Friday, April 27, 2012

ISLAM RAHMATAN LIL'ALAMIN. DR. K. H. HASYIM MUZADI


ISLAM RAHMATAN LIL'ALAMIN
MENUJU KEADILAN DAN PERDAMAIAN DUNIA
(PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA)

Pidato Pengukuhan
Doktor Honoris Causa Dalam Peradaban Islam
                                              Disampaikan di Hadapan Rapat Terbuka                                            
Senat IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sabtu, 2 Desember 2006





Oleh:
H. Ahmad Hasyim Muzadi
Promovendus



DEPARTEMEN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2006





PERSETUJUAN


Judul                  :  Islam Rahmatan Lil'alamin
                               Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia
                               (Perspektif Nahdlatul Ulama)

Promovendus     :  H. Ahmad Hasyim Muzadi

Telah diperiksa dan disetujui sebagai naskah pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa (Dr.HC) dalam Peradaban Islam untuk disampaikan di hadapan rapat terbuka Senat IAIN Sunan Ampel Surabaya pada hari Sabtu tanggal 2 Desember 2006.





                                                  Surabaya, 22 Nopember 2006



                 PROMOTOR,                                                                  KO-PROMOTOR




Prof. DR. HM. Ridlwan Nasir, MA                                        Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA
             NIP. 150 203 743                                                                  NIP. 150 235 851




Sambutan Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya:

MENGEMBALIKAN CITRA DOKTOR HONORIS CAUSA

         Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,    
         Bismillah, alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, waba'du:
         Sungguh mencengangkan maraknya “jual-beli” gelar akhir-akhir ini, baik gelar Magister, Doktor, Ph.D maupun Profesor. Benar-benar sudah menjadi virus pendidikan nasional yang amat berbahaya. Diduga kuat, hal ini termasuk salah satu strategi kaum imperialis-neokolonialis untuk tetap dapat menguasai negara-negara “jajahan” mereka. Sebab dengan "memperdagangkan" gelar, banyak orang akan mengambil jalan pintas mendapatkan apa yang selama ini sulit diperoleh, dengan cukup membayar sejumlah uang, sementara kemampuan sumberdaya mereka tetap rendah.
         Di pihak lain akan banyak orang yang semula getol memberdayakan diri dengan menempuh jenjang dan jalur pendidikan resmi dan mengeluarkan biaya besar, semakin melemah semangat mereka karena jerih payah yang tak terhingga, ternyata gelarnya sama saja dengan yang diperoleh dengan cara membeli tanpa jerih payah. Atau gelar yang mulanya prestisius-bergengsi itu, menjadi tak berharga lagi di mata masyarakat gara-gara inflasi dan pencemaran gelar yang dilakukan para "pembeli" gelar.
Para "penjual" gelar bisa saja berdalih ikut memberdayakan masyarakat. Tetapi bangsa manapun tidak ada dan tidak akan berjaya dengan banyaknya gelar kalau kualitasnya rendah, bahkan akan makin terpuruk jika ternyata gelar bertebaran di mana-mana sementara penyandangnya berkualitas rendah, baik intelektual maupun moralnya. Para penerima gelar murahan, pastilah bermoral murahan pula, para penerima gelar aspal tentu bermental aspal juga. Jadi para "penjual" gelar itu hakikatnya adalah benalu, bahkan virus masyarakat yang merusak intelektualitas dan moralitas bangsa. Para "penjual" gelar telah menjadi kaki tangan imperialis-neokolonialis yang memperbodoh rakyat sendiri, sebab orang yang bodoh tetap bodoh lantaran tidak mau meningkatkan kualitas diri. Apapun alasannya para "penjual" gelar itu hanyalah pengejar materi, bromocorah intelektual dan kakitangan imperialis-neokolonialis. Sungguh, mereka adalah pengkhianat bangsa!
         Herannya, ternyata peminat gelar "murahan" tersebut justru para pejabat, elit politik, dan pengusaha, serta aneh tapi nyata ada pula yang dari kalangan “ulama” (tapi harus diragukan kewara’annya) dan perguruan tinggi. Mereka tidak malu, bahkan bangga dengan gelar tersebut.
         Gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) sesungguhnya adalah gelar yang amat prestisius-bergengsi lantaran pemilik atau penerimanya benar-benar orang tepilih dan pemberinya amat selektif untuk menentukan siapa yang berhak dan layak menerimanya, karena masyarakat juga akan ikut menilai, sehingga taruhannya adalah kredibilitas lembaga pemberi. Gelar Dr. (HC) adalah gelar yang amat bergengsi karena pemilik/penerimanya adalah para tokoh linuwih (istimewa) di bidang mereka lantaran matang dalam pendadaran di kancah hidup praktis selama beberapa tahun. Penerima gelar Dr (HC) seperti Soekarno, Muhammad Hatta, M. Natsir, HAMKA, Ruslan Abdulgani, Idham Khalid, Abdurrahman Wahid dll. adalah para tokoh gemilang di bidang masing-masing.
         Atas dasar kenyataan dan pemikiran di atas, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang secara kredibel telah diakui sebagai penyelenggara pendidikan jenjang Magister dan Doktor, berusaha mengembalikan citra negatif Doktor Honoris Causa kepada citra aslinya. Karena itu pula dengan amat selektif, setelah melalui Rapat MPA (Majelis Pertimbangan Akademik), penunjukan Promotor dan Ko-promotor, dan Rapat Senat Institut, mempromosikan KH. Ahmad Hasyim Muzadi guna memperoleh gelar yang amat pantas bagi beliau, gelar dalam bidang yang secara empirik telah bertahun-tahun beliau geluti, gelar dalam bidang yang secara nasional maupun internasional telah diakui kiprahnya, yaitu gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) dalam Peradaban Islam, doktor kehormatan yang benar-benar terhormat karena melalui proses yang juga terhormat dan prosedur yang obyektif.
         Moga-moga langkah ini menjadi rintisan positif dan sunnah hasanah Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya bagi kembalinya citra Dr. (HC) sebagai wujud pengakuan akademik bagi seseorang yang memang layak dan berhak, sehingga dengan demikian jual-beli gelar secara "murahan" yang memperbodoh umat tersebut akan surut dan lenyap.
         Demikian, dan selamat Cak Hasyim….!!! Semoga bermanfaat dan penuh barakah, aaamiiin…
         Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, 



Surabaya, 2 Desember 2006,


Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA
NIP. 150 235 851













Islam Rahmatan Lil'alamin
Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia
(Perspektif Nahdlatul Ulama)


Kepada Yang Terhormat:
Rektor/Ketua Senat IAIN Sunan Ampel Surabaya
Direktur/Ketua MPA Program Pascasarja IAIN Sunan Ampel
Para Anggota Senat IAIN Sunan Ampel Surabaya
Para Masyayikh dan Kyai
Tokoh-tokoh Agama baik Islam maupun Non-Islam sejawat saya
Para Duta Besar Negara Sahabat
Para Menteri Kabinet
Pengurus PBNU dan PWNU Jawa-Timur
Para Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya
Karyawan beserta Staf IAIN Sunan-Ampel
Para Undangan, dan
Teman Seperjuangan Yang Dimuliakan


            Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
            Syukur alhamdulillah berkat taufiq dan hidayah serta inayah Allah Swt., pada hari ini tanggal 2 Desember 2006, saya memperoleh kehormatan akademik gelar Doktor Honoris Causa dalam ‘Peradaban  Islam’. Sungguh ini merupakan kehormatan yang begitu besar bagi saya pribadi khususnya dan bagi Nahdlatul Ulama secara keseluruhan.  Karena itu, saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada Rektor sekaligus sebagai Ketua Senat IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. HM. Ridlwan Nasir, MA., kepada Direktur yang sekaligus sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Akademik (MPA) Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA dan para Anggota Senat IAIN Sunan Ampel yang telah menyetujui saya untuk mendapat penghargaan gelar akademik ini.
            Selanjutnya, saya juga mengucapkan terima kasih kepada para guru, dosen, dan ulama yang ikut membesarkan saya dengan ilmu, mujadalah dan kearifan hingga saya bisa mendapat kehormatan seperti sekarang ini. Teman dan sahabat saya dalam perjuangan menegakkan izzul Islam wal muslimin baik dari kalangan NU, Muhammadiyah dan Ormas Islam lainnya. Kemudian ucapan terimaksih kepada teman seperjuangan saya dalam Forum Lintas Agama yang tergabung dalam Gerakan Moral Nasional (Geralnas) yang juga besar jasanya menemani saya untuk berkampanye Islam Rahmatan Lil’alamin ke seluruh belahan dunia sehingga saya akhirnya terpilih sebagai salah satu Presiden dalam World Conference of Religions for Peace (WCRP) dalam Pertemuan Pimpinan Agama se-Dunia ke-Delapan di Kyoto Jepang tanggal 29 Agustus 2006. Sekitar 800 pemimpin agama dari 100 negara seluruh dunia ikut dalam acara tersebut yang menghasilkan Deklarasi Kyoto1, meski sebenarnya saya tidak berada di Jepang, melainkan ketika itu saya berada di Arab Saudi bertemu dengan Pimpinan Rabithah Alam Islami (RAI), Sekjen OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Makkah dan pimpinan Islamic Development Bank (IDB) di Jeddah.
            Last but not least, saya juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada keluarga saya. Istri saya, yang selalu setia menemani dalam keadaan suka maupun duka, memberi dorongan dan menghibur ketika saya letih di tengah perjuangan. Anak-anak dan para menantu serta cucu, yang semuanya memberi arti dalam kehidupan saya. Kedua orang tua dan mertua, semoga amal mereka diterima di sisi Allah Swt. Tanpa mereka, saya mungkin tidak sampai seperti sekarang ini.

I. PENDAHULUAN
            Dalam kesempatan terhormat ini, saya akan menyampaikan pidato ilmiah dengan judul: Islam Rahmatan Lil'alamin Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia (Perspektif Nahdlatul Ulama). Pemilihan tema ini didasarkan atas beberapa pemikiran.
            Pertama, pengalaman saya dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, yang mendapat amanah memimpin Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam yang didirikan di kampung Kertopaten, Surabaya tak jauh dari kampus ini. Pengalaman NU mengimplementasikan ajaran Islam Rahmatan  Lil’alamin dan pengembangan sikap kemasyarakatan NU seperti tawassuth (moderat), i’tidal (tegak), tasamuh (toleran) dan tawazun (seimbang)  serta tasyawur (musyawarah/dialog)  telah menjadikan NU sebagai organisasi yang besar dan mempunyai karakter kemasyarakatan yang khas. Internalisasi Islam Rahmatan Lil’alamien dan pengembangan sikap ke-NU-an itu menjadi modal NU dalam pergaulan dengan masyarakat luas. Untuk kasus domestik, NU berhasil menjalin ukhuwwah Islamiyah dengan ormas Islam lainnya seperti Muhammadiyah, DDI, al-Irsyad, Persis, al-Wasliyah dan sebagainya. Dengan modal pemikiran ulama itu pula, NU berhasil bergandengan tangan menjaga kerukunan antar umat beragama sehingga terbentuk Forum Lintas Agama dan Gerakan Moral Nasional (Geralnas). Berkat pengalaman menciptakan situasi yang kondusif dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia, NU menjadi duta bangsa memperkenalkan ke berbagai belahan dunia tentang ajaran Islam Rahmatan Lil’alamin ini.
            Kedua, masih merebaknya Islamo phobia yang menjadi mainstream pandangan masyarakat Barat, termasuk di Amerika Serikat (AS).  Meningkatnya ketegangan ini, terutama pasca tragedi tumbangnya Twin Tower World Trade Center (WTC) 11 September  2001. Apalagi Presiden AS, George W Bush menyebut-nyebut pelaku serangan ini adalah teroris al-Qaidah yang dikomandoi Usamah bin Laden, pengusaha asal Arab Saudi.
            Ketiga, sebagai bagian integratif dari upaya pembangunan infrastruktur dan keterlibatan agama untuk keadilan dan perdamaian dunia. Sejak tahun 1960-an sejumlah tokoh agama dunia berusaha membangun infrastruktur korporasi lintas agama dalam mengatasi isu dan konflik global yang ditandai dengan lahirnya Konferensi Agama Dunia untuk Perdamaian (World Conference of Religions for Peace) di Kyoto, Jepang2. Kemudian, secara berturut-turut setiap 5 tahun WCRP mengadakan Assembly, yaitu pada tahun 1974 di Leuven Belgia, 1979 di Princeton USA, 1984 di Nairobi Kenya, 1989 di Melbourne Australia, 1994 di Riva del Garda Italy, 1999 di Amman Yordania, dan tahun 2006 di Kyoto Jepang.
            Keempat, sebagai basis nilai dan pendekatan. Dasar pemikiran lahirnya sejumlah infrastruktur perdamaian dunia sejatinya bukan saja sebagai kebutuhan pentingnya membangun kesadaran bersama (shared conciousness), tetapi juga sebagai pendekatan bahwa keamanan dan perdamaian hakiki (real security and peace) tidak mungkin terjadi bagi sebuah komunitas tanpa menjamin keamanan komunitas lainnya. Cita-cita itu tidak bisa terwujud tanpa dilandasi oleh basis pemikiran keagamaan moderat termasuk tawassuth (moderat). Maka, upaya membangun persepsi positif tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud manakala paradigma ke-Islaman tidak mengedepankan visi Islam rahmatan lil'alamin dalam membangun perdamaian dunia yang hakiki.


II. PERSPEKTIF TEORITIS

            1. Islam Rahmatan Lil’alamin
            Ajaran Islam Rahmatan Lil'alamin sebenarnya bukan hal baru, basisnya sudah kuat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam sejarah Islam, baik pada abad klasik maupun pada abad pertengahan. Secara etimologis, Islam berarti "damai", sedangkan rahmatan lil 'alamin berarti "kasih sayang bagi semesta alam". Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil'alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.

Rahmatan lil’alamin adalah istilah qurani dan istilah itu sudah terdapat dalam Alquran , yaitu sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anbiya' ayat 107:
’Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi 
semesta alam (rahmatan lil’alamin)’’.                                                     

Ayat  tersebut menegaskan bahwa kalau Islam dilakukan secara benar dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat, baik itu untuk orang Islam maupun untuk seluruh alam. Rahmat adalah kurnia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua ; rahmat dalam konteks rahman dan rahmat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat  aam kulla syai’, meliputi segala hal, sehingga orang-orang non-muslim pun mempunyai hak kerahmanan3.
Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam. Jadi rahim itu adalah khoshshun lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, maka rahman dan rahim Allah akan turun semuanya. Dengan demikian berlaku hukum sunnatullah; baik muslim maupun non-muslim kalau mereka melakukan hal-hal yang diperlukan kerahmanan,  maka  mereka dia  akan mendapatkanya. Kendatipun mereka orang Islam,  tetapi tidak melakukan ikhtiar kerahmanan, maka mereka tidak akan mendapatkan hasilnya. Dengan kata lain, kurnia rahman ini berlaku hukum kompetitif. Misalnya, orang Islam yang tidak melakukan kegiatan ekonomi,  maka mereka tidak bisa dan tak akan menjadi makmur. Sementara orang yang melakukan ikhtiar kerahmanan adalah orang kafir, maka mereka akan mendapatkan kemakmuran secara ekonomi. Karena dalam hal ini mereka mendapat sifat kerahmanan Allah yang berlaku aam kulla syai4. 
Sedangkan hak atas syurga ini hanya ada pada sifat rahimnya Allah Swt,  maka yang mendapat kerahiman ini adalah khusus orang mukminin. Dengan demikian,  dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa rahtmatan lil’alamin adalah bersatunya kurnia Allah yang terlingkup di dalam kerahiman dan kerahmanan Allah5.
Dalam konteks Islam rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya, tetap hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-muslim memeluk Islam. Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
            Namun dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan  dasar atau pilar-pilarnya saja,  yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan konprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya3.
            Entitas Islam sebagai rahmat lil'alamin mengakui eksistensi pluralitas, karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pada manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.4
            Pluralitas, sebagai sunnatullah telah banyak diabadikan dalam al-Qur'an, di antaranya firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 22 yang maknanya:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui".
Juga firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang maknanya:
"Hai manusia, sungguh kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan  perempuan dan menjadikan kalian berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
            Ayat-ayat tersebut menempatkan kemajemukan atau pluralitas sebagai syarat diterminan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk.
            Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih-sayang, antara lain surat al-Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Allah SWT berfirman, maknanya:
"Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat".

