MAKALAH
HADIST
MUTAWATIR DAN HADIST AHAD
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis
Pembimbing:
Dr. HM.
Mujab, MA
Oleh:
Wahyudi (13770065)
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
PEMBAHASAN
A. Hadist Mutawatir
1. Pengertian
a. Menurut bahasa,
kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar
”al-tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut
atau beriring-iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang
berarti hujan turun berturut-turut.
b. Menurut istilah,
hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua
thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak mungkin mereka
bersepakat untuk berdusta.[1]
Sedangkan pendapat para
ulama definisi hadits Mutawatir adalah suatu hadits hasil tangkapan dari panca
indara yang diriwayatkan oleh sejumlah beasar perawi dan diterima dari banyak
orang pula, yang menrut adat mustahil mereka nereka bersepakat untuk berdusta,
sejak awal sanad sampai akhirnya.[2]
Dalam ilmu
Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang
berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu
untuk berdusta mengadakan hadist itu.
Pengertian di
atas, kalau kita pecah-pecah akan terdapat tiga syarat bagi Mutawatir yaitu:
a. Mesti banyak
sanadnya.
b. Mesti sama
banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad, umpamanya:
dipermulaan sanad yang mencatat 50 orang, maka dipertengahan sanadnya, sedikitnya
mesti 50 rawi dan diakhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW pun
sedikitnya mesti 50 orang.
c. Mesti menurut
pertimbangan akal bahwa tidak bias jadi rawi-rawi itu berkumpul bersama-sama,
lalu mereka berdusta mengatakan itu sabda Nabi kita, maupun berkumpulnya itu
dengan disengaja atau kebetulan.[3]
2. Syarat-syarat
Hadist Mutawatir
Dengan definisi
di atas, dipahami bahwa suatu hadist bias dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi 4 syarat, yakni:
a. Jumlah perawinya
harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah minimalnya
dan menurut pendapat yang terpilih minimal sepuluh perawi.
b. Perawi yang
banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad.
c. Secara rasional
dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil sepakat untuk
berdusta.
d. Sandaran
beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan
dalam meriwayatkan sebuah hadist, seperti kata: سمعنا (kami telah mendengar), رأينا (kami telah melihat), لمسنا (kami telah menyentuh) dan lain
sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti:
pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka hadist
tersebut tidak dinamakan mutawatir.
3. Nilai Hadist
Mutawatir
Hadist mutawatir
itu mengandung nilai “dlaruriy”. Yakni suatu keharusan bagi manusia
untuk mengakui kapasitas kebenaran suatu hadist, seperti halnya seseorang yang
telah menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri. Bagaimana mungkin
dia ragu-ragu atas kebenaran sesuatu yang disaksikan itu? Demikian juga dengan
nilai hadis mutawatir, semua hadist mutawatir bernilai maqbul (dapat
diterima sebagai dasar hukum) dan tidak perlu lagi diselidiki keadaan perawinya.[4]
4. Macam-macam
Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir
terdiri dari 2 macam, yakni :[5]
a. Mutawatir Lafdzi
Lafdzi artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi
itu ialah Mutawatir yang lafadz hadistnya sama atau hampir bersamaan atau
hadist mutawatir yang berkaitan dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan
Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak.
Contoh :
من كذب علي متعمدافليتبوأمقعده من النار
Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku
dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka
Keterangan :
1) Hadist ini
diriwayatkan orang dari jalan seratus sahabat Nabi SAW.
2) Lafadz yang
orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut tersebut,
diantaranya ada yang berbunyi begini :
من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه)
Artinya : Barang siapa mengada-adakan omongan atas
(nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil
tempat duduknya dari neraka (Ibnu Majah)
Dan ada lagi begini :
ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم)
Artinya : Dan barang siapa berkata atas
(nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil
tempat duduknya dari neraka (Hakim)
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya
boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
3) Dari ketiga
contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak mesti
lafadznya semua sama betul-betul.
4) Hadist tersebut
diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya: Bukhari,
Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah,
Thabarani dan Hakim.
Gambaran sanadnya dari 10 imam yang tersebut, kalau
kita susun akan terdapat begini :
AL-BUKHARI
(1)
Musa
Abu ‘Awanah
Abu Hushain
Abu Shalih
Abu Hurairah
|
MUSLIM
(2)
‘Ali ibn Al-Hidjr
‘Ali ibn Musir
Muhammad ibn Qais
‘Ali ibn Rabi’ah Al-Mughirah
|
AD-DARIMY
(3)
Muhammad ibn Isa
Haitsam
Abu Zubair
Zabir
|
ABU DAWUD
(4)
‘Amr ibn ‘Aun
Musaddad
Wabrah
‘Amir
‘Abdullah ibn Az-Zubair
Az-Zubair
|
IBNU MAJAH
(5)
Muhammad ibn Ramh
Al-Laits
Ibnu Shihab
Anas
|
SABDA NABI : “Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja,
maka hendaklah menyediakan tempat duduknya dari neraka
|
At-Tirmidzi
(6)
Abu Hisyam
Abu Bakar ibn Ajjaz
‘Ashim
Zirr
Ibnu Mas’ud
|
Ath-Thajalisy
(7)
Abdurrahman
Abi Zinad
Amir ibn Sa’ied
Utsman
|
Abu Hanifah
(8)
‘Athijah
Abi Sa’ied Al-Khudri
|
Ath-Thabarani
(9)
Abu Ishaq
Ibrahim
Nubaith ibn Syarieth
|
Al-Hakim
(10)
Abul Fad-l ibn Al-Husain
Muhammad ibn A. Wahhab
Ja’far ibn ‘Aun
Abu Hajjan
Jazid ibn Hajjan
Zaid ibn Arqam
|
5) Cobalah
perhatikan 10 gambaran sanad di atas, diantara rawi-rawinya tidak ada seorang
pun yang sama, semua berlainan.
