ISLAM RAHMATAN LIL'ALAMIN
MENUJU KEADILAN DAN PERDAMAIAN DUNIA
(PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA)
Pidato Pengukuhan
Doktor Honoris Causa Dalam Peradaban Islam
Disampaikan
di Hadapan Rapat Terbuka
Senat IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sabtu, 2 Desember 2006
Oleh:
H. Ahmad Hasyim
Muzadi
Promovendus
DEPARTEMEN AGAMA
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2006
PERSETUJUAN
Judul :
Islam Rahmatan Lil'alamin
Menuju Keadilan
dan Perdamaian Dunia
(Perspektif
Nahdlatul Ulama)
Promovendus : H. Ahmad Hasyim Muzadi
Telah diperiksa dan disetujui sebagai naskah pidato
pengukuhan Doktor Honoris Causa (Dr.HC) dalam Peradaban Islam untuk disampaikan
di hadapan rapat terbuka Senat IAIN Sunan Ampel Surabaya pada hari Sabtu
tanggal 2 Desember 2006.
Surabaya,
22 Nopember 2006
PROMOTOR,
KO-PROMOTOR
Prof.
DR. HM. Ridlwan Nasir, MA Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA
NIP. 150 203 743
NIP. 150 235 851
Sambutan Direktur
Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya:
MENGEMBALIKAN CITRA
DOKTOR HONORIS CAUSA
Assalamu'alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh,
Bismillah, alhamdulillah,
washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, waba'du:
Sungguh
mencengangkan maraknya “jual-beli” gelar akhir-akhir ini, baik gelar Magister,
Doktor, Ph.D maupun Profesor. Benar-benar sudah menjadi virus pendidikan
nasional yang amat berbahaya. Diduga kuat, hal ini termasuk salah satu strategi
kaum imperialis-neokolonialis untuk tetap dapat menguasai negara-negara
“jajahan” mereka. Sebab dengan "memperdagangkan" gelar, banyak orang
akan mengambil jalan pintas mendapatkan apa yang selama ini sulit diperoleh,
dengan cukup membayar sejumlah uang, sementara kemampuan sumberdaya mereka
tetap rendah.
Di
pihak lain akan banyak orang yang semula getol memberdayakan diri dengan
menempuh jenjang dan jalur pendidikan resmi dan mengeluarkan biaya besar,
semakin melemah semangat mereka karena jerih payah yang tak terhingga, ternyata
gelarnya sama saja dengan yang diperoleh dengan cara membeli tanpa jerih payah.
Atau gelar yang mulanya prestisius-bergengsi itu, menjadi tak berharga lagi di
mata masyarakat gara-gara inflasi dan pencemaran gelar yang dilakukan para
"pembeli" gelar.
Para "penjual" gelar bisa saja berdalih ikut
memberdayakan masyarakat. Tetapi bangsa manapun tidak ada dan tidak akan
berjaya dengan banyaknya gelar kalau kualitasnya rendah, bahkan akan makin
terpuruk jika ternyata gelar bertebaran di mana-mana sementara penyandangnya
berkualitas rendah, baik intelektual maupun moralnya. Para penerima gelar murahan, pastilah bermoral murahan pula, para
penerima gelar aspal tentu bermental aspal juga. Jadi para "penjual"
gelar itu hakikatnya adalah benalu, bahkan virus masyarakat yang merusak
intelektualitas dan moralitas bangsa. Para "penjual" gelar telah
menjadi kaki tangan imperialis-neokolonialis yang memperbodoh rakyat
sendiri, sebab orang yang bodoh tetap bodoh lantaran tidak mau meningkatkan
kualitas diri. Apapun alasannya para "penjual" gelar itu hanyalah
pengejar materi, bromocorah intelektual dan kakitangan imperialis-neokolonialis.
Sungguh, mereka adalah pengkhianat bangsa!
Herannya,
ternyata peminat gelar "murahan" tersebut justru para pejabat, elit
politik, dan pengusaha, serta aneh tapi nyata ada pula yang dari kalangan
“ulama” (tapi harus diragukan kewara’annya) dan perguruan tinggi. Mereka
tidak malu, bahkan bangga dengan gelar tersebut.
Gelar
Doktor Honoris Causa (Dr. HC) sesungguhnya adalah gelar yang amat
prestisius-bergengsi lantaran pemilik atau penerimanya benar-benar orang
tepilih dan pemberinya amat selektif untuk menentukan siapa yang berhak dan
layak menerimanya, karena masyarakat juga akan ikut menilai, sehingga
taruhannya adalah kredibilitas lembaga pemberi. Gelar Dr. (HC) adalah gelar
yang amat bergengsi karena pemilik/penerimanya adalah para tokoh linuwih
(istimewa) di bidang mereka lantaran matang dalam pendadaran di kancah hidup
praktis selama beberapa tahun. Penerima gelar Dr (HC) seperti Soekarno,
Muhammad Hatta, M. Natsir, HAMKA, Ruslan Abdulgani, Idham Khalid, Abdurrahman
Wahid dll. adalah para tokoh gemilang di bidang masing-masing.
Atas
dasar kenyataan dan pemikiran di atas, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya, yang secara kredibel telah diakui sebagai penyelenggara pendidikan
jenjang Magister dan Doktor, berusaha mengembalikan citra negatif Doktor
Honoris Causa kepada citra aslinya. Karena itu pula dengan amat selektif,
setelah melalui Rapat MPA (Majelis Pertimbangan Akademik), penunjukan Promotor
dan Ko-promotor, dan Rapat Senat Institut, mempromosikan KH. Ahmad Hasyim
Muzadi guna memperoleh gelar yang amat pantas bagi beliau, gelar dalam bidang
yang secara empirik telah bertahun-tahun beliau geluti, gelar dalam bidang yang
secara nasional maupun internasional telah diakui kiprahnya, yaitu gelar Doktor
Honoris Causa (Dr. HC) dalam Peradaban Islam, doktor kehormatan yang
benar-benar terhormat karena melalui proses yang juga terhormat dan prosedur
yang obyektif.
Moga-moga langkah ini menjadi rintisan
positif dan sunnah hasanah Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya bagi kembalinya citra Dr. (HC) sebagai wujud pengakuan akademik bagi
seseorang yang memang layak dan berhak, sehingga dengan demikian jual-beli
gelar secara "murahan" yang memperbodoh umat tersebut akan surut dan
lenyap.
Demikian, dan selamat Cak Hasyim….!!!
Semoga bermanfaat dan penuh barakah, aaamiiin…
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh,
Surabaya,
2 Desember 2006,
Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA
NIP.
150 235 851
Islam Rahmatan Lil'alamin
Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia
(Perspektif Nahdlatul Ulama)
Kepada Yang Terhormat:
Rektor/Ketua Senat IAIN Sunan Ampel Surabaya
Direktur/Ketua MPA Program Pascasarja IAIN Sunan Ampel
Para Anggota Senat IAIN Sunan Ampel Surabaya
Para Masyayikh dan Kyai
Tokoh-tokoh Agama baik Islam maupun Non-Islam sejawat
saya
Para Duta Besar Negara Sahabat
Para Menteri Kabinet
Pengurus PBNU dan PWNU Jawa-Timur
Para Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya
Karyawan beserta Staf IAIN Sunan-Ampel
Para Undangan, dan
Teman Seperjuangan Yang Dimuliakan
Assalamu'alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Syukur
alhamdulillah berkat taufiq dan hidayah serta inayah Allah Swt., pada hari ini
tanggal 2 Desember 2006, saya memperoleh kehormatan akademik gelar Doktor Honoris Causa
dalam ‘Peradaban Islam’. Sungguh ini
merupakan kehormatan yang begitu besar bagi saya pribadi khususnya dan bagi
Nahdlatul Ulama secara keseluruhan.
Karena itu, saya menyampaikan ucapan terimakasih
kepada Rektor sekaligus sebagai Ketua Senat IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. HM. Ridlwan
Nasir, MA., kepada Direktur yang sekaligus sebagai Ketua Majelis Pertimbangan
Akademik (MPA) Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. H. Ahmad Zahro,
MA dan para Anggota Senat IAIN Sunan Ampel yang telah menyetujui saya untuk mendapat
penghargaan gelar akademik ini.
Selanjutnya,
saya juga mengucapkan terima kasih kepada para guru, dosen, dan ulama yang ikut
membesarkan saya dengan ilmu, mujadalah dan kearifan hingga saya bisa mendapat
kehormatan seperti sekarang ini. Teman dan sahabat saya dalam perjuangan
menegakkan izzul Islam wal muslimin baik dari kalangan NU, Muhammadiyah
dan Ormas Islam lainnya. Kemudian ucapan terimaksih kepada teman seperjuangan
saya dalam Forum Lintas Agama yang tergabung dalam Gerakan Moral Nasional
(Geralnas) yang juga besar jasanya menemani saya untuk berkampanye Islam Rahmatan
Lil’alamin ke seluruh belahan dunia sehingga saya akhirnya terpilih sebagai
salah satu Presiden dalam World Conference of Religions for Peace (WCRP) dalam
Pertemuan Pimpinan Agama se-Dunia ke-Delapan di Kyoto Jepang tanggal 29 Agustus
2006. Sekitar 800 pemimpin agama dari 100 negara seluruh dunia ikut dalam acara
tersebut yang menghasilkan Deklarasi Kyoto1,
meski sebenarnya saya tidak berada di Jepang, melainkan ketika itu saya berada
di Arab Saudi bertemu dengan Pimpinan Rabithah Alam Islami (RAI), Sekjen OKI
(Organisasi Konferensi Islam) di Makkah dan pimpinan Islamic Development Bank
(IDB) di Jeddah.
