Friday, July 11, 2014

Kritik Hadis

KRITIK HADITS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Studi Hadits
Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Sulalah, M. Ag



Oleh:
Akhmad Pandu Setiawan
(13770030)




PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Juli, 2014






KRITIK HADITS
A.  Pendahuluan
1.     Latar Belakang
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadis tidak hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja, yang biasa dikenal dengan masalah matan hadis, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.
Penelitian kualitas hadis perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad SAW, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadis. Di dalam makalah ini, penulis akan mengkaji seputar kritik hadis, ditinjau dari sisi sejarah muncul, perkembangan, urgensi, cakupan, tokoh-tokohnya dan indikasi mayor dan minor sanad dan matan shahih.

2.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji oleh penulis adalah:
1.   Bagaimana sejarah muncul dan perkembangan ilmu kritik hadis?
2.   Apa urgensi dan cakupan ilmu kritik hadis?
3.   Siapa saja tokoh-tokoh kritikus hadis dan apa karyanya?
4.   Apa indikasi mayor dan minor sanad hadis shahih?
5.   Apa indikasi mayor dan minor matan hadis shahih?
3.     Tujuan Pembahasan
Melihat rumusan masalah dari uraian latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.   Untuk menjelaskan sejarah muncul dan perkembangan ilmu kritik hadis
2.   Untuk menjelaskan urgensi dan cakupan ilmu kritik hadis
3.   Untuk mengetahui tokoh-tokoh kritikus hadis dan karyanya
4.   Untuk mengetahui indikasi mayor dan minor sanad hadis shahih
5.   Untuk mengetahui indikasi mayor dan minor matan hadis shahih


B.  Pokok Pembahasan
1.     Sejarah Muncul, Perkembangan, Urgensi dan Cakupan
a.     Sejarah Muncul
1)     Kritik Sanad Hadis
Kritik sanad hadis sebagai salah satu bagian terpenting dalam jajaran ilmu hadis muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan hadis itu sendiri, terutama ketika muncul aktivitas para ulama pengumpul hadis dengan memilah-milah serta membuat kategori hadis-hadis tersebut.
Aktivitas ini marak terjadi pada abad ke-3 H. Namun demikian, bukan berarti bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan yang demikian ini. Jika telah disepakati bahwa kritik dipahami sebagai sebuah upaya untuk memilah-milah atau membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara yang sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan kritik hadis telah ada sejak zaman Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Kritik hadis di masa Rasulullah dilakukan dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar sebuah hadis dari beliau, tetapi dari sahabat lain yang mendengarkannya, mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah.[1]
Sebagaimana diketahui bahwa di era Rasulullah agaknya terdapat semacam aturan khusus yang tidak tertulis dan telah mereka sepakati, yakni setiap sahabat yang telah mendengar hadis atau mengikuti majlis ta’lim Rasulullah memiliki kewajiban moral untuk mentransmisikannya kepada sahabat lain yang tidak mengikutinya. Di saat mereka meriwayatkan kembali sebuah hadis yang didengarnya dari Rasulullah, mereka menyandarkannya kepada beliau, bahkan jika berupa hadis qudsi sering pula terjadi penyandaran hadis kepada Allah, jika Rasulullah sendiri menyebutkan demikian. Adapun yang tidak mendengarkan secara langsung, mereka selalu menyandarkannya pula kepada orang yang meriwayatkan hadis tersebut kepadanya. Demikianlah proses transmisi hadis yang kemudian berkembang. Namun kondisi semacam ini tidak selamanya mampu berjalan seperti pada era Rasulullah meski pascawafat beliau, metode transmisi yang demikian ini terus berlanjut. Buktinya hingga tahun 40 Hijriyah, tepatnya di saat umat Islam tertimpa fitnah peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bi Affan serta peperangan Ali dan Mu’awiyah yang kemudian berekses pada perpecahan kaum muslim, model transmisi hadis yang dikenal selama ini mengalami banyak cobaan.
Fitnah yang menimpa kaum muslimin tersebut, di samping berimplikasi negatif dengan terkotak-kotaknya pada garis-garis kepentingan politik yang kemudian masing-masing mencari legitimasi syar’i yang mendukung kepentingan politiknya itu, ternyata juga memiliki implikasi positif bagi pengembangan ilmiah kritik sanad hadis. Bahkan momentum tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan model kritik sanad yang pada tahap berikutnya mulai diefektifkan penggunaannya. Menanggapi hal ini, Ibn Sirin (33-110 H) berkomentar bahwa pada mulanya kaum muslim tidak begitu menanyakan sanad, namun setelah terjadinya fitnah mereka selalu mempertanyakan dari siapa hadis itu diriwayatkan. Jika berasal dari ahlussunnah, maka hadis tersebut diterima, dan jika berasal dari bid’ah, maka hadis tersebut ditolak.[2]
Berpijak pada beberapa argumentasi di atas, agaknya dapat dipahami sikap yang pilih-pilih para ulama untuk kemudian mempertanyakan sanad hadis yang mereka terima itu dimotivasi oleh sikap kehati-hatian dan tanggung jawab mereka untuk mampu menjaga otentisitas dan orisinalitas hadis. Karena bagaimanapun juga, fitnah tragis yang menimpa kaum muslimin di atas telah menstimuli muncul dan berkembangnya berbagai kasus manipulasi dan pemalsuan hadis. Oleh karena itu, sikap yang diambil oleh para ulama tersebut merupakan upaya kehati-hatian mereka agar umat Islam tidak terjebak pada sesuatu yang dapat memutarbalikkan kebenaran agama.
Dengan demikian, dalam tataran inilah letak urgensi sanad hadis. Oleh karena itu, layaklah ungkapan ibn al-Mubarak (w. 181 H) sebagaimana dikutip Muslim, bahwa sistem sanad merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam, karena tanpa adanya sanad setiap orang bisa mengaku dan mengatakan apa saja sesuai dengan kehendaknya, dengan mengatasnamakan Rasulullah. Padahal sikap yang demikian itu, diancam oleh Rasulullah dalam hadis beliau yang mengatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memanipulasi ajaran beliau, akan mendapatkan balasan setimpal berupa neraka.
Dalam rangka mengaktualisasikan obsesinya untuk menjaga otentisitas dan orisinilitas hadis tersebut, para ulama mengajukan beberapa persyaratan ketat dan kriteria perawi yang dapat diterima hadisnya. Sehingga pada gilirannya melahirkan berbagai rumusan konseptual tentang kriteria-kriteria tentang kesahihan hadis tersebut.   
2)     Kritik Matan Hadis
Secara praktis, aktivitas kritik matan ini telah dilakukan oleh generasi sahabat. Oleh karena itu, sangat tidak tepat pernyataan yang dimajukan oleh para orientalis semisal Ignaz Goldziher (1850-1921), A.J. Wensinck (1882-1939) dan Joseph Schacht (1902-1969), yang mengatakan bahwa di dalam upaya meneliti hadis, para ulama hanya memperhatikan kritik sanad dan mengesampingkan kritik matan hadis. Argumentasi mereka adalah banyak ditemukannya hadis-hadis yang semula diklaim sahih, namun setelah diteliti lebih lanjut – tentu dengan kriteria dan standar mereka – ternyata terdapat satu atau beberapa syarat yang dinilai tidak memenuhi kriteria mereka.[3]
Para orientalis menyadari bahwa umat Islam memiliki sejumlah khazanah intelektual yang terkemas dalam sejumlah kitab, yang disebut sebagai al-masadir al-asliyyah. Sebagian besar para orientalis, untuk tidak menyebutkan seluruhnya, berupaya menumbuhkan sikap keraguan pada diri umat Islam terhadap ajaran dasarnya. Upaya itu pertama kali dilakukan melalui al-Quran. Setelah tidak mendapatkan celah di dalam al-Quran, dilanjutkanlah upaya tersebut pada hadis yang secara historis “rentan” terjadi manipulasi. Untuk tujuan itulah, para orientalis mengarahkan kritikannya pada hadis-hadis yang terakumulasi dalam berbagai kitab hadis yang ada. Sasaran kritikan mereka adalah matan hadisnya, karena dinilai banyak yang tidak sahih ditinjau dari segi sosial, politik, sains dan lain-lain, bahkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari sekalipun.
Terlepas dari kritikan para orientalis terhadap hadis di atas, yang jelas bahwa “embrio” kritik matan, telah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menolak berbagai riwayat hadis yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah dasar keagamaan.[4] Al-Adlabi membuat klasifikasi besar tentang nama-nama sahabat yang terlibat pada aktivitas kritik matan ini, yakni kritik matan yang dilakukan (menurut) Umm al-Mu’minin, ‘Aisyah, dan kritik matan yang dilakukan oleh para sahabat selain ‘Aisyah. Untuk kritik ‘Aisyah ditujukan kepada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Umar, Ibn ‘Umar, Jabir dan Ka’b al-Akhbar. Sedangkan para sahabat selain ‘Aisyah, dapat disebut misalnya kritik matan yang dilakukan ‘Umar Ibn Khatab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah Ibn Mas’ud dan Abdullah ibn Abbas. Dengan adanya berbagai bukti sejarah di atas, tesis yang dimajukan oleh para orientalis bahwa para ulama hanya mementingkan kritik sanad dan mengesampingkan kritik matan hadis, tidak benar adanya.[5]