6) Selain dari
hadits tersebut, ada banyak lagi yang temasuk dalam mutawatir lafdzi,
sebagaimana kata imam Sayuti
Berikut ini disebutkan enam hadist :
نضر الله امرء سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها (رواه
الترميذي)
Artinya : Mudah-mudahan Allah akan berbuat baik kepada
orang yang mendengar sabdaku, lalu ia peliharanya dan menjaganya serta
menyampaikannya (kepada manusia). (HR. Turmudzi)
إ ن القرﺁن انزل علي سبعة احرف (رواه النسائ)
Artinya : Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan
tujuh huruf (HR. Nasai)
من بني لله مسجدا بني الله له بيتا في الجنة (رواه
التبراني)
Artinya : Barang siapa mendirikan sebuah mesjid karena
Allah, maka Allah akan mendirikan baginya sebuah rumah di surga (HR. Thabarani)
كل شراب اسكر فهو حرام (رواه البخاري)
Artinya : Tiap-tiap minuman yang memabukkan , maka dia
itu haram (HR. Bukhari)
إن الاٍسلام غريبا وسيعوده غريبا (رواه الدارمي)
Artinya : Sesungguhnya agama Islam itu timbul dengan
keadaan asing dan akan kembali dengan asing (juga) (HR. Darimi)
كل ميسر لما خلق له (رواه البخاري)
Artinya : Tiap-tiap orang dimudahkan kepada apa yang
sudah ditakdirkan baginya (HR. Bukhari)
7)
Mutawatir Lafdzi ini sebenarnya tidak termasuk dalam
pembelajaran ilmu Hadist, karena rawi-rawi yang menceritakan Hadist itu tidak
perlu diperiksa dan dibahas lagi, sebab tida syarat Mutawatir 37 sudah memadai
untuk menetapkan keyakinan kita akan benarnya dari Nabi SAW.
b.
Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi artinya secara ma’na. mutawatir ma’nawi ialah
mutawatir pada ma’na, yaitu beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu
hal atau satu sifat atau satu perbuatan. Ringkasnya, beberapa cerita yang tidak
sama, tetapi berisi satu ma’na atau tujuan atau hadist mutawatir ialah hadist
yang menyangkut amal perbuatan nabi, artinya
perbuatan nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak
lagi.
Contoh:
“Sembah yang maghrib tiga rakaat.”
Keterangan :
1) Satu riwayat
menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri sendiri) nabi sembahyang tiga rakaat.
2) Satu riwayat
menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang maghrib tiga rakaat.
3) Satu riwayat
membayangkan bahwa di Mekkah nabi
sembahyang maghrib tiga rakaat.
4) Satu riwayat
mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah tiga rakaat.
5) Satu riwayat
mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat., diketahui oleh
nabi.
6) Dan lain-lain
lagi.
Semua cerita tersebut ceritanya berlainan, tetapi maksudnya satu yakni
menunjukkan dan menetapkan bahwa sembahyang maghrib itu tiga rakaat.[6]
Menurut para ulama, sebuah hadist mutawatir
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi di setiap generasi sudah cukup
bukti sebagai riwayat yang terpercaya
atau shahih. Jadi, tawatur bukanlah bagian “ilm al-isnad” yang menguji watak
perawi dan cara periwayatan hadist, dan mendiskusikan keshahihan hadist atau
kelemahannya untuk diterima atau ditolak. Sebuah hadist mutawatir, menurut para
ulama, hanya untuk dipraktikkan, sedang historisasinya tidak perlu
didiskusikan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah perawi
pada setiap tingkatan yang harus dipenuhi oleh sebuah hadist mutawatir.
Beberapa ulama menentukan jumlah sampai tujuh puluh, ada yang empat puluh, ada
yang dua belas, dan bahkan ada ulama yang mengatakan cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana
muslim tentang kehujahan (otoritas argumentasi) hadist mutawatir, karena
dianggap meghasilkan ilmu dan keyakinan dan bukan praduga (zhanni).[7]
B. Hadist Ahad
1. Pengertian
a. Menurut bahasa
kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu (hadist
wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
b. Menurut istilah,
hadist ahad adalah:
هو مالم يجمع شروط المتواتر
Artinya: Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
untuk menjadi hadis mutawwatir.[8]
Yang
dimaksud hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang
jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang
diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi
adalah jenis hadist ahad.[9]
2. Nilai Hadist
Ahad
Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”. Yakni ia
masih merupakan ilmu yang masih memerlukan penyelidikan dan pembuktian lebih lanjut.[10]
Menurut Ibn
Ash-Shalah, riwayat perawi tunggal tsiqah (Hadist gharib dan
hadist fard) diklasifikasi ke dalam tiga kategori:
Pertama, riwayat perawi tsiqah yang bertentangan dengan
riwayat yang lebih tsiqah. Riwayat seperti ini harus ditolak dan dianggap
syadzdz. Kedua, riwayat perawi yang bertentangan dengan riwayat perawi tsiqah lainnya.
Riwayat jenis ini diterima. Ketiga, riwayat yang berada diantara dua
jenis kategori di atas. Contoh, menambah sebuah kata dalam hadist yang tidak
disebutkan oleh semua perawi lain yang turut meriwayatkan hadist tersebut.
Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Anna
rasul Allah faradha zakat al-fithr min ramadhan ala kulli hurrin au ‘abdin
dzakarin au untsa min al-muslimin”. Dilaporkan bahwa Malik adalah
satu-satunya perawi diantara para perawi yang menambah kata “min
al-muslimin”.
Ubaidillah Ibn
Umar, Ayyub dan lain-lain meriwayatkan hadist tersebut dari Nafi’ tanpa tambahan tersebut. Untuk
kategori ketiga ini, Ibn Ash-Shalah tidak memberikan penilaian sama sekali.
