Mahasiswa PascaSarjana UIN Maliki Batu Jatim
Juli, 2014
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan
luar biasa, ia seorang ulama’, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang
yang produktif. Pemaparannya sangat bagus, gaya bahasanya sangat menarik, dalil
yang disajikan sangat kuat sehingga setiap ilmu yang dituliskannya dapat
dijadikan hujjah. Karya tulisnya meliputi berbagai Oleh karena itu Al-Ghazali
diberi gelar dengan Hujjah al-Islam (argumentasi Islam) karena
pembelaannya yang sangat mengagumkan terhadap Islam. Dari sini, untuk mengetahui lebih dalam tentang Riwayat
Al-Ghazali, karya-karyanya dan pemikirannya maka pemakalah memaparkan makalah
dengan judul filsafat dan tasawu Al-Ghazali.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji oleh penulis
adalah :
1.
Bagaimana
riwayat hidup Al-Ghazali?
2.
Apa saja
karya-karya Al-Ghazali dan kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan?
3.
Bagaimana
pemikiran filsafat Al-Ghazali?
3.
Tujuan Pembahasan
Melihat rumusan masalah dari uraian latar belakang
di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
riwayat hidup Al-Ghazali.
2.
Untuk mengetahui
karya-karya Al-Ghazali kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan.
3.
Untuk mengetahui
pemikiran filsafat Al-Ghazali.
B. Pokok Pembahasan
1. Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu
Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Ia
dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik
Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah keturunan Persia asli.[1]
Sebutan Al-Ghazali diambil dari kata-kata “Ghazalah” yakni nama kampung
kelahiran Al-Ghazali. Sebutan tersebut kadang-kadang diucapkan dengan “Al-Ghazzali”
(dua Z) istilah ini berakal kata pada “Ghazal” artinya tukang pemintal benang
sebab pekerjaan ayah Al-Ghazali adalah memintal benang wool.[2]
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya ia (orang tuanya) hanya
mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal
pencinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat
disayangkan ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan
keberhasilan anaknya sesuai dengan doanya. Sebelum meninggal ia masih sempat
menitipkan Al-Ghazali bersama saudaranya, Ahmad, kepada seorang sufi, sahabatnya
untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik.[3]
Akan tetapi, hal ini tidak berjalan lama. Harta
warisan yang ditinggalkan untuk bekal kedua anak itu habis, sufi yang juga
menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan
tambahan nafkah. Maka, Al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang
menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah Al-Ghazali
bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada masa itu, dan
di sini pula sebagai titik awal bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya
yang kelak akan membawanya menjadi seorang ulama besar yang berpengaruh dalam
perkembangan pemikiran Islam. Sepeninggal gurunya, Al-Ghazali belajar di Thus
pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibnu Muhammad Al-Razakanya Al-Thusi.
Selanjutnya ia belajar pula kepada Abu Nashr Al-Isma’ily di Jurjan dan akhirnya
ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh Imam Al-Haramain
(Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah). Imam ini sangat menonjol
kemahirannya dalam ilmu kalam al-Asy’ary, bahkan ia pengikut setia aliran ini.
Dari penganut madzhab Syafi’i inilah Al-Ghazali memperoleh ilmu pengetahuan,
seperti imu fiqih, ilmu kalam dan ilmu logika. Karena kecerdasan yang
dimilikinya, semua ilmu tersebut dapat dikuasai dalam waktu yang singkat. Karena
kecerdasannya itulah Imam Al Haromain mengatakan bahwa Al-Ghazali itu adalah “lautan
tak bertepi . . .”. [4]
Bahkan, Al-Ghazali
sempat menampilkan karya perdananya dalam bidang ilmu fiqih, yaitu Mankhul
fi ‘ilmi al-Ushul. Selain itu, di sekolah ini pula Al-Ghazali pernah
belajar teori dan praktik tasawuf kepada Abu Ali Al-Fadhl Ibnu Muhammad ibnu
Ali Al-Farmadhi (w. 477H).[5]
Setelah imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali pergi ke
Al-Ashar untuk berkunjung kepada menteri Nizam Al-Mulukdari pemerintahan
Dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama
besar, kemudian dipertemukan dengan para ulama dan ilmuan. Semuanya mengakui
ketinggian ilmu yang dimiliki Imam Al-Ghazali. Menteri Nizam Al-Muluk akhirnya
Al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M sebagai guru besar (profesor) pada perguruan
tinggi Nizamiah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di
perguruan tinggi selama empat tahun. Selama menyampaikan pengajarannya, ia
mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dekat atau
dari tempat yang jauh.[6]
Di kota Baghdad ini, nama Al-Ghazali semakin
populer, halaqah (kelompok) pengajiannya semakin luas. Di kota ini pula
ia mulai berpolemik terutama dengan golongan Bathiniyah Isma’iliyah dan kaum
filosof.[7]
Situasi politik yang rawan saat itu, dan kematian Nizam Al-Mulk akibat tindak
kekerasan seorang pembunuh Isma’iliyah pada tahun 1092 M disusul kemudian oleh kematian
Sultan Malikshah tampaknya telah menambah beban kekecewaannya yang