Last
but not least, saya juga menyampaikan
terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada keluarga saya. Istri saya, yang
selalu setia menemani dalam keadaan suka maupun duka, memberi dorongan dan
menghibur ketika saya letih di tengah perjuangan. Anak-anak dan para menantu
serta cucu, yang semuanya memberi arti dalam kehidupan saya. Kedua orang tua
dan mertua, semoga amal mereka diterima di sisi Allah Swt. Tanpa mereka, saya
mungkin tidak sampai seperti sekarang ini.
I. PENDAHULUAN
Dalam kesempatan
terhormat ini, saya akan menyampaikan pidato ilmiah dengan judul: Islam Rahmatan
Lil'alamin Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia (Perspektif Nahdlatul Ulama). Pemilihan tema ini didasarkan
atas beberapa pemikiran.
Pertama, pengalaman saya dalam
kurun waktu tujuh tahun terakhir, yang mendapat amanah memimpin Nahdlatul Ulama
(NU), ormas Islam yang didirikan di kampung Kertopaten, Surabaya tak jauh dari
kampus ini. Pengalaman NU mengimplementasikan ajaran Islam Rahmatan Lil’alamin dan pengembangan sikap
kemasyarakatan NU seperti tawassuth (moderat), i’tidal (tegak),
tasamuh (toleran) dan tawazun (seimbang) serta tasyawur (musyawarah/dialog) telah menjadikan NU sebagai organisasi yang
besar dan mempunyai karakter kemasyarakatan yang khas. Internalisasi Islam Rahmatan
Lil’alamien dan pengembangan sikap ke-NU-an itu menjadi modal NU dalam
pergaulan dengan masyarakat luas. Untuk kasus domestik, NU berhasil menjalin
ukhuwwah Islamiyah dengan ormas Islam lainnya seperti Muhammadiyah, DDI, al-Irsyad,
Persis, al-Wasliyah dan sebagainya. Dengan modal pemikiran ulama itu pula, NU
berhasil bergandengan tangan menjaga kerukunan antar umat beragama sehingga
terbentuk Forum Lintas Agama dan Gerakan Moral Nasional (Geralnas). Berkat
pengalaman menciptakan situasi yang kondusif dalam hubungan antar umat beragama
di Indonesia, NU menjadi duta bangsa memperkenalkan ke berbagai belahan dunia
tentang ajaran Islam Rahmatan Lil’alamin ini.
Kedua, masih merebaknya Islamo phobia yang menjadi
mainstream pandangan masyarakat Barat, termasuk di Amerika Serikat (AS).
Meningkatnya ketegangan ini, terutama
pasca tragedi tumbangnya Twin Tower World Trade Center (WTC) 11
September 2001. Apalagi Presiden AS,
George W Bush menyebut-nyebut pelaku serangan ini adalah teroris al-Qaidah yang
dikomandoi Usamah bin Laden, pengusaha asal Arab Saudi.
Ketiga, sebagai bagian integratif
dari upaya pembangunan infrastruktur dan keterlibatan agama untuk keadilan dan
perdamaian dunia. Sejak tahun 1960-an sejumlah tokoh agama dunia berusaha
membangun infrastruktur korporasi lintas agama dalam mengatasi isu dan konflik
global yang ditandai dengan lahirnya Konferensi Agama Dunia untuk Perdamaian (World
Conference of Religions for Peace) di Kyoto, Jepang2.
Kemudian, secara berturut-turut setiap 5 tahun WCRP mengadakan Assembly, yaitu
pada tahun 1974 di Leuven Belgia, 1979 di Princeton USA, 1984 di Nairobi Kenya,
1989 di Melbourne Australia, 1994 di Riva del Garda Italy, 1999 di Amman Yordania, dan tahun
2006 di Kyoto Jepang.
Keempat,
sebagai basis nilai dan
pendekatan. Dasar pemikiran lahirnya sejumlah infrastruktur perdamaian dunia sejatinya
bukan saja sebagai kebutuhan pentingnya membangun kesadaran bersama (shared conciousness), tetapi
juga sebagai pendekatan bahwa keamanan dan perdamaian hakiki (real security and peace) tidak mungkin terjadi
bagi sebuah komunitas tanpa menjamin keamanan komunitas lainnya. Cita-cita itu tidak
bisa terwujud tanpa dilandasi oleh basis
pemikiran keagamaan moderat termasuk tawassuth (moderat). Maka, upaya
membangun persepsi positif tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud
manakala paradigma ke-Islaman tidak mengedepankan visi Islam rahmatan lil'alamin
dalam membangun perdamaian dunia yang hakiki.
II. PERSPEKTIF TEORITIS
1. Islam
Rahmatan Lil’alamin
Ajaran
Islam Rahmatan Lil'alamin sebenarnya bukan hal baru, basisnya sudah kuat
dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam
sejarah Islam, baik pada abad klasik maupun pada abad pertengahan. Secara
etimologis, Islam berarti "damai", sedangkan rahmatan lil 'alamin berarti
"kasih sayang bagi semesta alam". Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil'alamin
adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih
sayang bagi manusia maupun alam.
Rahmatan lil’alamin adalah istilah qurani
dan istilah itu sudah terdapat dalam Alquran , yaitu sebagaimana firman Allah
dalam Surat al-Anbiya' ayat
107:
’’Dan tiadalah kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam (rahmatan
lil’alamin)’’.
Ayat tersebut menegaskan bahwa kalau Islam dilakukan
secara benar dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat, baik itu untuk orang
Islam maupun untuk seluruh alam. Rahmat adalah kurnia yang dalam ajaran agama
terbagi menjadi dua ; rahmat dalam konteks rahman dan rahmat dalam konteks rahim.
Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat
aam kulla syai’, meliputi segala hal, sehingga
orang-orang non-muslim pun mempunyai hak kerahmanan3.
Rahim adalah kerahmatan
Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam. Jadi rahim itu adalah khoshshun
lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, maka rahman dan rahim
Allah akan turun semuanya. Dengan demikian berlaku hukum sunnatullah; baik
muslim maupun non-muslim kalau mereka melakukan hal-hal yang diperlukan
kerahmanan, maka mereka dia
akan mendapatkanya. Kendatipun mereka orang Islam, tetapi tidak melakukan ikhtiar kerahmanan,
maka mereka tidak akan mendapatkan hasilnya. Dengan kata lain, kurnia rahman
ini berlaku hukum kompetitif. Misalnya, orang Islam yang tidak melakukan kegiatan
ekonomi, maka mereka tidak bisa dan tak
akan menjadi makmur. Sementara orang yang melakukan ikhtiar kerahmanan adalah
orang kafir, maka mereka akan mendapatkan kemakmuran secara ekonomi. Karena
dalam hal ini mereka mendapat sifat kerahmanan Allah yang berlaku aam kulla
syai4’.
Sedangkan hak atas
syurga ini hanya ada pada sifat rahimnya Allah Swt, maka yang mendapat kerahiman ini adalah khusus
orang mukminin. Dengan demikian, dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa rahtmatan lil’alamin adalah bersatunya
kurnia Allah yang terlingkup di dalam kerahiman dan kerahmanan Allah5.
Dalam
konteks Islam rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan
menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis,
Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya, tetap
hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-muslim memeluk Islam.
Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya
dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Namun dalam konteks sosial, Islam
sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara
detail dan konprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing
komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai
dan sejarah yang dimilikinya3.
Entitas
Islam sebagai rahmat lil'alamin mengakui eksistensi pluralitas, karena Islam memandang
pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pada
manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.4
Pluralitas, sebagai sunnatullah telah banyak
diabadikan dalam al-Qur'an, di antaranya firman Allah dalam surat ar-Rum ayat
22 yang maknanya:
"Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan
warna kulitmu. Sungguh pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui".
Juga firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang
maknanya:
"Hai manusia, sungguh kami
menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kalian berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian
di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal".
Ayat-ayat
tersebut menempatkan kemajemukan
atau pluralitas sebagai syarat diterminan (conditio sine qua non) dalam
penciptaan makhluk.
Dalam
al-Qur’an banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih-sayang, antara lain
surat al-Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan
mempererat tali persaudaraan. Allah SWT berfirman, maknanya:
"Sungguh
orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat".
Benang merah yang bisa
kita tarik dari perintah ini adalah untuk mewujudkan perdamaian, semua orang harus merasa
bersaudara. Dalam konteks ini, KH. Achmad Siddiq5,
Rais 'Am PBNU era 1980-an mengajukan tiga macam persaudaraan (ukhuwwah). Pertama, ukhuwwah
Islamiyyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Islam), baik
dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kedua, ukhwuwah wathaniyyah artinya
persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan. Ketiga, ukhuwwah
basyariyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar
kemanusiaan6. Ketiga macam ukhuwwah ini
harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan
lainnya tidak boleh dipertentangkan sebab hanya melalui tiga dimensi ukhuwah
inilah rahmatan Lil 'alamin akan terealisasi.
Masih dalam pandangan KH.