Al-Khathib Al-Baghdadi tidak keberatan dengan tambahan tersebut, dengan syarat
dilakukan oleh perawi yang tsiqah. Dalam hal ini, ia bahkan mengklaim
mengikuti pendapat mayoritas fukaha dan ahli hadist. Menurut Ibn Katsir (701-774),
tambahan yang dilakukan oleh perawi tsiqah diterima oleh mayoritas
fukaha dan ditolak oleh mayoritas para ahli hadist. Namun, At-Tarmidzi dalam Al-‘Ilal
menganggap shahih apabila tambahan tersebut dilakukan oleh orang yang kuat
hafalannya (dhabith).
Hadist gharib
atau fard (tunggal) dapat diketahui melalui tiga cara: 1) dari aspek
lokalitas, hadist tersebut diriwayatkan oleh perawi tunggal dari sebuah daerah;
2) perawi tunggal dari seorang imam yang terkenal; 3) perawi dari sebuah daerah
tertentu meriwayatkan hadist dari orang Madinah. Al-Khitab Al-Baghdadi, Ibn
Ash-Shaleh, As-Suyuthi, dan Ibn Katsir mengikuti pendapat Asy-Syafi’I bahwa
keshahihan sebuah riwayat tunggal
tergantung pada ke-tsiqah-an perawinya. Dengan kata lain, untuk
menilai ke-tsiqah-an hadis gharib tergantung pada apakah hadist
tersebut memenuhi syarat-syarat hadist shahih ataukah tidak. Jadi, historitis
riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi. Jumlah perawi dalam
setiap tingkatan adalah penting, tetapi tidak menentukan historisitas dan
kepalsuan riwayat tersebut. Dengan kata lain, status “ketunggalan” perawi tsiqah
dalam setiap tingkatan tidak berarti bahwa riwayatnya tertolak atau palsu.[11]
A. Pengerian
Qath’i dan zhanni
Terdapat dua
bahagian pada dasarnya bila ingin mengemukakan defenisi qath’i dan zhanni;
yaitu qath’i ats-tsubut (dari ketetapannya) dan qath’i ad-dalalah
(dari segi tunjukannya). Begitu pula zhanni ats-tsubuth dan zhanni ad-dalalah
didasarkan kepada tinjauan (sisi pandang) yang berbeda. Ats tsubut
dilihat dari sisi kebenaran tranmisi (periwayatan) sumber redaksi, sedangkan
ad-dalalah dilihat dari sisi kandungan makna ayat. Paling tidak pemapan satu
persatu tentang qath’i dan zhanni akan lebih diperjelas tentang konsep
tersebut.[12]
1. Qath’i ats-tsubuth
Hampir tidak
dijumpai defenisi yang mengemukakan qath’i ats-tsubuth secara rinci.
Namun bisa dipahami bahwa al-Qur’an ditinjau dari sisi transmisi kebenaran
sumber, tidak diragukan lagi kebenarannya dari Allah. Keqath’ian seluruh nas
Al-Qur’an dari segi ats-tsubuth ini dengan jelas dapat diketahui fdari prosesd
turunnya dan penukilannya dari Rasulullah kepada para sahabat secara mutawatir.
Abdullah Wahab Khallaf dalam masalah ini mengatakan “Semua nas Al-Qur’an itu
bersifat qath’i jika dilihat dari segi turunnya, ketetapannya dan penukilannya
(transmisi) dari Rasulullah kepada kita”.
2. Qath’i ad-dalalah
Ulama usul
memberikan defenisi qath’i ad-dalalah dengan defenisi yang berbeda antara satu
dengan yang lain, tetapi mempunyai kesamaan makna, di antaranya yang paling
masyhur adalah defenisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, beliau
mengatakan;” Sesuatu yang menunjukkan kepada makna tertentu yang harus difahami
dari nas itu dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil (interpretasi) serta tidak
ada tempat peluang untuk memahami makna selain makna dari kata tersebut.
Sementara Abdul
Karim Zaidan dalam bukunya Al-Wajid fi Ushul al-Fiqh memberikan defenisi qath’i
ad-dalalah sebagai sebuah lafazh yang hanya mengandung satu pengertian saja.
Dari dua defenisi
di atas dapat dipahami bahwa qath’i ad-dalalah ialah suatu nas yang menunjukkan
kepada suatu makna yang tertentu dan tidak memberikan manka yang lain, selain
makna yang tertentu itui saja. Oleh karena itu tidak ada peluang untuk
menginterpretasikannya kepada pengertian yang lain. Misalnya dalam surah
an-Nisa ayat 12;
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur úüϹqã !$ygÎ/ ÷rr& &úøïy 4 Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6t öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur cqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr& &ûøïy 3 bÎ)ur c%x. ×@ã_u ß^uqã »'s#»n=2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy uöxî 9h!$ÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÎ=ym ÇÊËÈ
Artinya: “ Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris) (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.
Ayat di atas adalah
qath’i berdasarkan ketentuan makna yang ditunjukan oleh ayat tersebut, bahwa
suami memperoleh bagian seperdua bila isteri meninggal dunia. Kata” nishf”
berrarti seperdua, tidak bisa diartikan kepada makna yang lain. Demikian juga
makna kalimat “rubu” ,”mi’ah” yang berarti seperempat dan
seratus.
Keqath’ian
sebuah ayat bisa saja terjadi pada lafazh tunggal, atau bisa terdapat pada
makna yang sama. Namun menurut Quraish Syihab suatu ayat bisa menjadi qath’I
dan zhanni pada saat yang bersamaan.
Muhammad Hasyim
Kalami mengemukakan ayat alqur’an yang sifat spekulatif (zanni), terbuka
bagi penafsiran dan ijtihad. Penafsiran yang terbaik adalah penafsiran yang
dijumpai secara keseluruhan dalam al-qur’an dan mencari penjelasan diperlukan
sumber lain yang melengkapi al-qur’an dan sedangkan menafsirkannya yang
diperlukan dapat ditemukan dalam suatu hadis yang otentik, maka ia menjadi
bagian integral dari al-qur’an dan keduanya secara bersama-sama membawa
kekuatan yang mengikat.