berangsur-angsur terhadap kegiatan mengajarnya. Prakarsanya ke dalam praktek
jalan sufi, antara 1093 dan 1094 M, tidak pelak lagi menambah keyakinannya akan
kesia-siannya suatu karier yang tidak diabadikan kepada pencarian kebenaran
yang tanpa pamrih atau pengabdian kepada Tuhan.[8]
Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani
sebagai akibat kesangsiannya (al-syak), yang oleh orang Barat dikenal
dengan skepticisme, yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua makrifah,
baik yang bersifat empiris maupun rasional. Akibat krisis ini, ia menderita
sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian,
ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar
di Baghdad, ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus ia mengisolasi
diri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang
berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/1098 M, ia menuju Palestina
berdoa di samping kubur Nabi Ibrahim a.s. Kemudian, ia berangkat ke Makkah dan
Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah Muhammad
SAW. Akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.[9]
Setelah selesai ibadah haji, kemudian ia pulang ke negeri kelahirannya, yaitu
kota Tus. Di sana, ia tetap berkhalwat dan beribadah. Keadaan itu berlangsung
selama sepuluh tahun sejak kepindahannya ke Damsyik. Dalam masa-masa tersebut,
ia banyak menulis buku-buku yang terkenal, antara lain Ihya Ulumuddin.[10]
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya ini,
Al-Ghazali kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Baghdad atas desakan
Perdana Menteri Fakhr Al-Mulk, anak Nizam Al-Mulk. Setelah Perdana Menteri ini
mati terbunuh, ia kembali ke Thus tempat kelahirannya, di sini ia membangun
sebuah madrasah khan-kah (semacam tempat praktik suluk) untuk mengajar
tasawuf. Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505
H. Bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M. Ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir alam usia 55 tahun. Jasadnya dikebumikan di sebelah timur benteng
dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair terkenal Al-Firdausy.[11]
Sesaat sebelum meninggal beliau sempat mengucapkan
kata-kata yang juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosof Inggris, yaitu: “Kuletakkan
arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang sunyi
senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia
di masa yang akan datang”.
2. Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan
salah seorang pemikir besar dalam Islam yang memberikan pengaruh besar dan
wajah baru dalam Islam. Ia hidup pada masa berlangsungnya kemerosotan jiwa
keIslaman yang menimpa mayoritas umat Islam. Karena itu, Al-Ghazali memandang
perlu melakukan pembaharuan nilai-nilai rohaniah serta moral kepada mereka agar
perbuatan rohaniah dan lahiriah mereka tetap terjaga dari nilai-nilai Islam.
Karena itu, Al-Ghazali dikenal sebagai seorang kutub tasawuf dan pejuang
spiritual. Di samping itu, Al-Ghazali juga dikenal sebagai seorang ensiklopedis
pada masanya. Menurut Syekh Muhammad Musthafa al-Maraghi, Al-Ghazali bukan
hanya menguasai satu bidang ilmu tertentu, tetapi juga menguasai banyak bidang,
antara lain ushul fiqh, fiqh, ilmu kalam, sosiologi dan sebagai filosof.[12]
Al-Ghazali adalah seorang
ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam
karang-karanganya. Puluhan buku telah dirulisnya yang meliputi berbagai
lapangan ilmu, antara lain teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam (fiqih),
tasawuf, tafsir, akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian
besar dari buku-buku tersebut di atas dalam bahasa Arab dan yang lain
ditulisnya dalam bahasa Persia.[13]
Produktivitas Al-Ghazali
dapat dilihat dari sejumlah karya sebagaimana dijelaskan Dr. Badawi Thobariah
dalam muqadimah Ihya lum al-Din. Menurutnya, karya-karya Al-Ghazali
berjumlah 47 buah yang semuanya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kelompok filsafat dan ilmu kalam
1) Maqashid al-Falasifah (tujuan
para Filosuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah
filsafat
2) Tahafut al-Falasifah (kekacauan
pikiran para Filosuf), buku ini dikarang sewaktu ia berada di Baghdad tatkala
jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan
para filsuf dengan keras
3) Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (moderasi dalam Aqidah)
4) Al-Munqidz min al-Dhalal
(pembebasan
dari kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran
Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu
serta jalan mencapai Tuhan
5) Al-Maqshad al-Asnafi Ma’ani Arma’illah
al-Husna (arti nama-nama Tuhan)
6) Faishal al-Tariqah bain al-Islam wa
al-Zindiqah (perbedaan Islam dan
atheis)
7) Al-Qithaus al-Mustaqim (jalan untuk menetralisir perbedaan pendapat)
8) Al-Mubtadzir (penjelasan-penjelasan)
9) Hujjah al-Haq
10) Mufahil al-Hilaf fi Ushul al-Din (pemisah perselisihan dalam prinsip-prinsip agama)
11) Al-Muntadlha fi Ilmi al-Jidal (teori diskusi)
12) Al-Madznun bihi ‘ala Ghairi Ahlihi (persangkaan pada yang bukan ahlinya)
13) Mihaq al-Nadzar (metode logika)