Ahmad Shiddiq, ukhuwwah Islamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah merupakan
landasan bagi terwujudnya ukhuwwah basyariyyah. Baik sebagai umat Islam maupun bangsa
Indonesia, kita harus memperhatikan secara serius, seksama, dan penuh kejernihan terhadap ukhuwwah Islamiyyah dan ukhuwwah
wathaniyyah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua macam ukhuwwah ini. Dalam
hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-muslim atau
non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwwah dan memuliakan mereka dalam
arti kerjasama yang baik. KH. Achmad Siddiq menjelaskan bahwa
persaudaraan 'inda ai-lslam (versi Islam) bukanlah persaudaraan yang
bersifat eksklusif, persaudaraan yang terbatas pada umat Islam saja. Persaudaraan Islam adalah
persaudaraan yang luas, bahkan meliputi orang ateis sekalipun selama mereka tidak berniat memusuhi umat Islam7.
Rasulullah SAW memberikan
contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau
mendeklarasikan Piagam Madinah yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama lain. Begitu juga ketika menaklukkan Makkah,
beliau menjamin kepada setiap orang, termasuk musuh yang ditaklukkannya, agar tetap
merasa nyaman dan aman. Gereja-gereja dan sinagog-sinagog boleh
menyelenggarakan peribadatan tanpa harus ketakutan.
Diktum universalitas
kerahmatan Islam dapat dilihat dalam dimensi kenabian (nubuwwat) Muhammad
SAW. Karena misi Islam adalah
menjadi rahmat bagi semua manusia dan semesta alam sebagaimana diabadikan dalam surat
al-Anbiya' ayat 107, maknanya:
"Dan tiadalah kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam".
Selama hampir 23 tahun perjuangan
kenabiannya, Rasulullah SAW selalu menggunakan pendekatan dialog secara
konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya dan agama dapat dicapai
dengan baik. Selama lebih 12 tahun di
Makkah, perjuangan beliau penuh resiko, bahkan nyawa beliau terancam. Beliau
meminta pada para sahabat untuk tetap bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi
pembunuhan. Bahkan untuk menjaga keselamatan kaum muslimin, karena waktu itu kekuatan Islam
masih lemah, pada tahun ke-12 masa kenabian, beliau memutuskan untuk berhijrah
ke Madinah. Pada periode Madinah ini
pun, beliau tetap konsisten menggunakan pendekatan peradaban, yaitu membangun
ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama dan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama
masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, yang terkenal dengan
sebutan Piagam Madinah. Demikianlah perintah Allah kepada beliau sebagaimana dapat dibaca dalam surat
al-Furqan ayat 52:
"Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan al- Qur’an dengan jihad yang besar".
Terkandung maksud bahwa
kendatipun terjadi perang maka motifnya bukan ekonomi atau politik, tetapi motifnya adalah
dakwah. Karena itu perang8 tidak bersifat ofensif tetapi defensif,
yaitu semata-mata sebagai jalan (wasilah) menuju perdamaian. Untuk itu, perang tidak boleh
eksesif, tidak boleh destruktif dan harus tetap menghargai HAM, yaitu tidak
boleh membunuh orang sipil, anak-anak, perempuan, orangtua, dan tidak boleh
menghancurkan linkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, serta tidak boleh membunuh hewan. Demikianlah inti wasiat
Rasulullah yang disampaikan kepada pasukan perang Islam pada saat perang Mu'tah
dan Fath Makkah.
Dalam konteks ini, rahmatan
lil’alamin yang diimplementisakan oleh NU
didasarkan pada basis pemikiran Aswaja (ahlussunnah waljama’ah),
sebagai kebalikan dari ahlul bit’ah
wadldlolalah yang biasanya membuat
kreasi-kreasi keagamaan yang bertentaang dengan ajaran sunnah.
Bagaimana Islam rahmatan
lil’alamin dimplementasikan ke
dalam NU? NU menerjemahkan konsepsi rahmatan lil’alamin lewat pendakatan
tawassuth dan i’tidal yang dikongkritisasikan ke dalam sikap nahdliyah
. Tawassuth atau garis tengah
adalah cara membawakan atau menampilkan agama yang kontekstual. Sedangkan i’tidal
adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Jadi tawassuth itu menjelaskan posisi,
sedangkan i’tidal adalah
konsistensi. Penggabungan tawassuth dan i’tidal dapat
didefinisikan sebagai pengertian terhadap Islam yang benar, kemudian dibawakan secara metodologi yang
benar pula. Jadi tawassuth lebih
ke arah kontekstual, sedangkan i’tidal lebih ke arah
metodologisnya. Kalau digabungkan
melahirkan kebenaran agama yang dibawakana secara benar pula. Dapat dikatakan
pula, tawassuth dan i’tidal
sebagai suatu sikap yang mengambil posisi
di tengah, tetapi jalannnya lurus. Jadi walaupun
kelihatannnya seperti tak punya sikap karena
tidak
berpihak ke kiri dan ke kanan, tidak dapat diartikan tidak punya sikap, karena sikapnya tegak lurus yaitu menegakkan
kebenaaran agama. Dalam rangka mengambil posisi
tawassuth dan i’tidal ada tiga pendekatan yang dilakukan
oleh NU, yaitu: (1) fiqhul ahkam, dalam rangka menelusuri makna kognitif
agama dan ini berlaku untuk kalangan sendiri. Proses pencariannnya di kalangana
NU dikenal dengan bahtsul mas a’il (BM).
(2) fiqhu Dakwah dalam rangka mencari pendekatan kontekstual
metodologi membawakan agama ke masyarakat. (3) Fikhu Siyasi, bagaimana membawakan agama dengan pola-pola
politik, strategi dan kenegaraannya.
Ketiga unsur ini
masing-masing mempunyai implikasi dalam pelaksanaannya, yaitu pendekatan fiqhul
ahkam melahirkan tradisi bahtsul masa’il untuk mencari solusi hukum
Islam. Kemudian, fiqhu dakwah
melahirkan cara-cara metodologi penyampaian dakwah keagamaan secara baik dan
benar dan juga dengan lintas budaya yaiatu dari segi pendekatan nilai. Gabungan
antara keduanya berimplikasi penciptaan hubungan ukhuwah islamiyah dengan
sesama Islam yang beda aliran pikiran dan madhabnya. Fiqhu siayasi pola-pola pendekatan yang
menjelaskan kaitan-kaitan agama dengan lintas agama dan hubungan agama dengan
negara.
Selanjutnya, tawassuth
dan i’tidal melahirkan langkah
ikutan yaitu tasamu (toleran),
tawazun (berimbang) dan tasyawur (musyawarah/dialog). Tasamu,
pengertiannnya adalah keseimbangan antara prinsip dan penghargaan kepada
prinsip orang lain. Tasamu lahir karena orang mempunyai prinsip, tetapi
menghormati prinsip orang lain. Kalau
punya prinsip, tetapi tak mau menghormati prinsip orang, itu namanyaa i’tizal
(eksklusif), mengaku dirinya yang paling benar.
Maka, jika seseorang sudah melakukan tasamu, dengan sendirinya sudah melakukan tawazun,
melakukan kesimbangan-keseimbangan. Dan, jika sudah melakukan tasamu dan
tawazun orang akan terdorong untuk melakukan tasyawur, yaitu
melakaukana dialog dalam setiap penyelesaian persoalan.
2. Fikrah Nahdliyyah dan Sikap Kemasyarakatan NU
Nahdlatul Ulama sejak awal berdirinya, tidak terlepas dari problem-problem
global yang ketika itu setidaknya menghadapi dua tantangan besar, yaitu
persoalan imperialisme dan paham
keagamaan. Menghadapi tantangan imperialisme, NU menarik demarkasi yang tegas
dengan menyatakan bahwa wajib hukumnya melawan penjajahan di atas dunia. Untuk
keperluan berjuang memperoleh kemerdekaan, NU membangun basis pertahanan di
pesantren-pesantren yang ada di pedesaan. Lewat pesantren-pesantren ini pula
dilakukan pendidikan dan latihan (diklat) perkaderan bagi santri-santri agar
mempunyai watak patriotisme berjuang mengusir penjajah. Walhasil, di kemudian
hari banyak kader-kader tersebut yang menjadi pioner perjuangan kemerdekaan,
termasuk Bung Tomo yang merupakan santri dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari
dengan pekik ‘Allahu Akbar’-nya berhasil mengusir pasukan sekutu di
Surabaya.
Sedangkan dalam konteks keagamaan setidaknya terdapat dua tantangan besar,
yaitu pertama: munculnya kaum Islam "modernis"
yang waktu itu berusaha meminggirkan kalangan Islam "tradisionalis"
yang berbasis di pesantren yang pada umumnya berada di pedesaan. Kedua:
respon ulama terhadap pertarungan ideologi di dunia Islam, yaitu pasca
runtuhnya Dinasti Turki Usmani, dan munculnya gagasan Pan-Islamisme dan Arabisme yang dimotori Jamaluddin al-Afghani serta
gerakan Wahabi di Jazirah Arabia.
Gerakan kaum Islam "modernis" yang mengampanyekan
anti takhayul, bid’ah dan khurafat (TBK, dalam ejaan lama populer dengan TBC)
dengan tema utama purifikasi, benar-benar telah menyudutkan praktik ibadah kaum
"tradisionalis" seperti tahlilan yang dibid’ahkan, ziarah
kubur yang disyirikkan dan amalan tertentu yang dianggap takhayul dan khurafat yang
direspon kalangan pesantren dengan melakukan konsolidasi untuk melindungi dan
memelihara nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri khas mereka.