3. Zhanni ats-tsubut
Abdul Wahab Khallaf
mendefenisikan qath’iats-tsubut adalah nas-nas al-Qur’an yang
kseluruhannya qath’i baik dari segi transmisi riwayat maupun dari segi
petetapannya yang dinukilkan dari Rasulullah. Ini berarti al-Qur’an tidak
mengenail istilah zhanni ats-tsubuth, karena al-Qur’an keseluruhannya
bersumber dari Allah yang tidak mengalami perubahan di dalamnya sedikitpun
dengan adanya pengukuhan Allah dalam surat al-hijir ayat 9
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya
: Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan kami yang akan
meme-liharanya.
Quru’ di
dalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci atau haid (menstruasi) . Karena itu ada kemungkinan yang dimaksud di sini 3 kali
suci, tetapi juga mungkin tiga kali haid. Jadi disini berarti ad-dalalahnya
tidak pasti atas satu makna dari dua makna yang dimaksud. Karena itu para
mujtahid berselisih pendapat tentang hal ini. ada yang berpendirian tiga kali
haid, demikian pendapat Abdul Wahaf Khallaf
Munawir Sadzali
dalam beberapa tulisan menyinggung permalahan qath’i yang dimaksud
dimana dia mengemukakan sebagai ilustrasi bahwa qath’i itu bukanlah
dimaksudkan tidak boleh lagi melakukan penafsiran dengan istilah di atas
takwil, karena menurutnya bahwa terdapat sejumlah ayat dalam al-qur’an yang
mempunyai implikasi bahwa islam masih membenarkan perbudakan. Ayat-ayat
tersebut dinilainya (mun) adalah terang merupakan ayat-ayat yang sharih
dan qath’i dan menurut kebanyakan ilmuwan fiqh atau fuqaha ayat-ayat qath’i
tidak boleh dipertanyakan lagi, harus diikuti dan kita tidak dibenarkan
menyimpang darinya. Kalau demikian halnya (mun) ayat-ayat yang bicara mengenai
perbudakan itu semua qath’i, maka pada waktu dunia mengutuk perbudakan sebagai
musuh kemanusiaan seperti sekarang ini , kita tidak ikut bicara. posisi Islam
dan umat Islam mewakili aliran yang terbelakang atau bahkan reaksioner. Paling kurang ayat qur’an terdapat empat ayat yang
memberikan implikasi bahwa islam tidak melarang perbudakan;
1. Surat an nisa’ ayat 3 menyatakan “Kemudian
jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil (antara suami dan isteri kalian
yang banyak itu), maka (cukupkanlah) dengan seorang isteri saja atau dengan
budak-budak sahaya yang kalian miliki.
2. Surat al-mu’minun ayat 6 yang
mengatakan :”mereka yang menjaga kemaluan mereka selain dengan isteri-isteri
mereka atau dengan budak-budak sahaya yang mereka miliki ; maka sesungguhnya
dengan berprilaku demikian mereka tidak akan tercela”
3. Surah al-ahzab ayat 32 berbunyi “Tidak
halal begimu mengawani wanita-wanita tersebut sesudah itu dan tidak boleh
(pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain) meskipun kecantikan
mereka menarik hati kalian kecuali budak-budak sahaya yang kalian miliki”
4. Surah al-Ma’arij ayat 29 dan 30, dalam
memberikan ciri watak dan perilaku yang terpuji, menyatakan : Dan mereka
yang menjaga kemaluan mereka selain dengan sesungguhnya dengan berprilaku
demikian mereka tidak tercela”
A Wahab Khallaf
menyatakan ;”Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i (pasti) dari
segi kehadirannya dan ketetapannya dan periwayatannya dari Rasulullah SAW
kepada kita. Maksudnya kita memastikan bahwa setiap nash al-Qur’an yang kita
baca adalah hakekatnya nash yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Lalu
kemudian rasul yang maksum tersebut menyampaikannya kepada umatnya tanpa ada
perubahan dan tidak pula ada penggantian. Karena Rasul yang maksum apabila
turun wahyu kepada sebuah surat atau beberapa ayat, maka beliaupun
menyampaikannya kepada mereka lalu kemudian kepada para sahabatnya dan
membacakannya kepada mereka, sementara penulis wahyunya menuliskan dan diantara
sahabatnya ada yang menulisnya untuk dirinya sendiri.
Diantara mereka
banyak yang menghafalkannya dan membacanya di dalam shalat mereka. Mukhtar
Yahya dan Fathurrahman mengatakan bahwa nash yang qath’i ad dalalah
ialah nash yang menunjukkan kepada arti yang terang sekali untuk dipahamkan,
hingga nash itu tidak ditakwilkan dan dipahami dengan arti yang lain. Dalalah
tersebut adalah qath’i, yakni jelas sekali hingga tidak boleh
ditakwilkan dan dipahami menurut arti selain yang ditunjuk oleh ayat itu
sendiri. Dengan demikian maka bagian suami dalam mempusakai harta peninggalan
isterinya yang meninggal dengan tidak mempunyai anak ialah separoh harta
peninggalan, tidak lebih dan tidak kurang.
Sementara yang
dimaksud dengan nash yang zhanni ad-dalalah ialah nash yang menunjukkan
kepada makna yang mengandung kemungkinan ta’wil atau dipalingkan dari makna
asal kepada makna yang lain”
C. Pandangan Satibi tentang Qath’i dan Zhanni
Imam as-Syatibi
sebagai seorang pembahariu usul fiqh memberikan perhatian yang cukup besar
terhadap permasalahan qath’i dan zhanni. Hal ini ternampak dari
keseriusannya memberikan pembahasan yang cukup luas tentang masalah ini dalam
karya yang monumantalnya al-Muwafaqat.
