 jalur sanad hadis di atas, hanya dua jalur yang dapat
diterima, yaitu jalur kelima dan ketujuh yang terdapat dalam sahih muslim,
riwayat dari ‘Aisyah dan yang lainnya harus ditolak. Pemikiran Muhammad
al-Ghazali ini didasarkan pada ‘Aisyah yang mengritik sahabat yang meriwatkan
hadis di atas.Menurut ‘Aisyah riwayat mereka bertentangan dengan pesan al-Quran
surat Al-An’am ayat 164. Yang artinya: dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain (QS. Al-An’am: 164)
Dalam
riwayat ‘Aisyah disebutkan
bahwa mayit yang disiksa di dalam kubur adalah orang yahudi bukanlah orang
mukmin.Oleh karena itu, menurut Muhammad al-Ghazali, metode yang ditempuh oleh
“Aisyah dapat dijadikan dasar untuk menguji kesahihan sebuah hadis, yaitu
menghadapkannya dengan al-Quran.Demikianlah ‘Aisyah dengan tegas dan berani
menolak periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Quran.
Metode
yang ditempuh ‘Aisyah dalam
menentukan kualitas hadis kemudian oleh ulama hadis dikembangkannya menjadi
metode kritik matan hadis, termasuk Muhammad al-Ghazali.Menurut Muhammad
al-Ghazali, muhadditsin klasik justru meletakkan hadis sebagai penjelasan wahyu
yang tidak mungkin salah dan tidak mungkin dibatalkan oleh al-Quran.Sebagai
pelopor pendapat tersebut adalah Al-Syafi’i. Al-Syafi’i dengan ikhtilaf
al-hadisnya, ia berusaha mentakwil hadis-hadis yang kelihatan bertentangan,
baik terhadap sesama hadis maupaun dengan al-Quran, kemudian ia menyimpulkan
bahwa tidak ada hadis yang bertentangan.
Pendapat Muhammad al-Ghazali
berusaha meluruskan pendapat yang mengutamakan hadis daripada al-Quran.Di dalam
karya-karyanya sangat kelihatan bahwa beliau ingin membawa hadis kembali ke
bawah pengayoman prinsip-prinsip al-Quran.[21]
b. Hadis Tentang Makan-Minum, Salah
satu hadis yang di kritik oleh Syekh Muhammad al-Ghazali adalah hadis tentang
etika makan-minum menggunakan pisau. Yaitu hadis yang terdapat dalam Sunan Abu
Dawud pada kita Al-At’imah, bab ‘Akala Al-lahm.
حَدَّثَنَا سَعِيْدُبْنُ
مَنْسُوْرٍحَدَّثَنَااَبُومَعْشَرٍ عَنْ حِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ ابِيْهِ عَنْ
عَاءِشَةَرَضِيَ اللهعَنْهَا قَالَتْ قَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى لله عَلَيْهِ
وَسَلّمَ لاَ تَقْطَعُوْا الَحْمَ بِا اسِّكِّيْنِ فَإِنَّهُ منْ صَنِيْعِ الأَعَا
جِمِ وَ اَنْهَسُوْهُ فَإِ نَّهُ اَ هْنَأُ وَاَمْرَأُ قَلَ اَ
بُوْدَاوُدَوَلَيْسَ هُوَ بِا لْقَوِ يِّ
Artinya: Janganlah kamu memakan daging dengan
pisau sebab yang demikaian itu adalah kebiasaan bangsa-bangsa ‘Ajam (yakni
bukan bangsa) Arab. Potonglah dengan gigi-gigimu agar lebih lezat dan lebih enak
Dari
segi sanad, hadis ini dhaif, karena salah seorang perawinya yaitu Abu Ma’syar
dinilai dhaif oleh para kritikus hadis. Dan diantara mereka yang mengkritik Abu
Ma’syar adalah Ahmad bin Hambal dan Yahya Bin Ma’in. Selain itu hadis ini tidak
mempunyai sanad pendukung, baik syahid maupun mutabi’.Jadi, sanad hadis ini
ahad mutlaq. Menurut Al-Hakim Al-Naysaburi, hadis ahad mutlaq adalah matan hadis ber-syaz (salah seorang atau
beberapa periwayatnya bertentangan periwayatannya dengan periwayat yang lebih
akurat dan lebih dapat dipercaya). Hadis yang ber-syaz adalah dhaif.Kemudian
Muhammad al-Ghazali mengritik hadis ini dan menganjurkan agar ditinggalkan.