Munculnya paham Wahabi hampir bersamaan waktunya dengan era Raja Abdul Azis
Bin Abdurrahman al-Su’ud menjadi penguasa baru di kawasan Arab, yaitu Hijaz dan
Najed (sekarang Saudi Arabia) pada abad ke-XIX, Wahabi menjadi ideologi tunggal
kerajaan. Karena posisi negeri Hijaz begitu sentral dalam dunia Islam,
mengingat di situ ada Makkah dan Madinah yang merupakan kota suci bagi umat
Islam seluruh dunia, maka Wahabi menjadi international movement yang
menjadi persoalan umat Islam seluruh dunia, termasuk NU, yang menganut Islam sunni
dengan berpedoman kepada empat madzhab (fiqih).
Lewat institusi kerajaan, Wahabi akan memberantas kelompok Islam yang
berpaham madzhab dan akan menghancurkan situs-situs sejarah penting yang
dianggap sakral bagi kaum nahdliyin seperti makam Rasulullah, para
sahabat dan imam-imam madzhab yang ada di sekitar Makkah dan Madinah. Dalam
konteks keagamaan, NU membentuk Komite Hijaz9
yang mengutus KH A Wahab Hasbullah dan Syaikh A Ghonaim al-Amir untuk
menyampaikan surat kepada penguasa negeri Hijaz dan Najed, yaitu Raja Abdul
Azis Bin Abdurrahman al-Su’ud. Surat Komite Hijaz tersebut intinya meliputi
empat hal; (1) diberlakukannya kebebasan bermadzhab, (2) diperbolehkannya
ziarah ke tempat-tempat bersejarah (3) diumumkannya tarif ibadah haji ke seluruh
dunia dan (4) dijadikannya seluruh hukum yang berlaku di Hijaz sebagai undang-undang.
Komite Hijaz diterima dan langsung mendapat jawaban dari Raja Su’ud bahwa
kerajaan tidak melarang semua amalan yang dilakukan jamaah haji di Masjidil
Haram, Makkah dari madzhab apa-pun, termasuk berkunjung ke tempat-tempat
ziarah. NU dengan Komite Hijaz-nya merupakan satu-satunya ormas Islam di dunia
yang berani mengoreksi kebijakan penguasa Arab Saudi agar memberikan ruang
kebebasan dalam bermadzhab dalam Islam, karena Makkah dan Madinah merupakan
kota suci bagi umat Islam di seluruh dunia, bukan hanya milik kelompok umat
Islam yang berpaham Wahabi saja.
Embrionya dimulai dari munculnya organisasi rintisan seperti Nahdlatul
Wathan dan Tashwirul Afkar, yang sebenarnya lebih berciri semacam study club. Puncaknya adalah kristalisasi ide-ide dan
gagasan dari para ulama yang berhaluan ahlussunnah waljama’ah untuk mendirikan
apa yang disebut Nahdlotoel Oelama’10 pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344
H). Dalam perjalanan waktu, NU telah
bersinggungan dan berhubungan dengan organisasi lain, yang sedikit banyak mengubah,
bahkan ada kekhawatiran belakangan ini kader NU kehilangan jati dirinya. Bertolak
dari fakta sosial dan fakta sejarah inilah, kemudian timbul gagasan untuk
membingkai Fikrah Nahdliyah11. Reformulasi Fikrah Nahdliyah
dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai historis dan tetap meneguhkan garis-garis
perjuangan Khittah 1926, serta menjaga konsistensi warga NU agar berada dalam
koridor yang ditetapkan organisasi.
Dengan demikian Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berfikir yang
didasarkan pada ajaran ahlussunnah waljama’ah yang dijadikan landasan
berfikir untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah
(perbaikan umat). Dalam merespon permasalahan baik yang berkenaan dengan
isu-isu keagamaan maupun kemasyarakatan, NU memiliki manhaj sebagai
berikut: (1) dalam bidang aqidah/teologi mengikuti pemikiran ahlussunnah
waljama’ah khususnya pemikiran Abu Hasan al-Asy’ariy dan Abu Mansur al-Maturidiy
(2) dalam bidang fiqih/hukum Islam bermadzhab qauliy dan manhajiy
kepada al-madzahib al-Arba’ah (3) dalam bidang tasawuf mengikuti Syaikh
Junaid al-Baghdadiy dan Abu Hamid al-Ghazzaliy.
Kemudian ciri-ciri (khashaish) kader yang mempunyai Fikrah
Nahdliyah adalah sebagai berikut: (1) Fikrah Tawassuthiyyah (pola
pikir moderat), artinya warga NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang)
dalam menyikapi berbagai persoalan. Maka, NU tidak tafrith atau ifrath,
yaitu melakukan sikap ekstrim baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. (2) Fikrah
Tasamuhiyyah (pola pikir toleran), yaitu warga NU dapat hidup berdampingan
secara damai dengan pihak lain walaupun cara pikir, budaya dan aqidahnya
berbeda. (3) Fikrah Islahiyyah (pola pikir reformatif), artinya warga NU
senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah
ila ma huwa al-ashlah). (4) Fikrah Tathowwuriyyah (pola pikir
dinamis), artinya warga NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon
berbagai persoalan. (5) Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis),
artinya warga NU selalu menggunakan kerangka pikir yang mengacu kepada manhaj
yang telah ditetapkan oleh NU.
Dalam bidang komunikasi dakwah untuk mengarahkan
umat ke amar ma’ruf nahi munkar, NU memakai tiga pendekatan, yaitu pendekatan dakwah (fiqh
ad-da'wah), pendekatan hukum (fiqh al-ahkam) dan pendekatan
politik (fiqh as-siyasah).
Pertama, Pendekatan Dakwah. Dakwah
biasanya diperuntukkan bagi orang umum, masih rendah kadar keagamaannya. Karena
dakwa itu lebih ke arah proses, yaitu dari orang jelek menjadi baik dan dari
orang yang sudah baik bertambah baik lagi, maka proses ini tak henti-hentinya
dalam proses guidance and counseling. Pendekatan dakwah dalam al-Qur'an dijelaskan antara lain sebagai
berikut :
1. Bil hikmah (al-adillah atau al-muhakkam) yaitu argumentasi
yang meyakinkan mukhathab (pihak kedua)
disesuaikan dengan keadaan orang tersebut, bukan sesuai dengan kemauan da'i.
Artinya sesuai dengan pemikiran,
kepentingan, dan/atau budaya yang melatarbelakangi orang yang didakwahi.
2. Bil mauidhah al-hasanah (guidance and counseling) yaitu orang
ditolong untuk mengatasi problema hidupnya,
baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat.
Kedua, Pendekatan Hukum adalah pendekatan untuk orang NU dan orang Islam yang sudah siap
menjalankan syari'ah Islam, hanya tinggal ingin mengetahui fatwa hukumnya. Ini
dalam konteks civil society,
bukan dalam konteks hukum negara. Jadi fiqhul ahkam lebih ke arah halal dan haram, hitam putih karena
dikhususkan untuk orang-orang yang sudah Islam, yang sudah siap menerima hukum
positif Islam ( umat al- ijabah).
Ketiga, Pendekatan Politik adalah yang menyangkut tata
hubungan agama dan negara, atau tata hubungan nasional dengan internasional,
tetapi tetap dalam pendekatan tawassuth dan i’tidal.
3. Hubungan Agama dan Negara
Ajaran Islam rahmatan
lil'alamin dengan pendekatan tawassuth dan i'tidal juga
menyediakan konsep dalam kaitan hubungan agama dan negara. Discourse hubungan
agama dan negara sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Hal ini karena konsep
tersebut multitafsir: Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara, sehingga
penafsirannya menjadi beragam. Sementara sistem pemerintahan setelah wafatnya Rasulullah adalah
sistem khilafah yang berbeda dengan konsep negara. Istilah daulah dalam
pengertian negara tidak dijumpai secara eksplisit dalam al-Qur'an. Meskipun
dalam surah al-Hasyr ayat 712 ada kata dulah, namun bukan bermakna
negara, melainkan istilah figuratif untuk menggambarkan peredaran harta:
harta tidak boleh hanya dinikmati oleh orang kaya saja.
Kontroversi hubungan
agama dan negara dapat dikelompokkan menjadi tiga paradigma, yaitu:
Pertama, paradigma integeralistik,
yakni paham yang beranggapan bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tid`k dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Itu memberikan
pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga
agama. Paradigma integralistik ini sama dengan konsep teokrasi. Menurut paham teokrasi, agama dan
negara dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dijalankan
berdasarkan firman-firman Tuhan, sehingga segala tata kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara dilakukan berdasarkan titah Tuhan. Dengan demikian urusan kenegaraan atau politik,
menurut paham teoraksi merupakan manifestasi dari titah Tuhan dalam kehidupan manusia13.
Paradigma ini melahirkan konsep agama negara atau agama resmi, dan menjadikan
agama resmi tersebut sebagai hukum positif. Iran dengan Syi’ahnya, dan Arab
Saudi dengan Wahabinya dapat
dijadikan contoh untuk itu.
Kedua, paradigma
sekularistik. Paradigma yang beranggapan, bahwa ada disparitas antara
agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda dan satu
sama lain memiliki wilayah garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain malakukan intervensi14.
Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang
berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social
contract15 serta tidak ada kaitan dengan hukum agama. Bentuk
sekularisme yang paling ekstrim adalah pola hubungan agama dan negara yang
diletakkan dalam paham komunisme, yaitu memandang hakikat hubungan agama dan negara berdasarkan
filsafat meterialisme dialektik dan materialisme historis yang berujung
pada paham atheis. Kalaupun eksistensi
agama diakui, namun tidak lebih dari sekedar persoalan pribadi, bukan urusan negara,
bahkan dipopulerkan sebagai candu masyarakat.
Ketiga, paradigma simbiotik.
Menurut konsep ini, agama dan negara merupakan entitas yang berbeda, namun
keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik, yakni agama
membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan
agama, sebaliknya negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu
negara dalam pembinaan moral, etika,
dan spiritualitas. Pertanyaannya adalah bisakah agama mewarnai konstitusi?. Ada
kemungkinan bagi agama untuk dapat mewarnai negara dengan syarat agama mampu
membangun dirinya melalui jalur
social contract, atau demokrasi. Berdasarkan paradigma tersebut, NU
lebih menggunakan paradigma simbiotik. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah pendirian Republik
Indonesia pada tahun 1945
di mana tokoh NU ikut merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan sejarah ketatanegaraan Indonesia, hubungan agama dan negara tidak
berjalan mulus, tetapi penuh liku dan duka berjalan dalam dua gelombang besar
antagonistik dan akomodatif. Dalam konstalasi ini, NU berdiri di pihak mana?
Sesuai dengan pegangan NU
yang tawassuth, maka hubungan agama dan negara dalam pandangan NU berada pada pola akomodatif,
yaitu memilih paradigma simbiotik
karena sesuai dengan cara pandang NU dengan pemahaman bahwa Indonesia bukan
negara sekuler, dan juga bukan negara agama, tetapi Negara Pancasila.
Dengan demikian, agama
dalam konteks negara diletakkan sebagai sumber nilai, dan secara fungsional agama mengambil peran
tawassuth, dalam arti NU menentukan visi kenegaraannya dengan pendekatan membangun
masyarakat Islam (Islamic society) daripada membangun negara Islam (Islamic state).
Namun tidak berarti kehadiran agama tidak fungsional di hadapan negara.
Agama menjadi spirit konstitusi negara. Hadirnya lima prinsip dasar Negara Republik
Indonesia, yang disebut Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kamanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial merupakan bukti hadirnya spirit
agama dalam sistem ideologi nasional karena kelima prinsip dasar tersebut berada dalam sistem
ajaran semua agama dan diakui oleh semua tokoh agama di saat awal pendirian
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Ideologi Pancasila dan
tata cara pelaksanaan serta konsepsi agamanya sudah disesuaikan dengan kondisi
Indonesia. Hal ini terbukti ketika setiap kali terjadi goncangan di Indonesia,
NU menjadi unsur penting dari bangsa ini. Misalnya ketika penjajah akan masuk
kembali ke Indonesia tahun 1946, para ulama ikut berjuang melawan penjajah.
Para ulama NU melahirkan konsep resolusi jihad. Resolusi jihad ini tidak ditujukan untuk
bengsa sendiri yang sudah Islam tapi untuk orang-orang yang membahayakan bangsa. Dua puluh tahun kemudian terjadi
goncangan lagi yaitu pada tahun 1965-1966, NU kembali menjadi penting karena ikut
ambil peran dalam memberantas komunis. Jikalau NU tidak ikut ambil peran maka
negeri ini akan menjadi Komunis yang atheis. Namun sejak tahun 1967, Soeharto berkuasa sampai 30
tahun lebih dengan kendaraan Orde Baru. NU didiskriminasikan dan di injak-injak sampai tahun
1997 hingga pecah reformasi. Kemudian NU menjadi penting lagi ketika tahun 1999 Gus Dur
menempati kursi presiden meskipun hanya menjabat kurang dari 2 tahun. Jadi, kehadiran
Pancasila sebagai pilihan ideologi Negara Republik Indonesia pada hakekatnya
merupakan formula Islam tawassuth khas Indonesia. Karena pilihan tersebut,
atau ada yang menyebutnya "hadiah umat Islam", yaitu penghapusan
terhadap teks "kewajian melaksanakan syariat Islam" pada sila
pertama, merupakan keputusan menghindari ekstrimitas penerapan Islam dalam sistem ideologi
Negara Republik Indonesia. Jika seandainya tokoh Islam ketika itu, di antaranya dari
unsur NU KHA. Wahid Hasyim tidak menyetujui perubahan itu, niscaya Negara
Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Inilah visi yang selalu dibina,
diupayakan dan ditegakkan oleh NU dalam membangun hubungan moderasi antara agama dan
negara sebagaimana keputusan
Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang menerima Pancasila sebagai dasar final
sebagai falsafah dan ideologi NKRI. Ini karena komitmen kebangsaan NU yang
didasarkan pada konsep tawassuth, yaitu tasyawur, i'tidal, tasamuh dan tawazun.
III. PERSPEKTIF EMPIRIS
1. Implikasi terhadap Interen Organisasi NU:
Mempertegas
Khittah 1926 dan Memberdayakan Civil Society
Konsistensi
sikap NU yang rahmatan lil’alamin dan sikap kemasyarakatannya
benar-benar diuji, ketika Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan, karena
proses pelengseran yang dianggap warga Nahdliyyin dilakukan secara tidak
fair dan penuh rekayasa politik, justru. Ini karena sejak awal
terpilihnya Gus Dur, di mata Nahdliyyin merupakan berkah dan rahmah bagi
warga Indonesia untuk membuat suatu era baru Indonesia yang lebih baik dari
sebelumnya. Menariknya,
terpilihnya Gus Dur sebenarnya merupakan berkah dari sikap NU selama ini, yaitu
jalan tawassuth (moderat). Gus Dur terpilih, karena kondisi kepemimpinan
nasional diharuskan oleh keadaan untuk memilih ’jalan tengah’ akibat
meruncingnya pertentangan yang bisa mengancam keutuhan bangsa. Secara politis, terpilihnya
Gus Dur mengakibatkan terjadinya pergeseran orientasi, baik secara jama’ah
maupun jam’iyah. Pergeseran yang paling tampak adalah masuknya NU ke
lingkaran kekuasaan, karena terbukanya akses ke Istana Presiden, sebagai
konsekuensi logis karena Gus Dur adalah tokoh utama NU sekaligus mantan Ketua
Umum PBNU. Kodisi ini merupakan fase euforia, histeria atau bahkan sebagai gejala cultural shock di kalangan warga NU. Mereka dilanda
kegairahan yang luar biasa terlibat dalam urusan politik praktis, seperti
banyaknya Pengurus NU yang merangkap jabatan di PKB, meski tindakan tersebut
bertentangan dengan AD/ART NU17. Kyai-kyai yang sebelumnya lebih banyak di
pesantren, mulai banyak yang tercebur ke politik praktis, bahkan mereka berebut
jabatan kepala daerah lewat pilkada. Orientasi berlebihan ke arah politik praktis, membuat NU
menuai banyak kritik, bahwa NU sudah menjadi bagian (subordinat) dari partai
tertentu. Bagaimana
reaksi warga NU begitu mengetahui Gus Dur benar-benar dilengserkan? Terlihat
kekecewaan mendalam dan reaksi emosional dari warga NU. Persoalannya adalah bagaimana
PBNU memposisikan diri dalam kondisi seperti ini? Posisi ini menjadikan PBNU
dilematis dan tidak banyak opsi yang dapat dilakukan. Akhirnya PBNU mengambil
posisi tawassuth ’jalan tengah’, yaitu menemani massa NU sembari memandu
mereka agar tidak menjelma menjadi letupan-letupan anarkis. Sepanjang gerakan
massa mengarah untuk penyaluran aspirasi, PBNU mentoleransi. Keputusan ini
diambil berdasarkan asas fairness, karena gerakan massa yang menyerang
Gus Dur juga diperbolehkan. Namun, sampai pada tahap yang sangat rawan, PBNU
berusaha sekuat tenaga untuk mendinginkan suasana. Harus diakui, lengsernya Gus Dur
dari kursi kepresidenan menimbulkan sejumlah implikasi: Pertama,
munculnya rasa pesimistik dalam membaca dan memanfaatkan peluang politik yang
memungkinkan warga NU sebagai kelompok kepentingan (interest group)
untuk memperjuangkan sebuah proses mobilitas vertikal secara lebih signifikan. Kedua,
menurunnya wibawa kultural organisasi di mata masyarakat akibat pembunuhan
karakter yang dilakukan secara terus-menerus oleh pihak luar. Ketiga,
menyempitkan jalur-jalur akses ke pelbagai sumber alokasi dan distribusi
otoritas ekonomi maupun politik lantaran mengkristalnya kekecewaan banyak pihak
terhadap NU yang disebabkan oleh gencarnya manipulasi realitas di penghujung era Gus Dur. Keempat,
membekunya komunikasi dan hubungan lintas golongan yang pernah dirajut NU
bersama-sama dengan pelbagai elemen bangsa akibat pertikaian yang menyertai
lengsernya Gus Dur. Kelima, merebaknya isu pertentangan atau
ketidakharmonisan hubugan antara Gus Dur dan Ketua Umum PBNU, yang bersumber
pada dugaan bahwa orang yang disebut terakhir ini kurang berusaha keras atau
tidak sepenuh hati dalam memobilisasi perlawanan terhadap gerakan pelengseran
Gus Dur. Setelah suhu
politik mulai mendingin dan keadaan sudah berangsur-angsur normal. NU mulai
introspeksi, megevaluasi dan merenungkan
peran yang telah diambil sebelumnya yang menyebabkan berada dalam kumparan
badai politik yang membuat tidak nyaman seluruh warganya. Hasilnya adalah
kesimpulan bahwa penegasan komitmen terhadap Khittah 1926 merupakan pilihan
terbaik yang harus diambil demi menghindari terjadinya disfungsi organisasi yang berlarut-larut akibat pergeseran dan
perluasan wilayah kerja dalam jangka waktu relatif lama. Maka PBNU berkeputusan
mengambil tindakan penyelamatan dengan mengadakan safari ke basis-basis NU
seluruh Indonesia. Safari ini dimaksudkan untuk meredakan emosi warga NU
sekaligus melakukan konsolidasi lewat dialog-dialog intensif demi meretas jalan
yang lebih baik bagi organisasi di masa datang. Dalam safari itu, PBNU mencegah
terjadinya radikalisme massa dari kalangan yang tidak mengakui keabsahan Sidang
Istimewa MPR yang melengserkan Gus Dur. Selain itu, pelbagai hal yang berkaitan
dengan latar belakang, proses, maupun implikasi pelengseran Gus Dur juga
diklarifikasi.