Kelihatannya
asy-syatibi mempunyai paradigma yang berbeda dengan ulama usul yang lain dalam
melihat permasalahan qath’i dan zhanni, walaupun ia sendiri tidak
memberikan defenisi yang pasti. Ia menyatakan apabila dalil-dalil syara’
bersifat individual (berdiri sendiri) tanpa dukungan dalil-dalil yang lain,
maka status keqath’ian sulit diterapkan kepada dalil-dalil tersebut.
Pendapat ini dikemukakan beliau dalam al-muwafaqatnya sebagaimana makna yang
terambil sebagai berikut;
Adanya qath’i
terdap[at pada dalil-dalil syara’ dan penggunaan istilahnya yang populer
sebenarnya tidak ada atau jarang sekali. Yang saya maksudkan disini adalah
dalil yang berdiri sendiri (tunggal).. Karena apabila dalil-dalil syara’
tersebut bersifat ahad, maka jelas ia tidak memberikan kepastian. Bukankah ahad
sifatnya zhanni?. Sedangkan bila dalil tersebut bersifat mutawatir lafazhnya,
maka untuk menarik makna yang pasti diubutuhkan presmis-premis (muqaddimah)
yang tentunya harus bersifat pasti (qath’i) pula. Dalam hal ini,
premis-premis tersebut harus bersifat mutawatir. Ini tidak mudah ditemuykan
karena kenyataannya membuktika bahwa premis-premnis tersebut semuanya atau
sebagian besarnya bersifat ahad dalam arti zhanni (tidak pasti). Sesuatu
yang bersandar kepada yang zhanni, tentu tidak menghasilkan kescuali
yang zhanni pula.
Argumentasi
asy-satibi ini kelihatannya merupakan implemanmtasi konsep analagi. Maksudnya,
ia menganalogikan status qath’i ats-tsubuth dengan qath’i ad-dalalah.
Jika dalam qath’i ats-tsubuth tergabung sejumlah rawi yang tak mungkin
berdusta, sedangkan dalam qath’i ad-dalalah bergabung sejumlah dalil
yang semakna, sehingga tidak mungkin mengandung makna lain.
Sekalipun
dalil-dalill syara’ dalam konteks tsubuthnya bersifat mutawatir, maka untuk
mancapai keqath’ian dalam konteks dalalah tergantung kepada premis-premis
(muqaddimah) yang qath’i pula. Artinya suatu ayat tunggal kata
asy-syatibi masih berpeluang untuk mencapai status qath’i, tetapi harus
memenuhi syarat-syarat (kualifikasi) tertentu yang diistilahkannya sdengan
muqaddimah (premis).
Adapun
premis-premis (muqaddimah) yang merupakan sandaran keqath’ian tersebut
ialah;
1.
Riwayat kebahasaan (naql
al-luqhah.
2.
Pendapat-pendapat dalam bidang
nahu (’adam an-nahwu)
3.
Redaksi yang dimaksud bukan
lafazh musytarak (’adam al-Isytirak)
4.
Redaksi tersebut bukan lafazh
majaz (’adam al-majaz)
5. Tidak
mengalami (mengandung) peralihan makna dalam konteks syara’ atau kebiasaan
6.
Tidak idhmar (sisipan)
7.
Tidak taqdim dan ta’khir
8.
Tidak nashk (pembatalan
hukum)
9.
Tidak takhsis bagi lafazh
umum
10. Tidak
mengandung penolakan yang logis (’adam mu’aridh al-aql)
Syarat-syarat tersebut
dalam kenyataannya sulit dipenuhi. Oleh karenanya, qath’i ad-dalalah
sulit dijumpai, senadainyapun suatu ayat vtunggal memenuhi kualifikasi yang 10
macam di atas, ayat tersebut tunggal memenuhi kualifikasi yang 10 macam di
atas, ayat tersebut juga masih sulit untuk mencapai status qath’i,
karena dalam kenyataannya muqaddimah –muqaddimah itu semuanya atau sebagaiannya
bersifat zhanni. Jadi sesuatu yang bergantung kepada yang zhanni, maka
hasilnya juga adalah zhanni.
Dalam tataran
inilah asy-syatibi mengungkapkan bahwa untuk memfaedahkan qath’i berdasarkan
i’tibar (kreteria) di atas adalah suatu kesulitan.
C. Kehujjahan hadits mutawatir dan ahad
Nilai (kehujjahan) hadits
mutawatir adalah 'dlaluri', jadi harus diterima dan dilakukan. Mempercayai
(kebenaran)nya adalah pasti (qath’i). Sanadnya juga tidak
diperselisihkan, baik itu tentang adil maupun dlabit, karena adanya sarat2
seperti yang dijelaskan diatas (bahwa: rawi adalah sekelompok orang), sehingga
tidak mungkin ada kebohongan. (mutlak diterima kebenarannya)
Berdasarkan istilah
periwayatan hadits, hadits ahad bisa dihukumi shahih, hasan, dan dlaif. Para
ulama sepakat bahwa hadits ahad bisa diterima selama keterangan (hadits)nya
maqbul. (diterima berdasarkan standar yang sudah ada).
a. Bagaimana kata-kata sami’na, roaina dll bisa
menjadi salah satu sarat dalam hadits mutawatir?
Kata-kata tersebut membuktikan spesifikasi periwayatan, dimana kaifiyah
(dalam menerima hadits) dijelaskan dengan istima’ atau intadhor. Tentu, saat
seorang rawi mendapatkan suatu hadits dengan cara melihat atau mendengarkan
secara langsung, maka otomatis hal ini menjadi nilai + bagi kualitas sebuah
hadits, dibanding dengan hanya menggunakan kata2 ‘an(عن),. Dapat diketahui bahwa penggunaan kata sami’na,
roaina dll membuktikan kejujuran dan kesungguhan sang rawi, karena tidak
hanya sekedar informasi yang ia dapat, melainkan peristiwa dari Nabi.
b. Apakah yang dimaksud dengan zanni dan qathi dalam
hadits ahad dan mutawattir?, kemudian apa pengaruhnya?