14) Asraru Ilm al-Din (misteri ilmu agama)
15) Al-Arbain fi Ushul al-Din (40 masalah agama)
16) Iljam al-Awwam fi ilm al-Kalam (membentengi orang awam dari ilmu kalam)
17) Al-Qaul al-Jamil fi Raddi ‘ala Man Ghayyar
al-Injil (jawaban jitu untuk menolak orang yang
mengubah injil)
18) Miyar al-Ilm (kriteria ilmu)
19) Al-Intishar (rahasia-rahasia
alam)
20) Itsbat al-Nadzar (pemantapan logika)
b. Kelompok ilmu fiqh dan ushul fiqh
1) Al-Basith (pembahasan yang
mendalam)
2) Al-Wasith (perantara)
3) Al-Wajib (surat-surat
wasiat)
4) Khulashah al-Mukhtashar (intisari ringkasan karangan)
5) Al-Mankhul (adat kebiasaan)
6) Syifa’ al-Alif al-Qiyas wa al-Ta’wil (terapi yang tepat pada qiyas dan ta’wil)
7) Al-Dzari’ah Ila Makarim al-Syari’ah (jalan menuju kemuliaan syari’ah)
c. Kelompok ilmu akhlak dan tasawuf
1) Ihya Ulum al-Din (menghidupkan
kembali ilmu-ilmu agama). Buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang
dikarangnya selama bertahun-tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
Damaskus, Yerusalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf,
dan filsafat
2) Mizan al-Amal (Timbangan amal)
3) Kimya’ al-Sa’adah (kimia kebahagiaan)
4) Misykat al-Anwar (relung-relung cahaya)
5) Minhaj al-Abidin (pedoman orang yang beribadah)
6) Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi ‘Ulum
al-Akhirah (mutiara penyingkap ilmu
akhirat)
7) Al-Anis fi al-Wahdah (lembut-lembut dalam kesatuan)
8) Al-Qurabah Ila Allah ‘Azza Wajalla (pendekatan diri pada Allah)
9) Akhlaq al-Abrar wa Najat al-Asyrar (akhlak orang-orang baik dan keselamatan dari akhlak buruk)
10) Bidayah al-Hidayah (langkah awal mencapai hidayah)
11) Al-Mabadi wal al-Ghayah (permulaan dan tinjauan akhir)
12) Talbis al-Iblis (tipu daya iblis)
13) Nasihat al-Muluk (nasihat untuk raja-raja)
14) Al-Ulum al-Ladduniyah (risalah ilmu ketuhanan)
15) Al-Risalah al-Qudsiyah (risalah suci)
16) Al-Ma’khadz (tempat
pengambilan)
17) Al-Amali (kemuliaan)
d. Kelompok ilmu tafsir
1) Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil (metode ta’wil dalam menafsirkan al-Qur’an)
Banyak ahli-ahli
ketimuran yang menulis buku tentang Al-Ghazali, antara lain Carra de Vaux, J.
Wensik, Obermann, Asin Palacios dan Zwemmer. Tidak sedikit dari penulis-penulis
barat yang menerjemahkan buku-buku karangan Al-Ghazali. Bahkan yang terakhir
ini (Zwemmer), ahli ketimuran Inggris telah memasukkan Al-Ghazali menjadi salah
seorang dari empat orang pilihan dari pihak Islam yang dimulai zaman Rasulullah
hingga abad XX M. Yaitu: 1) Nabi besar Muhammad saw., 2) Imam Al-Bukhari, 3)
Imam Al-Asy’ari, 4) Imam Al-Ghazali.[15]
3. Pemikiran Al-Ghazali
a. Ilmu Pengetahuan
Al-Ghazali kemudian
mengungkan konsep ilmu pengetahuan, sebagaimana, ia jelaskan dalam kitab risalah
al-laduniyyah. Dalam kitab ini, ia menjelaskan bahwa ilmu secara
epistemologis terbagi menjadi dua sumber penggalian. Pertama, sumber
insaniyyah dan kedua, sumber robbaniyyah. Sumber insaniyyah adalah
sumber ilmu pengetahuan yang dapat diusahakan oleh manusia berdasrkan kekuatan
rekayasa akal yang dimilikinya, sehingga dari hasil rekayasa akal tersebut
terbentuk suatu ilmu pengetahuan. Adapun sumber robbaniyyah adalah sumber yang
tidak dihasilkan melalui akal manusia, melainkan dari petunjuk Allah, baik
petunjuk langsung melalui ilham yang dibisikkan dalam hati manusia maupun
petunjuk yang datang melalui wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul-Nya.
Dengan demikian, pada
sumber robbaniyyah ini terdapat dua sumber pengetahuan. Pertama, dengan jalan
wahyu dan kedua dengan jalan ilham. Ilmu yang diperoleh melalui wahyu datang
tanpa melalui proses belajar dan berpikir, dan hanya diturunkan kepada para
nabi karena mereka memiliki akal kulli (akal universal). Oleh karena
itu, ilmu yang diperoleh lewat wahyu dinamakan ilmu nabawi. Adapun ilmu yang
datang melalui ilham yang masuk ke dalam hati manusia disebut ilmu laduni.
Al-Ghazali mengartikan ilmu laduni sebagai ilmu yang terbuka dalam rahasia hati
tanpa perantara karena datang langsung dari Tuhan ke dalam jiwa manusia.[16]
Ilmu laduni, menurut
Al-Ghazali, diperoleh manusia melalui ungkapan langsung (mukasyafah).
Untuk memperoleh mukasyafah ini diperlukan proses panjang yang harus dijalani
manusia. Hal ini karena Tuhan sebagai pemberi ilmu adalah dzat yang maha suci,
yang memberikan ilmu laduni hanya kepada orang-orang tertentu yang jiwanya
telah tersucikan. Ini menggambarkan bahwa manusia yang ingin memperoleh ilmu
laduni harus melalui cara atau persyaratan tertentu. Salah satu caranya adalah
dengan proses penyucian jiwa yang oleh Al-Ghazali dibahasakan dengan tazkiyah
al-nafs. Dalam proses penyucian jiwa ini diperlukan langkah-langkah, antara
lain, pertama, melakukan takhalli. Takhalli yang dimaksudkan Al-Ghazali
adalah pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela. Kedua, melalui tahalli, yaitu
kegiatan mengisi jiwa yang telah kosong dengan akhlak atau perilaku terpuji,
dan ketiga melalui tajalli yaitu ketersingkapnya atau hasil yang
diperoleh manusia berupa karunia keistimewaan atau karamah yang dimiliki
manusia setelah melalui dua proses tadi (takhalli dan tahalli).
