A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik itu perkataan, ataupun pengakuan
beliau.Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.[1]Hadis Nabi yang
terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang
dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah,sedangkan yang meriwayatkan di
namakan Rowi.
Rawi
dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits (berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi Muhammad
saw. Yang mana seorang rawi itu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar
terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu tidak
memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama’ hadits,
maka hadits yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak.
At
tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi dalam ilmu
hadits karena keduanya merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan
hadits, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis memilih judul yang berkaitan
dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih mengetahui
mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui atau
lebih akrab lagi dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita
ketahui, dengan memahami istilah-istilah dalam periwayatan hadits maka kita
akan lebih mudah dalam memahami ulumul hadits.
2.
Rumusan Masalah
1.Apa pengertian dan syarat-syarat perawi hadits?
2. Apa yang dimaksud dengan at-tahammul wal adaa?
3. Apa saja istilah
yang berkenaan denganperiwayatan hadist ?
3.
Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui pengertian dan syarat-syarat perawi
hadits
2.Untuk mengetahui yang dimaksud dengan at tahammul wal adaa
3.Untuk mengetahui istilah periwayatan hadits
B.
Pokok Pembahasan
1. Pengertian Rawi
Kata
rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits[2].Sedangkan
menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits
dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
2.
Syarat-syarat Perowi
Berakal,
cakap/cermat, adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak untuk menjadi
seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima.Apabila seorang perawi tidak memenuhi
seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh
para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru, keempat syarat
tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu’bah bin al~Hajjaj(160 H)
pernah ditanya: “Siapakah yang hadistnya terpakai ?” Syu’bah menjawab: “Orang
yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak mereka kenal,
hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu hadist.Atau
bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan.Atau meriwayatkan hadist yang
disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut salah.Maka hadist-hadist yang
diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak dipakai.Adapun selainya, boleh
diriwayatkan.”[3]
Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan cermat.Sering
melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan menyalahgunakan pemahaman hadist
berarti tidak adil.Mengenai persyaratan harus Islam dan berakal, keduanya sudah
menjadi syarat penting dan mutlak, sehingga Syu’bah tidak perlu menyebutkanya
lagi.Sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi bukan Islam
atau orang yang cermat tapi tak berakal.
a. Berakal
Menurut
para ahli hadist berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist,
seseorang harus telah memasuki usia akil balig[4].
Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada masa
kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat
kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.[5]
b. Cermat
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia
riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal
cermat, teliti dan terpercaya.tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan.
Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat
didamaikan.Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist
yang mereka riwayatkan, maka kecermatannya masih diragukan.[6]
Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima
berasal dari orang yang aneh pula”.[7]
Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat dalam periwayatan
hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip
hadis shahih saja. hadist shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja
tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.[8]
c.Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap
konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap
kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi
memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya
dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari
larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan
kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang
bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan
mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi
agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.”[9]
Para ulama
membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi.Jika masalah kebersihan
dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi.Saksi ini baik laki laki maupun
saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat
adil terhadap dirinya sendiri.[10] Itulah
menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus dipenuhi
oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral
seorang rawi
d. Muslim
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas.Seorang rawi
harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau
khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam.Jadi
dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya
kepada manusia.Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang
menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya.[11]
3.
Penerimaan Hadits
Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan
mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan
beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan
menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al aada. [12]
3.1 Syarat menerima riwayat hadits
Menurut pendapat yang sahih, perawi pada waktu menerima
riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh, namun
setidak-tidaknya harus sudah tamyiz.Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan
sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan penyampaiannya tidak sah
sebelum masuk Islam dan baligh.[13]
Ada sebagian pendapat menyatakan, bahwa perawi hadits dalam melaksanakan
kegiatan penerimaan riwayat hadits dinyatakan harus baligh pendapat ini tidak
benar, sebab banyak kaum muslimin secara ijma’ menerima atau tidak
mempersoalkan riwayat sahabat, baik diterima sebelum atau sesudah baligh.
Para ulama berbeda
pendapat tentang minimal usia disunatkan mendengar hadits
1.
Menurut ulama Syam minimal berumur 30
tahun
2.
Menurut ulama Kufah, minimal berumur 20
tahun
3.