Zanni: berarti perkiraan (dugaan). Maksudnya: kebenaran hadits ahad memang
masih dipertanyakan, baik itu tentang sanad (rangkaian rawi), maupun matannya.
Sehingga perlu dikaji lebih lanjut tentang keadaan para rawi itu sendiri atau
bahkan redaksi matannya juga. Inti: “kita harus mempertanyakan kebenaran
(shahih) hadits ahad”
Sedangkan qath’i: berarti terputus (pasti). Maksudnya: ini adalah sifat
hadits mutawatir yang didalamnya tidak mungkin ada keraguan, “terputus” segala
prasangka atas ketidakbenarannya. Sehingga semua yang dikatakan/ dituliskan
oleh hadits mutawatir pasti benar dan berasal dari rasul, sepert penjelasan2
yang telah tertulis. Inti: “kita harus yakin dan membenarkan apa yang ada pada
hadits mutawatir”, yang boleh kita lakukan adalah menafsirkannya kembali.
c. Bagaimana makna “asing” pada penjelasan hadits gharib?
Hadits tersebut dinamai seperti itu karena pada sejarahnya, ada sebagian
hadits (atau bahkan banyak) yang memang pada zamannya tidak terkenal sampai ke
khalayak “umum”, dimana hanya beberapa daerah (di jazirah arab) khusus yang
mengetahuinya. Ada beberapa kemungkinan:
ü Hadits tersebut memang disampaikan kepada beberapa
shahabat secara khusus, tanpa ada orang lain yang mengetahuinya (pada waktu
penerimaan)
ü Ada hadits yang hanya tersebar atau digunakan di suatu
daerah, sehingga daerah2 lain tidak mengenal hadits tersebut. Sehingga disebut
“asing”.
d. Sebenarnya, bagaimanakah cara kerja hadits mutawatir
amali?
Berdasarkan peristiwa2 yang terjadi pada zaman rasulullah –yang ada
kemiripan-, hal itu didapat dari beberapa periwayatan, kemudian ditentukan apa
yang sama, setelah itu, dapat dianalisa bahwa itulah yang bisa kita katakan
sebagai sesuatu (hadits) yang terkenal (karena riwayat2 tersebut berasal dari
tempat2 /daerah yang berbeda2) dan juga telah ada fakta dan buktinya (sejarah tidak
dapat dibantahkan). Hal ini memungkinkan terbentuknya kebenaran obyektif,
dimana ada “kesepakatan” secara tidak langsung di antara riwayat2 tersebut.
Inilah yang kemudian menjadikannya mutawatir.
e. Bagaimana makna mashur sebenarnya dan bagaimana pembagiannya,
dan apa sj contohnya?
Makna
masyhur diartikan sebagai dikenalnya suatu hadits di beberapa daerah pada
zamannya. Namun sekarang, pemaknaan kata masyhur juga bisa berkembang menjadi
hadits yang terkenal di salah satu bidang ilmu. Menurut kitab taysir
mushtolahul hadits, hal 24:
-
Masyhur di kalangan para ahli hadits, (أن رسول الله
ص.م. قنت شهرا بعد الركوع .....(عن أنس))
-
Masyhur di kalangan para ahli hadis, ulama, dan orang awam (المسلم من سلـم المسلمون ...)
-
Masyhur di kalangan fuqaha(أبعض الحلال الى الله الطلاق.)
-
Masyhur di kalangan ahli ushul(رفع عن أمتى الخطأ والنسيان......)
-
Masyhur di kalangan nihah(نعم العبد صهيب. لو لم يخف.......)
-
Masyhur di kalangan orang umum(الأجلة من الشيطان.)
3. Kehujjahan
Hadist Ahad
Hadist ahad
dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if
bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad,
jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama
hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya
hadist.
Para ulama
banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Di antara dalil-dalil
yang mereka gunakan adalah:
a. Sejarah
membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala menyebarkan Islam kepada para pemimpin
negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang
sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar
menemui dua belas pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini
membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu dua orang
sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit
tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan
sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut.
Demikian kata Imam Syafi’i.
b. Dalam
menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu
orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang
kebetulan tidak mengetahui hukum yang
baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula menghadap Baitul
Maqdis di Palestina kemudian dipindah ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah. Info
pengalihan seperti ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama
Nabi SAW kemudian datang ke salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan
shalat subuh lalu memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar
informasi seperti itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke Ka’bah
padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam
Syafi’i mengatakan, seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat
diterima niscaya mereka tidak akan menggubris informasi pemindahan arah kiblat
tersebut.
c. Termasuk dalil
yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadist ahad adalah
hadist yang berbunyi:
نضر الله امرا سمع منا شيئا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعي
من سامع
Artinya: Semoga Allah membaguskan wajah orang yang
mendengar dari kami sebuah hadis lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar,
bias jadi orang yang disampaikan lebih memahami dari pada orang yang mendengar.
Anjuran Rasulullah SAW untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang lain
menunjukkan bahwa khabar atau hadist yang dibawa orang tersebut dapat diterima
dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil.
Di sisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal
haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist dapat
dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria
shahih.
Namun demikian, pembelaan kaum ahlu sunnah wa al jama’ah terhadap hadist
ahad, bukan berarti tanpa alasan. Mereka yakin bahwa memanfaatkan hadist
sekalipun ahad, jauh lebih bernilai dibandingkan dengan ketiadaan rujukan dalam
penetapan hukum.
4. Hadits Munkar
1) Pengertian
Menurut bahasa munkar berarti
menolak, tidak diterima. Menurut istilah
hadits munkar adalah hadits yang pada
sanadnya ada seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaannya
atau nampak kefasikannya.