b.   Perkembangan
1.   Kritik Hadis Di Era Rasulullah Saw. Masih Hidup
Kritik hadis pada saat Rasulullah masih hidup sangat mudah dilakukan para sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka terima itu melalui jalan konfirmasi kepada Rasulullah Saw.[6]
Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadis pada masa Rasulullah bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi oleh sikap mereka yang begitu hati-hati dalam menjaga kebenaran hadis sebagai sumber hukum Islam disamping Alquran,[7] juga untuk mengokohkan hati mereka dalam mengamalkan hadis yang langsung mereka yakini kebenarannya dari Rasulullah Saw.[8] Para ulama sepakat bahwa konfirmasi hadis di era Rasulullah ini dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya ilmu kritik hadis.[9]
Sebagai contoh kegiatan konfirmasi di era Rasulullah Saw ini dapat ditunjukkan oleh riwayat hadis berikut:
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ بُكَيْرٍ النَّاقِدُ حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ قَالَ صَدَقَ قَالَ فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَبِالَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ آللَّهُ أَرْسَلَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا وَلَيْلَتِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِي أَمْوَالِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَنَتِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقَ قَالَ ثُمَّ وَلَّى قَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَزِيدُ عَلَيْهِنَّ وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هَاشِمٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ قَالَ قَالَ أَنَسٌ كُنَّا نُهِينَا فِي الْقُرْآنِ أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِهِ. (رواه المسلم/ الايمان:۱۳).
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Muhammad bin Bukair an-Naqid telah menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim Abu an-Nadlr telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin al-Mughirah dari Tsabit dari Anas bin Malik dia berkata, “Kami terhalangi untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sesuatu, yaitu kekaguman kami terhadap kedatangan seorang laki-laki dari penduduk gurun yang berakal (cerdas), lalu dia bertanya, sedangkan kami mendengarnya, lalu seorang laki-laki dari penduduk gurun datang seraya berkata, ‘Wahai Muhammad, utusanmu mendatangi kami, lalu mengklaim untuk kami bahwa kamu mengklaim bahwa Allah mengutusmu.’ Rasulullah menjawab: ‘Benar’. Dia bertanya, ‘Siapakah yang menciptakan langit?’ Rasulullah menjawab: ‘Allah.’ Dia bertanya, ‘Siapakah yang menciptakan bumi?’ Rasulullah menjawab: ‘Allah.’ Dia bertanya, ‘Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan menjadikan isinya segala sesuatu yang Dia ciptakan?’ Beliau menjawab: ‘Allah.’ Dia bertanya, ‘Maka demi Dzat yang menciptakan langit, menciptakan bumi, dan memancangkan gunung-gunung ini, apakah Allah yang mengutusmu?’ Beliau menjawab: ‘Ya.’ Dia bertanya, ‘Utusanmu mengklaim bahwa kami wajib melakukan shalat lima waktu sehari semalam, (apakah ini benar)?’ Beliau menjawab: ‘Benar’. Dia bertanya, ‘Demi Dzat yang mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu untuk melakukan ini?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. Dia bertanya, ‘Utusanmu mengklaim bahwa kitab wajib melakukan puasa Ramadlan pada setiap tahun kita, (apakah ini benar)?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. Dia bertanya, ‘Demi Dzat yang mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu untuk melakukan ini?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. Dia bertanya, ‘Utusanmu mengklaim bahwa kami wajib melakukan haji bagi siapa di antara kami yang mampu menempuh jalan-Nya, (apakah ini benar)?’ Beliau menjawab, ‘Ya benar’. Kemudian dia berpaling dan berkata, ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambah atas kewajiban tersebut dan tidak akan mengurangi darinya.’ Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jika benar (yang dikatakannya), sungguh dia akan masuk surga.” Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Hasyim al-Abdi telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin al-Mughirah dari Tsabit dia berkata, Anas berkata, “Kami terhalangi untuk bertanya tentang sesuatu dari al-Qur'an kepada Rasulullah.” Lalu dia membawakan hadits dengan semisalnya. (HR. Muslim/Iman/No. 13).

Aktivitas konfirmasi tersebut dilakukan para sahabat sepertinya persis dengan apa yang telah dicontohkan nabi Ibrahim As. sebagaimana terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 260.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٦٠)      
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”     (QS. Al-Baqarah: 260).