Kritikan
hadis yang dilakukan Muhammad al-Ghazali kali ini adalah kritikan yang
sia-sia.Karena mengritik hadis yang sudah divonis dhaif oleh muhadditsin.Selain
persoalan kualitas sanad, matan hadis ini tidak mengandung ajaran aqidah dan
hukum, dilaksanakan atau ditinggalkan hadis semacam ini tidak mengakibatkan
kekafiran atau menimbulkan dosa.
Muhammad
al-Ghazali dalam hal ini ingin menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad SAW.tidak
pernah mengharamkan sesuatu yang halal dan kebiasaan dalam kehidupan beliau pun
sangat sederhana, tidak pernah bermewah-mewah. Muhammad al-Ghazali juga
memberikan penjelasan tentang etika makan Rasululullah melalui hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Wahsyi Bin Harb.Kandungan hadis tersebut
berbunyi, “Ya Rasulullah, kami makan tetapi tidak merasa kenyang?”Beliau balik
bertanya” Barangkali kalian makan sendiri-sendiri ya?Ya, Jawab mereka. Kata
beliau selanjutnya: “Berhimpunlah kalian jika makan dan sebutlah nama Allah,
niscaya Allah melimpahkan berkah”.[22]
Perintah
Nabi Muhammad untuk makan bersama-sama yang ditujuksn kepada para sahabat,
tidak berarti makan sendiri-sendiri hukumnya haram.Namun, beliau mengajarkan
kepada para sahabat agar selalu bermurah hati terhadap orang-orang di
sekelilingnya. Karena itu mereka merasa kenyang, bukan hanya disebabkan karena
makan, tetapi ada kepuasan jiwa pada
mereka, karena mampu memberi makan orang-orang yang membutuhkannya.
Menurut
Muhammad al-Ghazali etika makan yang diajarkan Rasulullah tidak sampai
berdimensi hukum.Jadi, bisa diikuti dan bisa ditinggalkan, seperti boleh makan
menggunakan tangan langsung sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Muhammad dan
boleh juga makan menggunakan sendok sebagaimana yang mentradisi pada masyarakat
barat.
c. Hadis tentang tahiyat MasjidHadis yang
terdapat dalam Sahih Bukhari, pada kitab Salah, Bab Iza Dakhala Ahadukum
Al-Masjid.
حدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفْ قَلَ
اَخْبرَنَا مَلِكٌ عَنْ عَا مِرِبْنِ عَبداللهِ بْنِ الزُبَيْرِ عنْ عَمْرِ بْنِ
سَلَيْمِ الزُّرَقِيِّ عنْ اَبِيْ قَتَادَةَ لسّلَمِيِّ اَنَ رَسُو لُ اللهِ
صَلَّى لله عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَلَ اِذَ ادَخَلَ أَحدُكُمْ الْمَسْجِدَ
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَنْ يَجْلِس
Hadis ini terdapat dalam delapan
kitab hadis dengan tujuh belas jalur sanad, yaitu dalam Sahih Bukhari dua
jalur, Sahih Muslim tiga jalur, Sunan Turmuzi satu jalur, Sunan Al-Nasa’i satu
jalur, Suna Abi Dawud dua jalur, Sunan
Ibnu Majah tiga jalur, Sunan Al-Darimi satu jalur, dan dalam Musnad Ahmad Bin
Hanbal enam jalur sanad.[23]
Hadis
ini pada tingkat sahabat diriwayatkan oleh dua orang sahabat, yaitu Abi Qatadah
dan Abi Hurayrah.Jadi sanad hadis ini memiliki musyahid.Pada tingkat guru
musannif, hadis ini diriwayatkan oleh tujuh belas perawi.Jadi sanad hadis ini
memiliki enam belas mutabi’.Menurut hasil penelitian bustamin hadis ini
berkualitas sahih.Ulama ahli fatwa sepakat menetapkan bahwa hukum tahiyat
masjid adalah sunat.