Menurut ulama Basrah, minimal berumur
10 tahun
4.
Untuk masa sekarang yang benar adalah
mulai umur sedini mungkin sekiranya yang bersangkutan sudah mampu mendengarnya,
karena semua hadits sudah tercatat dalam kitab-kitab hadits.
4.Periwayatan
hadits
Al ada’
ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya,
ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai
pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga
sangat bergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits,
ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits,
sebagaimana berikut ini [14] :
1. Islam
Pada
waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma periwayatan
kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh
bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini
dapat kita bandingkan dengan firman Allah surat Al-hujuraat ayat 6 sebagai
berikut :
6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
2. Baligh
Yang
dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika meriwayatkan hadits,
walaupun penerimaannya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadits rasul:
رفع
القلم عن ثلا ثة عن المجنون المغلوب علي عقله حتي يفيق وعن نائم حتي يستيقظ وعن
الصبي حتي يحتلم
Hilangnya kewajiban menjalankan syari’at Islam
dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai
bangun dan anak-anak sampai iamimpi (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3. ‘Adalah
Yang
dimaksud dengan adil (‘adalah) adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa,
menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya,
menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari
hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga
kepribadian.
4. Dhabit
Dhabit ialah :
تيقظ
الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذ لك من وقت التحمل الي وقت الجاء
“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan
pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga
menyampaikan”
Jalannya
mengetahui kedhabitan perawi dengan carai’tibar
terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang shiqqah dan memberikan
keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana
disebutkan di atas, antara suatu perawi dengan perawi lain harus bersambung,
hadits yang disampaikan tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan
hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat al qur’an.
5. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya
a). As-Sima’, (السماع,
mendengar
Yaitu seorang guru
membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin
mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut
mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi.Ada juga yang berpendapat,
bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih
tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang
sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian
dan lebih dekat kepada kebenaran. Istilah atau kata yang dipakai dalam metode
ini: سمعت ، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني.
Bobot kualitas penggunaan
kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w
463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian حدثنا ، حدثني. Alasannya adalah kata menunjukkan kepastian
periwayat mendengar secara langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan
menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata حدثنا ، حدثني disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya
daripada سمعنا سمعت , karena kata bias berarti
guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang
menyatakan sami’tu tadi. Sedangkan kata أخبرني, حدثني memberi
petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada
periwayat yang menyatakan أخبرني, حدثني tersebut.[15]
b. Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh (القرأة علي الشيخ, membaca di hadapan guru)
Sebagian besar ulama
hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnyaعرض القرأة (menyodorkan bacaan).
Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia
menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang
membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang
telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan
hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk
mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang
yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya
mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan
seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau
kesalahan.Bila tidak, maka tahammulnya tidak sah.‘Ardh ini merupakan praktik
yang paling umum sejak awal abad kedua Mayoritas ulama memperbolehkan metode
ini.Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan
menerimanya.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah عليه قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و
انا اسمع [16]
c. Al-Ijazah (الأجازة,
sertifikasi atau rekomendasi)
Yaitu seorang guru
memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada
seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan
kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت لك أن نروي عني (aku mengijazahkan kepadamu untuk
kamu riwayatkan dariku).[17]
Ulama
mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteria dan
syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus
mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus
dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta
ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak
akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang
mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan
al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ibn ‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam
Malik dan lain-lain.Semuanya memperbolehkan mengamalkan ijazah dan
menyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya.Menurut ulama
mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para
pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak
lebih dari beberapa hadits, atau juz’ atau kitab.
Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang
tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya,
lalu berkata kepada murid: “Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan
Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Inilah
yang mereka sebut dengan Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan
mengenai kitab tertentu pula.Sebagian ulama menyebutkan delapan jenis
ijazah.Bahkan ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis.
d. Al-Munawalah (المناوله)
Maksudnya, seorang ahli
hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang
sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[18]Misalnya, seorang guru memberikan
sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : Inilah haditsku, atau inilah
riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku,
atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama memperbolehkan metode ini.sementara
sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan
mayoritas ulama ahli hadits dalam menerima munawalah ini.Bahkan ada yang
menjadikan “Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan
as-Sima’.Namun yang benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di
bawah tingkat as-Sima’ dan al-Qira’ah.Al-Qadhiy ‘Iyadh dan al-’Iraqiy juga mengutip
adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah ini.Tak seorang
pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti halnya dalam ijazah.