Ada tiga isu utama yang disampaikan PBNU dalam safari tersebut. Pertama,
NU harus berketepatan untuk menarik diri dari garis konflik kepentingan yang
hanya berorientasi pada kekuasaan. Kedua, NU harus diposisikan kembali
sebagai organisasi sosial keagamaan yang dapat diterima oleh seluruh elemen
bangsa, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat primordialistik atau yang berwatak
partisan. Ketiga, mengembalikan NU sebagai gerakan yang bersifat rahmatan
lil’alamin. Untuk mewujudkan keinginan menata kembali organisasi, PBNU
mengajak warga untuk kembali ke garis khittah perjuangan NU sebagaimana yang
dirumuskan oleh para founding fathers NU. Rumusan awal maksud pendirian
NU adalah: memegang dengan tegoeh pada salah satu dari madzhabnja Imam
empat, jaitoe Imam Asj-Sjafi’i, Imam Malik, Imam Aboe Hanifah, Imam Ahmad bin
Hambal, dan mengerjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam. Dalam
konteks menciptakan kemaslahatan masyarakat, dirumuskan pula usaha-usaha yang
mesti dilakukan, yaitu: memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan
masdjid2, langgar2 dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ihwalnya anak2 jatim
dan orang-orang jang fakir miskin ... Mendirikan badan-badan oentoek
memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan. Mengacu
pada kondisi warga NU pasca lengsernya Gus Dur dan faktor kesejarahan NU
sendiri, khususnya Khittah 1926 yang berlaku hingga sekarang, tidak ada jalan
lain bagi NU kecuali kembali kepada posisi awalnya sebagai organisasi sosial
keagamaan yang mengemban tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Lebih dari itu, NU harus kembali menjadi
bagian dari kekuatan civil society.
2.
Implikasi terhadap Ukhuwwah Islamiyyah:
Membangun Islam Ramah dan menangkal
Radikalisme
Sudah bukan rahasia lagi, hubungan NU-Muhammadiyah
pasca lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan menjadi carut-marut. Kemesraan
yang sebelumnya sempat terjalin, nyaris putus dan bahkan sudah dalam posisi
berlawanan. Maka langkah yang ditempuh PBNU adalah melakukan dialog-dialog
untuk mencairkan kembali hubungan ukhuwwah yang sempat retak.
NU-Muhammadiyah akhirnya sepakat untuk membuat program bersama yang disebut
dengan ’Gerakan Kultural’. Dalam konteks NU-Muhammadiyah, langkah-langkah
bersama tersebut dapat mencairkan kembali hubungan yang nyaris ambruk. Kesan kurang
harmonisnya komunikasi NU-Muhammadiyah begitu tampak tatkala kedua ormas Islam
ini sama-sama terseret arus konflik politik praktis yang melibatkan dua tokoh
sentral NU dan Muhammadiyah. Sebagai sesama organisasi keagamaan, keduanya
sering disibukkan oleh upaya pemberian dukungan politik kepada partai yang didirikan
warganya. Hasil penegakan ukhuwwah NU-Muhammadiyah
adalah dicapainya kata sepakat antara keduanya untuk menegaskan diri
masing-masing tentang ketiadaan hubungan organisatoris dengan partai mana-pun,
serta tidak akan memasuki wilayah
politik yang berorientasi pada kekuasaan. Bagi NU sendiri hal ini berarti
kembalinya NU ke masa-masa sebelum 1998, yaitu suatu era NU berkhidmat dalam
gerakan pengembangan pluralisme, pemberdayaan civil society, serta
penegakan sendi-sendi demokrasi. Ada lima agenda utama yang disepakati
keduanya, yaitu: Pertama, NU-Muhammadiyah tidak perlu lagi menempatkan
politik sebagai kebutuhan atau tujuan utama yang dominan. NU dengan kredonya:
kembali ke Khittah 1926, sedang Muhammadiyah dengan semboyannya: high
politics. Kedua, merumuskan agenda
aksi bersama pada tingkat praksis di lapangan untuk kegiatan ekonomi rakyat,
khususnya mereka yang berada di lapis bawah. Karena mereka inilah yang menjadi
korban paling mengenaskan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Ketiga,
merumuskan program pengembangan kualitas SDM pada masing-masing pihak, yang kelak diharapkan dapat disinergikan untuk
membenahi sistem pendidikan yang ada di masing-masing, terutama bagi perbaikan
sistem pendidikan di pesantren-pesantren NU. Keempat, memikirkan secara
serius mekanisme komunikasi yang produktif antara keduanya agar diperoleh titik
temu untuk mencegah perpecahan. Kelima, sama-sama mengorientasikan diri
ke arah pencarian jawaban atas krisis multi dimensional yang sedang melanda
bangsa ini, karena tidak mungkin untuk menyerahkan semua proses pemulihan atau
penyelesaian ini hanya kepada pemerintah.
3. Implikasi
terhadap Lintas Agama:
Menangkal Provokasi terhadap Agama untuk
Kepentingan Non-Agama
Di
luar memburuknya citra Islam secara global akibat kampanye terorisme, ternyata radikalisme
dan konflik atas nama agama menjadi trend di Indonesia yang jika tidak disikapi
secara tepat akan mengakibatkan agama kehilangan sifat rahmatan lil’alamin-nya,
sebagaimana yang terjadi di Ambon dan Poso. Untuk mengatasi dan mencari solusi
problem yang mengancam keutuhan bangsa, PBNU berkoordinasi dengan Muhammadiyah
karena kedua ormas Islam terbesar ini sama-sama menggemban tanggungjawab
untuk menciptakan wajah Islam yang damai, ramah, serta memiliki kepedulian
tinggi terhadap peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam kaitan ini, ,pada
tanggal 2 Jauari 2002 Ketua Umum PBNU bertemu Ketua Umum PP Muhammadiyah guna
membicarakan dua agenda penting: Pertama, menciptakan wajah Islam yang
ramah. Kedua, menghilangkan friksi-friksi yang bersifat destruktif di
kalangan Islam sehingga dalam
pengembangan Islam terdapat visi yang sama, sekalipun strateginya
berbeda. Baik NU maupun Muhammadiyah memberikan penilaian terhadap kondisi
bangsa yang semakin menggelisahkan. Karena itu keduanya merasa perlu bergandengan
tangan memberikan masukan kepada pemerintah, elite politik, dan seluruh
komponen bangsa hingga ke lapisan akar rumput, untuk mencari solusinya terutama
yang terkait dengan dua isu krusial, yaitu tegaknya negara dan persatuan
nasional. Karena itu, kedua belah pihak berkomitmen untuk memelihara pluralitas
bangsa dan akan mengampanyekan kerukunan lintas agama, lintas golongan, lintas
suku, dan organisasi politik. NU-Muhammadiyah menyatukan persepsi melihat
persoalan ekonomi dan politik yang melilit bangsa, dan sepakat akan membantu
mencari jalan keluarnya. Komitmen ini tak hanya menyangkut masalah bangsa dan
negara, tetapi juga mengandung kesepakatan bahwa perbedaan furu’iyah tidak
akan menjadi tema perdebatan sampai kapan-pun. Keduanya juga sepakat
untuk menjaga independensi, yaitu bebas
dari kepetingan politik partisan. Menjadi pembahasan yang serius pula adalah
mengenai fenomena gerakan Islam radikal yang mewarnai negeri ini. Menurut pandangan
NU-Muhammadiyah munculnya Islam radikal merupakan kegagalan bangsa dalam
membumikan Pancasila. Bangsa ini haya terlena dalam pengagungan Pancasila,
tanpa benar-benar berusaha mewujudkan nilai-nilainya yang merefleksikan
semangat syariat Islam. Mereka yang beraliran keras itu sebenarnya juga merupakan
’’anak-anak NU dan Muhammadiyah” yang tidak terawat. Karena itu, tugas kedua ormas Islam ini
adalah merawat kembali anggota keluarganya, mulai dari yang paling tinggi
hingga masyarakat terbawah. NU-Muhammadiyah bertekad memberikan
perhatian lebih besar pada persoalan-persoalan yang melibatkan konflik antar
agama. Namun dengan catatan, persoalan tersebut tidak akan segera tuntas, jika
tidak didukung aparat keamanan yang menindak tegas setiap pelanggaran hukum.