Menurut
Hanafiyah, Syafi’iyah dan hambaliyah bahwa orang yang masuk masjid dan
bertepatan ketika imam sedang memimpin shalat jama’ah, maka tidak disunatkan
baginya tahiyat masjid. Sementara Malikiyah menjelaskan bahwa apabila shalat
berjama’ah itu dipimpin oleh imam tetap, tahiyat masjid tidak disunatkan
lagi.Namun kalau shalat jama’ah dipimpin oleh imam yang tidak tetap, dia boleh
melakukan tahiyat masjid.[24]
Menurut
Malikiyah dan Hanafiyah bahwa orang yang masuk masjid ketika khatib sedang
berdiri di atas mimbar membacakan untuk membacakan khutbah jum’at, khutnah
kedua hari raya, atau semacamnya, tidak disunatkan lagi baginya tahiyat
masjid.Namun, menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah orang tersebut tetap
disyariatkan tahiyat masjid dua rakaat namun pendek.Jika orang itu terlajur
duduk, tidak dianjurkan lagi berdiri untuk melakukannya.
Pikiran
Syekh Muhammad al-Ghazali tentang pelaksanaan shalat tahiyat mesjid sama dengan
pendapatnya yang telah disampaikan oleh Malikiyah dan Hanafiyah, namun penekanan
Syekh Muhammad al-Ghazali bukan persoalan tahiyat masjid, tetapi pada persoalan
hadis. Menurutnya hadis tentang tahiyat masjid bersifat individu (hanya kepada
orang yang disuruh Nabi Muhammad SAW. melaksanakannya) tidak berlaku
umum.Sedangkan perintah untuk mendengarkan bacaan al-Quran (dalam khutbah
selalu dibacakan ayat al-Quran) bersifat umum.Perintah yang bersifat khusus
harus dikalahkan dengan perintah yang bersifat umum.Jadi, ketika khutbah
dibacakan oleh khatib, makmum tidak disyariatkan untuk melakukan shalat tahiyat
masjid.[25]
C. Kesimpulan
Muhammad al-Ghozali adalah da’i, ia juga merupakan
seorang akademisi yang disegani baik di almamaternya maupun di berbagai
perguruan tinggi lainnya, seperti Universitas Ummul Qura di Makkah, Universitas
Qatar di Qatar, Universitas Amir Abdul Qadir al-Islamiyah di Aljazair. Kriteria
kashahihan hadis muhammad al-Ghozali tidak berbeda dengan rumusan yang telah
dirumuskan oleh para ahli hadis terdahulu. Akan tetapi muhammad al-Ghozali
lebih menekankan lebih kritis dibidang matan hadis. Ada beberapa hadis yang
ditolaknya diantaranya hadis berkaitan tentang hadis seorang mayit disiksa
karena ditangisi keluarganya yang masih hidup.Juga hadis yang berkaitan dengan
makan dan minum menggunakan pisau.Serta hadis diperintahkan solat tahiyat
al-masjid.
[1] Badri Khaeruman, Otentitas
Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 33.
[4] Muhammad Musthafa
‘Azami (Penerjemah: A. Yamin), Metodologi Kritik Hadis, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), hal. 82
[5] Kamaruddin Amin,
Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), hal. V
[6] Bustamin, Metodolgi
Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 99.
[7] M.Quraish Shihab,
(Kata Pengantar) Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW. Antara Pemahaman Tekstual
Dan Kontekstual, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 7.
[8]Yusuf Qardhawi,
majalah Umat, Jakarta edisi april 1996, hlm. 76-77.
[9] Op Cit, Bustamin,
Hal. 101
[10] Syekh Muhammad
Al-Ghazali (Penerjemah: Muhammad Al-Baqir), Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW.
Antara Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 26
[11]Badri
Khaeruman,op.cit., hlm. 272.
[12]Ibid., hlm. 280.
[13] Usman Sya’roni,
Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis Dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Fidaus,
2002), hal. 17-18
[14] Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2004), hal. 6
[15] Ali Mustafa Yaqub,
Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hal. 92
[16] Yusuf Qardhawi, Syekh
Muhammad Al-Ghazali Ynag Saya Kenal, (Jakarta: Rabbani Press, 1999), hal. 161
[17] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN MALIKI PRESS, 2010), hal. 184
[18]Ibid, Umi Sumbulah,
hal. 188-189
[19] Op Cit, Bustamin,
hal. 112
[20]Ibid, Bustamin, hal.
114
[21]Ibid, Bustamin, hal.
116
[22]Ibid, Bustamin hal.
129
[23]Ibid, Bustamin, hal.
117
[24]Ibid, Bustamin, hal.
119
[25]Ibid, Bustamin, Hal.
120
No comments:
Post a Comment