            Benang merah yang bisa kita tarik dari perintah ini adalah untuk mewujudkan perdamaian, semua orang harus merasa bersaudara.  Dalam konteks ini, KH. Achmad Siddiq5, Rais 'Am PBNU era 1980-an mengajukan tiga macam persaudaraan (ukhuwwah). Pertama, ukhuwwah Islamiyyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Islam), baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kedua, ukhwuwah wathaniyyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan. Ketiga, ukhuwwah basyariyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan6. Ketiga macam ukhuwwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan sebab hanya melalui tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan Lil 'alamin akan terealisasi.
            Masih dalam pandangan KH. Ahmad Shiddiq, ukhuwwah Islamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah merupakan landasan bagi terwujudnya ukhuwwah basyariyyah. Baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memperhatikan secara serius, seksama, dan penuh kejernihan terhadap ukhuwwah Islamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua macam ukhuwwah ini. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwwah dan memuliakan mereka dalam arti kerjasama yang baik. KH. Achmad Siddiq menjelaskan bahwa persaudaraan 'inda ai-lslam (versi Islam) bukanlah persaudaraan yang bersifat eksklusif, persaudaraan yang terbatas pada umat Islam saja. Persaudaraan Islam adalah persaudaraan yang luas, bahkan meliputi orang ateis sekalipun selama mereka tidak berniat memusuhi umat Islam7.                
            Rasulullah SAW memberikan contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau mendeklarasikan Piagam Madinah yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama lain. Begitu juga ketika menaklukkan Makkah, beliau menjamin kepada setiap orang, termasuk musuh yang ditaklukkannya, agar tetap merasa nyaman dan aman. Gereja-gereja dan sinagog-sinagog boleh menyelenggarakan peribadatan tanpa harus ketakutan.       
            Diktum universalitas kerahmatan Islam dapat dilihat dalam dimensi kenabian (nubuwwat) Muhammad SAW. Karena misi Islam adalah menjadi rahmat bagi semua manusia dan semesta alam sebagaimana diabadikan dalam surat al-Anbiya' ayat 107, maknanya:

"Dan  tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam".

Selama hampir 23 tahun perjuangan kenabiannya, Rasulullah SAW selalu menggunakan pendekatan dialog secara konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya dan agama dapat dicapai dengan baik. Selama lebih 12 tahun di Makkah, perjuangan beliau penuh resiko, bahkan nyawa beliau terancam. Beliau meminta pada para sahabat untuk tetap bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi pembunuhan. Bahkan untuk menjaga keselamatan kaum muslimin, karena waktu itu kekuatan Islam masih lemah, pada tahun ke-12 masa kenabian, beliau memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode Madinah ini pun, beliau tetap konsisten menggunakan pendekatan peradaban, yaitu membangun ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama dan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah. Demikianlah perintah Allah kepada beliau sebagaimana dapat dibaca dalam surat al-Furqan ayat 52:

"Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al- Qur’an dengan jihad yang besar".

Terkandung maksud bahwa kendatipun terjadi perang maka motifnya bukan ekonomi atau politik, tetapi motifnya adalah dakwah. Karena itu perang8 tidak bersifat ofensif tetapi defensif, yaitu semata-mata sebagai jalan (wasilah) menuju perdamaian. Untuk itu, perang tidak boleh eksesif, tidak boleh destruktif dan harus tetap menghargai HAM, yaitu tidak boleh membunuh orang sipil, anak-anak, perempuan, orangtua, dan tidak boleh menghancurkan linkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, serta tidak boleh membunuh hewan. Demikianlah inti wasiat Rasulullah yang disampaikan kepada pasukan perang Islam pada saat perang Mu'tah dan Fath Makkah.
Dalam konteks ini, rahmatan lil’alamin yang diimplementisakan oleh NU  didasarkan pada basis pemikiran Aswaja (ahlussunnah waljama’ah), sebagai kebalikan dari ahlul  bit’ah wadldlolalah  yang biasanya membuat kreasi-kreasi keagamaan yang bertentaang dengan ajaran sunnah.
Bagaimana Islam rahmatan lil’alamin  dimplementasikan ke dalam NU? NU menerjemahkan konsepsi rahmatan lil’alamin lewat pendakatan tawassuth dan i’tidal yang dikongkritisasikan ke dalam sikap nahdliyah .  Tawassuth atau garis tengah adalah cara membawakan atau menampilkan agama yang kontekstual. Sedangkan i’tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Jadi tawassuth itu menjelaskan posisi,  sedangkan i’tidal adalah konsistensi. Penggabungan tawassuth dan i’tidal dapat didefinisikan sebagai pengertian terhadap Islam yang benar,  kemudian dibawakan secara metodologi yang benar pula.  Jadi tawassuth lebih ke arah kontekstual, sedangkan i’tidal lebih ke arah metodologisnya.  Kalau digabungkan melahirkan kebenaran agama yang dibawakana secara benar pula. Dapat dikatakan pula,  tawassuth dan i’tidal sebagai suatu sikap yang mengambil  posisi di tengah,  tetapi jalannnya lurus. Jadi walaupun kelihatannnya seperti tak punya  sikap karena  tidak  berpihak ke kiri dan ke kanan, tidak dapat  diartikan tidak punya sikap,  karena sikapnya tegak lurus yaitu menegakkan kebenaaran agama. Dalam rangka mengambil posisi  tawassuth dan i’tidal ada tiga pendekatan yang dilakukan oleh NU, yaitu: (1) fiqhul ahkam, dalam rangka menelusuri makna kognitif agama dan ini berlaku untuk kalangan sendiri. Proses pencariannnya di kalangana NU dikenal dengan bahtsul mas a’il  (BM). (2) fiqhu Dakwah dalam rangka mencari pendekatan kontekstual metodologi membawakan agama ke masyarakat. (3) Fikhu Siyasi,  bagaimana membawakan agama dengan pola-pola politik,  strategi dan kenegaraannya.
Ketiga unsur ini masing-masing mempunyai implikasi dalam pelaksanaannya, yaitu pendekatan fiqhul ahkam melahirkan tradisi bahtsul masa’il untuk mencari solusi hukum Islam. Kemudian,  fiqhu dakwah melahirkan cara-cara metodologi penyampaian dakwah keagamaan secara baik dan benar dan juga dengan lintas budaya yaiatu dari segi pendekatan nilai. Gabungan antara keduanya berimplikasi penciptaan hubungan ukhuwah islamiyah dengan sesama Islam yang beda aliran pikiran dan madhabnya.  Fiqhu siayasi pola-pola pendekatan yang menjelaskan kaitan-kaitan agama dengan lintas agama dan hubungan agama dengan negara.
Selanjutnya, tawassuth dan i’tidal  melahirkan langkah ikutan yaitu tasamu (toleran),  tawazun (berimbang) dan tasyawur (musyawarah/dialog). Tasamu, pengertiannnya adalah keseimbangan antara prinsip dan penghargaan kepada prinsip orang lain. Tasamu lahir karena orang mempunyai prinsip, tetapi menghormati prinsip orang lain.  Kalau punya prinsip, tetapi tak mau menghormati prinsip orang, itu namanyaa i’tizal (eksklusif), mengaku dirinya yang paling benar.  Maka, jika seseorang sudah melakukan tasamu,  dengan sendirinya sudah melakukan tawazun, melakukan kesimbangan-keseimbangan. Dan, jika sudah melakukan tasamu dan tawazun orang akan terdorong untuk melakukan tasyawur, yaitu melakaukana dialog dalam setiap penyelesaian persoalan.
             

2. Fikrah Nahdliyyah dan Sikap Kemasyarakatan NU

Nahdlatul Ulama sejak awal berdirinya, tidak terlepas dari problem-problem global yang ketika itu setidaknya menghadapi dua tantangan besar, yaitu persoalan  imperialisme dan paham keagamaan. Menghadapi tantangan imperialisme, NU menarik demarkasi yang tegas dengan menyatakan bahwa wajib hukumnya melawan penjajahan di atas dunia. Untuk keperluan berjuang memperoleh kemerdekaan, NU membangun basis pertahanan di pesantren-pesantren yang ada di pedesaan. Lewat pesantren-pesantren ini pula dilakukan pendidikan dan latihan (diklat) perkaderan bagi santri-santri agar mempunyai watak patriotisme berjuang mengusir penjajah. Walhasil, di kemudian hari banyak kader-kader tersebut yang menjadi pioner perjuangan kemerdekaan, termasuk Bung Tomo yang merupakan santri dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dengan pekik ‘Allahu Akbar’-nya berhasil mengusir pasukan sekutu di Surabaya.
Sedangkan dalam konteks keagamaan setidaknya terdapat dua tantangan besar, yaitu pertama: munculnya kaum Islam "modernis" yang waktu itu berusaha meminggirkan kalangan Islam "tradisionalis" yang berbasis di pesantren yang pada umumnya berada di pedesaan. Kedua: respon ulama terhadap pertarungan ideologi di dunia Islam, yaitu pasca runtuhnya Dinasti Turki Usmani, dan munculnya gagasan Pan-Islamisme dan  Arabisme yang dimotori Jamaluddin al-Afghani serta gerakan Wahabi di Jazirah Arabia.
Gerakan kaum Islam "modernis" yang mengampanyekan anti takhayul, bid’ah dan khurafat (TBK, dalam ejaan lama populer dengan TBC) dengan tema utama purifikasi, benar-benar telah menyudutkan praktik ibadah kaum "tradisionalis" seperti tahlilan yang dibid’ahkan, ziarah kubur yang disyirikkan dan amalan tertentu yang dianggap takhayul dan khurafat yang direspon kalangan pesantren dengan melakukan konsolidasi untuk melindungi dan memelihara nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri khas mereka.
Munculnya paham Wahabi hampir bersamaan waktunya dengan era Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman al-Su’ud menjadi penguasa baru di kawasan Arab, yaitu Hijaz dan Najed (sekarang Saudi Arabia) pada abad ke-XIX, Wahabi menjadi ideologi tunggal kerajaan. Karena posisi negeri Hijaz begitu sentral dalam dunia Islam, mengingat di situ ada Makkah dan Madinah yang merupakan kota suci bagi umat Islam seluruh dunia, maka Wahabi menjadi international movement yang menjadi persoalan umat Islam seluruh dunia, termasuk NU, yang menganut Islam sunni dengan berpedoman kepada empat madzhab (fiqih).
Lewat institusi kerajaan, Wahabi akan memberantas kelompok Islam yang berpaham madzhab dan akan menghancurkan situs-situs sejarah penting yang dianggap sakral bagi kaum nahdliyin seperti makam Rasulullah, para sahabat dan imam-imam madzhab yang ada di sekitar Makkah dan Madinah. Dalam konteks keagamaan, NU membentuk Komite Hijaz9 yang mengutus KH A Wahab Hasbullah dan Syaikh A Ghonaim al-Amir untuk menyampaikan surat kepada penguasa negeri Hijaz dan Najed, yaitu Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman al-Su’ud. Surat Komite Hijaz tersebut intinya meliputi empat hal; (1) diberlakukannya kebebasan bermadzhab, (2) diperbolehkannya ziarah ke tempat-tempat bersejarah (3) diumumkannya tarif ibadah haji ke seluruh dunia dan (4) dijadikannya seluruh hukum yang berlaku di Hijaz sebagai undang-undang.
Komite Hijaz diterima dan langsung mendapat jawaban dari Raja Su’ud bahwa kerajaan tidak melarang semua amalan yang dilakukan jamaah haji di Masjidil Haram, Makkah dari madzhab apa-pun, termasuk berkunjung ke tempat-tempat ziarah. NU dengan Komite Hijaz-nya merupakan satu-satunya ormas Islam di dunia yang berani mengoreksi kebijakan penguasa Arab Saudi agar memberikan ruang kebebasan dalam bermadzhab dalam Islam, karena Makkah dan Madinah merupakan kota suci bagi umat Islam di seluruh dunia, bukan hanya milik kelompok umat Islam yang berpaham Wahabi saja.
Embrionya dimulai dari munculnya organisasi rintisan seperti Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar, yang sebenarnya lebih berciri semacam study club.  Puncaknya adalah kristalisasi ide-ide dan gagasan dari para ulama yang berhaluan ahlussunnah waljama’ah untuk mendirikan apa yang disebut Nahdlotoel Oelama’10 pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H).  Dalam perjalanan waktu, NU telah bersinggungan dan berhubungan dengan organisasi lain, yang sedikit banyak mengubah, bahkan ada kekhawatiran belakangan ini kader NU kehilangan jati dirinya. Bertolak dari fakta sosial dan fakta sejarah inilah, kemudian timbul gagasan untuk membingkai Fikrah Nahdliyah11.  Reformulasi Fikrah Nahdliyah dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai historis dan tetap meneguhkan garis-garis perjuangan Khittah 1926, serta menjaga konsistensi warga NU agar berada dalam koridor yang ditetapkan organisasi.
Dengan demikian Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran ahlussunnah waljama’ah yang dijadikan landasan berfikir untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah (perbaikan umat). Dalam merespon permasalahan baik yang berkenaan dengan isu-isu keagamaan maupun kemasyarakatan, NU memiliki manhaj sebagai berikut: (1) dalam bidang aqidah/teologi mengikuti pemikiran ahlussunnah waljama’ah khususnya pemikiran Abu Hasan al-Asy’ariy dan Abu Mansur al-Maturidiy (2) dalam bidang fiqih/hukum Islam bermadzhab qauliy dan manhajiy kepada al-madzahib al-Arba’ah (3) dalam bidang tasawuf mengikuti Syaikh Junaid al-Baghdadiy dan Abu Hamid al-Ghazzaliy.
Kemudian ciri-ciri (khashaish) kader yang mempunyai Fikrah Nahdliyah adalah sebagai berikut: (1) Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya warga NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi berbagai persoalan. Maka, NU tidak tafrith atau ifrath, yaitu melakukan sikap ekstrim baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. (2) Fikrah Tasamuhiyyah (pola pikir toleran), yaitu warga NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun cara pikir, budaya dan aqidahnya berbeda. (3) Fikrah Islahiyyah (pola pikir reformatif), artinya warga NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-ashlah). (4) Fikrah Tathowwuriyyah (pola pikir dinamis), artinya warga NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. (5) Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya warga NU selalu menggunakan kerangka pikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.
Dalam bidang komunikasi dakwah untuk mengarahkan umat ke amar ma’ruf nahi munkar, NU memakai tiga pendekatan, yaitu pendekatan dakwah (fiqh ad-da'wah), pendekatan hukum (fiqh al-ahkam) dan pendekatan politik (fiqh as-siyasah).
Pertama, Pendekatan Dakwah. Dakwah biasanya diperuntukkan bagi orang umum, masih rendah kadar keagamaannya. Karena dakwa itu lebih ke arah proses, yaitu dari orang jelek menjadi baik dan dari orang yang sudah baik bertambah baik lagi, maka proses ini tak henti-hentinya dalam proses guidance and counseling.  Pendekatan dakwah dalam al-Qur'an dijelaskan antara lain sebagai berikut :
1. Bil hikmah (al-adillah atau al-muhakkam) yaitu argumentasi yang meyakinkan mukhathab (pihak kedua) disesuaikan dengan keadaan orang tersebut, bukan sesuai dengan kemauan da'i. Artinya sesuai dengan pemikiran, kepentingan, dan/atau budaya yang melatarbelakangi orang yang didakwahi.
2. Bil mauidhah al-hasanah (guidance and counseling) yaitu orang ditolong untuk mengatasi problema hidupnya, baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat.
            Kedua, Pendekatan Hukum adalah pendekatan untuk orang NU dan orang Islam yang sudah siap menjalankan syari'ah Islam, hanya tinggal ingin mengetahui fatwa hukumnya. Ini dalam  konteks civil society, bukan dalam konteks hukum negara. Jadi fiqhul ahkam lebih ke arah halal dan haram, hitam putih karena dikhususkan untuk orang-orang yang sudah Islam, yang sudah siap menerima hukum positif Islam ( umat al- ijabah).           
Ketiga, Pendekatan Politik adalah yang menyangkut tata hubungan agama dan negara, atau tata hubungan nasional dengan internasional, tetapi tetap dalam pendekatan tawassuth dan i’tidal.