Lafadz yang digunakan dalam
Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. أنباء نا ، أ نبأني Sedangkan
yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah نا و لني ، ناولنا [19]
e. Al-Mukatabah (المكتبه)
Yaitu seorang guru
menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya
sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang
berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama
orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai
dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya
memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai
dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan. Lafadz yang digunakan adalah أجزت لك ما كتبته اليك [20]
Kedua, tanpa disertai
dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال حدثنا فلان ، حدثني
فلان كتابة ، أخبرني فلان كتابة ، كتب الي فلان
f. I’lam asy-Syeikh (اعلم الشيخ)
Maksudnya seorang
syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu
merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau
diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan
secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski
dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meriwayatkannya.Mereka
menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian
ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga
menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya
mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya
menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan meriwayatkannya.Inilah pendapat
yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqaddimin, seperti Ibn Juraij, juga
mayoritas ulama muta’akhkhirin.
g. AI-Washiyyah (الوصيه)
Yaitu seorang guru
berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya
diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan
bentuk tahammul yang amat langka.Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam
jajaran metode tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf
tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah
riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya
untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada
Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah
pengangkutannya.[21]
h. Al-Wijadah (الوجده,
penemuan)
Kata al-Wijadah dengan
kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak
analogis. Ulama hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau
didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah
ataupun proses munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan
orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah
bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia
merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan
melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun
dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnnya yang
mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin
melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya
dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat
dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayatkan dari shahifah-shahifah
dan kitab-kitab, namun demikian periwayatan dengan metode wijadah ini pada
masa klasik amat langka.Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan
secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab.Bahkan sebagian besar
ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-shahifah. Sehingga
sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Jangan kalian membaca al-Qur’an
dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu
dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara
mereka yang, menilai dha’if periwayatan dari kitab-kitab.Lafadz yang digunakan وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
6.
Istilah yang berkaitan dengan periwayatan hadits
Yang dimaksud dengan
Rijal al-Hadits adalah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan sebuah
hadits, baik ia sebagai periwayat yang berkedudukan sebagai sanad maupun yang
ia sebagai mukharrij yang berkedudukan sebagai rawi yang menghimpun hadits
berkenaan dalam kitabnya.[22]
a.
Mukharrij
Kata Mukharrij
merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj
dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan
menarik.sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan,
menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar
dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadits biasanya
disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadits
tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau
dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.[23]
b. al-Hakim
Al
Hakim,yaitu orang yang
mengetahui seluruh hadits yang pernah diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun
matan, jarh (tercela)nya, ta’dil (terpuji)nya, dan sejarahnya. Setiap rawi
diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru guru, dan sifat sifatnya yang