Pada tahap tajalli inilah ilmu laduni diberikan oleh Allah kepada
manusia.
Ilmu yang diperoleh
melalui pendekatan robbani di atas berbeda dengan ilmu yang diperoleh dengan cara
rekayasa akal manusia. Ilmu hasil rekayasa ini dapat berupa teori-teori
keilmuan praktis dalam berhubungan (mu’amalah) antar manusia atau
manusia dengan alam sekitarnya. Al-Ghazali mengistilahkan ilmu ini sebagai ilmu
mu’amalah.
Berdasarkan sumber
pengetahuan tersebut (insaniyyah dan robbaniyyah), Al-Ghazali menyebutkan tiga
alat untuk memperoleh ilmu. Pertama, panca indera. Al-Ghazali memasukkan
metode inderawi sebagai cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh ilmu. Al-Ghazali
melihat bahwa metode inderawi ini sangat sederhana dan mudah dipahami sehingga
ilmu yang didapatkannya pun bersifat sederhana, sebagaimana tampak secara
lahiriah. Dari persoalan kesederhanaan dan penampakan lahiriah inilah
Al-Ghazali berasumsi bahwa ilmu yang diperoleh secara indera merupakan ilmu
yang penuh dengan tipu daya. Hal ini karena pengalaman membuktikan bahwa ilmu
inderawi tunduk di bawah ilusi dan kesesatan. Sebagai contoh, Al-Ghazali
mengemukakan, indera mata menyaksikan bahwa matahari adalah kecil sekali dan
bintang-bintang tampak seakan-akan mutiara-mutiara yang tersebar di atas
hamparan kebiruan. Akan tetapi, ia membuktikan bahwa matahari lebih besar dari
bumi dan bintang-bintang juga lebih besar daripada yang tampak oleh mata kita.[17]
Kedua, akal. Menurut
Al-Ghazali, di samping panca indera, akal juga merupakan alat yang dimiliki
manusia untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang dihasilkan lewat akal ini disebut ilmu
‘aqli, lawannya ilmu naqli. Akal menurut Al-Ghazali diciptakan Allah
dalam keadaan sempurna dan mulia, sehingga bisa membawa manusia pada derajat
yang tinggi. Kedudukan akal seperti seorang raja. Ia memiliki banyak pasukan,
yaitu tamyiz (kemampuan membedakan), daya hafal dan pemahaman.
Kebahagiaan spiritual adalah akal, karena menyebabkan aspek fisik memperoleh
kekuatan. Jiwa (roh) bagaikan lampu, sedangkan sinarnya adalah akal, yang
menyinari seluruh tubuh.
Dalam kitab Ma’arij
al-Quds-nya, Al-Ghazali melihat akal sebagai jiwa rasional yang memiliki
dua daya; daya al-‘amilat (praktis) dan daya al-‘alimat
(teoritis). Akal teoritis dan akal praktis bukanlah dua daya yang betul-betul terpisah,
melainkan dua sisi dari akal yang sama. Sisi yang menghadap ke bawah (badan)
adalah akal praktis dan sisi yang menghadap ke atas (akal aktif) adalah akal
teoritis. Akal praktis digunakan untuk kreativitas dan akhlak manusia, artinya
terwujudnya tingkah laku yang baik bergantung pada kekuatan akal praktis dalam
menguasai daya-daya jiwa tersebut. Akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan
substansinya yang bersifat immateri dan abstrak. Ia berhubungan dengan
ilmu-ilmu yang abstrak dan universal. Dari sudut ini, akal teoritis mempunyai
empat tingkat kemampuan, yaitu al-‘aql al-hayulani (akal material), al-‘aql
bi al-malakat (habitual intellect), al-‘aql bi al-fi’il (akal
aktual), dan al-‘aql al-mustafid (akal perolehan).[18]
Akal al-hayulani merupakan
potensi belaka, yaitu kesanggupan untuk menangkap arti-arti murni yang tak
pernah berada dalam materi atau belum keluar. Akal malakat, yaitu
kesanggupan untuk berpikir abstrak secara murni mulai kelihatan sehingga dapat
menangkap pengertian dan kaidah umum. Misalnya, keseluruhan lebih besar
daripada bagian. Akal fi’il yaitu akal yang lebih mudah dan lebih banyak
menangkap pengertian dan kaidah umum yang dimaksud. Akal ini merupakan gudang
bagi arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki. Adapun
akal mustafid yaitu akal yang di dalamnya terdapat arti-arti abstrak yang dapat
dikeluarkan dengan mudah sekali.
Cara beraktivitas akal-akal
tersebut dalam menghasilkan ilmu dapat dijelaskan secara singkat. Akal hayulani
semata-mata berupa potensi, hanya mampu menangkap sesuatu dari luar jika
mendapat rangsangan. Kemudian akal malakat melakukan abstraksi. Proses
abstraksi ini menghasilkan pengertian. Hasil abstraksi (pengertian) ini kemudian
disimpan dalam akal fi’il dan seterusnya diteruskan pada akal mustafad menjadi
ilmu.
Ketiga, qalb (hati).