3. Hubungan Agama dan Negara

Ajaran Islam rahmatan lil'alamin dengan pendekatan tawassuth dan i'tidal juga menyediakan konsep dalam kaitan hubungan agama dan negara. Discourse hubungan agama dan negara sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Hal ini karena konsep tersebut multitafsir: Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara, sehingga penafsirannya menjadi beragam. Sementara sistem pemerintahan setelah wafatnya Rasulullah adalah sistem khilafah yang berbeda dengan konsep negara. Istilah daulah dalam pengertian negara tidak dijumpai secara eksplisit dalam al-Qur'an. Meskipun dalam surah al-Hasyr ayat 712 ada kata dulah, namun bukan bermakna negara, melainkan istilah figuratif untuk menggambarkan peredaran harta: harta tidak boleh hanya dinikmati oleh orang kaya saja.
Kontroversi hubungan agama dan negara dapat dikelompokkan menjadi tiga paradigma, yaitu:
Pertama, paradigma integeralistik, yakni paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tid`k dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Itu memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agama. Paradigma integralistik ini sama dengan konsep teokrasi. Menurut paham teokrasi, agama dan negara dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, sehingga segala tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan berdasarkan titah Tuhan. Dengan demikian urusan kenegaraan atau politik, menurut paham teoraksi merupakan manifestasi dari titah Tuhan dalam kehidupan manusia13. Paradigma ini melahirkan konsep agama negara atau agama resmi, dan menjadikan agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Iran dengan Syi’ahnya, dan Arab Saudi dengan Wahabinya dapat dijadikan contoh untuk itu.         
Kedua, paradigma sekularistik. Paradigma yang beranggapan, bahwa ada disparitas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda dan satu sama lain memiliki wilayah garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain malakukan intervensi14.
 Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract15 serta  tidak ada kaitan dengan hukum agama. Bentuk sekularisme yang paling ekstrim adalah pola hubungan agama dan negara yang diletakkan dalam paham komunisme, yaitu memandang hakikat hubungan agama dan negara berdasarkan filsafat meterialisme dialektik dan materialisme historis yang berujung pada paham atheis. Kalaupun eksistensi agama diakui, namun tidak lebih dari sekedar persoalan pribadi, bukan urusan negara, bahkan dipopulerkan sebagai candu masyarakat.
Ketiga, paradigma simbiotik. Menurut konsep ini, agama dan negara merupakan entitas yang berbeda, namun keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik, yakni agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama, sebaliknya negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Pertanyaannya adalah bisakah agama mewarnai konstitusi?. Ada kemungkinan bagi agama untuk dapat mewarnai negara dengan syarat agama mampu membangun dirinya melalui jalur social contract, atau demokrasi. Berdasarkan paradigma tersebut, NU lebih menggunakan paradigma simbiotik. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah pendirian Republik Indonesia pada tahun 1945 di mana tokoh NU ikut merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan sejarah ketatanegaraan Indonesia, hubungan agama dan negara tidak berjalan mulus, tetapi penuh liku dan duka berjalan dalam dua gelombang besar antagonistik dan akomodatif. Dalam konstalasi ini, NU berdiri di pihak mana? Sesuai dengan pegangan NU yang tawassuth, maka hubungan agama dan negara dalam pandangan NU berada pada pola akomodatif, yaitu memilih paradigma simbiotik karena sesuai dengan cara pandang NU dengan pemahaman bahwa Indonesia bukan negara sekuler, dan juga bukan negara agama, tetapi Negara Pancasila.                
Dengan demikian, agama dalam konteks negara diletakkan sebagai sumber nilai, dan secara fungsional agama mengambil peran tawassuth, dalam arti NU menentukan visi kenegaraannya dengan pendekatan membangun masyarakat Islam (Islamic society) daripada membangun negara Islam (Islamic state). Namun tidak berarti kehadiran agama tidak fungsional di hadapan negara. Agama menjadi spirit konstitusi negara. Hadirnya lima prinsip dasar Negara Republik Indonesia, yang disebut Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kamanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial merupakan bukti hadirnya spirit agama dalam sistem ideologi nasional karena kelima prinsip dasar tersebut berada dalam sistem ajaran semua agama dan diakui oleh semua tokoh agama di saat awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Ideologi Pancasila dan tata cara pelaksanaan serta konsepsi agamanya sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Hal ini terbukti ketika setiap kali terjadi goncangan di Indonesia, NU menjadi unsur penting dari bangsa ini. Misalnya ketika penjajah akan masuk kembali ke Indonesia tahun 1946, para ulama ikut berjuang melawan penjajah. Para ulama NU melahirkan konsep resolusi jihad. Resolusi jihad ini tidak ditujukan untuk bengsa sendiri yang sudah Islam tapi untuk orang-orang yang membahayakan bangsa. Dua puluh tahun kemudian terjadi goncangan lagi yaitu pada tahun 1965-1966, NU kembali menjadi penting karena ikut ambil peran dalam memberantas komunis. Jikalau NU tidak ikut ambil peran maka negeri ini akan menjadi Komunis yang atheis. Namun sejak tahun 1967, Soeharto berkuasa sampai 30 tahun lebih dengan kendaraan Orde Baru. NU didiskriminasikan dan di injak-injak sampai tahun 1997 hingga pecah reformasi. Kemudian NU menjadi penting lagi ketika tahun 1999 Gus Dur menempati kursi presiden meskipun hanya menjabat kurang dari 2 tahun.       Jadi, kehadiran Pancasila sebagai pilihan ideologi Negara Republik Indonesia pada hakekatnya merupakan formula Islam tawassuth khas Indonesia. Karena pilihan tersebut, atau ada yang menyebutnya "hadiah umat Islam", yaitu penghapusan terhadap teks "kewajian melaksanakan syariat Islam" pada sila pertama, merupakan keputusan menghindari ekstrimitas penerapan Islam dalam sistem ideologi Negara Republik Indonesia. Jika seandainya tokoh Islam ketika itu, di antaranya dari unsur NU KHA. Wahid Hasyim tidak menyetujui perubahan itu, niscaya Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Inilah visi yang selalu dibina, diupayakan dan ditegakkan oleh NU dalam membangun hubungan moderasi antara agama dan negara sebagaimana keputusan Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang menerima Pancasila sebagai dasar final sebagai falsafah dan ideologi NKRI. Ini karena komitmen kebangsaan NU yang didasarkan pada konsep tawassuth,  yaitu tasyawur, i'tidal, tasamuh dan tawazun.


III. PERSPEKTIF EMPIRIS

1. Implikasi terhadap Interen Organisasi NU:
    Mempertegas Khittah 1926 dan Memberdayakan Civil Society
            Konsistensi sikap NU yang rahmatan lil’alamin dan sikap kemasyarakatannya benar-benar diuji, ketika Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan, karena proses pelengseran yang dianggap warga Nahdliyyin dilakukan secara tidak fair dan penuh rekayasa politik, justru. Ini karena sejak awal terpilihnya Gus Dur, di mata Nahdliyyin merupakan berkah dan rahmah bagi warga Indonesia untuk membuat suatu era baru Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya.                                                Menariknya, terpilihnya Gus Dur sebenarnya merupakan berkah dari sikap NU selama ini, yaitu jalan tawassuth (moderat). Gus Dur terpilih, karena kondisi kepemimpinan nasional diharuskan oleh keadaan untuk memilih ’jalan tengah’ akibat meruncingnya pertentangan yang bisa mengancam keutuhan bangsa. Secara politis, terpilihnya Gus Dur mengakibatkan terjadinya pergeseran orientasi, baik secara jama’ah maupun jam’iyah. Pergeseran yang paling tampak adalah masuknya NU ke lingkaran kekuasaan, karena terbukanya akses ke Istana Presiden, sebagai konsekuensi logis karena Gus Dur adalah tokoh utama NU sekaligus mantan Ketua Umum PBNU. Kodisi ini merupakan fase euforia, histeria atau  bahkan sebagai gejala cultural shock  di kalangan warga NU. Mereka dilanda kegairahan yang luar biasa terlibat dalam urusan politik praktis, seperti banyaknya Pengurus NU yang merangkap jabatan di PKB, meski tindakan tersebut bertentangan dengan AD/ART NU17. Kyai-kyai yang sebelumnya lebih banyak di pesantren, mulai banyak yang tercebur ke politik praktis, bahkan mereka berebut jabatan kepala daerah lewat pilkada. Orientasi berlebihan ke arah politik praktis, membuat NU menuai banyak kritik, bahwa NU sudah menjadi bagian (subordinat) dari partai tertentu.                                                                                                                            Bagaimana reaksi warga NU begitu mengetahui Gus Dur benar-benar dilengserkan? Terlihat kekecewaan mendalam dan reaksi emosional dari warga NU. Persoalannya adalah bagaimana PBNU memposisikan diri dalam kondisi seperti ini? Posisi ini menjadikan PBNU dilematis dan tidak banyak opsi yang dapat dilakukan. Akhirnya PBNU mengambil posisi tawassuth ’jalan tengah’, yaitu menemani massa NU sembari memandu mereka agar tidak menjelma menjadi letupan-letupan anarkis. Sepanjang gerakan massa mengarah untuk penyaluran aspirasi, PBNU mentoleransi. Keputusan ini diambil berdasarkan asas fairness, karena gerakan massa yang menyerang Gus Dur juga diperbolehkan. Namun, sampai pada tahap yang sangat rawan, PBNU berusaha sekuat tenaga untuk mendinginkan suasana.                                                                                                                Harus diakui, lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan menimbulkan sejumlah implikasi: Pertama, munculnya rasa pesimistik dalam membaca dan memanfaatkan peluang politik yang memungkinkan warga NU sebagai kelompok kepentingan (interest group) untuk memperjuangkan sebuah proses mobilitas vertikal secara lebih signifikan. Kedua, menurunnya wibawa kultural organisasi di mata masyarakat akibat pembunuhan karakter yang dilakukan secara terus-menerus oleh pihak luar. Ketiga, menyempitkan jalur-jalur akses ke pelbagai sumber alokasi dan distribusi otoritas ekonomi maupun politik lantaran mengkristalnya kekecewaan banyak pihak terhadap NU yang disebabkan oleh gencarnya manipulasi realitas  di penghujung era Gus Dur. Keempat, membekunya komunikasi dan hubungan lintas golongan yang pernah dirajut NU bersama-sama dengan pelbagai elemen bangsa akibat pertikaian yang menyertai lengsernya Gus Dur. Kelima, merebaknya isu pertentangan atau ketidakharmonisan hubugan antara Gus Dur dan Ketua Umum PBNU, yang bersumber pada dugaan bahwa orang yang disebut terakhir ini kurang berusaha keras atau tidak sepenuh hati dalam memobilisasi perlawanan terhadap gerakan pelengseran Gus Dur.                      Setelah suhu politik mulai mendingin dan keadaan sudah berangsur-angsur normal. NU mulai introspeksi, megevaluasi dan  merenungkan peran yang telah diambil sebelumnya yang menyebabkan berada dalam kumparan badai politik yang membuat tidak nyaman seluruh warganya. Hasilnya adalah kesimpulan bahwa penegasan komitmen terhadap Khittah 1926 merupakan pilihan terbaik yang harus diambil demi menghindari terjadinya disfungsi organisasi  yang berlarut-larut akibat pergeseran dan perluasan wilayah kerja dalam jangka waktu relatif lama. Maka PBNU berkeputusan mengambil tindakan penyelamatan dengan mengadakan safari ke basis-basis NU seluruh Indonesia. Safari ini dimaksudkan untuk meredakan emosi warga NU sekaligus melakukan konsolidasi lewat dialog-dialog intensif demi meretas jalan yang lebih baik bagi organisasi di masa datang. Dalam safari itu, PBNU mencegah terjadinya radikalisme massa dari kalangan yang tidak mengakui keabsahan Sidang Istimewa MPR yang melengserkan Gus Dur. Selain itu, pelbagai hal yang berkaitan dengan latar belakang,  proses,  maupun implikasi pelengseran Gus Dur juga diklarifikasi.
Ada tiga isu utama yang disampaikan PBNU dalam safari tersebut. Pertama, NU harus berketepatan untuk menarik diri dari garis konflik kepentingan yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Kedua, NU harus diposisikan kembali sebagai organisasi sosial keagamaan yang dapat diterima oleh seluruh elemen bangsa, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat primordialistik atau yang berwatak partisan. Ketiga, mengembalikan NU sebagai gerakan yang bersifat rahmatan lil’alamin. Untuk mewujudkan keinginan menata kembali organisasi, PBNU mengajak warga untuk kembali ke garis khittah perjuangan NU sebagaimana yang dirumuskan oleh para founding fathers NU. Rumusan awal maksud pendirian NU adalah: memegang dengan tegoeh pada salah satu dari madzhabnja Imam empat, jaitoe Imam Asj-Sjafi’i, Imam Malik, Imam Aboe Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam. Dalam konteks menciptakan kemaslahatan masyarakat, dirumuskan pula usaha-usaha yang mesti dilakukan, yaitu: memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid2, langgar2 dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ihwalnya anak2 jatim dan orang-orang jang fakir miskin ... Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan.             Mengacu pada kondisi warga NU pasca lengsernya Gus Dur dan faktor kesejarahan NU sendiri, khususnya Khittah 1926 yang berlaku hingga sekarang, tidak ada jalan lain bagi NU kecuali kembali kepada posisi awalnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang mengemban tugas-tugas sosial kemasyarakatan.  Lebih dari itu, NU harus kembali menjadi bagian dari kekuatan civil society.