Untuk merealisasikan semua kesepakatan ini, NU-Muhammadiyah menggelar pertemuan
lanjutan, yaitu tanggal 15 Maret 2002. Kali ini melibatkan sejumlah tokoh agama
seperti Kardinal Julius Dharmaatmadja (Katolik), Nurcholish Madjid (almarhum, cendekiawan Islam), Roeslan
Abdulgani (almarhum, nasionalis), dan A.A. Yewangoe dari PGI. Pertemuan
tersebut juga dihadiri oleh penggagas Pertemuan Malino I dan Malino II, yaitu
Jusuf Kalla sebagai Menko Kesra. Hadir juga pengamat politik asal Jepang,
Mitsuo Nakamura. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Gerakan Moral Nasional
Indonesia (Geralnas). Inti deklarasi adalah kesepakatan untuk membangun kembali
moral bangsa yang nyaris ambruk. Karena bersifat lintas agama, gerakan ini
memprioritaskan penanganan daerah yang dilanda konflik bertendensi agama
seperti Maluku dan Poso. Tujuannnya adalah berupaya memadamkan api konflik di
kedua wilayah tersebut. Kunjungan yang difasilitasi Menko Kesra ke daerah
konflik, merupakan wujud gerakan moral untuk menunjukkan pada dunia
internasional adanya kesungguhan para pemimpin yang tidak hanya menangani masalah
konflik keagamaan, tapi juga bersedia memadamkan konflik ke-Indonesiaan. Karena
itu para pemimpin agama juga mengagendakan pertemuan dengan Dubes negara-negara
Amerika, Eropa, Asia, dan Australia, bahkan juga Vatikan. Selain ke Ambon dan
Poso, tujuan kunjungan adalah ke Sampit, Atambua, Papua, Aceh dan
kawasan-kawasan konflik lainnnya.
Dengan
berbekal Islam Rahmatan Lil’alamin dan sikap kemasyarakatannya, NU mecoba
mengurai secara hati-hati untuk menyikapi berbagai konflik yang terjadi di
tanah air. Setidaknya ada tiga faktor yang bisa menjadi jalan keluar untuk
memecahkan konflik tersebut. Pertama, faktor utama adalah ketegasan
aparat keamanan yang dapat menentukan berhasil tidaknya proses pemulihan pasca
konflik. Kedua, konflik yang terjadi di Ambon maupun di Poso bukan
konflik agama, melainkan konflik politik yang sengaja dibungkus dengan
simbol-simbol agama. Ketiga, radikalisme di semua sektor harus
dihentikan, baik di kalangan Islam maupun Kristen. Setelah itu, baru dilakukan
rehabilitasi moral dan terapi mental masyarakat yang menyimpan pengalaman
traumatik pasca konflik. Pada saat bersamaan harus diupayakan pula rehabilitasi
sarana umum.
Hasil
kunjungan ke daerah konflik membenarkan analisa PBNU, bahwa kasus Ambon bukan
konflik agama. NU memperoleh masukan informasi dari semua komponen yang
terlibat dalam pertikaian, dari kalangan Islam, Kristen, jajaran Muspida Maluku
dan pihak-pihak yang menolak perjanjian Malino II. Mereka menyatakan bahwa
konflik Ambon adalah gerakan separatis yang memanfaatkan isu agama untuk
menghembuskan angin permusuhan. Semua
pihak yang terlibat konflik merasa tidak diuntungkan dengan kerusuhan yang
merenggut korban ribuan jiwa itu. Mereka mengaku sudah lelah bertikai dan ingin
segera berdamai, dengan demikian yang tersisa adalah para provokator yang
mengganggu upaya perdamaian. Karena itu, kasus yang terakhir ini adalah bagian
pihak keamanan untuk menindak tegas mereka.
Semua ajaran agama mengajarkan
perdamaian, kesejahteraan dan toleransi. Jika terdapat kelompok agama yanag
melakukan gerakan anti damai, dan sebaliknya melakukan tindak kekerasan dan
tidak toleran, bisa dipastikan saat itu agama sudah dibajak. Karena itu agama
harus dilepaskan dari setiap tindakan atau perilaku yang tidak bertujuan untuk agama
itu sendiri. Agama tidak dapat
dijadikan alat untuk kepentingan politik atau ekonomi. Menciptakan perdamaian dan ruang yang
harmonis, menjadi kewajiban semua agama.
Menciptakan kehidupan
harmonis antarumat beragama tidak boleh mengorbankan perintah agama itu sendiri. Agama harus dilepaskan dari konflik
yang terjadi di beberapa wilayah dan bagian di Dunia ini. Islam mengajarkan
nilai-nilai universal dan menjunjung tinggi toleransi, pluralislisme, moderat, dan perdamaian. Islam
merupakan berkat bagi semua bangsa. Berkembangnya islamo-fobia, karena
tindakan dan perbuatan sebagian orang yang mengatasnamakan Islam untuk
menjustifikasi tindak kekerasan yang dilakukan. Padahal, perbuatan tersebut
merupakan bentuk kesalahpahaman tentang ajaran dan nilai Islam yang sebenarnya.
Justru
yang melegakan adalah pernyataan PGI dan KWI, bahwa umat Kristen dan Katolik
sama sekali tidak identik dengan RMS (Republik Maluku Selatan), kelompok
separatis yang belakangan bermetamorfosis menjadi FKM (Front Kedaulatan
Maluku). Memang harus diakui, ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan
perjanjian Malino II baik dari Kristen maupun Islam. Mereka yang dari Islam
adalah Komando Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Laskar Ahlussunnah Waljamaah,
Lembaga Bantuan Hukum Muslim, dan kelompok Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Mereka yang
mengambil posisi berbeda ini terdapat tiga kelompok: (1) kelompok yang sama sekali
tak mau berdamai, jumlahnya sangat kecil. (2) kelompok yang kecewa karena tidak
dilibatkan dalam proses perdamaian dan (3) kelompok yang salah paham, yang
sebenarnya ingin mempertegas isi perjanjian Malino namun kemudian disebut tidak menyetujui Malino.
4.
Implikasi terhadap Hubungan Agama dan Negara:
Membantu Mengatasi Krisis dan Menjaga
Keutuhan NKRI
Tanpa
menarik diri dari garis politik kekuasaan, NU tidak akan memperoleh legitimasi
moral untuk memposisikan dan memfungsikan dirinya kembali sebagai representasi civil
society. Karena itu NU merasa berkepentingan melibatkan diri dalam upaya
mencari penyelesaian krisis bangsa yang belum terlihat reda. NU lalu merumuskan
setidaknya ada tiga titik krisis utama yang melanda bangsa ini.
Pertama,
krisis nilai (moral). Kita sudah kehilangan moralitas, khususnya moralitas
sosial. Inilah yang memicu konflik-konflik horisontal, karena semua masalah
disubordinasikan di bawah kepentingan, baik masalah hukum, politik, sampai
ekonomi. Partai-partai politik-pun gagal melahirkan negarawan, mereka hanya
mencetak politisi yang melakukan semua hal untuk kepentingan kelompoknya. Para
pemimpin dilanda virus pragmatisme. Aturan-aturan dan platform diperdagangkan, rasa malu sudah hilang , sehingga
KKN dilakukan terang-terangan di depan publik. Pemberantas KKN juga kehilangan
malu dengan membiarkan pelaku KKN bebas melakukan apa yang mereka mau.
Kedua, krisis kelembagaan (sistem). Runtuhnya moralitas publik
menyebakan sistem penyangganya ambruk. Sistem runtuh akibat moralitas
pelaksananya yang buruk atau sistemnya sendiri memang tidak benar. Di tangan
pelaksana yang bermoral korup, sistem hukum akan menjelma menjadi bisnis hukum,
bukan tempat untuk mencari keadilan hukum. Lembaga perwakilan atau legislasi
yang dikendalikan para politisi busuk yang tidak mempunyai visi kenegarawanan,
akan menjadi instrumen legislator untuk meladeni kepentingan pihak-pihak yang
sanggup memberi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Lembaga perwakilan putus
hubungan dengan rakyat yang diwakilinya. Apa yang terjadi di gedung parlemen
tidak berhubungan bahkan bertentangan dengan yang terjadi di masyarakat.
Demokrasi menjadi ibarat permadani indah di ruang tamu, untuk sekadar
menyembunyikan timbunan sampah di bawahnya.
Ketiga, krisis persatuan. Tanpa moralitas publik dan sistem
yang baik, persatuan dalam konteks ke-Indonesiaan menjadi terancam. Sentimen
kesukuan dan daerahisme (yang semakin merajalela dengan berselimut otonomi
daerah) yang berlebihan, misalnya, tumbuh bak jamur di musim penghujan dan
kerap melahirkan konflik terbuka yang diwarnai kekerasan. Kondisi seperti ini
menuntut NU untuk memberikan kontribusinya, baik berupa pemikiran maupun aksi
yang cenderung memperlihatkan sebuah gerakan moral. Mengapa demikian? Karena
problem ini, bukan lagi ada di wilayah politik kepartaian, melainkan politik
kebangsaan. Inilah sebenarnya politik yang digariskan dalam Muktamar Yogyakarta.