Ilmu yang diperoleh dengan alat qalb (hati) lebih mendekati ilmu tentang
hakikat-hakikat melalui perolehan ilham. Kemampuan mengangkap hakikat dengan
jalan ilham digantikan oleh intuisi (Al-dzauq) yang pada buku-buku
filsafat diperoleh dengan ‘aql al-mustafid. Al-dzauq mengandung
unsur rasa. Al-dzauq adalah daya tangkap yang sekaligus merasakan
kehadiran yang ditangkap. Inilah yang dimaksud dengan intuisi. Ia berpendapat
bahwa setelah mampu menangkap ilmu aksiomatis, jiwa manusia mempunyai dua cara
untuk memperoleh ilmu, yaitu dengan cara berpikir yang disebut dengan al-qiyas
dan dengan cara merasakannya yang disebut dengan al-wujdan. Cara yang pertama
menggunakan al-mutakhayyilat yang berpusat di otak, sedangkan yang kedua
menggunakan daya pendorong (al-iradat) yang berpusat di jantung. Otak
berhubungan dengan akal, dan qalb (hati) berhubungan dengan al-dzauq.
Berlainan dengan
pengetahuan yang diperoleh melalui akal pikiran di dalam ilmu filsafat atau
ilmu teologia, maka pengetahuan yang didapat melalui paham sufi adalah dzawq
(pengetahuan langsung). Dengan demikian, ada perbedaan antara memahami arti
kesehatan dan kepuasan badaniyah, berikut sebab-musababnya dan perasaan sehat
dengan perasaan puas. Juga ada perbedaan antara mengetahui alam sebenarnya
(alam rohani) dan sebab musabahnya, dengan benar-benar menjalani hidup semacam
itu. Dengan perkataan lain, mereka yang mengetahui hanya hanya lewat pengetahuan
akal pikirannya, tetap masih terpisah dari objek pengetahuan tersebut.[19]
Karena pengutamaan
Al-Ghazali terhadap qalb (hati) ini, ia tidak menyebutkan misalnya
kedokteran, perbintangan, kondisi alam, fisiologi manusia, anatomi, ilmu sihir,
jimat dan sebagainya dalam klasifikasi ilmu. Menurut Al-Ghazali ia hanya
menjelaskan ilmu-ilmu keagamaan yang landasannya niscaya ada pada alam,
sehingga jalan menuju Allah menjadi mudah. Sedangkan ilmu-ilmu tersebut
dianggap oleh Al-Ghazali memang ilmu, namun penguasaan ilmu-ilmu itu bukan
syarat yang niscaya bagi terwujudnya kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Karena itu, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua bagian utama. Pertama,
ilmu kerak bagian luar yang meliputi ilmu vokalisasi dan tempat keluarnya
huruf (makharij al-huruf), ilmu bahasa al-Qur’an, ilmu I’rab
al-Qur’an (ilmu tata bahasa dan nahwu sharf), ilmu bacaan al-Qur’an (‘ilm
al-qiraat), dan ilmu tafsir zhahir. Kedua, ilmu inti yang terdiri
dari dua lapisan. Pertama, ilmu-ilmu yang mencakup kisah-kisah
al-Qur’an, ilmu berdebat dengan orang kafir (teologi), dan ilmu hudud dan hukum
(fiqh). Kedua, ilmu-ilmu yang mencakup ilmu laku (suluk sufi),
ilmu tentang tempat kembalinya jiwa dan ilmu al-isyraf, yakni mengenal
Allah dengan naik dari perbuatan kepada sifat dan dari sifat kepada dzat.
Menurut Al-Ghazali,
ilmu-ilmu kerak, ilmu-ilmu zhahir diperuntukkan bagi mereka yang awam,
sedangkan ilmu inti (bathin) khusus untuk khashash al-khashash. Dengan kata
lain, Al-Ghazali memperuntukkan bayan bagi masyarakat umum sedangkan irfan
untuk orang-orang khusus. Namun demikian, Al-Ghazali tidak memisahkan
secara kaku antara awam dan khusus dan konsekuensinya tidak memisahkan antara
bayan dan irfan, tetapi menjadikan bayan sebagai jalan menuju irfan seperti
umum menuju kepada yang khusus.
Jelas ketersingkiran akal
dalam diri Al-Ghazali menempati posisi superior dia atas seluruh denyut akal
dari dunia mengungguli fiqh dan teolog yang berjuan untuk dunia dan agama. Dan
ini bukan hanya pada tataran epistemologis, tetapi juga pada tataran keagamaan,
tahapan yang mewajibkan seseorang untuk berjihad.[20]
b. Kausalitas
(sebab akibat) dan mukjizat
Dalam bukunya Tahafut
al-Falasifat, Al-Ghazali mempersoalkan masalah khariq al-adat (menyalahi
kebiasaan) yang erat kaitannya dengan masalah hukum kausalitas, dalam
pengertian, apakah hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang
pasti. Hal ini, menurutnya, dapat menyebabkan seseorang mempercayai atau tidak
mempercayai adanya mukjizat para nabi, yang olehnya, mukjizat ia artikan
sebagai hal yang menyimpang dari kebiasaan alam.[21]
Telah disebutkan bahwa
Al-Ghazali sebenarnya tidak mengingkari adanya hukum kausalitas. Namun yang ia
ingkari adalah pendapat para filosof Muslim yang mengatakan bahwa hubungan
sebab akibat merupakan hubungan kepastian atau keniscayaan. Sikap Al-Ghazali
ini didasari oleh konsep bahwa Allah adalah Pencipta segala yang ada termasuk
peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Pada sisi lain, untuk menjaga jangan
sampai terjadi adanya anggapan di kalangan kaum Muslimin bahwa apa yang terjadi
di alam ini hanya disebabkan kekuatan kebendaan semata. Padahal, ada sebab lain
di balik kebendaan itu yang merupakan rahasia tersembunyi, yang justru inilah yang
merupakan sebab hakiki, yakni Allah.