            2. Implikasi terhadap Ukhuwwah Islamiyyah:
                Membangun Islam Ramah dan menangkal Radikalisme
              Sudah bukan rahasia lagi, hubungan NU-Muhammadiyah pasca lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan menjadi carut-marut. Kemesraan yang sebelumnya sempat terjalin, nyaris putus dan bahkan sudah dalam posisi berlawanan. Maka langkah yang ditempuh PBNU adalah melakukan dialog-dialog untuk mencairkan kembali hubungan ukhuwwah yang sempat retak. NU-Muhammadiyah akhirnya sepakat untuk membuat program bersama yang disebut dengan ’Gerakan Kultural’. Dalam konteks NU-Muhammadiyah, langkah-langkah bersama tersebut dapat mencairkan kembali hubungan yang nyaris ambruk. Kesan kurang harmonisnya komunikasi NU-Muhammadiyah begitu tampak tatkala kedua ormas Islam ini sama-sama terseret arus konflik politik praktis yang melibatkan dua tokoh sentral NU dan Muhammadiyah. Sebagai sesama organisasi keagamaan, keduanya sering disibukkan oleh upaya pemberian dukungan politik kepada partai yang didirikan warganya.                                                                                                                                          Hasil penegakan ukhuwwah NU-Muhammadiyah adalah dicapainya kata sepakat antara keduanya untuk menegaskan diri masing-masing tentang ketiadaan hubungan organisatoris dengan partai mana-pun, serta tidak akan  memasuki wilayah politik yang berorientasi pada kekuasaan. Bagi NU sendiri hal ini berarti kembalinya NU ke masa-masa sebelum 1998, yaitu suatu era NU berkhidmat dalam gerakan pengembangan pluralisme, pemberdayaan civil society, serta penegakan sendi-sendi demokrasi. Ada lima agenda utama yang disepakati keduanya, yaitu: Pertama, NU-Muhammadiyah tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kebutuhan atau tujuan utama yang dominan. NU dengan kredonya: kembali ke Khittah 1926, sedang Muhammadiyah dengan semboyannya: high politics.  Kedua, merumuskan agenda aksi bersama pada tingkat praksis di lapangan untuk kegiatan ekonomi rakyat, khususnya mereka yang berada di lapis bawah. Karena mereka inilah yang menjadi korban paling mengenaskan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Ketiga, merumuskan program pengembangan kualitas SDM pada masing-masing pihak,  yang kelak diharapkan dapat disinergikan untuk membenahi sistem pendidikan yang ada di masing-masing, terutama bagi perbaikan sistem pendidikan di pesantren-pesantren NU. Keempat, memikirkan secara serius mekanisme komunikasi yang produktif antara keduanya agar diperoleh titik temu untuk mencegah perpecahan. Kelima, sama-sama mengorientasikan diri ke arah pencarian jawaban atas krisis multi dimensional yang sedang melanda bangsa ini, karena tidak mungkin untuk menyerahkan semua proses pemulihan atau penyelesaian ini hanya kepada pemerintah.  
             3. Implikasi terhadap Lintas Agama:
                Menangkal Provokasi terhadap Agama untuk Kepentingan Non-Agama

            Di luar memburuknya citra Islam secara global akibat kampanye terorisme, ternyata radikalisme dan konflik atas nama agama menjadi trend di Indonesia yang jika tidak disikapi secara tepat akan mengakibatkan agama kehilangan sifat rahmatan lil’alamin-nya, sebagaimana yang terjadi di Ambon dan Poso. Untuk mengatasi dan mencari solusi problem yang mengancam keutuhan bangsa, PBNU berkoordinasi dengan Muhammadiyah karena kedua ormas Islam terbesar ini sama-sama menggemban tanggungjawab untuk menciptakan wajah Islam yang damai, ramah, serta memiliki kepedulian tinggi terhadap peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam kaitan ini, ,pada tanggal 2 Jauari 2002 Ketua Umum PBNU bertemu Ketua Umum PP Muhammadiyah guna membicarakan dua agenda penting: Pertama, menciptakan wajah Islam yang ramah. Kedua, menghilangkan friksi-friksi yang bersifat destruktif di kalangan Islam sehingga  dalam pengembangan Islam  terdapat  visi yang sama, sekalipun strateginya berbeda. Baik NU maupun Muhammadiyah memberikan penilaian terhadap kondisi bangsa yang semakin menggelisahkan.  Karena itu keduanya merasa perlu bergandengan tangan memberikan masukan kepada pemerintah, elite politik, dan seluruh komponen bangsa hingga ke lapisan akar rumput, untuk mencari solusinya terutama yang terkait dengan dua isu krusial, yaitu tegaknya negara dan persatuan nasional. Karena itu, kedua belah pihak berkomitmen untuk memelihara pluralitas bangsa dan akan mengampanyekan kerukunan lintas agama, lintas golongan, lintas suku, dan organisasi politik. NU-Muhammadiyah menyatukan persepsi melihat persoalan ekonomi dan politik yang melilit bangsa, dan sepakat akan membantu mencari jalan keluarnya. Komitmen ini tak hanya menyangkut masalah bangsa dan negara, tetapi juga mengandung kesepakatan bahwa perbedaan furu’iyah tidak akan menjadi tema perdebatan sampai kapan-pun. Keduanya juga sepakat untuk menjaga independensi,  yaitu bebas dari kepetingan politik partisan. Menjadi pembahasan yang serius pula adalah mengenai fenomena gerakan Islam radikal yang mewarnai negeri ini. Menurut pandangan NU-Muhammadiyah munculnya Islam radikal merupakan kegagalan bangsa dalam membumikan Pancasila. Bangsa ini haya terlena dalam pengagungan Pancasila, tanpa benar-benar berusaha mewujudkan nilai-nilainya yang merefleksikan semangat syariat Islam. Mereka yang beraliran keras itu sebenarnya juga merupakan ’’anak-anak NU dan Muhammadiyah” yang tidak terawat.  Karena itu, tugas kedua ormas Islam ini adalah merawat kembali anggota keluarganya, mulai dari yang paling tinggi hingga masyarakat terbawah.                 NU-Muhammadiyah bertekad memberikan perhatian lebih besar pada persoalan-persoalan yang melibatkan konflik antar agama. Namun dengan catatan, persoalan tersebut tidak akan segera tuntas, jika tidak didukung aparat keamanan yang menindak tegas setiap pelanggaran hukum. Untuk merealisasikan semua kesepakatan ini, NU-Muhammadiyah menggelar pertemuan lanjutan, yaitu tanggal 15 Maret 2002. Kali ini melibatkan sejumlah tokoh agama seperti Kardinal Julius Dharmaatmadja (Katolik), Nurcholish  Madjid (almarhum, cendekiawan Islam), Roeslan Abdulgani (almarhum, nasionalis), dan A.A. Yewangoe dari PGI. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh penggagas Pertemuan Malino I dan Malino II, yaitu Jusuf Kalla sebagai Menko Kesra. Hadir juga pengamat politik asal Jepang, Mitsuo Nakamura. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Gerakan Moral Nasional Indonesia (Geralnas). Inti deklarasi adalah kesepakatan untuk membangun kembali moral bangsa yang nyaris ambruk. Karena bersifat lintas agama, gerakan ini memprioritaskan penanganan daerah yang dilanda konflik bertendensi agama seperti Maluku dan Poso. Tujuannnya adalah berupaya memadamkan api konflik di kedua wilayah tersebut. Kunjungan yang difasilitasi Menko Kesra ke daerah konflik, merupakan wujud gerakan moral untuk menunjukkan pada dunia internasional adanya kesungguhan para pemimpin yang tidak hanya menangani masalah konflik keagamaan, tapi juga bersedia memadamkan konflik ke-Indonesiaan. Karena itu para pemimpin agama juga mengagendakan pertemuan dengan Dubes negara-negara Amerika, Eropa, Asia, dan Australia, bahkan juga Vatikan. Selain ke Ambon dan Poso, tujuan kunjungan adalah ke Sampit, Atambua, Papua, Aceh dan kawasan-kawasan konflik lainnnya.
            Dengan berbekal Islam Rahmatan Lil’alamin  dan sikap kemasyarakatannya, NU mecoba mengurai secara hati-hati untuk menyikapi berbagai konflik yang terjadi di tanah air. Setidaknya ada tiga faktor yang bisa menjadi jalan keluar untuk memecahkan konflik tersebut. Pertama, faktor utama adalah ketegasan aparat keamanan yang dapat menentukan berhasil tidaknya proses pemulihan pasca konflik. Kedua, konflik yang terjadi di Ambon maupun di Poso bukan konflik agama, melainkan konflik politik yang sengaja dibungkus dengan simbol-simbol agama. Ketiga, radikalisme di semua sektor harus dihentikan, baik di kalangan Islam maupun Kristen. Setelah itu, baru dilakukan rehabilitasi moral dan terapi mental masyarakat yang menyimpan pengalaman traumatik pasca konflik. Pada saat bersamaan harus diupayakan pula rehabilitasi sarana umum.
            Hasil kunjungan ke daerah konflik membenarkan analisa PBNU, bahwa kasus Ambon bukan konflik agama. NU memperoleh masukan informasi dari semua komponen yang terlibat dalam pertikaian, dari kalangan Islam, Kristen, jajaran Muspida Maluku dan pihak-pihak yang menolak perjanjian Malino II. Mereka menyatakan bahwa konflik Ambon adalah gerakan separatis yang memanfaatkan isu agama untuk menghembuskan angin permusuhan.  Semua pihak yang terlibat konflik merasa tidak diuntungkan dengan kerusuhan yang merenggut korban ribuan jiwa itu. Mereka mengaku sudah lelah bertikai dan ingin segera berdamai, dengan demikian yang tersisa adalah para provokator yang mengganggu upaya perdamaian. Karena itu, kasus yang terakhir ini adalah bagian pihak keamanan untuk menindak tegas mereka.
           Semua ajaran agama mengajarkan perdamaian, kesejahteraan dan toleransi. Jika terdapat kelompok agama yanag melakukan gerakan anti damai, dan sebaliknya melakukan tindak kekerasan dan tidak toleran, bisa dipastikan saat itu agama sudah dibajak. Karena itu agama harus dilepaskan dari setiap tindakan atau perilaku yang tidak bertujuan untuk agama itu sendiri. Agama tidak dapat dijadikan alat untuk kepentingan politik atau ekonomi. Menciptakan perdamaian dan ruang yang harmonis, menjadi kewajiban semua agama.  Menciptakan kehidupan harmonis antarumat beragama tidak boleh mengorbankan perintah agama itu sendiri. Agama harus dilepaskan dari konflik yang terjadi di beberapa wilayah dan bagian di Dunia ini. Islam mengajarkan nilai-nilai universal dan menjunjung tinggi toleransi, pluralislisme, moderat, dan perdamaian. Islam merupakan berkat bagi semua bangsa.  Berkembangnya islamo-fobia, karena tindakan dan perbuatan sebagian orang yang mengatasnamakan Islam untuk menjustifikasi tindak kekerasan yang dilakukan. Padahal, perbuatan tersebut merupakan bentuk kesalahpahaman tentang ajaran dan nilai Islam yang sebenarnya.
            Justru yang melegakan adalah pernyataan PGI dan KWI, bahwa umat Kristen dan Katolik sama sekali tidak identik dengan RMS (Republik Maluku Selatan), kelompok separatis yang belakangan bermetamorfosis menjadi FKM (Front Kedaulatan Maluku). Memang harus diakui, ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan perjanjian Malino II baik dari Kristen maupun Islam. Mereka yang dari Islam adalah Komando Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Laskar Ahlussunnah Waljamaah, Lembaga Bantuan Hukum Muslim, dan kelompok Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Mereka yang mengambil posisi berbeda ini terdapat tiga kelompok: (1) kelompok yang sama sekali tak mau berdamai, jumlahnya sangat kecil. (2) kelompok yang kecewa karena tidak dilibatkan dalam proses perdamaian dan (3) kelompok yang salah paham, yang sebenarnya ingin mempertegas isi perjanjian Malino  namun kemudian disebut tidak menyetujui Malino.

            4.  Implikasi terhadap Hubungan Agama dan Negara:
                 Membantu Mengatasi Krisis dan Menjaga Keutuhan NKRI

            Tanpa menarik diri dari garis politik kekuasaan, NU tidak akan memperoleh legitimasi moral untuk memposisikan dan memfungsikan dirinya kembali sebagai representasi civil society. Karena itu NU merasa berkepentingan melibatkan diri dalam upaya mencari penyelesaian krisis bangsa yang belum terlihat reda. NU lalu merumuskan setidaknya ada tiga titik krisis utama yang melanda bangsa ini.
            Pertama, krisis nilai (moral). Kita sudah kehilangan moralitas, khususnya moralitas sosial. Inilah yang memicu konflik-konflik horisontal, karena semua masalah disubordinasikan di bawah kepentingan, baik masalah hukum, politik, sampai ekonomi. Partai-partai politik-pun gagal melahirkan negarawan, mereka hanya mencetak politisi yang melakukan semua hal untuk kepentingan kelompoknya. Para pemimpin dilanda virus pragmatisme. Aturan-aturan dan platform  diperdagangkan, rasa malu sudah hilang , sehingga KKN dilakukan terang-terangan di depan publik. Pemberantas KKN juga kehilangan malu dengan membiarkan pelaku KKN bebas melakukan apa yang mereka mau.
            Kedua, krisis kelembagaan (sistem). Runtuhnya moralitas publik menyebakan sistem penyangganya ambruk. Sistem runtuh akibat moralitas pelaksananya yang buruk atau sistemnya sendiri memang tidak benar. Di tangan pelaksana yang bermoral korup, sistem hukum akan menjelma menjadi bisnis hukum, bukan tempat untuk mencari keadilan hukum. Lembaga perwakilan atau legislasi yang dikendalikan para politisi busuk yang tidak mempunyai visi kenegarawanan, akan menjadi instrumen legislator untuk meladeni kepentingan pihak-pihak yang sanggup memberi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Lembaga perwakilan putus hubungan dengan rakyat yang diwakilinya. Apa yang terjadi di gedung parlemen tidak berhubungan bahkan bertentangan dengan yang terjadi di masyarakat. Demokrasi menjadi ibarat permadani indah di ruang tamu, untuk sekadar menyembunyikan timbunan sampah di bawahnya.
            Ketiga, krisis persatuan. Tanpa moralitas publik dan sistem yang baik, persatuan dalam konteks ke-Indonesiaan menjadi terancam. Sentimen kesukuan dan daerahisme (yang semakin merajalela dengan berselimut otonomi daerah) yang berlebihan, misalnya, tumbuh bak jamur di musim penghujan dan kerap melahirkan konflik terbuka yang diwarnai kekerasan. Kondisi seperti ini menuntut NU untuk memberikan kontribusinya, baik berupa pemikiran maupun aksi yang cenderung memperlihatkan sebuah gerakan moral. Mengapa demikian? Karena problem ini, bukan lagi ada di wilayah politik kepartaian, melainkan politik kebangsaan. Inilah sebenarnya politik yang digariskan dalam Muktamar Yogyakarta. Kembali ke Khittah bukan berarti warga NU tidak berpolitik. Berpolitik yang diwajibkan oleh NU adalah politik kebangsaan, politik yang benar-benar diabdikan untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan, bukan politik partisan.
            Berkait dengan kepentingan untuk menjaga persatuan dan keutuhan NKRI, NU lewat Munas Alim Ulama dan Konbes di Surabaya, membuat pernyatan sikap yang diterbitkan dalam bentuk Maklumat Nahdlatul Ulama20, yang isi lengkapnya sebagai berikut:
Bahwa sepanjang sejarah Republik Indonesia, setiap upaya mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi negara apalagi upaya untuk menggantinya, terbukti senantiasa menimbulkan perpecahan di kalangan bangsa dan secara realistis tidak menguntungkan umat Islam sebagai mayoritas bangsa.
Hingga kini Pancasila sebagai ideologi negara masih tetap merupakan satu-satunya ideologi yang secara dinamis dan harmonis dapat menampung nilai-nilai keanekaan agama maupun budaya, sehingga Indonesia kokoh dan utuh tidak terjebak menjadi negara agama (teokrasi) maupun menjadi negara sekuler yang mengabaikan nilai-nilai keagamaan.
            Dewasa ini, mulai terasa upaya menarik Pancasila ke kiri dan ke kanan,  yang apabila tidak diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa  akan membahayakan dan menggoyahkan eksistensi dan posisi Pancasila itu sendiri.
            UUD 1945 merupakan pengejawantahan yang memuat tata nilai yang ada dalam Pancasila. Sementara, amandemen terhadap UUD 1945 telah menjadi kenyataan sejarah karena perkembangan kebangsaan, namun pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut, tidak boleh melampaui  tata nilai Pancasila itu sendiri.
Gerakan reformasi yang melahirkan amandemen terhadap UUD 1945, diakui telah banyak menyumbangkan demokrasi dan kebebasan hak asasi, namun dirasakan pula bahwa reformasi juga melahirkan problem-problem tertentu, maka wajar kalau reformasi direnungkan kembali.
            Pancasila  sebagai landasan yang berkerangka UUD 1945 melahirkan ketatanegaraan yang diwadahi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh karenanya maka sistem otonomi daerah dan otonomi khusus sama sekali tidak boleh menjurus kepada disintegrasi bangsa, apalagi pemisahan kewilayahan.
Perjuangan menegakkan agama dalam negara Pancasila haruslah ditata dengan prinsip kearifan, tidak boleh menghadapkan agama versus negara atau sebaliknya, tetapi dengan meletakkan agama sebagai sumber aspirasi serta menyumbangkan tata nilai agama yang kemudian diproses melalui prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap seluruh kepentingan bangsa. Sedangkan masing-masing agama di Indonesia dapat melakukan kegiatannya dengan leluasa dalam dimensi kemasyarakatan (civil society).
            Maka dengan ini Nahdlatul Ulama meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya untuk memepertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peneguhan ini dilakukan karena menurut NU, Pancasila, UUD 45 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa.