Contoh hadits munkar
Hadits yang diriwayatkan
Ibnu Majah melalui usamah bin Zaid dari ibnu Syihab dariAbu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari
ayahnya secara marfu’
صائم رمضان في
السفر كالمفطر في الحضر
Artinya: Seorang puasa ramadhan dalam perjalanan
seperti seorang berbuka dalam tempat tinggalnya.
Hadits di atas munkar karena
periwayatan Usamah bin zaid secara marfu’ bertentang periwayatan Ibn Abi
Dzi’bin yang tsiqah, menurutnya hadits di atas mauquf pada Abdurrahman bin Auf.
5. Hadits Mu’allal
a. Pengertian
Menurut bahasa muallal
berarti penyakit. Menurut istilah hadits mu’allal
adalah hadits yang dilihat dari dalamnya
terdapat illat yang membuat cacar keshahihan hadits, padahal lahirnya selamat
dari padanya.
ü
Terjadinya illat
a) sanadnya saja
dan ini yang banyak seperti me-mauquf-kan suatu hadits yang mesti mursal
ataupun sebaliknya
b) Pada matan,
seperti hadits tentang membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah secara keras.
Contoh hadits Mu’allal
Hadits yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Said memberitakan kepada kami Abdussalam bin harb dari
Al-A’masy dari Anas berkata :
كان النبي صلى
الله عليه وسلم إذا اراد الحاجة لم يرفع ثوبه حتى يدنو من الارض
Artinnya: Adalah Nabi ketika hendak hajat tidak
mengangkat kainnya sehingga dekat dengan tanah.
Hadits lahirnya shahih
karena semua perawi dalan sanad tsiqah, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari
Anas bin Malik. Al-madini mengatakan bahwa Al-A’masy tidak mendengar dari Anas
bin Malik, dia melihatnya di Mekah shalat di belakang Maqam Ibrahim.
6. Hadits Mudraj
a. Pengertian
Menurut bahasa mudraj
berarti memasukkan atau menghimpun dan
atau menyisipkan. Secara istilah hadits mudraj dibagi dua macam yaitu
mudraj pada sanad dan mudraj pada matan
ü
Macam hadits mudraj
1. Mudraj sanad
adalah : hadits yang diubah konteks sanadnya
Kemungkinannya banyak sekali, diantaranya:
·
sekelompok jamah meriwayatkan suatu hadits dengan
beberapa sanad yang berbeda, lalu diriwayatkan oleh seorang perawi dengan
menyatukan ke dalam satu sanad dari beberapa sanad tersebut tanpa menyebut
ragam dan perbedaan sanad.
·
Seorang meriwayatkan matan tapi tidak sempurna,
kesempurnaannya ia temukan pada sanad yang lain, kemudian ia meriwayatkannya
dengan menggunakan sanad yang pertama.
·
Seorang mempunyai dua matan yang berbeda dan dua sanad
yang berbeda, lalu ia meriwayatkannya dengan salah satu sanadnya saja.
·
Ketika seorang perawi sedang menyampaikan sanad lalu
terngganggu, kemudian berbicara dari dirinya sendiri. Diantara pendengar ada
yang mengira pembicaraan itu merupakan matan hadits kemudian ia
meriwayatkannya.
Contohnya adalah kisahnya Tsabit bin Musa ketika bertama
pada Syarik bin Abdullah yang sedang
menyampaikan periwayatan sanad hadits dengan imla’. Ia berkata: memberitahukan kepada kami al-A’masy dari
Abu Sufyan dari jabir dari Rasulullah SAW... ia diam sejenak...karena Tsabit
bin Musa datang. Kemudian ia berkata:
من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار
Artinya: Barang siapa yang banyak shalatnya pada malam hari, maka
berseri-seri wajahnya pada siang harinya.
Tsabit menduga bahwa ungkapan tersebut adalah matan dari
sanad hadits yang didektikan padanya, kemudian ia meriwayatkannya. Padahal yang
dimaksudkan dengan ungkapan tersebut adalah seorang Tsabit sendiri karena ia
seorang zahid dan wara’.
2.
Mudraj matan adalah : tambahan atau sisipan dari seorang
perawi untuk menjelaskan atau memberikan pengantar matan hadits tetapi tidak
ada pemisah yang membedakan antara tambahan atau sisipan dan matan hadits tersebut.
Contohnya pada hadits riwayat Al-Khatib dari Abi Qathan
dan Syababah dari Syu’bah dari Muhammad bin Zayad dari Abu Hurairah berkata
Rasulullah bersabda:
أسبغوا الوضوء ويل
للأعقاب من النار
Artinya: Sempurnakanlah
wudhu’, celaka bagi beberapa tumit kaki dari ancaman api neraka.
Kata sempurnakanlah
wudhu’ merupakan sisipan dari perkataan Abu hurairah sebagaimana
periwayatan al-Bukhari dari Adam dari Syu’bah dari Muhammad bin ayad dari Abu
Hurairah berkata:
أسبغوا الوضوء فإن
أبالقاسم صلى الله عليه وسلم قال: ويل للأعقاب من النار
Artinya: Sempurnakanlah
wudu’ , maka sesungguhnya Aba Al-Qasim berkata: „celaka bagi tumit kaki dari ancaman api neraka.”
7. Hadist Maqlub
a. Pengertian
Secara
bahasa maqlub berarti mengubah,
mengganti, berpindah dan atau membalik. Secara istilah hadits maqlub adalah
hadits yang terbalik redaksinya baik pada
sanad atau pada matannya.
Contoh hadits maqlub
Maqlun pada sanadnya
misalnya periwayatan hadits dari Ka’ab bin Murrah diucapkan Murrah bin Ka’ab.
Sedangkan Maqlub pada matan misalnya hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Umar
berkata:
فإذا أناباالنبي
صلى الله عليه وسلم
جالسا على مقعدته مستقبل القبلة مستدبر الشام
Artinya: Maka ketika itu aku bersama Nabi SAW beliau duduk di atas bangku menghadap kiblat
dan membelakangi Syam.