Pendapat Al-Ghazali
selengkapnya tentang ini terdapat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifat,
yang secara garis besarnya dapat dipaparkan sebagai berikut:
Menurut Al-Ghazali,
hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dharuriy (kepastian),
dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi
keduanya masing-masing memiliki individualitasnya sendiri. Sebagai contoh,
antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan.
Artinya, orang makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan tidak mesti
menyebabkan orang kenyang. Begitu pula kertas tidak mesti terbakar oleh api,
air tidak mesti membasahi kertas atau kain. Semua ini hanya merupakan adat atau
kebiasaan alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini
karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Karena itu, kalau kertas yang
terbakar terkena api, orang makan menjadi kenyang. Dan kain basah terkena air,
itu semua semata-mata hanya karena kekuasaan dan iradah Allah. Lebih lanjut ia
katakan bahwa seorang ayah bukan pembuat (fa’il) terhadap anaknya. Ia
tidak bisa mengadakan anaknya dengan menaburkan benih (nuthfah) kepada
rahim istrinya. Ia juga tidak mampu menjadikan anak laki-laki atau perempuan,
lengkap anggota badannya sesuai dengan keinginannya. Anak itu ada dan lahir ke
dunia karena Sebab Pertama, yakni Allah Swt.
Dengan demikian, tidak
benar anggapan bahwa api itu pembuat terbakat, obat itu pembuat sembuh, roti
itu pembuat kenyang, dan lain sebagainya. Kata Al-Ghazali, para filosof Muslim
mengingkari kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api.
Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat
membakar dari api atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi
yang tidak bisa terbakar oleh api.
Menurut pandangan
Al-Ghazali bahwa api itu tidak membakar Nabi Ibrahim karena memang api bukan
pembuat terbakar. Akan tetapi, hal itu adalah perbuatan Allah dengan kudrat dan
iradat-Nya, baik karena api berubah sifatnya menjadi tidak membakar atan Nabi Ibrahim
berubah materinya menjadi materi lain sehingga ia menjadi tidak terbakar oleh
api. Begitu pula seseorang yang bepergian, di rumahnya ditinggalkan seekor
kambing dan ketika ia pulang, kambing telah berubah menjadi seekor harimau.
Batu bisa menjadi emas atas izin Allah. Karena itu, kata Al-Ghazali,
kejadian-kejadian yang menyimpang dari kebiasaan di alam bisa saja terjadi atas
kehendak dan iradat Allah.[22]
Demikian juga halnya kasus
Nabi Isa bisa menghidupkan orang mati, tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular,
bisa terjadi karena menyangkut materi yang sifatnya menerima perubahan. Tanah
berubah menjadi tanaman, tanaman dimakan oleh binatang lalu berubah menjadi
darah, darah berubah menjadi air mani binatang jantang dan kalau bertemu dengan
sel telur dalam rahim binatang betina akan berubah menjadi janin, dan
seterusnya akan melahirkan hewan sejenisnya. Rentetan kejadian di atas berlaku
berdasarkan kebiasaan yang berlangsung dalam masa yang relatif panjang. Akan
tetapi, tidaklah mustahil apabila dengan kehendak dan kekuasaan Allah proses
panjang tersebut berubah menjadi lebih singkat sebagaimana proses yang berlaku
pada mukjizat para nabi.
Kalau dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi
pada para nabi yang menyimpang dari kebiasaan, apakah hal ini terjadi karena
kekuatan diri nabi sendiri atau disebabkan hal lain?dalam hal ini baik para
filosof Muslim maupun Al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama, sebagaimana para
filosof bisa menerima terjadinyahujan, petir, gempa bumi atas kekuatan diri
nabi atau karena hal lain. Namun yang lebih penting, kata Al-Ghazali, harus
mengakui bahwa semuanya terjadi atas kehendak Allah, baik secara langsung
maupun melalui perantaraan malaikat sebagai mukjizat untuk menguatkan bukti
kenabian mereka.[23]
Dalam masa perubahan
jenis, seperti hitam berubah menjadi putih, batu berubah menjadi emas, benda
berubah menjadi binatang, dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, Allah bisa saja
melakukan hal yang demikian karena Ia tidak tergolong pada hal yang mustahil.
Sebab hal yang mustahil adalah menetapkan sesuatu dan meniadakannya sekaligus
pada waktu yang bersamaan, atau menetapkan dua hal yang berlawanan sekaligus.
Contoh, menetapkan hitam dan putih terhadap suatu benda pada waktu yang
bersamaan, termasuk perkara yang mustahil. Kalau kita menetapkan hitam pada
suatu benda, berarti kita meniadakan putih daripadanya. Begitu pula sebaliknya,
jika kita menetapkan putih padanya, berarti kita meniadakan hitam padanya.
Menetapkan putih dan hitam pada suatu benda dalam waktu yang bersamaan, itulah
yang mustahil. Dengan demikian, kalau dikatakan bahwa Allah mampu mengubah batu
menjadi emas, atau mengubah tongkat menjadi ular, tidaklah termasuk perkara
yang mustahil.[24]
Selanjutnya, Al-Ghazali
berkata jika dikatakan tanah berubah menjadi hewan, dan antara ‘aradl atau
accident dengan jauhar (atom) bukanlah materi yang berserikat
(seperti darah dan nuthfah, air dan udara), dan bukan materi yang
berserikat pula semua jenis, dari segi ini, hal tersebut adalah mustahil.