  1. Implikasi terhadap Dunia Global:
             ICIS dan Upaya Globalisasi Islam Rahmtan Lil’alamin

            Keterlibatan NU di forum internasional mulai meningkat pasca tragedi 11 September 2001 di AS, yang  mendorong meningginya suhu ketegangan Barat vis a vis Islam. Islam moderat dengan visi Islam rahmatan lil’alamin yang dipromosikan NU ke forum global kini mulai menjadi trend setter dalam wacana dunia21.
            NU termotivasi untuk ikut menyelesaikan problem dunia ini. Karena itu NU melakukan dua "jurus", yakni: lewat jalur silaturrahmi ke negara daerah konflik dan melakukan upaya advokasi institusional dengan membentuk wadah internasional yang bernama Internasional Conference of  Islamic Scholars (ICIS). Sudah dua kali ICIS mengadakan konferensi internasional di Jakarta, yang pertama 23-25 Februari 2004 dan yang kedua 20-23 Juni 2006.
            Filosofi pembentukan ICIS tidak lain terinspirasi oleh para founding fathers NU, yaitu pembentukan Komite Hijaz ketika Indonesia masih dalam genggaman penjajah Belanda. Para pendahulu NU saat itu sudah berani melakukan terobosan canggih. Inti filosofinya adalah kepercayaan diri para ulama tempo doeloe untuk memperkenalkan Islam ala Indonesia ke Timur Tengah. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh KHA. Wahab Hasbullah dan kawan-kawan bukan menjadi agen atau "pengimpor" pemikiran ke-Islaman dari luar, tetapi justru mereka sudah bertindak sebagai "pengekspor" pemikiran ke-Islaman. Sama seperti apa yang dilakukan oleh ICIS sebagai instrumen NU untuk mengintrodusir pemikiran ke-Islaman ke forum internasional. Dengan kata lain, NU bukan bagian dari international movement dari pihak mana-pun  termasuk dari Timur Tengah, tetapi justru akan bertindak sebagai inspirator menegakkan keadilan dan perdamaian lewat Islam moderat yang mempunyai "kredo": Islam rahmatan lil’alamin. Dengan kata lain lewat ICIS, NU akan melakukan globalisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil’alamin.
            Kini ICIS sudah menjadi lembaga internasional yang terdaftar di OKI (Organisasi Konferensi Islam, Organization of the Islamic Conference) dan Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia)  yang berpusat di Makkah dan terdaftar di PBB. Sejauh ini, kami sudah mengadakan beberapa kesepakatan untuk mengatasi problem dunia Islam. Baik dengan OKI, Rabithah, PBB, maupun World Conference of Religions for Peace (WCRP) kami membicarakan tentang bagaimana menangani konflik Timur Tengah; problem Israel-Palestina, Lebanon-Israel, rehabilitasi Irak setelah diagresi oleh AS, hingga soal isu nuklir Iran. Dengan pihak PBB, AS maupun dengan pihak Eropa dan Australia kami membicarakan soal Islamo phobia, penanganan terorisme dan memperkecil kesenjangan antara negara terbelakang dengan negara maju yang kerap mengakibatkan terjadinya ketidakadilan yang bisa memicu konflik.
            Untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, NU bertemu dengan tokoh kunci Timur Tengah: dengan Sekjen Rabithah Alam Islami, DR Abdullah Atturki dan Sekjen OKI, Ekmeleddin Ihsanoglu, keduanya di Makkah. Juga bertemu dengan pimpinan Islamic Development Bank (IDB) di  Jeddahi.  
            OKI sebagai organisasi Islam formal terbesar di dunia yang mempunyai posisi strategis, membership nya adalah negara. Sedangkan ICIS membership-nya adalah kalangan ulama, cendekiawan muslim dan pengamat atau pemerhati Islam. Acapkali kebijakan atau keputusan-keputusan negara Islam tidak selalu sama dengan pendapat ulamanya. Karena sikap-sikap negara Islam itu tidak hanya dipengaruhi oleh agama, tapi juga dipengaruhi oleh kepentingan politik, ekonomi, polarisasi global, serta watak dari pada rezim pemerintahan yang bersangkutan. Oleh karenanya, dalam sidang-sidang OKI tidak selalu mencerminkan pertimbangan agama murni. Ini berbeda dengan ICIS yang tidak ada kaitannya dengan ekonomi, politik, polarisasi dan sebagainya, sehingga gerakannya lebih bersifat murni agama. Kalaupun ada kemasan-kemasan lain di luar agama, hal itu hanya merupakan instrumen untuk mendukung kemurnian agama itu sendiri. Dengan demikian, apabila terjadi kerjasama yang baik antara ICIS dengan OKI, maka akan melahirkan sinergi yang memiliki kemampuan dan kekuatan besar.
            Kesadaran semacam ini memicu ICIS untuk melakukan pendekatan-pendekatan terhadap OKI. Sebagai Sekjen ICIS, alhamdulillah saya juga anggota dari Eminent Person OKI. Eminent person adalah komisi yang terdiri dari perorangan yang diambilkan dari ulama-ulama atas rekomendasi pemerintah. Dalam komisi eminent person inilah, ICIS bersama Malaysia melakukan kegiatan enlightment  moderation (pencerahan perjuangan moderasi). ICIS dengan "slogan" Islam rahmatan lil’alamin, sedang Malaysia menggunakan istilah Islam Hadhari yang sesungguhnya hampir sama. Mengapa ICIS menggunakan "slogan" Islam rahmatan lil’alamin, karena idiom itu yang secara otentik tertera dalam al-Qur'an. Kerjamasa ini menghasilkan perbaikan dari dokumen OKI yang selama ini masih cenderung pada Pan Arabisme dan Pan Islamisme, yang seakan-akan Islam adalah dunia tersendiri dan dunia global adalah dunia tersendiri pula. ICIS dan Malaysia berusaha agar semangat dikotomi ini bisa dicairkan. Maka dibuatlah tema-tema Islam dan tekonologi yang saling melengkapi. Pergaulan global dewasa ini tidak mungkin lagi dicegah, karena arus teknologi tidak mengenal batas-batas wilayah. Alhamdullilah upaya ICIS dan Malaysia ini berhasil, sehingga dokumen-dokumen yang ada di OKI telah diperbaiki dalam Summit Conference Kepala-kepala Negara OKI di Makkah, Maret 2006.
            Langkah selanjutnya, ICIS II berusaha keras agar presiden OKI bisa hadir dalam pembukaan dan menjadi pembicara di ICIS. Alhamdulillah Presiden OKI yang dijabat Abdullah Ahmad Badhawi berkenan hadir, sehingga penuangan-penuangan itu bisa diterima oleh ICIS. Dari kerjasama ini melahirkan langkah yang lebih kongkrit, seperti dalam bidang pendidikan dengan tukar menukar referensi pemikiran dari para ulama, usaha untuk melakukan peningkatan di bidang ekonomi, rumusan-rumusan di bidang budaya. Hal inilah yang membuat hubungan antara ICIS dan OKI menjadi lebih kuat. Sebelum ICIS II digelar, terdapat dua  kali pertemuan The Inaugural Meeting of the OIC Commision of Eminent Persons (CEP),  dalam rangka perbaikan dokumen-dokumen. Pertama di Kuala Lumpur, 27-28 Januari 2005 dan kedua di Islamabad, 28-29 Mei 2005. Dalam forum itu saya sampaikan aspirasi ICIS.
            Kemudian pada tanggal 28 Agustus 2006 saya sebagai Sekjen ICIS mendatangi Sekretariat Jenderal OKI di Jeddah19, kita kemukakan ide-ide itu dan OKI tertarik karena ICIS independen, tidak dipengaruhi oleh berbagai polarisasi politik, sehingga usul-usul ICIS bisa mendukung kemurnian dan kebaikan agama dan tidak lagi terkontaminasi oleh pro-kontra kepentingan sesaat. Hingga kini secara resmi ICIS adalah anggota peninjau OKI.
            Sekarang ICIS sedang diproses juga untuk menjadi anggota Rabithah Alam Islami atas permintaan lembaga itu sendiri. Ketika bertemu dengan Presiden Rabithah Alam Islami, Syaikh Abdullah Atturki, sempat saya tanyakan mengapa saya dimasukkan menjadi pengurus Rabithah, jawabannya karena mereka ingin tahu Islam di Indonesia, dan kita diminta berpartisipasi. Saya presentasikan mengenai Islam di Indonesia, yang mungkin beda dengan Islam di Arab Saudi, walau perbedaannya bukan mengenai substansi, melainkan lebih pada aspek kultural. Saya terangkan Islam rahmatan lil’alamin, Islam kualitas, sikap muslimin nasional dan sikap terhadap Barat. Rupayanya mereka tertarik dan meminta tulisan Islam secara luas. Harapan ICIS agar mereka bisa mengerti manhaj, pemikiran maupun tata laksana NU. Hal ini penting, karena selama ini proses akulturasi NU itu sering dipersoalkan oleh tokoh-tokoh Islam yang menganut paham puritan, sehingga perlu tabayun (klarifikasi).
            Kemudian pada tanggal 20 Sepetember 2006 saya bersama tim PBNU dan Deplu RI berangkat ke New York untuk menghadiri High Level Interfaith, diskusi tentang lintas agama yang diselenggarakan oleh PBB bersamaan dengan Sidang Umum PBB20. Pada 22 September 2006 dalam forum tersebut saya presentasi prinsip-prinsip Islam Rahmatan lil’alamin, dan ternyata dapat sambutan yang cukup positif. Saya berkunjung ke Sekretariat WCRP di lingkungan Markas Besar PBB, karena WCRP adalah bagian dari PBB, sebagaimana lembaga WHO, Unesco dll. Saya bertemu Sekjen WCRP Mr. Findley, saya sampaikan hasil-hasil ICIS I dan II, dan tentu prinsip Islam rahmatan lil’alamin. Saya juga memberikan usulan kongkrit, pertama, WCRP hendaknya melihat gejala kekerasan dalam agama dan lintas agama, serta hubungannya dengan Barat secara obyektif, tidak sepihak. Kedua, WCRP hendaknya menegur kelompok-kelompok agama yang menimbulkan konflik baik Islam, Kristen, Budha, Hindu dll, sehingga fungsinya menjadi kongkrit. Ketiga, meminta WCRP membuat langkah-langkah penyelamatan ajaran agama dari kekerasan non-agama. Karena faktor-faktor kekerasan konflik lintas agama itu hanya 30 persen saja, sedangkan yang 70 persen berasal dari non-agama; politis, ekonomis dll. Kekerasan non-agama itu dibungkus oleh agama, sehingga agama jadi limbah kekerasan  non-agama. Kalau bisa agama-agama yang ada dirakit untuk menghadapi kekerasan secara bersama-sama. Saya meminta agar WCRP melihat dan mempelajari Indonesia, barangkali bisa menjadi model dunia untuk penyelesaian konflik keagamaan.
            Adapun langkah-langkah kongkrit yang sudah dilakukan ICIS guna mengampanyekan Islam rahmatan lil’alamin  adalah sebagai berikut:

a.    Thailand Selatan

            Dua kali kami berkunjung ke Thailand guna membantu penyelesaian konflik muslim minoritas Thailand Selatan. Pertama pada Maret-April 2005, yang diterima oleh PM Thailand Thaksin Shinawatra, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan pejabat tinggi lainnya. Kedua, 11-12 September 2006, sepekan sebelum Thaksin dikudeta oleh militer setempat. Misi NU waktu itu adalah memberi masukan pemerintah Thailand untuk menyelesaikan konflik di tiga provinsi di Thailand Selatan, yaitu Yala, Pattani, dan Narathiwat.yang mayoritas penduduknya Muslim. Pasca penyerangan militer Thailand terhadap Masjid Krue Se di Pattani dan terbunuhnya 84 demonstran Muslim di Tak Bai, Narathiwat (Oktober 2004). Dua peristiwa berdarah ini, telah mengundang keprihatinan Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan PM Thaksin Shinawatra. Dus, dengan demikian mencoreng pemerintahan Thaksin. Undangan terhadap PBNU merupakan bagian dari program ini dan Thailand menganggap NU sebagai kelompok Islam yang moderat dan ormas Islam terbesar di Indonesia. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, NU  tak pernah menempuh jalan kekerasan untuk memperjuangkan aspirasinya. Selain itu, kultur masyarakat NU dinilai sama dengan budaya masyarakat Islam di Thailand Selatan. Karena itu, NU sangat dikenal masyarakat muslim Thailand Selatan21. 
            Harapan saya agar segera terwujud resolusi konflik di Thailand Selatan, karena itu ketika di Bangkok kemarin saya kembali tekankan kepada berbagai pihak di sana. Pertama saya menekankan agar konflik di Thailand ini harus dianggap sebagai konflik nasional, jangan sampai masuk unasir internasionalisasi, karena kalau ada internasionalisasinya penyelesaiannya akan semakin rumit.
            Yang kedua, pemeritahan Thailand harus menciptakan situasi Thai Muslem jangan diorientasikan ke Malay Muslem (Muslim Melayu), dan karena itu pemerintah harus melindungi semua warga muslim Thailand Selatan, minus teroris. Khusus mengenai teroris, pendekatannya bisa melalui pendekatan militer, tetapi penyelesaiannya harus lewat pengadilan. Karena dengan penyelesaian di pengadilan akan segera diketahui anatomi dari teroris ini: apakah dari domestik warga Thailand Selatan atau karena provokasi dari luar negeri. Kalau dari luar negeri dari unsur mana? Dari garis ekstrim kiri atau ekstrim kanan? Selanjutnya saya usulkan pendekatan militer dan scurity harus seimbanag dengan pendidikan, kesejahteraan dan keadilan.
Selanjutnya saya meminta kepada pemerintah Thailand agar mempunyai advisor yang mengerti agama Islam sehingga dia tidak salah melangkah. Seperti tentara masuk masjid pakai sepatu, hal itu menunjukkan bahwa dia tidak tahu bahwa perilaku seperti itu sangat menyinggung perasaan orang Islam. Bukti paling recently (terkini), saya diundang ke sana kemarin ini untuk ketemu Putra Mahkota, waktunya tepat waktu maghrib. Saya karena musafir, saya boleh solat jamak dengan solat Isya’. Tetapi, ulama atau tokoh Islam yang di situ kan merasa tidak dihargai keyakinannya. Jadi ini semua menunjukkan bahwa pemerintah Thailand tidak paham Islam.
Kemudian saya juga mengingatkan kepada pemerintaah Thailand agar waspada terhadap infilterasi, seperti mereka yang biasa melakukan bisnis bencana, orang  yang memanfaatkan konflik untuk ajang jual beli senjata. Karena sekarang ini di sana orang kampung dipegangi senjata, sementara pemerintah takut pemberontakan. Ini kan terbalik. Dan supaya invisible hand diperhatikan, karena setiap konflik itu mesti ada sesuatu di bawah permukaan. Saya belum melihat hal-hal ini belum ada perubahan di sana.
            Orang-orang lulusan Timur Tengah, terutama yang dari Makkah dan Madinah,  jangan membawa negara Islam yang tidak memungkinkan untuk didirikan di Thailand. Mengapa tidak mengambil guru-guru yang dari pesantren NU saja? NU mencoba menawarkan alternatif rekruitmen tenaga guru agama dan da’i. Karena sebenarnya, orang NU paling paham cara berkomunikasi dengan orang-orang Hindu dan Budha. Kepada Raja Bhumibol, Thaksin, Menlu Kanthathi maupun pemimpin Budha Thailand Somdej Phra Buddhacharya, saya sampaikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil 'alamin (pemberi kasih sayang untuk seluruh alam). Setiap agama menyuruh pemeluknya untuk berbuat baik, membantu orang lain yang kesusahan, dan hidup harmonis dengan lingkungan. Prinsip ini tidak hanya berlaku bagi sesama muslim, terhadap pemeluk agama lain pun berlaku sama.
            Meski demikian, setiap agama juga mempunyai kekhususan yang berbeda dari agama lain. Perbedaan ini terutama menyangkut akidah dan ritual. Karena itulah yang sama tidak perlu dijadikan beda dan yang beda tidak perlu disamakan. Dalam kondisi seperti ini, negara wajib melindungi dan memberi kebebasan yang sama kepada semua umat beragama dalam menjalankan ajaran agama mereka.