Penjelasan ayat di atas menunjukkan bahwa pertanyaan Nabi Ibrahim As. tentang bagaimana Tuhan dalam menghidupkan orang-orang mati bukanlah karena didasari keraguan Nabi Ibrahim As. terhadap kekuasaan Tuhan. Sebab mustahil bagi seorang Nabi meragukan kekuasaan Allah Swt., Begitu pula halnya pertanyaan sahabat terhadap Nabi tentang kebenaran riwayat yang disampaikan oleh sahabat yang lain adalah bukan karena dia meragukan sahabat tersebut, melainkan didorong oleh sifat kehati-hatian dan ketelitian para sahabat Nabi Saw. dalam  menerima hadis-hadis tersebut sehingga hati mereka semakin kokoh dalam mengamalkannya.
2.   Kritik Hadis Di Era Sahabat (Abad 1)
Pada era sahabat, metode penelitian hadis mulai berkembang dengan pola yang bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa ini, setelah wafatnya Rasulullah Saw. para sahabat seperti Abu Bakar Siddiq, Umar Bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib kemudian mulai membuat suatu rambu-rambu atau syarat diterimanya suatu hadits, antara lain misalnya dengan mengharuskan kesaksian sahabat yang lain untuk membenarkan periwayatan hadis tersebut.
Sebagai contohnya adalah sebagaimana kisah yang dijelaskan oleh riwayat hadis berikut:
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرَشَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتْ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا السُّدُسَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جَاءَتْ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ وَمَا كَانَ الْقَضَاءُ الَّذِي قُضِيَ بِهِ إِلَّا لِغَيْرِكِ وَمَا أَنَا بِزَائِدٍ فِي الْفَرَائِضِ وَلَكِنْ هُوَ ذَلِكَ السُّدُسُ فَإِنْ اجْتَمَعْتُمَا فِيهِ فَهُوَ بَيْنَكُمَا وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فَهُوَ لَهَا. (رواه ابو داود/ باب وارث :۲۵۰۷).
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Al Qa’nabi, dari Malik dari Ibnu Syihab, dari Utsman bin Ishaq bin Kharasyah, dari Qabishah bin Dzuaib, bahwa ia berkata; telah datang seorang nenek kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, ia bertanya kepadanya mengenai warisannya. Kemudian ia berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam Kitab Allah Ta’ala, dan aku tidak mengetahui sesuatu untukmu dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kembalilah hingga aku bertanya kepada orang-orang. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada orang-orang, lalu Al Mughirah bin Syu’bah berkata; aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kepadanya seperenam. Kemudian Abu Bakar berkata; apakah ada orang (yang menyaksikan) selainmu? Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata seperti apa yang dikatakan Al Mughirah bin Syu’bah. Lalu Abu Bakar menerapkannya dan berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam Kitab Allah Ta’ala, dan keputusan yang telah diputuskan adalah untuk selainmu, dan aku tidak akan menambahkan dalam perkara faraidl, akan tetapi hal itu adalah seperenam. Apabila kalian berdua dalam seperenam tersebut maka seperenam itu dibagi di antara kalian berdua. Siapapun di antara kalian berdua yang melepaskannya maka seperenam tersebut adalah miliknya.” (HR. Abu Daud/ Bab Waris: 2507).

Berdasarkan kasus tersebut, Abu Bakar terkesan sangat berhati-hati dalam menerima kebenaran sebuah hadis. Sikap yang demikian ini terkait dengan posisinya sebagai pemimpin besar umat Islam yang mengharuskan beliau untuk memberikan suatu teladan bagi umat Islam dalam menjaga kemurnian dan keaslian hadis nabi Muhammad Saw.
Dalam kutipan Suryadi dan Muhammad Alfatih, Azmillah al-Damani menyimpulkan metode  penelitian hadis di era sahabat terbagi kepada tiga pilar utama, yaitu dengan kriteria bahwa hadis tersebut tidak bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan dengan hadis lain, dengan cara membandingkan antar riwayat sesama sahabat, dan melalui penalaran akal sehat.[10]
Contoh Hadis yang bertentangan dengan firman Allah Swt. dan sabda Rasul Saw. yang lebih sahih sebagaimana berikut:
أنا خاتم النبين لا نبي بعدي إلا أن يشاء الله
Artinya:
 “Saya adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku kecuali dikehendaki Allah Swt.”
Hadis ini bertentangan dengan firman Allah Swt. berikut:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٤٠)

Artinya:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40).

Dan sabda Rasul Saw. yang lebih sahih sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ
(HR. Bukhari/ No. 3271).

Artinya:
“Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah bercerita kepada kami Isma’il bin Ja’far dari ‘Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaanku dan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata; “Duh seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini”. Beliau bersabda: “Maka akulah labinah itu dan aku adalah penutup para nabi”. (HR. Bukhari/ No. 3271).

Contoh Hadis yang bertentangan dengan logika akal:
 
Artinya: “Barangsiapa yang berkata suatu perkataan, kemudian dia bersin, maka perkataannya itu adalah benar.” (Hadis Maudhu’).

Hadis ini palsu karena hal tersebut bertentangan dengan logika manusia. Karena tidak mustahil orang yang bersin itu selalu jujur. Oleh karena  itu bersin tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa orang tersebut jujur. Sebab bisa saja orang pura-pura bersin.
Selanjutnya pada masa khalifah Ali, perjalanan sejarah hadis semakin digoyah oleh berbagai kasus manipulasi. Antara lain disebabkan peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman ibn ‘Affan pada tahun 35 H., serta peperangan Ali dan Muawiyah yang kemudian berakibat pada perpecahan kaum muslim. Oleh karena hal tersebut maka pola tradisional penelitian hadis yang dikenal selama ini mengalami banyak cobaan disebabkan munculnya berbagai hadis palsu yang mereka ungkapkan untuk tujuan atau kepentingan politik atau kepentingan membela golongan.[11]
Namun walaupun perpecahan umat Islam memberikan dampak negatif bagi persatuan kaum muslimin tetapi ternyata peristiwa tersebut juga memiliki implikasi positif bagi pengembangan struktur ilmiah metode kritik hadis. Bahkan menurut Umi Sumbulah, momentum tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan sistem kerja penelitian hadis, karena hal tersebut telah memberikan motivasi positif kepada para ahli hadis agar lebih efektif mengkaji kriteria-kriteria hadis yang sahih ditinjau dari kondisi sanad dan matan hadisnya.[12]
3.   Penelitian Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga Kodifikasi Hadis (Abad II-III).
Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang memicu perpecahan umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis. Sebab pada masa ini telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja memanipulasi hadis dengan alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan golongan, seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul hadis palsu tentang kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok, kelebihan ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok agama tertentu. Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang-orang non muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena keinginan untuk meruntuhkan Islam.[13]
Munculnya pemalsuan hadis kemudian menuntut para ulama yang hidup pada masa tabi’in dan sesudahnya untuk lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan penelitian hadis. Hal tersebut antara lain dapat dibuktikan dengan semakin ramainya aktivitas perjalanan ilmiah ke berbagai pelosok daerah yang bermaksud mempelajari hadis Rasulullah Saw.
Pada masa tabi’in ini, para ulama semakin aktif dalam merumuskan rambu-rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan hadis, Hal tersebut terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadis yang terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian hadis.[14]
Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik hadis pada abad ke II dan ke III antara lain adalah sebagaimana ungkapan Malik dalam kutipan Umi Sumbulah berikut:
a.    Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang selalu memperturutkan ambisi pribadinya (hawa nafsu).
b.   Tidak meriwayatkan hadis dari orang yang bodoh, yang dengan kebodohonnya itu ia kemudian membuat kebohongan atas nama Rasulullah.
c.    Tidak meriwayatkan hadis dari seseorang yang sebenarnya baik amal ibadahnya, namun hadis yang diriwayatkannya itu tidak dikenal (umum).[15]