Apabila Allah menggerakkan tangan orang mati, lalu duduk, kemudian menulis
sehingga menghasilkan tulisan yang teratur, hal ini tidaklah mustahil, jika
kita membolehkan terjadinya hal-hal baru pada iradat bebas Allah. Hanya saja
hal ini diingkari karena terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan adat atau
kebiasaan. Sementara itu, Al-Ghazali mengembalikan semua itu kepada kehendak
dan kekuasaan mutlak Allah. Atas kehendak dan kekuasaan-Nya semuanya bisa
terjadi meskipun berlawanan dengan kebiasaan. Dari segi inilah terjadinya
mukjizat para nabi.
c. Filsafat Etika
Filsafat etika Al-Ghazali
secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya’
Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori
tasawufnya.[25]
Menurut Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar,
berakhlak yang baik dan berpengetahuan yang benar.[26]
Tujuan dari butir-butir nilai akhlak yang dikemukakannya adalah sebagai
sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti membuka
hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena menurutnya,
akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat ketuhanannya.[27]
Mengenai tujuan pokok dari
etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal: al-takhalluq
bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-shifatirrahman
ala thaqalil-basyariyah.
Maksud semboyan itu adalah
agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat
ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang
disukai Tuhan, sabar jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya.
Dalam Ihya’ Ulumuddin itu
Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dalam tasawuf dengan mendalam
sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas
kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya
yang panjang lebar tentang salat, puasa dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa
bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala
jalan pembersihan rohani.[28]
Al-Ghazali melihat sumber
kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarub)
terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan
sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini itu sama sekali tidak cocok
dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan
yang tertinggi, tetapi pasif menanti hanya menunggu pendekatan diri dari
manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali, sesuai dengan
prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam
materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
Bagaimana cara bertaqarrub
kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung
mempengaruhi rohani. Di antaranya yang terpenting ialah al-muraqabah,
yakni mereka diawasi terus oleh Tuhan, dan al- muhasabah, yakni
senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut Al-Ghazali,
kesenangan itu ada dua tingkatan yaitu kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan
sa’adah). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu.
Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang yang
merasakan kebahagiaan.
Akhirnya kebahagiaan yang
tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan
itu sendiri. Itulah yang dinamakannya ma’rifatullah, yaitu mengenal
adanya Allah tanpa syak sedikit juga, dengan penyaksian hati, yang sangat yakin
(musyahadatul galbi). Apabila sampai kepada penyaksian itu, manusia akan
merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan. [29]
Al-Ghazali menyatakan
dengan terus terang bahwa ia telah beberapa kali mengalami sendiri penyaksian
itu. Bagi
Al-Ghazali, tasawuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari
syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya
yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang
berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat
kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan
pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[30]
d. Tinjauan terhadap Al-Ghazali
Dalam buku Tahafutu Al-Falasifah Al-Ghazali
menerangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah
mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan
beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk
menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari
sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai
filosof?[31]
Apabila ditinjau dari segi lain pendapat tersebut
masih dapat dikaji lagi. Terutama dari segi pengertian filsafat Islam. Namun
apabila filsafat Islam hanya merupakan kumpulan dari pemikiran-pemikiran
Al-Farabi, Ibnu Sina dan tokoh-tokoh pikiran yang sejenis semata-mata, tentang
persoalan ketuhanan dan jiwa manusia, tanpa meliha metoda atau sumber pikiran
tersebut, maka buku Tahafutu Al-Falasifah, tidak termasuk buku filsafat,
dan pengarangnya juga bukan seorang filosuf. Karena buku itu berisi hantaman
terhadap pikiran-pikiran kedua filosuf tersebut di atas. Tetapi ada dasar
memasukkan karya-karya kedua filosuf dan yang sejenis semata-mata dalam lapangan
filsafat Islam, sehingga harus mengeluarkan karya-karya tokoh pikiran lainnya?
Pengertian filsafat harus lebih luas daripada itu, sehingga mencakup semua
usaha-usaha pikiran yang dipakai sebagai jalan untuk mencapai kebenaran,
sebagaimana yang dikatakan oleh Frost. Pengertian tersebut tepat sekali untuk
diterapkan pada filsafat, dan dengan demikian, maka buku Tahafutu
Al-Falasifah termasuk buku filsafat.
Di dalam Ihya ‘Ulum Ad-Din, Al-Ghazali juga
mengatakan bahwa filsafat adalah bukan ilmu yang berdiri sendiri, tetapi
terdiri dari empat bagian:
Pertama, ilmu dan matematika
(berhitung). Keduanya boleh dipelajari kecuali terhadap orang yang takut akan
terseleweng kepada suatu ilmu yang tercela.
Kedua, ilmu logika (mantiq)
yakni ilmu yang membahas cara menyusun suatu dalil dan syarat-syaratnya,
menyusun batas dalil dan syarat-syaratnya. Ilmu ini masuk dalam ilmu kalam.