b.          Syiria

            Gonjang-ganjig politik menggelisahkan rakyat Syiria takkala AS mengancam akan memberi sanksi politik dan ekonomi, lantaran tuduhan yang dialamat terhadap rezim Assad membunuh mendiang PM Lebanon Rafik Hariri. Bahkan jika Syiria tidak mau ambil jalan kompromi, maka diancam dengan serangan. Karena itu saya dan beberapa kyai datang ke sana atas nama ICIS untuk mempelajari masalahnya, ternyata tuduhan itu tidak terbukti. Maka saya mengambil inisiatif untuk mendukung moral terhadap Syria, bahwa Syiria sebuah bangsa dituduh begitu saja tanpa bukti-bukti otentik, jangan-jangan seperti terhadap Irak yang dituduh mempunyai senjata pemusnah massal tapi belakangan tidak terbukti hanya untuk melakukan justifikasi terhadap serangan. Maka saya bertemu dengan Menteri Wakaf dalam suatu arena media perlemen rakyat di Damaskus, yaitu sebuah kemah tempat rakyat menanyakan sesuatu terhadap wakil-wakilnya di parlemen. Saya dan delegesi menyatakan dukungan terhadap Syiria dan menandatanagani sebuah statemen bahwa ICIS dan NU mendukung moral terhadap perjuangan rakyat Syiria untuk menghadapi tuduhan AS itu. Alhamdulillah sampai sekarang tidak ada peristiwa-peristiwa lagi.
            Di Syiria banyak ulama kaliber dunia, seperti Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Said Ramadhan dan Dr Salahuddin Kaftaru yang mempunyai banyak tulisan ilmiah tentang agama, baik di bidang tasawuf, tafsir, tauhid, syariah maupun masalah-masalah muamalah dan politik Islam. Tulisan-tulisan tersebut banyak  menjadi referensi kita karena bervisi ahlussunna waljama’ah.  Di samping itu,  karena saya berangkat dengan Kyai Masruri, Kyai Nur Muhammad Iskandar, dan Kyai Idris Mrazuki, maka bersama-sama dengan saya diberi ijazah oleh Syaikh Wahbah Zuhaili  dan Said Ramadhan untuk mengajarkan kitab-kitab beliau dan mengharapkan kepada PBNU agar meterjemahkan kitab-kitab tersebut, alhamdulillah sekarang sudah dalam proses penerbitan oleh LTN NU.
            Dengan demikian maka tawassuth yang dianut oleh NU bukan berarti tidak punya sikap. Tawassuth adalah jalan tengah tetapi berdasarkan kebenaran dan keadilan, bukan jalan tengah yang tidak bersikap, sehingga selalu melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip keadilan yang tidak terbatas pada negara. Misalnya sewaktu AS diserang pada 11 September 2001, kita ke AS untuk menyampaikan simpati dan bela sungkawa; kita berpihak kepada pemberantasan terorisme. Tatapi saat AS hendak menyerang Irak tentu kita cegah.  Sama halnya dengan yang kita lakukan di Syiria. Jadi kita tidak melakukan pembelaan terhadap salah satu pihak, tetapi kita melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip keadilan. Siapa pun yang dirusak atau tidak diperlakukan dengan adil maka kita akan melakukan minimal moral support.

c.           Iran

            Timbul polemik yang memanas di Iran tentang senjata nuklir untuk tujuan damai dan juga diancam oleh AS untuk diberlakukan sanksi lewat Dewan Keamanan PBB. DK PBB akan memberi sanksi kepada Iran karena pihak AS dan Barat tidak percaya kalau nuklir itu untuk tujuan damai atau teknologi damai. Ketidakpercayaan itu tidak juga hilang sekalipun tanpa bukti. Di sinilah kedigdayaan AS. Kita datang ke Iran untuk mempelajari persoalannya.  Setelah mendapat jawaban pasti dari Presiden Mahmud Ahmadi Nejad, Ketua Parlemen dan para ulama Syi'ah di sana, bahwa tidak ada nuklir untuk senjata, maka kita melakukan dukungan moral terhadap Iran dalam masalah nuklir untuk tujuan damai. Inilah yang menarik perhatian dari Iran, sehingga ketika Presiden Iran berkunjung ke Indonesia memerlukan mampir di PBNU.
            Persoalan ini jangan disalah pahami bahwa kita setuju pada ajaran Syi'ah. Tetapi kita sedang bicara tentang keadilan dan hak-hak setiap negara untuk membela kepentingan dan hak-haknya tanpa harus ketakutan dengan hegemoni AS. Sekarang hubungan NU dengan Iran menjadi meningkat. Kita tidak pernah masuk level pembicaraan tentang ideologi, karena memang syi'ah dan sunni berbeda, tetapi perbedaan itu tidak boleh menghilangkan pembelaan terhadap ketidakadilan.
            Mengenai isu nuklir Iran, PBB agar menghormati dan menjamin keinginan tiap negara melaksanakan sesuai Traktat Non-Proliferasi yang membolehkan mengembangkan teknologi nuklir untuk maksud dan tujuan damai, termasuk Iran. Sebaliknya, Iran  harus  memenuhi komitmennya sebagai Negara Pihak NPT. AS beserta sekutunya, hendaknya menjauhi cara-cara kekerasan dalam penyelesaian kasus Iran, seperti tindakan yang dilakukan terhadap Irak dan Afghanistan.


d.          Pakistan

            Ketika ICIS menghadiri Konferensi II OIC CEP (Commission of Eminent Persons) di Islamabad, 28-29 Mei 2005 untuk memperbaiki dokumen-dokumen OKI, saya menyempatkan datang ke para ulama sunni dan syi'ah yang ada di sana. Kemudian saya presentasikan wawasan tentang ukhuwwah Islamiyah dan bahaya pemecahbelahan dari orang luar ke dalam kelompok-kelompok sunni vs syi'ah. Dalam pertemuan itu, saya dipanelkan dengan Menteri Agama Pakistan, dihadiri pula ulama-ulama sunni dan syi'ah.
            Satu hari sebelumnya, ada bom meledak melanda kelompok syi’ah. Serta merta yang diduga memprovokasi adalah kelompok sunni. Kemudian memang ada aksi pembalasan dari kelompok syi'ah terhadap kelompok sunni. Akhirnya kita mempelajari kasus Islamabad ini. Setelah kita konfirmasikan, ternyata memang ada konflik, tapi konflik itu belakangan meningkat karena ada tangan-tangan kotor dari luar yang mengipasi.
            Kasus ini memberi pengertian kepada kita, bahwa setiap ada celah pertikaian selalu dimasuki oleh orang luar. Pertikaian itu adalah larangan agama, sehingga setiap larangan agama kita langgar, maka akan masuk angin. Di sini tugas ICIS adalah menggerakkan ukhuwwah Islamiyah di Pakistan. Pakistan sarat masalah politik, karena menjadi tempat berpijak AS untuk menyerang Afghanistan dan memberantas 'terorisme', sehingga sangat kental nuansa politiknya dalam pertikaian atau konflik agama.

e.           Vatikan

            Kami dua kali berkunjung ke Tahta Suci Vatikan, di Roma dalam rangka memperkenalkan dan memberi pemahaman Islam moderat yang rahmatan lil’alamien. Yang pertama pada waktu Paus Yohannes Paulus II, ketika AS belum menyerang Irak. Misi kedatangan kami ke sana adalah meminta dukungan Paus supaya memperkuat penolakan kita terhadap rencana serangan AS ke Irak. Semula kita menduga mungkin Paus tidak merespon persoalan serangan Irak ini. Ketika itu rombongan dipimpin oleh Kardinal Darmaatmadja, sejawat dari KWI. Ternyata di luar dugaan, sikap Paus jauh lebih keras dari umat Islam di Indonesia, ia mengatakan serangan terhadap Irak bukan hanya tragedi kemanusiaan tetapi tragedi agama, bahkan tragedi sejarah. Begitu kita sampai di sana, langsung Kardinal yang ada di AS diberi tugas oleh Paus untuk mendukung Deklarasi Anti Perang Lintas Agama yang dimotori oleh Gerakan Moral Nasional (Geralnas) Indonesia, supaya segera menyampaikan ke pemerintah AS. Ketika itu kelihatan bahwa sesungguhnya agresi-agresi AS tidaklah didukung oleh agama, baik agama Islam, Katolik, maupun Protestan. Sehingga dapat dikatakan bahwa agresi-agresi AS itu tidak muncul dari agama.
            Kali kedua, saya datang ke Vatikan atas undangan Duta Besar Indonesia di Vatikan untuk mempromosikan Islam moderat. Kami bertemu HE Archbishop Michael Fitzgerald (President of Pontical Council for Interreligious Dialogue)  pada  28-30 September 2005 dengan tema  Dialog “Islam in Pluralistic Society”. Kita berdiskusi tentang co-eksistensi, pro-eksistensi dan toleransi. Co-eksistensi adalah menghargai eksistensi masing-masing tanpa harus mengintervensi hal-hal dari agama lain yang memang berbeda dan tidak pula menyerang secara apriori keyakinan agama lain yang memang berbeda. Pro-eksistensi adalah inisiatif dan kreasi dari maising-masing agama untuk menciptakan modus-modus bersama, modus vevendi. Ketika itu kita rumuskan toleransi dan moderasi. Moderasi menurut NU-Vatikan adalah moderasi pemikiran dalam agama, yaitu keseimbangan antara keyakinan dan toleransi. Jadi seorang moderat harus menghargai keyakinan yang lain, tetapi tidak perlu mereduksi agamanya sendiri hanya untuk melakukan toleransi.
            Hal-hal seperti itulah yang pada tahun 2006 juga kita bawa ke Porto Alegro dalam Assembly IX di Brasil, WCC (Wolrd Council of  Churches) milik Protestan yang berpusat di Genewa. Di Assembly ini saya bawakan tentang garis moderasi NU dan Islam di Indonesia serta kesepakatan-kesepakatan yang pernah kita ambil. Ternyata hal itu juga disetujui oleh kelompok Krsiten Protestan. Pada saat itulah tanggal 16 Februari 2006 ada statement bahwa gereja-geraja Protestan di AS meminta maaf kepada dunia karena tidak mampu mencegah pemerintah dan presiden AS melakukaan agresi. Ini semua memperlihatkan, bahwa kemelut dunia itu hakikatnya tidak timbul karena semata-mata faktor agama. Faktor agama berabad-abad tenang, sekalipun diakui bahwa masing-masing agama mengidap penyakit ekstrimisme, baik di Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun Katolik. Konflik yang sekarang terjadi di mana-mana adalah hegemoni politik dan ekonomi yang menggunakan label agama secara timbal-balik dalam hukum sebab-akibat. Karenanya, maka perjuangan kita sekarang ini adalah bagaimana memurnikan agama sebagai agama, kemudian memilah agama dari faktor non-agama yang diagamakan. Di samping itu juga memperdekat jarak antara agama dengan perilaku pemeluk agama, karena pemeluk agama itu tidak selalu berbuat sesuai ajaran agamanya. Ini semua adalah perjuangan besar di dunia yang dipromosikan oleh NU melalui ICIS dan mendapat sambutan positif di mana-mana.

f. Uni Eropa

            Pertemuan kami dengan Presiden Uni Eropa, Javier Solana juga dalam misi yang sama dengan ke Vatikan, yaitu mencari dukungan untuk mencegah agresi Bush ke Irak. Tetapi Uni Eropa waktu itu terbelah, sebagian pro serangan ke Irak dan sebagian anti  serangan ke Irak. Sesuai penjelasan Solana ketika datang ke PBNU baru-baru ini, diakui di Uni Eropa sendiri sudah melihat ekses-ekses dari serangan AS ini. Karena itu, timbulllah demo-demo anti Bush, demo-demo anti serangan AS ke Irak di daratan Eropa sendiri. Sekalipun ketika sebelum penyerangan sebagian mereka mendukung. Gelombang ini merembet ke mana-mana, sehingga kehadiran Bush di Indonesia pun disambut dengan bermacam demo di mana-mana. Apalagi Indonesia sebagai negara yang jumlah umat Islamnya tersebsar di dunia, tentu mempunyai empati terhadap hancurnya negara-negara yang berpenduduk muslim.
            Dalam penanganan Irak pasca agresi AS, semua pihak harus menghormati kedaulatan Irak sebagai negara merdeka. Karena itu, seluruh pasukan asing di Irak harus ditarik dan digantikan pasukan PBB. PBB hendaknya mengkoordinasikan seluruh Negara untuk pembangunan kembali Irak. Kepada para pemimpin dan seluruh rakyat Irak untuk bersatu dan membangun kembali Irak pasca agresi.
            Maqsud al-a’dham (main goal) konteks hubungan dengan negara-negara Barat agar kita tidak melakukan dikotomi antara Islam dengan Barat. Upaya yang kita lakukan adalah mempromosikan nilai-nilai tawassuth di kalangan ulama muslimin seluruh dunia dari segala madzhab dan aliran pemikiran. Di samping itu kita juga mengundang observer dari negara-negara Barat yang memiliki studi Islam di negaranya masing-masing. Dengan demikian, maka hubungan internasional NU dengan dunia Barat menjadi baik karena sudah terprogram dalam kerangka rahmatan lil 'alamin.
            Semua ini kita lakukan dalam lima tahun terakhir. Inilah upaya-upaya yang dilakukan NU dalam rangka menyebarkan Islam rahmatan lil’alamin dengan pendekatan tawassuth dan i’tidal-nya dalam konteks internasional dengan suatu muara akhir terciptanya keseimbangan antara Timur Tengah dengan Barat.

g.  Australia

            Waktu orang Australia menjadi korban bom Bali I, maka kita ke sana untuk menyampaikan bela sungkawa dan berziarah ke makam korban. Kita nyatakan, kami adalah Islam moderat yang anti terorisme dan kami bersama Australia juga bertekad memerangi terorisme. Tetapi ketika Australia mendukung serangan AS ke Irak, kebetulan saya ada di Melbourne, banyak sekali masyarakat Melbourne yang demosntrasi menentang perang itu, dan saya selaku delegasi juga ikut terjun menentang dalam demosntrasi tersebut.
            Kami juga menjalin hubungan interfaith di Australia bersama para tokoh agama yang lain dari Indonesia, seperti pinpinan Katolik Indonesia Kardinal Nathan Darmaatmadja, pimpin Kristen (PGI) Yewangoe dan lainnya. Kita juga memberikan bantuan dalam usaha memerangi terorisme. Dengan demikian hubungan kita dengan Australia menjadi baik. NU melakukan kerjasama dalam bidang pendidikan, sekarang sudah banyak anak-anak NU yang studi di Australia . Program kerjasama yang sekarang sedang berjalan antara PBNU dengan Australia adalah tentang Manajemen Penanganan Kesiapan Penanggulangan Bencana di pesantren-pesantren, yang menelan biaya sekitar 700.000 Dolar Australia, atau sekitar Rp 4 miliar.


h. Inggris

            Lewat ICIS kita juga melakukan hubungan networking dengan Inggris,  yaitu bekerjasama dengan The British Council. Hasilnya yang sudah dan sedang berjalan adalah kita berkali-kali mengirim tenaga-tenaga muda dari pesantren ke Inggris mengikuti Pelatihan Manajemen Pendidikan dalam bentuk kursus singkat (shortcourse). Program pelatihan manajemen pendidikan ini sekarang sudah memasuki angkatan ke empat, masing-masing angkatan memberangkatkan sekitar 20-30 orang.  Selain kerjasama dalam bidang kepelatihan, kita juga mengirim beberapa anak NU yang studi lanjut di sana, mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Inggris.



i. Jerman

            Sementara kerjasama NU dengan negara-negara Eropa, terutama dengan Jerman lewat yayasan Hanns Siedel Stiftung yang merupakan foundation dari Partai Pemenang Pemilu di Jerman yang pada umumnya Katolik. NU juga menjalin hubungan interfaith, persaudaraan roundtable di Brussel. Program kerjasama dengan Jerman dilanjutkan dalam bidang pendidikan yang ditangani Lembaga Ma’arif.