Kritik hadits pada masa tabi’in dan setelahnya (abad ke-II dan ke-III) telah mencakup kepada penelitian sanad dan matan hadis. Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar ke  seluruh  pelosok  negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara, Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya.[16]
Selanjutnya berkat kegiatan kritik hadis tersebut bermunculan-lah di berbagai negeri ini para peneliti hadis sepanjang  masa. Mereka  senantiasa mengorbankan waktu hanya untuk membersihkan hadis-hadis dari kepalsuan, kelemahan dan cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas penelitian hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis yang ditandai dengan lahirnya karya-karya besar ulama mengenai hadits ditinjau dari segala aspeknya. Sehingga sampai saat ini karya-karya fenomenal itulah yang menjadi referensi utama dalam menilai sebuah hadits.[17]
Selanjutnya dilihat dari sisi sejarah pembukuan sistem penelitian hadis, pada awalnya metode penelitian hadis tersebut hanya  ditulis di pinggiran  buku-buku  hadits seperti terdapat pada kitab Musnad, Jawami’, Sunan dan lainnya. Ulama yang  mencoba  memberikan komentar atau kritik terhadap beberapa hadits, hanya meletakkan komentarnya di bagian akhir atau catatan kaki dalam berbagai buku induk hadis. [18]
Kemudian cara  yang pertama ini  dirasakan kurang efektif dan tidak cukup luas untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga  para  ulama hadits kemudian berinisiatif menuliskan komentar-komentar mereka  dalam satu kitab tersendiri, yang memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi agar penilaan atas hadits benar-benar objektif. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad dalam karyanya: Kitabul ‘Ilal fi Ma’rifatil  Rijal, atau Musnad al-Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah.[19]
Pada tahap selanjutnya, penulisan kitab rujukan kritik hadits menjadi lebih sistematis lagi setelah dilakukannya pengkajian yang terpisah antara penelitian sanad dengan penelitian matan hadis.  Hal  ini  digagas oleh pakar peneliti hadits seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dil dan’Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya.[20]
c.      Urgensi kritik hadis
Kritik hadits penting dilakukan berdasarkan pertimbangan teologis, historis-dokumenter, praktis, dan pertimbangan teknis. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, hadits menempati posisi sentral dan sekitarnya hadits Nabi hanya sebagai sejarah tentang kehidupan Nabi, niscaya perhatian para ahli terhadap periwayatan hadits berdasarkan dengan yang telah berlangsung dewasa ini.
Meskipun fakta historis menunjukan munculnya gerakan inkar al-sunnah yang pada zaman al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) sudah ada dan ia dengan gigih berusaha mematahkan argumentasi mereka sehingga mendapatkan julukan sebagai pembela hadits dan pembela sunnah. Di samping itu juga, Nabi melarang kepada sahabatnya untuk menulis hadits dikarenakan khawatir akan tercampur dengan ayat al-Qur’an dan pada kesempatan lain ia membolehkannya. Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak pernah melarangpun tidak mungkin hadits dapat ditulis. Karena menurut            M. Syuhudi Ismail Nabi melarang mencatat hadist pada waktu itu karena:
1.     Hadits disampaikan tidak selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis hadits
2.     Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada al-Qur’an
3.     Meskipun Nabi mempunyai beberapas sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi
4.     Sangat sulit seluruh pertanyaan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang sangat sederhana.[21]
Secara praktis, argumen yang mendasari pentingnya penelitian hadis ini dapat ditinjau dari dua sisi utama, yaitu: pertama, terkait dengan posisi hadis sebagai sumber hukum Islam setelah al-Quran. Kedua, terkait dengan historisitas hadis yang mengalami banyak ancaman.[22] Dari dua sisi tersebut kemudian para muhadditsin mengemukakan beberapa alasan yang mendasari pentingnya melakukan kritik hadis.
Pada tabel di bawah ini, penulis akan memetakan beberapa urgensi kritik hadis ditinjau dari sisi perjalanan sejarah kritik hadis, yaitu sebagai berikut:
No.
Periode
Urgensi Kritik Hadis
1.
Masa Hidup Nabi Saw.
1.        Memberikan perhatian khusus kepada sumber agama Islam.
2.        Mengokohkan hati sahabat dalam mengamalkan ajaran Islam.
2.
Masa Sahabat-Abad                 1 Hijriyah
3.        Tidak seluruh hadis tertulis pada masa Nabi Saw.
4.        Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam mengharuskan sahabat untuk bersikap hati-hati dalam menerimanya.
5.        Terjadi proses transformasi hadis secara makna.
6.        Terjadi pemalsuan hadis.[23]
3.
Abad 2-14 Hijriyah
7.        Penghimpunan hadis secara resmi terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis.
8.        Terkadang kitab-kitab hadis hanya menghimpunn hadis, maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
9.        Muncul redaksi hadis yang bertentangan. [24]
4.
Abad 15-Sekarang
10.     Memelihara khazanah keilmuan Islam.
11.     Meminimalisir perbedaan pendapat dalam kawasan produk hukum syari’at.
12.     Mendeteksi hadis dha’if dalam kitab-kitab Islam yang terkadang dijadikannya sebagai dalil tuntunan amal ibadah.
13.     Mengembangkan metodologi penelitian hadis ke arah yang lebih baik agar umat muslim dapat menghadapi tuduhan orientalis terhadap otentisitas hadis secara adil.
14.     Membangun sikap kehati-hatian dalam memakai hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai landasan ibadah sehari-hari atau bahkan sebagai landasan dalam menetapkan suatu hukum.


d.     Cakupan
Adapun kawasan kritik hadis adalah meliputi penelitian sanad dan matan hadis, sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih atau tidaknya sebuah hadis.
Sanad menurut bahasa berarti sandaran atau pegangan (al-mu’tamad). Sementara pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis adalah jajaran orang-orang orang-orang yang membawa hadis dari Rasul, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ At-Tabi’in, dan seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadis tersebut.[25]
Sebagian orang terkadang keliru dalam menyebutkan urutaan sanad dan rawi-nya (periwayat). Oleh karena itu, penulis merasa penting menjelaskan perbedaan urutan sanad dan rawi pada tabel berikut:
No. Urut
Sanad
Rawi (Periwayat)
1.
البخاري
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
2.
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ
أَبِي صَالِحٍ
3.
أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
4.
سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ
سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ
5.
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ
6.
أَبِي صَالِحٍ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ
7.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
البخاري

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkatan periwayat hadis dengan tingkatan sanad hadis adalah bertolak belakang. Karena orang yang menjadi sanad pertama dalam hadis tersebut adalah disebut sebagai periwayat terakhir. Misalnya pada riwayat hadis di atas sebagaimana telah diuraikan pada tabel bahwa Al-Bukhari adalah sanad pertama atau periwayat terakhir.
Di samping kata sanad, ada kata lain yang maknanya berdekatan dengan sanad, yaitu kata isnad dan musnad. Menurut Al-Thibi sebagaimana dikutip oleh Usman Sya’roni, kata isnad mempunyai arti yang sama dengan sanad. Tetapi Usman Sya’roni kemudian menunjukkan perbedaan di antara keduanya, yaitu isnad lebih menunjukkan kepada proses periwayatan hadis, sedangkan sanad ialah susunan orang-orang yang berurutan meriwayatkan sebuah materi hadis.[26]
Sementara arti musnad ada empat, yaitu: Pertama, hadis yang disandarkan kepada orang yang meriwayatkannya. Kedua, nama kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat, seperti kitab musnad Ahmad bin Hambal. Ketiga, kumpulan hadis yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanad-sanadnya secara lengkap, seperti kitab musnad al-Syihab dan musnad al-firdaus. Keempat, nama bagi hadis marfu’ (disandarkan kepada nabi) yang sanad-nya muttasil (bersambung).[27]
Selanjutnya, pengertian matan (al-matn) dari sisi bahasa adalah tanah yang meninggi, ada pula yang mengartikan matan dengan kekerasan, kekuatan dan kesangatan.[28] Dengan demikian, pengertian matan dari sisi bahasa adalah menunjukkan nama bagi segala sesuatu yang sifatnya keras, kuat, dan menjadi bagian inti.
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan matan al-hadits adalah materi/berita/pembicaraan yang diperoleh sanad terakhir, baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi Saw, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Saw.
Contoh hadis:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ, قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (رواه البخاري:14).
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah dari Abdul ‘Aziz bin Shuhaib dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Dan telah menceritakan pula kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qotadah dari Anas berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya” (HR. Bukhari: 14).

Pada hadis di atas, sanad pertamanya adalah Ya’qub bin Ibrahim dan sanad terakhirnya adalah Anas. Maka adapun materi berita yang disampaikan Anas adalah disebut sebagai matan hadis, yaitu kalimat:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Selanjutnya, adapun unsur-unsur yang menjadi perhatian kritikus hadis dalam sanad dan matan hadis dapat diketahui melalui beberapa aspek yang menjadi syarat kesahihan hadis menurut mereka, karena tujuan utama kritik hadis adalah untuk membedakan antara hadis yang sahih dengan yang tidak sahih.
Abu ‘Amr Usman bin Abdirrahman bin as-Salah asy-Syahrazuri yang biasa disebut Ibnu As-Salah (w. 577 H/1245 M) telah merumuskan syarat kesahihan hadis sebagai berikut :
اماالحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه ولايكون شاذا ولا معللا.
Artinya:
“Hadits Shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad (di dalam hadits itu) dan tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz) dan cacat (‘illat).”[29]
Berdasarkan rumusan tersebut, maka dapat dikeluarkan beberapa indikasi yang menjadi kawasan penelitian hadis, yaitu untuk sanad hadis maka hal-hal yang perlu diteliti adalah: a) kualitas personal sanad hadis yang mencakup kualitas kesalehan sanad (keadilannya) dan kapasitas tingkat intelektualnya (kedhabitannya), b) ketersambungan seluruh sanad hadis, dan c) terhindarnya sanad dan matan hadis dari sifat sudzudz dan illat.
2.     Tokoh-tokoh kritikus hadis
Perjalanan sejarah perkembangan kritik hadis telah diuji oleh berbagai cobaan dari internal dan eksternal umat Islam. Namun berbagai peristiwa yang mencoba menguji otentisitas dan orisinalitas hadis tersebut malah menyadarkan kaum muslimin untuk menetapkan rambu-rambu, standarisasi dan metode penelitian hadis. Dari hasil kajian tersebut maka terlahirlah para kritikus hadis yang populer di masanya, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a.   Kritikus Hadis Pada Masa Sahabat (abad 1 H)
Adapun para kritikus hadis yang dapat disebutkan di masa sahabat di antaranya adalah sebagai berikut:
Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M), Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) Ali bin Abi Thalib (w. 40 H=661 M), Abdullah Ibn Hushain (w. 52 H), ‘Imran ibn Hushain (w. 52 H), Abu Hurairah (59 H), Abdullah ibn Amar ibn al-‘Ash (w. 65 H), Abdullah ibn ‘Umar (w. 83 H), Abu Sa’id al-Khudzri (w. 79 H), dan Anas ibn Malik (w. 92 H).[30]
b.   Kritikus Hadis Pada Masa Tabi’in (Abad 2 H.)
Adapun tokoh penelitian hadis pada masa tabiin (abad II) dan pusat aktivitas mereka adalah sebagai berikut:
a.       Kufah dengan tokohnya Sufyan al-Thauri (97-161 H), Walid ibn al-Jarrah (wafat 196 H).
b.       Madinah dengan tokohnya Malik ibn Anas (93-179 H).
c.       Beirut dengan tokohnya al-Awza’i (88-158 H).
d.       Wasith dengan tokohnya Syu’bah (83-100 H).
e.       Basrah dengan tokohnya Hammad ibn Salamah (wafat 167 H), Hammad ibn Zaid (wafat 179 H), Yahya ibn ibn Sa’id al-Qaththan (wafat 198 H) dan Abd al-Rahman ibn Mahdi (wafat 198 H).
f.        Mesir dengan tokohnya al-Laits ibn Sa’d (wafat 175 H) dan al-Syafi’i (wafat 204 H).
g.       Makkah dengan tokohnya Ibn ‘Uyainah (107-198 H).
h.       Merv dengan tokohnya Abdullah ibn al-Mubarak (118-181 H).[31]
c.    Kritikus Hadis Pada Abad Ke 3 H.
Tokoh-tokoh kritikus hadis yang telah disebutkan pada abad ke II kemudian melahirkan tokoh-tokoh peneliti penerus mereka di abad ke III H., di antaranya adalah:
a.   Baghdad dengan tokohnya Yahya ibn Ma’in (wafat 233 H), Ibn Hambal (wafat 241 H) dan Zuhair ibn Harb (wafat 234 H)
b.   Basrah dengan tokkohnya Ali ibn al-Madini (wafat 234 H) dan Ubaid Allah ibn Umar (Wafat 235 H).
c.   Wasith dengan tokohnya Abu Bakr ibn Abi Syaibah (wafat 235 H).
d.   Merv dengan tokohnya Ishaq ibn Rahawaih (wafat 238 H).[32]
Dari tokoh-tokoh kritik hadis abad ketiga ini kemudian melahirkan ilmuwan-ilmuwan hadis sekaliber seperti:
1.   Malik bin Anas (97-179 H), nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir al-Asbahiy al-Himyari al-Madaniy.
2.   Asy-Syafi’i (150-204 H), nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Syafi’i bin as-Saibbin’Ubaid bin ‘Abdu Yaziz bin Hasyim bin ‘Abdul Mutholib bin ‘Abdul Manaf al-Muttolib al-Qurisyiy.
3.   Ahmad bin Hanbal (164-241H) nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin As’ad Asy-Syaibani al-Marwaziy dari Maru.
4.   Ad-Darimi (181-255 H) nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman bin Fadl bin Bahrum at-Tamimiy ad-Darimi.
5.   Al-Bukhori (194-256H), nama lengkapnya, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mugiroh al-Ja’fi, kakeknya Majusi.
6.   Muslim (206-261H), nama lengkapnya adalah Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi.
7.   Abu Daud (202-275 H), nama lengkapnya adalah Abu Daud Sulaiman bin Asy’ast bin Syidad bin ‘Amar bin ‘Amir Assijistani
8.   Ibn Majah (209-273 H), nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Robi’i al-Qozwani.
9.   Abu Hatim Ar Rozi (195-227 H), nama lengkap Abu Hatim Ar-Razi adalah Muhammad bin Idris Al-Mundzir bin Dawud bin Mahran Al-Hanzhali Al-Hafizh. 
10.    At-Tirmidzi (209-279 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad bin Sauroh bin Musa bin Dohhar bin Sulami al Bugi at-Tirmidzi
11.    An-Nasai (214-303 H) nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdur Rohman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Bakar bin Sinan an-Nasai.[33]
d.   Kritikus Hadis Pada Abad Ke 4-7 H.
Tokoh-tokoh kritikus hadis yang terdapat pada abad ke 4, 5, 6, 7 adalah sebagai berikut:
a.   At-Tobroni (260-360 H), lahir di Syam, wafat di Hamamah ad-Dausi.
b.   Al- Hakim (321-405 H), lahir di Naisabur pindah ke Iroq
c.   Ibn Khuzaimah (223-313 H), lahir di Khurosan
d.   Ibn Hibban (w. 354), dia orang Samarqand.
e.   Ad-Daruqutni (306-385 H), dia orang Bagdad
f.    At-Tohawi (238-321 H), dia orang Mesir
g.   Al- Baihaqi (w. 458 H), wafat di Naisabur, belajar hadis ke Iroq dan Hijaj.
h.   An-Nawawi (631-676 H), lahir di Nawa, beliau pensyarah hadis seperti kitab riyadus solihin.
i.    Al-Imam Adz-Dzahabi (673-748 H), Nama lengkap Al-Imam Adz-Dzahabi adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-Turkimani al-Fariqi, Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i, Syamsuddin Abu Abdillah Adz-Dzahabi.[34]
e.   Kritikus Hadis Pada Abad Ke 14 H.
a.   Ahmad Amin (1304-1373 H), lahir dan wafat di Kairo, Mesir. Nama lengkapnya adalah Ahmad Amin bin al-Syikh Ibrahim al-Thabbakh. [35] Karya beliau di antaranya adalah Fajr al-Islam; di antara isi karya ini telah ditanggapi oleh Mushthafa al-Siba’i dalam sebagian isi kitab al-Sunnahnya.[36]
b.   Mushthafa al-Siba’i (1333-1385 H), Lahir Homs, Syria. Nama lengkapnya ialah Mushthafa bin Husni Abu Hasan al-Siba’i.[37] Karya beliau di antaranya adalah al-Sunnah wa Makanatuha fa al-Tasyri’ al-Islami, sebagai karya fundamentalnya yang telah cukup dikenal di kalangan Muslim Indonesia. Pada tahun 1993, karya ini telah diterjemahkan oleh Dja’far Abd. Muchith dan diterbitkan CV. Diponegoro di bawah judul al-Hadits sebagai Sumber Hukum; kemudian dalam bentuk terjemah ringkas, karya ini juga telah diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sunnah dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, dan sekaligus diberi pengantar, oleh Nurcholish Madjid.[38]
Adapun mengenai profil, kapasitas intelektual, guru dan  murid, kelompok sosial, dan karya-karya para tokoh kritikus hadis ini dapat ditelusuri pada kitab yang mengkaji kritikus hadis seperti kitab tahzib al-kamal.
3.     Indikasi mayor dan minor sanad hadis shahih
Ulama hadis telah sepakat bahwa dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadis adalah keadilan dan kedhabitannya. Keadil­an adalah sesuatu yang berhubungan dengan kualitas pribadinya, sedangkan kedhabitannya adalah hal-hal yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua hal itu (adil dan dhabit) dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat hadis tersebut dinyatakan periwayat yang tsiqah.
a.   Meneliti Keadilan Perawi
Kata adil dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “tidak berat sebelah (tidak memihak) atau “sepatutnya; tidak sewenang-wenang”.[39] Sementara pengertian adil yang dimaksud dalam ilmu hadits masih terjadi perbedaan pendapat diantara ulama hadis. Sebagaimana Syuhudi Ismail menyebutkan dalam kutipan Umi Sumbulah bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai defenisi adil. Namun dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan bahwa kriteria sifat adil pada umumnya adalah 4 hal berikut: [40] 
1)   Beragama Islam
Dengan demikian seorang periwayat hadis ketika mengajarkan/ menyampaikan hadis tersebut sudah dalam keadaan Islam. Berbeda dengan kondisi orang yang menerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam.
2)   Mukallaf
Seorang perawi hadis juga harus mukallaf, karena persyaratan ini sudah jelas tertera didalam hadis Nabi bahwa orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas dari tanggung jawab.[41] Tetapi dalam kondisi menerima hadis, para ulama jumhur menyetujui hadis seseorang yang ketika menerimanya (tahammul) ia masih anak-anak yang telah mumayyiz (umur ±5 tahun), dengan syarat bahwa ketika ia meriwayatkan hadis tersebut ia telah dewasa.


3)   Melaksanakan ketentuan agama (tidak berbuat fasik)
Dengan demikian seorang periwayat harus orang yang taat melaksanakan ketentuan syari’at Islam.
4)   memelihara moralitas (muru’ah)
Muru’ah merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Muru’ah adalah: tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa kecil, terlebih-lebih berdusta, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah.[42]
Dengan demikian, maka para ahli hadis sepakat bahwa kriteria muslim dan dewasa adalah khusus bagi orang yang menyampaikan riwayat hadis, dan tidak mensyaratkan keduanya saat ketika seseorang menerima hadis.
Contoh hadis yang diterima dari Jubair, padahal Jubair masih non muslim saat menerima hadis tersebut:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ وَذَلِكَ أَوَّلَ مَا وَقَرَ الْإِيمَانُ فِي قَلْبِي (رواه البخاري: 3719).
Argumentasi pendapat ini adalah berangkat dari sikap kehati-hatian ulama hadis akan terjadinya kehilangan hadis nabi, sebab sudah menjadi sebuah fenomena bahwa nabi Saw. sendiri telah bergaul dengan anak-anak dan orang kafir. Oleh karena demikian maka mungkin saja hadis yang mereka dapatkan ketika mesih anak-anak atau kafir tidak terdapat dalam riwayat para sahabat yang sudah dewasa atau yang sudah muslim.[43] Dengan demikian maka para ulama sedikit memberikan kelonggaran bagi syarat penerimaan hadis (tahammul) dan tetapi mereka memperketat syarat periwayatannya (ada’).
Secara umum ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadits yaitu berdasarkan:
1)   Popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadits; periwayat yang terkenal keutamaan (kesalehan) pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri, tidak lagi diragukan keadilannya.
2)   Penilaian dari para kritikus (peneliti) periwayat hadits; penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadits.
3)   Penerapan kaidah al-Jarh wa at-Ta’dil ; cara ini ditempuh bila para peneliti (kritikus) periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[44]
Khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sunni mengatakan bahwa seluruh sahabat rasulullah adalah adil, jadi tidak perlu diteliti lebih lanjut lagi. Sedangkan golongan Mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya ditolak.[45]
Jadi, untuk mengetahui adil atau tidaknya seorang periwayat hadis haruslah diteliti terlebih dahulu kualitas pribadinya dengan kesaksian para ulama, dalam hal ini adalah dapat dilakukan dengan merujuk kepada kitab-kitab karya para tokoh peneliti hadis (disebut juga krtikus hadis) yang secara khusus mengkaji perihal periwayat hadis. Misalnya kitab tahzib al-kamal.
b.   Meneliti Kapasitas Intelektual Periwayat (Dhabith)
Pengertian dhabit dari sisi bahasa berarti kokoh, kuat, dan hafal dengan sempurna.[46] Sementara dari sisi istilah pengertian dhabit masih dalam perselisihan ulama. Namun perbedaan pendapat itu dapat dipertemukan dengan memberikan rumusan berikut:
1)   Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya.
2)   Mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada orang lain.
3)   Mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya. [47]
Dalam rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur pokok dhabit adalah terletak pada keistiqomahan dan konsitensi seorang perawi menjaga kemurnian hadis mulai dari proses penerimaan hadis hingga sampai penyebarannya, dan juga mampu memahami hadis tersebut dengan baik, karena hadis tersebut tidak semuanya diriwayatkan secara lafdzi (redaksional), tetapi ada juga dengan makna. Sehingga dengan demikian maka tidak terdapat kesalahan dan penambahan atau pengurangan pada hadis yang diriwayatkannya.[48]
Adapun cara penetapan kedhabitan seorang periwayat menurut pendapat Subhi al-Shalih adalah sebagai berikut :
1)   Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan persaksian para ulama. Dalam hal ini, peneliti harus menelusurinya pada kitab-kitab yang menjelaskan kedhabithan periwayat. Seperti kitab tahzibut –tahzib.
2)   Kedhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitannya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari hadis lain (dengan riwayat yang tsiqah) yang berkaitan dengan hadis yang bersangkutan. Dan kemudian membandingkan kesesuaian teks hadisnya.
3)   Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi sebagai periwayat yang dhabit.[49]
Karena kapasitas intelektual perawi berbeda-beda sifatnya maka kualitas sifat dhabit seorang perawi pun diklasifikasi kepada dua bagian, yaitu: [50]
a)   Dhabit sadri, yakni terpeliharanya hadis yang diterimanya  dalam hafalan, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja diperlukan dan dikehendaki, dan mampu meriwayatkannya dengan sempurna.
b)   Dhabit kitab yaitu terpeliharanya periwayatan melalui tulisan yang dimilikinya dengan mengingat betul hadis yang ditulis, menjaga dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.
2.   Meneliti Persambungan Sanad (ke-muttasil-an)
Adapun yang dimaksud dengan sanad yang bersambung adalah  bahwa tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits berjalinan erat dalam menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadits itu.[51]
Tidak semua peneliti hadis melakukan penelitian terhadap perihal persambungan sanad. Sebab sebahagian mereka berpikiran bahwa keadilan dan kedhabitan sanad hadis cukup untuk menunjukkan bersambungnya sanad hadis. Dengan demikian mereka hanya memperketat penelitian  perihal keadilan dan kedhabitan sanad hadis saja. Di antara tokoh yang berpendapat demikian adalah Sekh Muhammad Al-Ghazali.[52]
Adapun kriteria persambungan sanad di kalangan ahli hadits terjadi perbedaan pendapat yaitu sebagai berikut:
a.   Imam al-Bukhari mengklaim bersambungnya sanad apabila memenuhi dua kriteria, yaitu:
1)   Al-Liqa’, yakni adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai adanya suatu pertemuan langsung antara murid yang memperoleh hadis dari gurunya.
2)   Al-Mu’asharah, yakni apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya.[53]
b.   Sementara Imam Muslim memberikan kriteria yang sedikit lebih longgar, menurutnya sebuah hadis telah dikatakan bersambung sanadnya apabila antara satu perawi dengan perawi berikutnya sampai seterusnya ada kemungkinan bertemu karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama, dan tempat tinggal mereka tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat itu.[54] Dengan demikian Imam muslim tidak mensyaratkan liqa’ sebagai salah satu syarat dari bersambungnya sanad.
Jika dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan Muslim sebagaimana di atas, dapat dikatakan bahwa kriteria al-Bukhari  yang layak menduduki peringkat pertama. Oleh karena demikian, maka dengan mengacu  kepada kriteria kebersambungan sanad  inilah salah satu yang membuat posisi al-Bukhori menduduki peringkat pertama di bandingkan dengan kitab hadist karya Muslim maupun kitab-kitab hadist lainnya, bahkan jumhur ulama juga sepakat menjadikan sahih al-Bukhari  sebagai hadis paling utama.[55]
Di samping al-liqa’ dan al-mu‘asharah sebagai kajian penelitian hadis yang berkenaan dengan bersambungnya sanad, lambang-lambang atau kata-kata yang dipilih sebagai metode periwayatan juga menjadi objek perhatian para peneliti hadis.
Dalam kitab ilmu hadits ada 8 macam cara-cara periwayatan yaitu: as-sima’, al-qira’ah, al-Ijazah, al-munawalah, al-mukatabah, al I’lam, al-wasiyyah dan al-wijadah. Kedelapan metode periwayatan tersebut memiliki lambang-lambang yang menunjukkan perbedaan dalam tingkat akurasi persambungan sanad hadis tersebut.[56]
Tingkat akurasi tertinggi dalam metode periwayatan hadis menurut jumhur ulama adalah metode al-sima’ dan al-qira’ah. Lambang-lambang yang di disepakati penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan metode al-sima adalah:
1)  اخبرني dan اخبرنا. Artinya seseorang telah memberitakan kepadaku/ kami.
2)  حدثني dan حدثنا. Artinya seseorang telah bercerita kepadaku/kami.
3)  سمعت dan سمعنا . Artinya saya mendengar dan kami mendengar.
Sedangkan lambang-lambang yang tidak disepakati dalam periwayatan hadis dengan menggunakan metode al-sima’ adalah: qala lana  (قال لنا) dan dzakara lana (ذكر لنا).[57]
Selanjutnya lambang-lambang yang disepakati penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan metode al-qiraah adalah:
1)  قرأت عليه (qaratu ‘alaihi)
2)  قرأت عليه (quriat ‘alahi)
3)  حدثنا عليه (haddatsana ‘alaihi)
4)  اخبرنا عليه (akhbarana ‘alaihi)
5)  قرأت عليه (qaratu ‘alaihi)
Sedangkan lambang-lambang yang tidak disepakati penggunaannya dalam metode al-qiraah adalah: sami’tu, haddatsana, akhbarana, qala lana dan dzakara lana.[58]
Adapun langkah-langkah operasional untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.   Mencatat nama semua periwayat dalam sanad yang diteliti.
b.   Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat untuk mengetahui kesesuaian zaman atau hubungan guru-murid dalam periwayatan hadits tersebut.
c.   Meneliti kata-kata atau lambang-lambang yang menghubungkan antara suatu periwayat dengan periwayat yang terdekatnya dalam sanad sehingga diketahui cara periwayatannya apakah metode al-sima’ atau al-qira’ah atau yang lainnya. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat lambang-lambangnya apakah ia memakai kataسمعت, سمعنا, حدثني حدثنا  atau yang lainnya.[59]
3.   Meneliti Keselamatan Sanad dari Syadz
Mahmud Thahan dalam kitab ‘Taisir Mushthalah al-Hadits” memberikan defenisi Syudzuz sebagai berikut:
الشذوذ هو مخالفة الثقة لمن هو أوثق منه
Artinya:
Syudzudz ialah berbeda dengan hadits yang tsiqāt atau berbeda dengan yang lebih tsiqāt daripadanya.”[60]

Pengertian Sadz telah dalam suatu hadis telah mengalami perbedaan pendapat dikalangan ulama. Namun dalam konteks ini, Imam Syafi’i (w. 204 H. / 820 M.) telah merumuskan syadz sebagai hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang tsiqah juga. Pendapat ini yang banyak diikuti oleh ulama hadits sampai saat ini.
Metode penelitian untuk mengetahui keadaan sanad yang terhindar dari syadz suatu hadis dapat diterapkan dengan cara berikut:
1)  Semua sanad yang memiliki matan hadis yang pokok masalahnya sama dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dibandingkan.
2)  Para perawi dalam setiap sanad diteliti kualitasnya.
3)  Apabila dari seluruh dari perawi tsiqah ternyata ada seorang perawi yang sanadnya menyalahi sanad-sanad yang lain, maka itulah dimaksudkan sebagai hadis syadz.[61]
4.   Meneliti Keselamatan Sanad Hadis Dari ‘Illat
Mahmud Thahan mendefenisikan ‘illat menurut istilah adalah sebagai berikut :
العلة سبب غامض خفي يقدح فى صحة الحديث مع أن الظاهر السلامة منها.
Artinya:
“’Illat ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.”[62]
Menurut Yusuf dalam kutipan Umi Sumbulah, kriteria illat dalam sebuah sanad hadis dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.   Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mauquf.
2.   Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mursal.
3.   Terjadi percampuran hadis dengan bagian hadis yang lain.
4.   Terjadi kesalahan menyebutkan perawi, karena adanya rawi-rawi yang punya kemiripan nama, sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya tsiqah.[63]