Hadits di atas dimaqlubkan
menjadi:
مستقبل الشام
مستدبر القبلة
Artinya: menghadap Syam dan membelakangi kiblat
8. Hadits
Mudhtharib
a. Pengertian
Secara
bahasa Mudhtharib berarti goncang dan
bergetar. Menurut istilah hadits Mudhtharib adalah hadits yang kontara satu sama lainnya yang tidak dapat dikompromikan
dan tidak dapat ditarjih (dicari yang lebih unggul) dan sama kualitasnya.
Contoh hadits Mudhtharib
Seperti
hadits Abu Bakar berkata: Ya Rasul aku
melihat engkau beruban. Rasul mejawab:
شيبتني هود وأخواتها
Artinya: Membuat uban rambutku surat Hud dan
saudara-saudaranya. (HR
At-Tirmidzi)
Ad-Daruquthni
berkata hadits ini Mudhtharib karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq dan
diperselisihkan dalan sekitar 10 segi masalah. Diantara meraka
ada yang meriwayatkannya secara mursal dan ada yang maushul. Diantara mereka
ada yang menjadikannya dari musnad Abi BAkar, musnad Aisyah, musnad Sa’ad, dan
lain-lain. Semua tsiqah tetapi tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat
ditarjih.
9. Hadits Mushahhaf
dan Muharraf
a. Pengertian
Menurut bahasa mushahhaf
artinya salah baca tulisan yang bisa
disebabkan oleh salah mendengar atau melihat. Sedangkan Muharraf berarti mengubah atau mengganti. Menurut istilah
hadits mushahhaf adalah hadits yang
terdapat perbedaan di dalamnya dengan mengubah beberapa titik sedangkan bentuk
tulisannya tetap. Sedangkan Muharraf adalah hadits yang terdapat perbedaan di dalamnya dengan mengubah
syakal/harakat sedang bentuk tulisannya tetap.
Contoh hadits
Contoh
hadits mushahhaf, hadits nabi SAW
من صام رمضان واتبعه ستا من شوال كان كصوم
الدهر
Artinya:
Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dan
diikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia berpuasa satu tahun.
Hadits ini di-tashhifkan-kan oleh Abu Bakar dengan
ungkapan:
من صام رمضان واتبعه شيئا من شوال كان
كصوم الدهر
Contoh
hadits muharraf , hadits Jabir berkata:
رمي أبي يوم الأحزاب على أكحله فكواه رسول
الله صلى الله عليه وسلم
Artinya:
Ubay dipanah pada peperangan Ahzab di
urat lengannya maka Rasulullah SAW mengobatinya dengan besi panas. (HR.
Ad-Daruquthni)
Hadits
tersebut ditahrif oleh Ghandar pada kata
ubay menjadi Abi (ayahku).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist
ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadist
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik
dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at
thabi’un). Dengan demikian penyebutan
hadist dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas perawi dan jumlah
perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat dari cara periwayatannya, hadist
mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. Hadist mutawatir
lafdzi yaitu hadist yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat dan maknanya
memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayatan lainnya.
2. Hadist mutawatir
ma’nawi adalah hadist yang rawi-rawinya berlainan dalam susunan redaksinya,
tetapi di antara perbedaan itu, masih menyisakan persamaan dan persesuaian
yakni pada prinsipnya. Dengan kata lain hadist yang dalam susunan redaksi
kalimatnya menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad yakni hadist yang dilihat dari sisi penutur
dan perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir
atau terkadang mendekati jumlah hadist mutawatir.. berbeda dengan hadist
mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi
oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal
dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.
1. Hadist masyhur
adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi hadist tetapi
belum mencapai tingkat mutawatir.
2. Hadist aziz
adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud hanya
terdapat dalam satu thabaqat., kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya.
3. Hadist gharib
adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
H. Khariri, M.Ag “Melerai Hadits-Hadits yang berlawanan”(Cet.I-Yogyakarta,
STAIN Purwokerto Press & Unggun Religi, 2005)
Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).
Amin, Kamaruddin. Metode Kritik Hadist.
(Jakarta:Hikmah, 2009).
Hassan, A. Qadir. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2.
(Bangil:Al-Muslimun, 1966).
Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX.
(Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993).
Saefullah,
Yusuf, dan Cecep Sumarna. Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004).
Smeer,
Zeid B. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang, UIN-
Malang Press).
Thahhan,
Mahmud. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007).
Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A.
“ Metode Kritik Hadits” (Pt Mizan Publika, 2009)
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-99.html
(diakses pada: 18 Maret 2014, 18:00:59
wib)
[1]
Dr. Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press,
2007). H. 31-32
[2]Drs.
H. Khariri, M.Ag “Melerai Hadits-Hadits yang berlawanan”(Cet.I-Yogyakarta,
STAIN Purwokerto Press & Unggun Religi, 2005). H. 21
[3]
A. Qadir Hassan. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2.
(Bangil:Al-Muslimun, 1966). H 37
[4]
Dr. Mahmud Thahhan. Op.cit. H. 32-33
[5]
Drs. H. Khariri, M.Ag. Op,Cit, H. 23-24
[6]
A. Qadir Hassan. Loc.cit. H. 37-42
[7]
Dr. phil. H. Kamaruddin Amin, MA.
Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009). H. 44-46
[8]
Dr. Mahmud Thahhan. Loc.cit. H.
36
[9]
Zeid B. Smeer. Loc.cit. H. 43
[10]
Dr. Mahmud Thahhan. Op.cit. H. 36
[11]
Dr. phil. H. Kamaruddin Amin, MA.
Loc.cit. H. 36-37
[12]
Dr. M. Syuhudi Ismail. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA
Islam, 1993). H. 36
No comments:
Post a Comment