j. Palestina dan Israel

            Kami mendukung Pemerintahan Baru Palestina yang melibatkan Partai Fatah.  Sebaliknya kita kecam agresi militer Israel di Gaza, Palestina dan penahanan sejumlah anggota Kabinet dan Parlemen Palestina. Penghukuman kolektif dan penghancuran instalasi sipil oleh Israel, jelas bertentangan dengan hukum internasional. Agresi dan tindak kekerasan militer Israel harus dihentikan dan para pemimpin Palestina yang ditahan harus dibebaskan. Baik Palestina maupun Israel hendaknya kembali ke jalur dialog dan negosiasi. Pihak Kuartet perlu menggelar kembali proses damai yang terhenti. Kita dan semua pihak harus mendukung terbentuknya Negara Palestina yang berdaulat.
                                                                                                                       
k. Amerika Serikat

            Ketika saya dan tim PBNU menghadiri undangan pemerintah AS, tak berapa lama pasca tragedi 11 September 2001, dan ketika berdialog langsung dengan Presiden AS George W Bush di Bali kami menjelaskan tentang Islam Rahmatan Lil’alamin ini, bahwa wajah Islam yang sebenarnya bukanlah yang dipresentasikan oleh kelompok-kelompok radikal, melainkan wajah yang penuh keramahan dan penghormatan pada sesama dalam realitas keragamannya.
            Ironisnya, informasi dan pemahaman terhadap Islam di Barat  masih mainstream Islamo phobia, terutama pasca tragedi tumbangnya Twin Tower World Trade Center (WTC) 11 September  2001 di AS. Islam sering disalahmengertikan, sehingga terjadi ’ketegangan’ antara Islam vis a vis Barat. Barat sendiri sebenarnya sudah mengklarifikasi terhadap opini yang berkembang, bahwa terjadi perbenturan antara Islam dengan Barat. Sebagaimana diakui oleh Samuel P. Huntington2 bahwa masyarakat Barat, termasuk Presiden AS Bill Clinton waktu itu sepakat, bahwa Barat tidak mempunyai masalah dengan Islam, tetapi memiliki masalah dengan kaum ekstrimis Islam. Konflik abad XX antara demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme hanya bersifat sementara dan superficial dibanding ketegangan antara Islam vis a vis Barat (Kristen).
            Maka tatkala terjadi ‘Deklarasi Perang’ terhadap terorisme oleh George W Bush semakin menyuburkan sikap negative thingking terhadap Islam, sehingga Islam diidentikkan dengan segala macam simbol dan fenomena yang cenderung berkonotasi negatif, seperti terorisme, kekerasan, fundamentalis, lusuh, diktator, ortodok, tidak menghargai pluralisme dan sejenisnya. Harus diakui, kesan-kesan negatif terhadap Islam seperti ini adalah akibat dari pemberitaan media massa Barat yang entah sengaja atau tidak, secara sistematis berusaha menyebarluaskan pandangan-pandangan streotipikal dan pejoratif tersebut. Propaganda pembentukan citra negatif terhadap Islam bahkan dilakukan dalam penerbitan buku-buku ilmiah, menurut sebuah survey terdapat sekitar  60 ribu lebih buku yang isinya menentang Islam selama kurun 150 tahun.          

l. PBB

            Di Markas PBB kami menjelaskan, bahwa NU bisa hidup rukun bersama saudara-saudaranya sesama muslim yang berbeda aliran dan madzhab. NU juga mampu bertoleransi dengan warga non-muslim. Dengan sikap seperti ini, NU bisa meminimalisasi konflik dan ketegangan antar agama. NU menjaga keseimbangan dan keserasian dengan masyarakat lintas budaya dan lintas agama. NU menjadi titik temu dan titik tengah elemen-elemen bangsa, serta perekat hidup rukun dalam berbangsa dan bernegara.
            Kita mendesak PBB memfasilitasi dan memediatori dialog antar peradaban agar tercipta kondisi dunia yang aman, tenteram dan damai. Sehingga ketegangan Islam vis a vis Barat, secara bertahap dapat diselesaikan. Dalam penyelesaian konflik Timur-Tengah, misalnya penyelasaian Lebanon pasca agresi militer Israel, PBB harus bertindak tegas terhadap Israel yang nyata-nyata melanggar hukum internasional. Beruntung PBB segera mengeluarkan resolusi PBB nomor 1701 yang dapat menghentikan serangan Israel ke Lebanon. Resolusi tersebut harus ditaati semua pihak, terutama Israel yang beberapa kali melanggar. Negara-negara Islam mesti berpartisipasi dalam Pasukan Perdamaian PBB untuk menjaga perdamaian di Libanon. Israel harus mengganti seluruh kerugian yang diderita Lebanon akibat serangan militer dan membangun kembali fasilitas dan infrastuktur yang rusak. Dalam hal ini,  PBB bertindak sebagai koordinatornya.

IV. KESIMPULAN
     

Belum ada ! Harap disimpulkan dari:
1.      Perspektif Teoritis: a……., b………, c………, d………..
2.      Perspektif Empiris: a……., b………, c………., d………., e……….
                                                                                                                       












Daftar Bacaan

Abd. Rahman, Musthafa, 2002, Dilema Israel: Antara Krisis Politik dan
     Perdamaian, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

---------------------, 2002, Jejak-Jejak Juang Palestina, dari Oslo hingga Intifadah
     Al Aqsa, Jakarta,  Penerbit Buku Kompas.

Abed Al Jabiri, Muhammad, 2001, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta,
     LKIS.

Abied Shah, M. Aunul, et. all., 2001, Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran
     Islam Timur Tengah, Bandung, Mizan.

Adian, Donny Gahral, 2001, Arus Pemikiran Kontemporer,  Yogyakarta,
     Jalasutra.

Ali Engineer, Asghar, 2000, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Al-Qardhawi, Yusuf, 1988, Mengapa Kita Kalah di Palestina?, Bandung,
     Penerbit Pustaka.

Ayalon, Ami, editor, 1991, Middle East Contemporary Survey, Vol. XIII, 
     Colorado, USA, Westview Press,Inc.

Amien Rais, M., 1999, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Bandung,
     Mizan.

Armstrong, Karen,  2001, Berperang Demi Tuhan, Bandung, Mizan.

------------, Holy War, 1988, The Crusades and Their Impact on Today’s World.
     New York, Anchor Books, Doubleday.

-------------, 2001, Sejarah Tuhan, Bandung, Mizan.

Bandoro, Bantarto, 1991, Timur Tengah Pasca Perang Teluk, Dimensi Internal
     dan Eksternal, Jakarta, CSIS.

Banuazizi, Ali and Weiner, Myron, 1994, The New Geopolitics of Central Asia
     and Its Borderlands, Bloomington and Indianapolis, Indiana University Press.

Barakat, Halim, 1993, The Arab World: Society, Culture, and State, USA,
     University of California Press.

Binder, Leonard, 2001, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi  
     Pembangunan, Yogyakarta.


Boyle, Francis, 2002, Bohong Besar: Palestina dan Hukum Internasional,
     Jakarta, Alvabet.

Brockers, Mathias, 2003, Konspirasi, Teori-teori Konspirasi & Rahasia 11.9.,
     Jakarta, Penerbit PT. Ina Publikatama.
    
Carleton, Patrick, 1939, Buried Empires, The Earliest Civilizations of the Middle
     East, Chicago, E.P.Dutton & Co.,Inc.


Copeland, Miles, 1969, The Game of Nations, The Amorality of Power Politicts,
     New York, Simon and Schuster.

Coser, Lewis A., 1967, Continuities in The Study of Social Conflict, New York,
     The Free Press.

Coser, Lewis, 1956, The Functions of Social Conflict, New York, The Free Press.

Creswell, John W., 1994, Research Design Qualitative & Quantitative
     Approaches, California, Sage Publications.

Dahrendorf, Ralf, 1959, Class and Class Conflict in Industrial Sosiety, California,
     Stanford University Press.

Davis, John H., 1968, A Study of The Zionist/Arab Problem: The Evasive  
     Peace, London, Cox & Wyman Ltd.

Demko,George J. and Wood, William B., 1994, Reordering the World:
     Geopolitical Perspectives on the Twenty-First Century. Eds.2, Colorado,
     USA, Wesview Press.

Dipoyudo, Kirdi, 1981, Timur Tengah: Pusaran Strategis Dunia, Jakarta, CSIS.

-------------------, 1977, Timur Tengah dalam Pergolakan, Jakarta: CSIS, 1977.

Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta, PT Raja Grafindo
     Persada.

Friedman,Thomas L., 2002, Understanding Globalization: The Lexus and The
     Olive Tree, New York, Anchor Books, 2000, edisi terjemahan oleh Tim ITB,
     Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun,   Bandung, ITB, 2002.

Garaudy, Roger, 1984, Janji-janji Islam, Jakarta, Bulan  Bintang.

-------------------, 2000, Mitos dan Politik Israel, Jakarta, Gema Insani.

Gerges, Fawaz A., 1999, America and Political Islam: Clash of Civilization or
     Clash of Interrest?, New York, USA,  The Press Syndicate of The University
     of Cambridge, 1999, edisi terjemahan, 2002, Amerika dan Islam Politik:
     Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan?, Jakarta, AlvaBet.

Hart, B.H. Liddell, 1960, Strategy, Sixth Printing, New York, Frederick A.
     Praeger.

Hasheem, Waheed Hamzah, 1991, Global Superpower Politics in The Third
     World, Kuala Lumpur, Goldana Coporation SDN. BHD.

Hefner, Robert W., 2001, Civil Islam, Jakarta, ISAI dan LKIS.

Hidayat, Komaruddin, 1996, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
     Hermeneutika, Jakarta, Yayasan Paramadina.

Hilal, Iyad, 2000, Palestina Akar Masalah dan Solusinya, Bogor, Pustaka
     Thariqul Izzah.

Hitti, Philip K., 2001, Sejarah Ringkas Dunia Arab,  Yogyakarta, Iqra' Pustaka.

Huntington, Samuel P., 1996, The Clash of Civilizations and Remaking of World
     Order, Edisi Terjemahan dalam, 2002,  Benturan Antar Peradaban dan
     Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta, Qalam.

Husaini, Adian, 2001, Mau Menang Sendiri; Israel Sang Teroris yang
     Pragmatis?, Jakarta, Pustaka Progresif.

Janowitz, Morris, 1970, Political Conflict: Essays in Political Sociology, Chicago,
     Quadrangle Books.

Johnson, James Turner, 1997, The Holy War Idea in Western and Islamic
     Traditions, Pennsylvania, USA, The Pennsylvania State University  Press,
     edisi terjemahannya,  2002, Perang Suci Atas Nama Tuhan dalam Tradisi
     Barat dan Islam, Bandung, Pustaka Hidayah.

Khadduri, Madjid, 2002, War & Peace In The Law of Islam, edisi terjemahan 
     Perang & Damai dalam Hukum Islam, Yogyakarta, Tarawang Press.

Khaldun, Ibnu, 2000, Muqaddimah, Jakarta, Pustaka Firdaus.

Khattami, Muhammad, 1998, Membangun Dialog Antar Peradaban,  Bandung,
     Mizan.

Kipper, Judith and Saunders, Harold H., 1991, The Middle East in Global
     Perspective, Colorado, Westview Press.


Lapidus, Ira M., 1999, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Long, David E. And Reich, Bernard, 2002, The Government and Politics
     of the Middle East and North Africa, Fourth Edition, Colorado, USA,
     Westview Press.

Mahajan, Rahul, 2002, The New Crusade: America’s War on Terrorism, New
     York, Monthly Review Press, atau terjemahannya, 2002, Perang Salib Baru,
     Amerika Melawan Terorisme atau Islam?, Jakarta: Serambi.

Marlow, Louise, 1999, Masyarakat Egaliter Visi Islam, Bandung, Penerbit
     Mizan.
       
Maulani, Z.A., 2002, Zionisme: Gerakan Menaklukkan Dunia, Jakarta, Penerbit
     Daseta.

Muttaqin, Farid & Sukidi, 2001, Teroris Serang Islam, Babak Baru Benturan
     Barat-Islam, Bandung, Pustaka Hidayah.

Nye, Joseph S, 1993, Understanding Internasional Conflicts, An Introduction to
     Theory and History, New York, Harper Collins College Publishers.

Parry, Albert, 1976, Terrorism from Robespierre to Arafat, New York, The
     Vanguard Press, Inc.

Patai, Raphael, 2002, The Arab Mind, Revised Edition, New York, Hatherleigh.

Sayyid Al-Wakil, Muhammad, 1998, Wajah Dunia Islam: dari Dinasti Bani
     Umayyah hingga Imperialisme Modern,   Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.

Shoelhi, Muhammad, 2003, Demi Harga Diri Mereka Melawan Amerika,
     Jakarta,  Puzam.

Sicker, Martin, 2000, Pang of Messiah: The Troubled Birth of The Jewish State,
     Westport, Connecticut, London, Praeger Publisher.


Sihbudi, Riza M. et. all., 1995, Profil Negara-negara Timur Tengah, Jakarta,
     Pustaka Jaya.

-------------, 1993, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung, PT Eresco.

-------------, 1992, Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru,
     Jakarta, Pustaka Hidayah.

Swingle, Paul, 1970, The Structure of Conflict, New York and London,
     Academic  Press.

Yahya, Mukhtar, 1985, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur
     Tengah Sebelum Lahir Islam, Jakarta, Bulan Bintang.

Zallum, Abdul Qadim, 2001, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah,
     Bangil-Jatim, Al-Izzah.

































CURRICULLUM VITAE
DRS H AHMAD HASYIM MUZADI

Nama                                       : Ahmad Hasyim Muzadi
Tempat dan Tanggal Lahir      : Tuban, 8 Agustus 1944
Agama                                     : Islam
Alamat                                                : Gedung PBNU, Jl Kramat Raya 164 Jakarta
Telepon                                               : 62-21-3908424
Faks                                         : 62-21-3908425

PENDIDIKAN
1.                  Madrasah Ibtidaiyyah Tuban-Jawa Timur (1950-1953)
2.                  SD Tuban-Jawa Timur (1954-1955)
3.                  SMPN 1 Tuban-Jawa Timur (1955-1958)
4.                  KMI Gontor Ponorogo-Jawa Timur (1956-1962)
5.                  PP Senori Tuban-Jawa Timur (1963)
6.                  PP Lasem-Jawa Tengah (1963)
7.                  IAIN Malang-Jawa Timur (1964-1969)

BAHASA
1.                  Indonesia
2.                  Inggris
3.                  Arab

PENGALAMAN PROFESIONAL
1.                  Angggota DPRD II Malang Jawa Timur (1972-1982)
2.                  Anggota DPRD I Jawa Timur (1986-1987)

PENGALAMAN KEORGANISASIAN
1.                  Ketua Ranting NU Bululawang-Malang (1964)
2.                  Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang (1965)
3.                  Ketua PMII Cabang Malang (1966)
4.                  Ketua KAMI Malang (1966)
5.                  Ketua GP Ansor Cabang Malang (1967-1971)
6.                  Ketua DPC PPP Malang (1973-1977)
7.                  Ketua PCNU Malang (1973-1977)
8.                  Ketua PW GP Ansor Jawa Timur (1983-1987)
9.                  Ketua PP GP Ansor (1987)
10.              Sekretaris PWNU Jawa Timur (1987-1988)
11.              Ketua PWNU Jawa Timur (1992-1999)
12.              Ketua Umum PBNU (1999-2009)
13.              Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS, 2004-2008)
14.              Anggota Commission of Eminent Persons (CEP) Organization of Islamic Conference (OIC), 2006-Sekarang
15.              Anggota Majelis Pelaksana Muslim Word League (2006-Sekarang)
16.              Presiden Word Conference of Religions for Pece (WCRP) 2006


PUBLIKASI
1.                  Membangun NU Pasca Gus Dur, Jakarta, Grasindo, 1999
2.                  NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Jakarta, Logos, 1999
3.                  Menyembuhkan Luka NU, Jakarta
4.                  Penulis Kolom Refleksi Harian Nasional REPUBLIKA
5.                  Penulis Opini di Koran Sindo
6.                  Penulis di Koran Kompas
7.                  Penulis di The Jakarta Post
8.                  Penulis di Koran Tempo
9.                  Penulis di Jawa Pos
10.               dll.