Adapun cara meneliti ‘illat suatu sanad hadits adalah dengan cara membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna.
4.     Indikasi mayor dan minor matan hadis shahih
Setelah selesai melakukan penelitian terhadap sanad hadis, maka aktivitas selanjutnya adalah kritik/penelitian matan hadis. Adapun unsur-unsur yang perlu diteliti pada matan hadis mengacu kepada kaedah kesahihan matan hadis sebagai tolok ukurnya adalah terhindar dari syadz dan ‘illah.[64] Adapun kriteria syadz menurut Umi Sumbulah adalah; terdapat sisipan ucapan perawi pada matan hadis, pembalikan teks hadis, dan kesalahan ejaan.[65]
Menurut jumhur ulama hadits, karakteristik matan hadits yang memiliki syadz dan ‘illah adalah:
1)   Susunan bahasanya rancu. Rasulullah SAW yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu tersebut.
2)  Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterprestasikan secara rasional.
3)   Kandungan pernyataannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, misalnya berisi ajakan untuk berbuat maksiat.
4)  Kandungan pernyataanya bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam).
5)   Kandungan pernyataanya bertentangan dengan fakta sejarah yang mutawatir.
6)   Kandungan pernyataanya bertentangan dengan petunjuk Al-Quran ataupun hadits mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti. Contohnya:
أنا خاتم النبين لا نبي بعدي إلا أن يشاء الله
7)   Kandungan pernyataanya berada di luar jalur kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam; misalnya amalan yang tidak seberapa tetapi diiming-iming  dengan balasan pahala yang sangat luar biasa.[66]
Dengan mengetahui karakteristik syadz dan ‘illah pada matan hadis maka dapat disimpulkan bahwa matan hadis yang sahih adalah matan hadis yang terhindar dari tujuh point di atas.
C.  Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik hadis adalah suatu upaya untuk menyeleksi kehadiran hadis, memberikan penilaian dan membuktikan kemurnian dan keaslian sebuah hadis. Upaya ini juga berarti mendudukkan hadis sebagai hal yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami hadis dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis tersebut.
Munculnya kegiatan penelitian/koreksi terhadap hadis sejak masa Rasulullah Saw. masih hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi terjaganya kemurnian dan keaslian hadis sampai masa sekarang ini. Namun untuk mengantisipasi kepalsuan hadis atau ketidak murniannya akibat diriwayatkan oleh orang yang rendah kapasitas intelektualnya, kurang kesalehannya (fasik),  dan dipalsukan non Islam maka menjadi suatu keharusan bagi kita untuk bersikap hati-hati dalam menerima hadis dengan melakukan kritik atau penelitian terhadap kualitas sanad dan matan hadis tersebut berdasarkan metode penelitian hadis yang tepat dan akurat.
Saran penutup dari penulis adalah seharusnya setiap muslim (khususnya pendidik atau kaum intelektual) mengkritisi atau meneliti hadis-hadis yang akan digunakannya sebagai hujjah. Sebab apabila kualitas hadis yang digunakannya adalah lemah atau bahkan palsu maka hal tersebut akan berimplikasi terhadap kebenaran hukum Islam yang dilahirkannya.
           


DAFTAR RUJUKAN
al-Adlabi, Salahuddin bin Ahmad. 1983.Manhaj Naqil Matn. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.
al-‘Azhimi, Muhammad Musthafa. 1990. Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu. Riyad: Maktabat al-Kausar.
al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 1963. Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Shalih, Subhi. 1977. Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin.
Bustamin, dkk. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Farid, Ahmad. 2006. 60 Biografi  Ulama Salaf, Penerjemah: Masturi Irham & Asmu’i Taman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Isma’il, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
Isma’il, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Jumantoro, Totok. 2002. Kamus Ilmu Hadist. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Poerwadarminta, W.J.S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Smeer, Zeid B. 2008. Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN Malang Press.
Soebahar, Erfan. 2003. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah. Jakarta: Prenada Media.
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik Hadis: Pendekatan Historis dan Metodologis. Malang: UIN Malang Press.
Sumbulah, Umi. 2008. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Malang Press.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sya’rani, Usman. 2002. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Wahid, Ramli Abdul. 2005. Studi Ilmu Hadits. Bandung: Cita Pustaka Media.




[1] Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis dan Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 32
[2] Ibid., hlm. 34
[3] Ibid., hlm. 94
[4] Ibid., hlm. 96
[5] Ibid., hlm. 97
[6] Ibid., hlm. 33
[7] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 183
[8] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 2
[9] Jalal al-Din Al-Syuyuti, Tadrib al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, (ttp.: Dar al-Kutub  al-Haditsah, t.t.), juz II, hlm. 45
[10] Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian hadis, (Yogyakarta: T-H Press, 2009), hlm. 144-145
[11] Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu, (Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990), hlm. 8
[12] Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, Op. Cit., hlm. 34
[13] Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. viii
[14] Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, Op.Cit., hlm. 40-41
[15] Ibid., hlm. 43
               [16] Ibid., hlm. 41
[17] Muhammad  Ali Qasim  al-Umri, Dirasat fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal Muhadditsin, (Yordan: Dar An-Nafais, 2000), hlm. 11
[18] Ibid., hlm. 17
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 101-102
[22] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm. 183
[23] Ibid.
[24] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1963), hlm. 43.
[25] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2005), hlm. 23-27
               [26] Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Op. Cit., hlm. 10
               [27]  Ibid.,  hlm. 12
[28] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), hlm. 121
[29] Usman Sya’rani, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Op. Cit.,  hlm. 19
[30] Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis dan Metodologis, Op. Cit., hlm. 40
[31] Muhammad Musthafa Al-‘Azhimi, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu, Op. Cit., hlm. 9
[32] Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, Op. Cit., hlm. 42
               [33] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 86-125
               [34] Ahmad Farid, 60 Biografi  Ulama Salaf, Penerjemah: Masturi Irham & Asmu’i Taman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006),  hlm. 812.
[35] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 80
[36] Ibid., hlm. 86
[37] Ibid., hlm. 16
[38] Ibid., hlm. 21
[39] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 16.
[40] Umi Sumbulah, Kajian Kritik  Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, Op. Cit. hlm. 63
[41] Ibid.
[42] Bustamin, dkk,  Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 43.
[43] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm. 116.
[44] Syuhudi Isma’il, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah¸(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), hlm. 134
[45] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 131-132
[46] Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),     hlm. 69
[47] Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, Op. Cit.,                   hlm. 104
[48] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm. 117
[49] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1963), hlm. 232.
[50] Usman sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Op. Cit., hlm. 36
[51] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin, 1977), hlm. 145
[52] Bustamin, dkk,  Metodologi Kritik Hadis, Op. Cit., hlm. 102
[53] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, hlm. Op. Cit., 113-114
[54] Ibid., hlm. 114
[55] Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, Op. Cit., hlm. 46
[56] Ibid., hlm. 67-76
[57] Ibid.,hlm. 68
[58] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm. 70
[59] Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Op. Cit., hlm. 128
[60] Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), hlm. 30
[61] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op.Cit., hlm. 185-186
[62] Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul hadits, Op. Cit., hlm. 30
[63] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op. Cit.,  hlm. 186
[64] Umi Sumbulah, Kritik Hadis, Pendekatan Historis Metodologis, Op. Cit., hlm. 103
               [65] Ibid., hlm. 104-107
[66] Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqil Matn, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hlm. 237 – 238

No comments:

Post a Comment