dapat diterima maupun yang ditolak.Ia harus dapat menghafal hadits lebih dari
300.000 hadits beserta sanadnya. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara
lain Ibn Dinar (w. 162 H), Al Laits ibn Sa'ad, seorang mawali yang menderita
buta di akhir hayatnya (w. 175 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi’i (w. 204 H).[24]
c. al-Hujjah
Al-Hujjah, Yaitu gelar keahlian bagi
para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun
perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, dan biografinya (riwayat
hidupnya). Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain ialah Hisyam ibn
Urwah (w. 146 H), Abu Hudzail Muhammad ibn Al Walid (w. 149 H), dan Muhammad
Abdullah ibn Amr (w. 242 H).[25]
d. al-Hafizh
Al-Hafidh Ialah gelar utk ahli haditsyg dapat
menshahihkan sanad dan matan hadits dan dapat men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan
rawinya.Seorang al-hafidh harusmenghafal hadits-hadits sahih mengetahui rawi yg
waham {banyak purbasangka} illat-illat hadits dan istilah-istilah para
muhaditsin.Menurut sebagian pendapat al-hafidh itu harus mempunyai kapasitas
menghafal 100.000 hadits. Para muhaditsin yg mendapat gelar ini antara
lain Al-Iraqi Syarafuddin ad-Dimyathi Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Daqiqil
Id.[26]
e. al-Muhaddits
Al-Muhaddits Menurut muhaditsin-muhadditsin mutaqaddimin
al-hafidh dan al-muhaddits itu searti.Tetapi menurut mutaakhkhirin al-hafidh
itu lbh khusus daripada al-muhaddits. Kata At-Tajus Subhi Al-muhaddits ialah
orang yg dapat mengetahui sanad-sanad illat-illat nama-nama rijal ali dan nazil
-nya suatu hadits memahami kutubus sittah Musnad Ahmad Sunan al-Baihaqi Majmu
Thabarani dan menghafal hadits sekurang-kurangnya100 buah. Muhaditsin yg
mendapat gelar ini antara lain Atha bin Abi Ribah {seorang mufti masyarakat
Mekah wafat 115 H} dan Imam Az-Zabidi {salah seorang ulama yg mengikhtisharkan
kitab Bukhari-Muslim.[27]
f. al-Musnid
Al-Musnid Yakni gelar keahlian bagi orang yg meriwayatkan
sanadnya baik menguasai ilmunya maupun tidak.Al-musnid juga disebut dengan
at-thalib al-mubtadi dan ar-rawi.[28]
C.
Penutup
Dari
penjelasan syarat-syarat rawi dan tahammul wa al-ada’ di atas dapat kami ambil
kesimpulan bahwa syarat-syarat rawi itu ada 4 yaitu : berakal, cakap/cermat ,
adil, dan islam. Dan keempat hal ini harus dipenuhi oleh seorang rawi, apabila
salah satu tidak terpenuhi maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan di pakai.
Para
ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadist dari deorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits”
dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain
mereka istilahkan dengan al ada’. At tahammul (menerima periwayatan hadits)
sendiri mempunyai 8 cara yaitu : al sima’, al qiro’ah, al ijazah, al munawalah
,al kitabah, al i’lam, al washiyah, dan al wijadah.
Sedangkan al ada’ (menyampaikan hadits) memiliki 4 syarat
yang harus dipenuhi semua, karena ia mempunyai peranan yang sangat
penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat
sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Adapun 4
syarat tersebut yaitu: islam, baligh, ‘adalah (adil), dan dhabit
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail, M.
Syuhudi.1991. Ilmu
Hadis. Bandung: Angkasa.
Sahrani,
Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor :Ghalia Indonesia.
Al
Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia.
Salah
Muhammad Muhammad Uwayd. 1989. TaqribAl-tadrib.Beirut:
Dar al-Kutub al-Imliyyah.
Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah.
Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum
al-Hadist.
Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121.
Mahmud
Thahhan. 2007. Intisari Ilmu Hadits.Malang:UIN-Malang
Press.
Zainimal.2005. Ulumul Hadis.Padang: The Minangkabau
Foundation.
Ahmad Bukhari Muslim, Struktur
Hadis : Sanad, Matan Dan Mukharrij, http://santri-ppmu.blogspot.com/2011/03/struktur-hadis-sanad-matan-dan.html.Kamis 20 Maret 2014.
Bintumansur,Gelargelarahlihadis,http://tajwidahmanshur.blogspot.com/2012/04/gelar-gelar-ahli-hadits.html.Kamis 20 Maret 2014.
[1]M.
Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), 2
[3]Al
Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia. hal 62
[4]Al-Khatib
Al-Baghdadi. Al-kifayah.hal 54
[6]Salah Muhammad Muhammad
Uwayd. TaqribAl-tadrib .(Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110
[18] Mudasir opcit, h. 185
[19] Endang Soetari op.cit, h.187
[20] Endang Soetari loc.cit
[21] Ibid 210
[23]Ahmad Bukhari Muslim, Struktur
Hadis : Sanad, Matan Dan Mukharrij, http://santri-ppmu.blogspot.com/2011/03/struktur-hadis-sanad-matan-dan.html. Kamis 20 Maret 2014.
[28][25]Bintumansur,Gelargelarahlihadis,http://tajwidahmanshur.blogspot.com/2012/04/gelar-gelar-ahli-hadits.html.Kamis 20 Maret 2014.
No comments:
Post a Comment