KUNJUNGAN KETUA UMUM PBNU KE LUAR NEGERI
1.                  Sudan, 2 Januari 2002
2.                  Msir, Januari 2002
3.                  Singapura, 3 Februari 2002
4.                  Amerika, 4 Februari 2002
5.                  Yaman, 17-19 Mei 2002
6.                  India, 6-10 Juni 2002
- Pengundang              : Jamia Millia Islamia
- Acara                                    : 1. Berkunjung ke University of Jamia Millia Islamia
                                      2. Berkunjung ke Jawarlal Nehru University
                                      3. Bertemu Wakil Presiden India
                                      4. Bertemu Perdana Menteri India
                                      5. Bertemu Gubernur Andhra Pradesh
7.                  Inggris, 29 September-5 Oktober 2002
- Pengundang              : The British Council
- Acara                                    : 1. Berkunjung ke House of Lords
                                      2. Bertemu FCO Minister Mr Michael O ‘Brien
                                      3. Berkunjung ke Muslim Council of Britain
                                      4. Berkunjung ke Islamic Culture Centre
                                      5. Berkunjung ke Al Koei Foundation
                                      6. Berkunjung ke School of Oriental and African Studies (SOAS)
                                      7. Berkunjung ke The British Library
                                      8. Berkunjung ke Markfield Institute of Higher Education (MIHE)
                                      9. Berkunjung ke University of Birmingham
8.                  Singapore, 28-29 Oktober 2002
- Pengundang              : Departemen Pertahanan Singapore
- Acara                                    : 1. Bertemu Mr Raymond Wong (Director for International Affairs)
                                      2. Bertemu Mr Barry Desker (Director for Institute of Defence
                                          And strategis Studies/IDSS)
                                      3. IDDS Forum “The Challanges Facing Islam in Indonesia”
                                      4. Bertemu Mr Abdullah Tarmugi (Spekaer of Parliament)
9.                  Australia, Februari 2003
10.              Vatikan, 19-20 Februari 2003
- Pengundang              : Pemerintah Vatikan
- Acara                                    : Bertemu Paus Yohanes Paulus II
11.              Belgia, 20-25 Februari 2003
- Pengundang              : Pemerintah Belgia
- Acara                                    : Seminar
12.              Jerman, 27 April-3 Mei  2003
- Pengundang              : Federal Government & Hanns Siedel Stiftung
- Acara                                    : 1. Berkunjung ke KBRI Berlin
                                      2. Berkunjung ke Hanns Siedel Stiftung
                                       4. Berkunjung ke Deutscher Bundestag (German Parliament)
                                       5. Berkunjung ke Institut fur Islamwissenschaften
                                       6. Berkunjung ke Turkish Community of Berlin
                                       7. Berkunjung ke Federal Foreign Office
                                       8. Bertemu Mr Klaus Jurgen Hedrich
                                       9. Bertemu Director of ettal Monastery
                                     10. Bertemu Bavarian Cooperative Federation
                                     11. Bertemu Dr Rainer Gepperth (Director of the Institute for
                                           International contact and cooperation)
                                     12. Bertemu Dr Ingo Friedrich, MdEP
                                     13. Berkunjung ke Catholic News Agency

13.              Mesir, 23 Mei 2003
14.              Iran, Juni 2003
15.              Mesir, Juli 2003
16.              Denmark, 8-11 Agusus 2003
- Pengundang              : Danish Center for Culture and Development (DCCD)
                                      Danish Accociation for International Coopertaion (DAIC)
- Acara                                    : 1. Seminar “Images of Asia”
                                      2. Bertemu Director of DCCD Grethe F Rostbell
                                      3. Bertemu Director of DAIC Henning Kjaer
17.              Jerman, 7-9 September 2003
- Pengundang              : Comunita di Sant Egidio
- Acara                                    : International Peace Meeting
18.              Libya, September 2003
- Pengundang              : KBRI Oslo
- Acara                                    : 1. Forum on Indonesia “The Challenge of Reform : the
                                          Indonesian Experience”
                                      2. Bertemu Dubes RI Hatanto Reksodipoetro
19.              Norwegia, 26-30 September 2003
- Pengundang              : KBRI Oslo
- Acara                                    : 1. Forum on Indonesia “The Challenge of Reform : the
                                          Indonesian Experience”
                                      2. Bertemu Dubes RI Hatanto Reksodipoetro
20.              Austria, 26-30 September 2003
- Pengundang              : KBRI Wina
- Acara                                    : 1. Bertemu Interreligious International Federation for
                                          World peace
                                      2. Bertemu Prof Annas Schakfeh (Islamic Centre)
                                      3. Berkunjung ke the Foriegn Minister
                                      4. Seminar “Current Challenges to Islam in Indonesia”
                                      5. Bertemu Dubes RI Samodra Sriwidjaja
21.              Libya, 11 Januari 2004
22.              Mesir, 12-13 Januari 2004
23.              Malaysia, 27-28 Januari 2005
- Pengundang              : OIC Commission of Eminent Persons (CEP)
- Acara                                    : The Inaugural Meeting of the OIC Commision of
                                     Eminent Persons (CEP)

24.              Thailand, 27 Maret-1 April 2005
- Pengundang : Ministry of Foreign Affairs of Thailand
- Acara              : 1. Bertemu Raja Thailand Bhumibol Adulyadej
                            2. Bertemu Perdana Menteri HE Thaksin Shinawatra
                            3. Bertemu Menteri Luar Negeri Dr Surakiart Sathirathai
                            4. Dialog “Why  do we need to empower moderate
                              muslims And how”
25.              Pakistan, 28-29 Mei 2005
- Pengundang              : OIC Commission of Eminent Persons (CEP)
- Acara                                    : Konferensi II OIC CEP
26.              Belgia, Juni 2005
27.              Australia, 22-24 September 2005
- Pengundang              : PCI NU  Australia
- Acara                                    : 1. Pelantikan PCI NU Australia
                                      2. Dialog dengan tokoh lintas agama Melborne
28.              Vatikan, 28-30 September 2005
- Pengundang: KBRI Vatikan
- Acara    1. Resepsi Diplomatik KBRI Vatikan
                 2. Bertemu HE Archbishop Michael Fitzgerald (President of
                     Pontical Council for Interreligious Dialogue)
                 3. Dialog “Islam in Pluralistic Society”
29.              Suria, Desember 2005
30.              Yordan, Desember 2005
31.              Brazil, Februari 2006
32.              Belanda, 27 Februari- 1 Maret 2006
33.              Saudi Arabia, Maret 2006
34.              Iran, April 2006
35.              Yordania, Juni 2006
36.              Saudi Arabia, Agustus 2006


Jakarta, 1 September 2006





1 Lebih jelasnya tentang Deklarasi Kyoto baca ‘’The Kyoto Declaration on Confronting Violence and Advancing Shared Security’’, Religions for Peace Eighth World Assembly August 2006, Kyoto Japan, August 29th, 2006.
2 Arnold Toynbee, sejarawan terkemuka Inggris, mencacat bahwa Konferensi Agama se Dunia pada tahun 1970 di Kyoto, Jepang merupakan sejarah pertama bagi tokoh agama seluruh dunia berkumpul bersama menjawab tantangan perdamian global. Lihat Religions for Peace-International, 777 United Nation Plaza, New York, NY 10017 USA, www.reiigionsforpeace.org.
3 Muhammad Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa sifat rahman adalah kurnia atau kerahmatan Allah berupa rizki yang luas dan kemaslahatan bagi kemanusiaan yang berlaku umum baik untuk orang mukmin mapun orang kafir. Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat dalam Kitab Shawatuttafasir Tafsir lil Qur’anil Karim, Juz  I ( Makka: Darul Fikri,  1996/1416 H)  hlm.18-21.
4 Baca DR Wahbah Az- Zuhaili dalam kitab ’Tafsir Munir’, Juz XVII-XVIII  (Damasqus: Darul Fikri, 1991/1411) hlm. 143-145,   kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah  rahmat bagi kaum kafir adalah ditundanya adab.
5 Hadis Riwayat Ibnu Abbas: Bahwa sesungguhnya terutusnya Nabi Muhammad SAW adalah sebagai rahmat bagi semesta alam,  baik bagi orang mukmin maupun bagi orang kafir. Adapun rahmat bagi orang mukmin adalah Allah memberi hidayah dengan mamsukkan iman, dan melakukan amal sesuai perintah allah, sehingga dia mendapatkan surga. Sedang rahmat bagi kaum kafir adalah tertundanya balak, yang biasanya berlaku bagi umat sebelumnya langsung turun balak. Baca kitab  Jami’ul Bayan ’An Ta’wili Ayat Alquran, Abu Jakfar Muhammad Jarir Ath-Thobari, Darul Fikri,  hlm. 106-107,  terbit tahun 310 H.
3 Baca A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU Melalui Penyembuhan Luka Bangsa, (Jakarta: PBNU, 2002) hlm. 42-47.
4 Lihat Dr. Muhammad Imarah, Al-lslam wat-Ta'addudiyah: Al-lkhtilaf wat-Tanawwuu fi Ithaaril-Wihdah edisi terjemahannya: Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, penerjemah, Abdul Hayyie Al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999). Lihat juga Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005).

5 K.H. Achmad Siddiq adalah pengasuh Pesantren Asd-Siddiqiyah Jember, cendekiawan NU yang produktif menulis ini  menjabat Ketua Wilayah NU Jawa Timur tahun 1950.  Ketika NU menjadi partai politik 1952, dia masuk jajaran pengurus PBNU. Pada tahun 1955 dan 1956-1959, menduduki Wakil Ketua II dan Wakil Sekretaris Umum PBNU. Ia menjadi inisiator utama penerimaan NU atas asas Tunggal Pancasila dan Khittah 1926 pada Munas tahun 1983 di Situbondo. Dan pada Muktamar NU ke-27, Situbondo, beliau mencapai karir tertinggi sebagai Rais Am PBNU menggantikan KH. Ali Ma'shum.
6 "Khutbah iftitah...", hal.10-11; K.H. Achmad Siddq,"Hanya Pribadi Berkualitas yang mamapu Mewujudkan Jam'iyah Berkualitas", Aula, no. 6., Agustus 1989, hal. 19; Hairus Salim H.S. dan Ridwan Fakla AS,"K.H. Achmad Siddiq: Pemikiran Keagamaan dan kenegaraannya", dalam Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.), Biografi 5 Rais 'Am Nahdhatul Ulama, (Yogyakarta:LTN-NU Yogyakarta bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995) hlm. 177-178; dan A. Syafi'i Ma'arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 238.
7 Dikutip A. Syafi'i Ma'arif, dalam Peta Bumi Intelektualisem Islam di Indoensia, (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 238
8 Menurut riwayat Abu Bakar r.a, bahwa setelah Fath Makkah Rasulullah bersabdah " Pergilah kamu, kamu sekalian telah menjadi orang bebas atau merdeka". Kemudian, Rasulullah membaca ayat yang maknanya: "Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenali. Sungguh orang yang paling mulia diantara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa".
9 Naskah asli Surat Komite Hijaz yang ditujukan kepada Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman al-Su’ud serta jawaban dari Raja Saudi itu masih tersimpan rapi di Perpustakaan PBNU dalam Bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
10 Periksa Badan Hukum pendirian NU yang ketika itu masih di bawah pemerintahan penjajah Belanda yang naskah aslinya bisa dilihat di Perpustakaan PBNU Jakarta Jl. Kramat Raya 164. Mengenai alasan pendirian, baca KH. A. Muchith Muzadi dalam ‘NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 tahun Ikut NU), (Surabaya: Khalista, Juli 2006), hlm. 32-42.
11 Fikrah Nahdliyah dirumuskan dan diputuskan lewat Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas dan Konbes NU) di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada tanggal 27-30 Juli 2006/2-5 Rajab 1427 H. Lebih jelasnya lihat Materi Munas dan Konbes NU 2006 yang diterbitkan oleh PBNU.
12 Surat al-Hasyr ayat 7 " Dan apa yang telah kamu berikan kepada RasulNya sebagai harta rampasan (fa'i) dari harta penduduk negeri itu, maka adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat dan anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, agar harta rampasan tidak beredar (dulatan) antara orang-orang kaya di antara kamu". Dr. Moh . Rifai, al-Qur'an: Terjemah/Tafsir (Semarang: CV. Wicaksana, 2001) hlm. 980.
13 Di Eropa, contoh negara yang menerapkan paham teokrasi adalah kerajaan Belanda. Dalam catatan sejarah kerajaan Belanda diyakini sebagai pengemban tugas suci yaitu kekuasaan yang merupakan amanat suci mission sacre dari Tuhan untuk memakmurkan rakyatnya. Politik seperti ini juga menjadi landasan baku negara Belanda dalam melakukan penjajahan di Indonesia, karena mereka meyakini bahwa raja berhak menjadi wali atas negara jajahannya.
14 Terminologi sekularisme pertamakali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906), sarjana Inggris, sebagai gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.
15 Paham ini dipelopori oleh Karl Mark, dan dikembangkan oleh Vladimir Lenin, lihat Vladimir Lenin, Sosialisme dan Agama, Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Anonim (1997) Edisi Bahasa Inggris yang ke-4, ( Progress Publishers, Moscow, 1972, Cetakan ke-3), halaman 83-87 Diedit oleh Anonim (Desember 1998).
17 Baik keputusan Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Kediri , 21-27 Nopember 1999 hingga keputusan Muktamar NU ke-31 di Donuhudan, Solo tahun 2004 menegaskan bahwa pengurus harian NU dari berbagai tingkatan tidak boleh merangkap jabatan dengan pengurus partai politik (Parpol). Periksa AD/ART NU, terutama yang sudah diamandemen lewat Muktamar yang terakhir, yaitu Muktamar ke-31 di Solo.
20 Maklumat Nahdlatul Ulama merupakan keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU  di Surabaya yang disahkan tanggal 30 Juli 2006 ditandatangani H.A. Hasyim Muzadi selaku Ketua Umum PBNU dan Dr. KH A .M. Sahal Mahfudh selaku Rais Am PBNU
21 Baca Hasyim Muzadi ‘Rasa Kampung Menu Global’, Jawa-Pos, Senin 9 Oktober 2006.
19 Untuk lebih jelasnya apa saja misi yang dibicarakan dalam pertemuan ICIS/PBNU dengan Sekjen OKI, Rabithah Alam Islami dan IDB baca  artikel A Hasyim Muzadi ‘Perdamaian di Timur Tengah’  dalam Koran Seputar Indonesia (Sindo), Jumat 1 September 2006, opini Republika ‘Timur Tengah dan Prospek Islam’,  Senin 4 September 2006. Juga dalam  opini The Jakarta Post  ‘’Unresolved Midle East isues and Step Islam want to take’’ , Tuesday, September 19, 2006.
20 Juga mengenai apa saja yang saya bicarakan di PBB dan WCRP bisa dibaca dalam artikel A Hasyim Muzadi di Koran Sindo ‘PBB dan Dialog Antarperadaban’ , Sabtu 23 September 2006.
21 Mengenai peran NU dalam krisis Thailand bisa dibaca dalam opini ‘Penanganan Konflik Thailand Selatan’,  dalam koran Sindo edisi Sabtu, 16 September 2006.
2 Menurut Huntington, ilmuwan Harvard University yang juga dikenal sebagai think tank Gedung Putih AS, bahwa pasca perang dingin yang ditandai dengan tumbangnya Tembok Berlin, dunia akan menghadapi clash of civilizations,  benturan antar peradaban, terutama Barat vis a vis Islam.Lebih jelasnya baca ’Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia’, edisi terjemanahan dari The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order ( Yogyakarta: Qalam, 2002) hlm. 387-404.

No comments:

Post a Comment