Kembali ke Khittah bukan berarti warga NU tidak berpolitik. Berpolitik yang
diwajibkan oleh NU adalah politik kebangsaan, politik yang benar-benar
diabdikan untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan, bukan politik partisan.
Berkait
dengan kepentingan untuk menjaga persatuan dan keutuhan NKRI, NU lewat Munas
Alim Ulama dan Konbes di Surabaya, membuat pernyatan sikap yang diterbitkan
dalam bentuk Maklumat Nahdlatul Ulama20, yang isi lengkapnya
sebagai berikut:
Bahwa sepanjang sejarah Republik Indonesia, setiap upaya mempersoalkan
Pancasila sebagai ideologi negara apalagi upaya untuk menggantinya, terbukti
senantiasa menimbulkan perpecahan di kalangan bangsa dan secara realistis tidak
menguntungkan umat Islam sebagai mayoritas bangsa.
Hingga kini Pancasila sebagai ideologi negara masih tetap merupakan
satu-satunya ideologi yang secara dinamis dan harmonis dapat menampung
nilai-nilai keanekaan agama maupun budaya, sehingga Indonesia kokoh dan utuh
tidak terjebak menjadi negara agama (teokrasi) maupun menjadi negara sekuler yang
mengabaikan nilai-nilai keagamaan.
Dewasa ini, mulai terasa upaya
menarik Pancasila ke kiri dan ke kanan,
yang apabila tidak diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa akan membahayakan dan menggoyahkan eksistensi
dan posisi Pancasila itu sendiri.
UUD 1945 merupakan pengejawantahan
yang memuat tata nilai yang ada dalam Pancasila. Sementara, amandemen terhadap
UUD 1945 telah menjadi kenyataan sejarah karena perkembangan kebangsaan, namun
pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut, tidak boleh melampaui tata nilai Pancasila itu sendiri.
Gerakan reformasi yang melahirkan amandemen terhadap UUD 1945, diakui telah
banyak menyumbangkan demokrasi dan kebebasan hak asasi, namun dirasakan pula
bahwa reformasi juga melahirkan problem-problem tertentu, maka wajar kalau
reformasi direnungkan kembali.
Pancasila sebagai landasan yang berkerangka UUD 1945
melahirkan ketatanegaraan yang diwadahi dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), oleh karenanya maka sistem otonomi daerah dan otonomi khusus
sama sekali tidak boleh menjurus kepada disintegrasi bangsa, apalagi pemisahan
kewilayahan.
Perjuangan menegakkan agama dalam negara Pancasila haruslah ditata dengan
prinsip kearifan, tidak boleh menghadapkan agama versus negara atau sebaliknya,
tetapi dengan meletakkan agama sebagai sumber aspirasi serta menyumbangkan tata
nilai agama yang kemudian diproses melalui prinsip demokrasi dan perlindungan
terhadap seluruh kepentingan bangsa. Sedangkan masing-masing agama di Indonesia
dapat melakukan kegiatannya dengan leluasa dalam dimensi kemasyarakatan (civil society).
Maka dengan ini Nahdlatul Ulama meneguhkan
kembali komitmen kebangsaannya untuk memepertahankan dan mengembangkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peneguhan
ini dilakukan karena menurut NU, Pancasila, UUD 45 dan NKRI adalah upaya final
umat Islam dan seluruh bangsa.
- Implikasi terhadap Dunia Global:
ICIS dan Upaya
Globalisasi Islam Rahmtan Lil’alamin
Keterlibatan NU di forum
internasional mulai meningkat pasca tragedi 11 September 2001 di AS, yang mendorong meningginya suhu ketegangan Barat vis
a vis Islam. Islam moderat dengan visi Islam rahmatan lil’alamin
yang dipromosikan NU ke forum global kini mulai menjadi trend setter
dalam wacana dunia21.
NU termotivasi untuk ikut menyelesaikan problem dunia ini. Karena itu NU
melakukan dua "jurus", yakni: lewat jalur silaturrahmi ke negara
daerah konflik dan melakukan upaya advokasi institusional dengan membentuk
wadah internasional yang bernama Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS). Sudah dua kali ICIS mengadakan konferensi internasional di
Jakarta, yang pertama 23-25 Februari 2004 dan yang kedua 20-23 Juni 2006.
Filosofi pembentukan ICIS tidak lain
terinspirasi oleh para founding fathers NU, yaitu pembentukan Komite
Hijaz ketika Indonesia masih dalam genggaman penjajah Belanda. Para pendahulu
NU saat itu sudah berani melakukan terobosan canggih. Inti filosofinya adalah
kepercayaan diri para ulama tempo doeloe untuk memperkenalkan Islam ala
Indonesia ke Timur Tengah. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh KHA. Wahab
Hasbullah dan kawan-kawan bukan menjadi agen atau "pengimpor"
pemikiran ke-Islaman dari luar, tetapi justru mereka sudah bertindak sebagai "pengekspor"
pemikiran ke-Islaman. Sama seperti apa yang dilakukan oleh ICIS sebagai
instrumen NU untuk mengintrodusir pemikiran ke-Islaman ke forum internasional.
Dengan kata lain, NU bukan bagian dari international movement dari pihak
mana-pun termasuk dari Timur Tengah, tetapi
justru akan bertindak sebagai inspirator menegakkan keadilan dan perdamaian
lewat Islam moderat yang mempunyai "kredo": Islam rahmatan
lil’alamin. Dengan kata lain lewat ICIS, NU akan melakukan globalisasi
nilai-nilai Islam rahmatan lil’alamin.
Kini ICIS sudah menjadi lembaga
internasional yang terdaftar di OKI (Organisasi
Konferensi Islam, Organization of the Islamic Conference) dan Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) yang berpusat di Makkah dan terdaftar di PBB.
Sejauh ini, kami sudah mengadakan beberapa kesepakatan untuk mengatasi problem dunia
Islam. Baik dengan OKI, Rabithah, PBB, maupun World Conference of Religions
for Peace (WCRP) kami membicarakan tentang bagaimana menangani konflik
Timur Tengah; problem Israel-Palestina, Lebanon-Israel, rehabilitasi Irak
setelah diagresi oleh AS, hingga soal isu nuklir Iran. Dengan pihak PBB, AS
maupun dengan pihak Eropa dan Australia kami membicarakan soal Islamo phobia,
penanganan terorisme dan memperkecil kesenjangan antara negara terbelakang
dengan negara maju yang kerap mengakibatkan terjadinya ketidakadilan yang bisa
memicu konflik.
Untuk menciptakan perdamaian di
Timur Tengah, NU bertemu dengan tokoh kunci Timur Tengah: dengan Sekjen
Rabithah Alam Islami, DR Abdullah Atturki dan Sekjen OKI, Ekmeleddin Ihsanoglu,
keduanya di Makkah. Juga bertemu dengan pimpinan Islamic Development Bank
(IDB) di Jeddahi.
OKI sebagai organisasi Islam formal
terbesar di dunia yang mempunyai posisi strategis, membership nya adalah
negara. Sedangkan ICIS membership-nya adalah kalangan ulama, cendekiawan
muslim dan pengamat atau pemerhati Islam. Acapkali kebijakan atau
keputusan-keputusan negara Islam tidak selalu sama dengan pendapat ulamanya.
Karena sikap-sikap negara Islam itu tidak hanya dipengaruhi oleh agama, tapi
juga dipengaruhi oleh kepentingan politik, ekonomi, polarisasi global, serta
watak dari pada rezim pemerintahan yang bersangkutan. Oleh karenanya, dalam sidang-sidang OKI tidak selalu mencerminkan
pertimbangan agama murni. Ini berbeda dengan ICIS yang tidak ada kaitannya
dengan ekonomi, politik, polarisasi dan sebagainya, sehingga gerakannya lebih
bersifat murni agama. Kalaupun ada kemasan-kemasan
lain di luar agama, hal itu hanya merupakan instrumen untuk mendukung kemurnian
agama itu sendiri. Dengan demikian, apabila terjadi kerjasama yang baik antara
ICIS dengan OKI, maka akan melahirkan sinergi yang memiliki kemampuan dan kekuatan
besar.
Kesadaran
semacam ini memicu ICIS untuk melakukan pendekatan-pendekatan terhadap OKI. Sebagai
Sekjen ICIS, alhamdulillah saya juga anggota dari Eminent Person
OKI. Eminent person adalah komisi yang terdiri dari perorangan yang
diambilkan dari ulama-ulama atas rekomendasi pemerintah. Dalam komisi eminent person inilah, ICIS bersama Malaysia melakukan
kegiatan enlightment moderation
(pencerahan perjuangan moderasi). ICIS dengan "slogan" Islam rahmatan
lil’alamin, sedang Malaysia menggunakan istilah Islam Hadhari yang
sesungguhnya hampir sama. Mengapa ICIS menggunakan "slogan" Islam rahmatan
lil’alamin, karena idiom itu yang secara otentik tertera dalam al-Qur'an.
Kerjamasa ini menghasilkan perbaikan dari dokumen OKI yang selama ini masih
cenderung pada Pan Arabisme dan Pan Islamisme, yang seakan-akan
Islam adalah dunia tersendiri dan dunia global adalah dunia tersendiri pula. ICIS
dan Malaysia berusaha agar semangat dikotomi ini bisa dicairkan. Maka dibuatlah
tema-tema Islam dan tekonologi yang saling melengkapi. Pergaulan global dewasa
ini tidak mungkin lagi dicegah, karena arus teknologi tidak mengenal
batas-batas wilayah. