Teologi CINTA
♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
SEBAGAI lelaki normal, aku sangat mengaguminya. Selain
berparas ayu, dia hampir memiliki segala kelebihan yang memang sangat patut
dikagumi, terutama oleh para lelaki yang mendambakan kenikmatan cinta yang
sejati.
Kalau bicara, tutur katanya halus, lembut, dan indah.
Dia hampir tak pernah sekali pun merajuk sebagaimana umumnya gadis-gadis
sebayanya. Dia juga tak pernah bermanja-manja kepada siapa saja. Dia pun tak
pernah mengumbar emosinya sehingga uring-uringan, marah, memaki, mengumpat,
menghina, mencela, dan sebagainya sama sekali tak pernah dia lakukan. Dan, dia
juga selalu “on” untuk diajak berbicara tentang apa saja. Dia memang nyaris
sempurna sebagai seorang manusia, sebagai seorang gadis, sebagai seorang anak,
sebagai seorang sahabat, dan sebagainya. Masya Allah!!!
“Aku sangat mengagumimu dan mencintaimu. Lahir dan
batin. Jasmani dan rohani. Hidup dan mati. Dalam suka maupun duka,” kataku
berterus terang, dalam suatu kesempatan tatap muka dengannya. “Cinta yang
keberapa yang kamu berikan kepadaku?” tanyanya, sambil menyunggingkan sebuah
senyum yang amat manis.
“Tentu saja, cinta yang pertama sekaligus terakhir. Cinta yang utama dan segala-galanya. Setitik pun tidak
ada cinta yang tertinggal, semua kupersembahkan hanya kepadamu,” jawabku,
dengan intonasi serta mimik sangat serius.
“Ah, jangan begitu! Aku justru tidak mau kalau cinta
pertama itu kamu berikan kepadaku, apalagi hanya kepadaku. Juga, aku tidak mau
kalau kamu menyerahkan segala-galanya kepadaku. Sekali lagi, aku tidak mau
cinta seperti itu,” jawabnya, mantap. “Maksudmu?”
“Kamu harus tetap realistis. Kamu harus tetap menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Jangan menempatkan sesuatu bukan pada tempat yang
sebenarnya. Kamu tidak boleh fasik!” tuturnya, lembut namun menyentuh relung
hatiku yang terdalam.
“Artinya?”
“Ya, aku hanya manusia biasa yang tak lepas dari cela.
Aku bukan manusia sempurna, bahkan, mungkin, sangat
jauh dari sempurna. Kalau pun manusia sempurna, aku masih juga belum berhak dan
pantas menerima cinta pertama dari siapa pun. Juga penyerahan atas segalanya
dari siapa saja, aku tak berhak menerima, dan karena itu aku wajib menolaknya,”
jelasnya.
“Lalu…lalu…lalu…?”
“Ya sudah, titik. Tidak boleh lalu, lalu.” “Aku masih
belum paham maksudmu”. “Belum paham atau tak mau paham?”
Aku diam. Namun, hatiku bergejolak. Aku penasaran.
Ingin rasanya segera mendapatkan jawaban yang melegakan dari dia.
“Kamu orang beragama kan?” tanyanya, menyengat hatiku.
“Ya, tentu!”, jawabku dengan nada agak tinggi, namun
masih dalam kendali kesabaran. “Kamu juga orang beriman kan?”
“Ya, pasti!”, jawabku dengan rasa dongkol di dalam hati,
namun kedongkolan itu kubungkus rapat-rapat dengan daun-daun kesabaran dan
ketabahan. “Kalau begitu, Kamu pasti yakin dan percaya kepada Alloh kan?” “Ya,
otomatis,” jawabku dengan kedongkolan yang semakin sulit kututupi. “Apakah Kamu
mencintai Alloh?”
“Sangat cinta!”, jawabku sambil berupaya keras untuk
memegang teguh kesabaran dan kedewasaan berpikir. “Cinta yang keberapa yang
Kamu berikan kepada Alloh?” Aku terdiam. Berpikir dalam-dalam, berintrospeksi.
Aku sadar bahwa cinta yang seharusnya kupersembahkan kepada Alloh adalah cinta
yang pertama dan utama. Aku juga sadar bahwa yang seharusnya menerima dan
berhak atas segala penyerahanku hanyalah kepada Alloh. Dan, kini aku pun
benar-benar paham mengapa dia menolak cinta pertamaku dan segala penyerahanku.
“Sudah paham?” tanyanya, mengejar. “Sudah,” jawabku,
pendek, dan tanpa sedikit pun rasa dongkol. “Apakah Kamu masih tetap ingin menyerahkan cinta pertama Kamu kepadaku?”
kejarnya.
“Tidak! Cinta pertama hanya pantas diberikan kepada
Alloh,” jawabku.
Dia tersenyum tipis, yang kemudian perlahan-lahan
senyum itu mengembang hingga menjadi sebuah tawa yang indah, bukan tawa yang
terbahak-bahak. “Kalau begitu, cinta yang kupersembahkan kepadamu adalah cinta
yang kedua, setelah cinta kepada Alloh,” lanjutku.
“Oh, jangan! Jangan! Jangan! Yang kedua pun aku belum
berhak dan belum pantas menerimanya”. Aku kembali diam. Terpekur. Introspeksi
lagi. Bertanya-tanya kepada hati sanubari, siapa gerangan yang paling berhak
menerima cinta keduaku.
“Kamu percaya kepada utusan-utusan Alloh?” tanyanya,
kemudian.
“Ya, saya percaya karena itu satu paket dengan percaya
kepada Alloh,” jawabku.
“Kalau begitu, Sampean juga cinta kepada utusan Alloh
yang paripurna?” lanjutnya. Lagi-lagi, aku terdiam, tersadar, dan terpekur. Aku
tahu bahwa pertanyaan selanjutnya yang harus kujawab adalah “Cinta keberapa
yang Kamu berikan kepada utusan Alloh yang paripurna itu?”
“Kok, nggak jawab, apa Kamu tidak cinta kepada utusan
Alloh yang terakhir itu?” “Aku sangat mencintainya, dan karena itu, sekarang
aku sadar bahwa cinta keduaku seharusnya untuk junjunganku itu,” jawabku.
“Kalau begitu, apakah Kamu akan memberikan cinta yang
ketiga kepadaku?” kejarnya. Aku diam. Aku mencoba berpikir dalam-dalam. Aku
yakin dia pasti akan menolak lagi jika itu kuutarakan. Pasti! “Aku benar-benar
bodoh. Aku ingin tahu, cinta keberapa yang seharusnya kau inginkan dariku…??!”
tanyaku.
“Yang keenam!” jawaban gadis itu, pendek.
“Lho, yang ketiga, keempat, dan kelima untuk siapa?”
tanyaku, heran.
“Yang ketiga untuk jihad di jalan Alloh, yang keempat
untuk Ibumu, dan yang kelima untuk Bapakmu,” jawabnya.
“Berarti, cinta yang kupersembahkan kepadamu harus
merupakan sisa-sisa dari kelima cinta itu?” tanyaku.
“Cinta itu bukan benda padat, bukan benda cair, dan
bukan pula benda gas. Cinta itu tidak akan pernah habis
meski diberikan kepada siapa saja dalam kadar yang sangat besar sekalipun.
Cinta juga bukan bilangan matematika. Cinta juga tidak bisa diukur atau dinilai
dengan angka-angka dan persentase”. Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan
petuah cintanya. Aku semakin menyadari kebodohanku selama ini, terutama tentang
cinta yang benar.
“Selama ini sangat banyak orang yang salah menempatkan
cinta. Cinta kepada sesuatu diletakkan di atas cinta kepada ibu-bapaknya, di
atas cinta kepada jihad di jalan Tuhan, di atas cinta kepada utusan Tuhan, dan
bahkan di atas cinta kepada Tuhan sendiri. Karena itu, berjuta-juta pelanggaran cinta pun terjadi dan terus-menerus
selalu terjadi di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi-kondisi bagaimanapun. Orang tidak segan-segan durhaka kepada ibu-bapaknya,
keluar dari jalan Tuhan,
keluar dari ajaran rasul, dan bahkan berani menantang
Tuhan hanya karena cintanya yang sangat tidak proporsional kepada harta, tahta,
wanita, keluarga, saudara, kolega, penguasa, dan sebagainya,” tuturnya, jelas
dan tandas.
Kini aku semakin paham dan jelas akan makna teologi
cinta yang semestinya, senyatanya, dan sebenarnya. Aku pun sadar bahwa selama
ini aku belum mengenal teologi cinta yang benar itu. Selama ini wawasan cintaku
sangat sempit, dangkal, dan rendah. Seiring dengan kesadaran itu, sebuah
pemikiran jernih yang bersemayam di dalam sanubariku yang suci seketika itu pun
kontan melayang-layang mengitari alam bebas nan luas.
“Kesalahan menempatkan cinta itulah, sebenarnya, yang
merupakan sumber segala malapetaka, musibah, dan bencana yang menimpa manusia.
Kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat atau penentu kebijakan pasti
melahirkan kebijakan atau keputusan yang salah, yang pasti akan menimbulkan
malapetaka, musibah, bencana, kehancuran, dan kebinasaan bagi siapa dan apa
saja yang berada di dalam kawasan berlakunya kebijakan atau keputusan itu.”
“Kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan
pelaksana kebijakan di bidang politik akan melahirkan kerusakan di bidang
politik; kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan
di bidang hukum akan melahirkan kerusakan di bidang hukum; serta kesalahan
penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang ekonomi
akan melahirkan kerusakan di bidang ekonomi. Demikian pula kesalahan penempatan
cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang-bidang lainnya
Ðsosial, budaya, pertahanan-keamanan, lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan
sebagainya, pasti akan melahirkan kerusakan, kehancuran, dan kebinasaan bagi
siapa dan apa saja yang berada dalam kawasan berlakunya kebijakan itu.”
Begitu pemikiran jernihku berhenti melayang-layang di
alam bebas nan luas, aku pun merasa telah sampai di suatu titik kesadaran yang
setinggi-tingginya. Tiba-tiba, dari dalam sanubariku tercetus ikrar kesetian
kepada Tuhan, pencipta sekaligus pemilik kebenaran dan kebaikan hakiki dan
sejati.
“Mulai saat ini, hamba-Mu yang lemah dan sering zalim ini akan selalu
berupaya sekuat tenaga untuk menempatkan cinta kepada-Mu di tempat yang
pertama, utama, dan tertinggi. Dan, hamba juga akan berusaha sekuat tenaga
untuk senantiasa menempatkan cinta kepada selain Engkau di tempat yang
sebenarnya dan semestinya.”
No comments:
Post a Comment