Ketiga, ilmu metafisika
(Ketuhanan) yakni ilmu yang membahas tentang zat Allah SWT. dan
sifat-sifat-Nya. Ilmu ini juga termasuk ilmu kalam. Para filosuf tidak
menyadari mengenai ilmu ketuhanan dengan bentuk suatu ilmu lain, tetapi
menyendiri dengan bentuk aliran (madzhab) yang mana sebagian daripadanya
menjadi kafir dan sebagian lainnya menjadi bid’ah. Sebagaimana aliran
mu’tazilah bukan merupakan ilmu yang berdiri sendiri, tetapi
penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari para ulama mutakallimin dan
para ahli pengkajian, penyelidikan yang menyendiri dengan aliran-aliran yang
batal. Maka seperti itu pulalah para filosuf.
Keempat, ilmu alam sebagian
dari padanya menyalahi syariat dan ajaran agama yang benar. Ini sebenarnya
merupakan kebodohan, bukan ilmu pengetahuan yang pantas dimasukkan ke dalam
bagian-bagian ilmu. Sebagian yang lain lagi membahas tentang sifat-sifat jism
(benda yang bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.
Dalam pengertian filsafat Islam secara luas, kajian
Al-Ghazali tersebut telah memasuki filsafat, meskipun harus mencemooh para
filosuf. Sebenarnya yang dicemooh bukan para filosuf, tetapi setiap orang yang
mempunyai jalan pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran agama ia mengecamnya.
Karena Al-Ghazali selalu merujuk dan senantiasa mencari kebenaran, meski
berlandaskan Al-Quran dan Al-Hadits, ia telah memasuki alam pikiran filsafat.
Dengan demikian ia seorang filosuf.[32]
C. Kesimpulan
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al-Ghazali,
lebih dikenal dengan Al-Ghazali. Lahir di
Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak, tahun 450 H (1058 M). Ayahnya adalah pemintal benang wol.
Awal mula
Al-Ghazali mengenal tasawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun
dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kepada
saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil,
Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al-Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrum Mughriq (laut yang menenggelamkan).
Dan empat tahun Al-Ghazali
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari
hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad
menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal di sana sambil mengisolir diri untuk beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat
pada tanggal 14 Jumadil Akhir
tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al-Ghazali
mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islam atas pembelaannya yang mengagumkan
terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bathiniyyah dan kaum filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang
produktif.
Karya-karya
tulisnya meliputi: Maqashid Al-Falasifah, Tahafut Al Falasifah, Mi’yar Al-‘Ilm,
Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, Al-Munqidz Min Adl-Dlalal, Al-Ma’arif Al-‘Aqliyyah, Misykat
Al-Anwar, Minhaj Al-‘Abidin, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, Ayyuha Al-Walad,
Al-Mustasyfa, Iljam Al-‘Awwam ‘an ‘Ilm Al-Kalam dan Mizan Al-‘Amal.
Filsafat
Imam Al-Ghazali meliputi filsafat ketuhanan (masalah wujud, Dzat dan Sifat
serta Af’al); Tasawuf Al-Ghazali, tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf
inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang
benar. Pengetahuannya tidak
berdasarkan hasil-hasil argumen ilmu kalam: filsafat etika/akhlak Al-Ghazali. Akhlak adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk
dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Filsafat etika Al-Ghazali
adalah Tasawuf Al-Ghazali, yang bertujuan pokok. Akhlak merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Dan
jalan untuk mencapai akhlak ialah
dengan naluri insani serta latihan-latihan. Al-Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang,
lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdullah, M.
Amin. 1996. Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Ghazali,
Imam. 1989. Intisari Filsafat Imam Al-Ghazali. terj. Rus’an. Jakarta:
Bulan Bintang.
Ali,
Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
Anshori,
M. Subkhan. 2011. Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan. Kediri:
Pustaka Azhar.
Supriyadi,
Dedi. 2010. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Hanafi,
Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Mustofa, A. 2004. Filsafat Islam. Bandung:
Pustaka Setia.
Sholeh,
A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Sudarsono.
2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Supena,
Ilyas. 2010. Pengantar Filsafat Islam. Semarang: Walisongo Press.
Zar,
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 155
[2] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta:
Rineka Cipta, 2004), hlm. 62
[3] Sirajuddin Zar, Op.Cit.
hlm. 155
[4]
A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), hlm. 215.
[5] Ibid., hlm. 155-156
[6] Ilyas Supena, Pengantar
Filsafat Islam (Semarang: Walisongo Press, 2010), hlm. 108
[7] Sirajuddin Zar, Op.Cit.,
hlm. 157
[8] Sudarsono, Op.Cit., hlm.
63
[9] Sirajuddin Zar, Op.Cit.,
hlm. 157
[10] Ilyas Supena, Op.Cit.,
hlm. 109
[11] Sirajuddin Zar, Op.Cit.,
hlm. 158
[12] Ilyas Supena, Op.Cit.,
hlm. 110
[13] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 136
[14] Ilyas Supena, Op.Cit.,
hlm. 111-112
[15] A. Mustofa, Op.Cit., hlm. 220
[16] Ilyas Supena, Op.Cit.,
hlm. 117
[17] Ibid., hlm. 118
[18] Ibid., hlm. 119
[19] Ibid., hlm. 120
[20] Ibid., hlm. 122
[21] Sirajuddin Zar, Op.Cit.,
hlm. 174
[22] Ibid., hlm 176
[23] Ibid., hlm 177
[24] Ibid.
[25] A. Mustofa, Op.Cit., hlm. 240
[26] Sudarsono, Op.Cit., hlm.
71
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[31] A. Mustofa, Op.Cit., hlm. 244
[32] Ibid., hlm 246
No comments:
Post a Comment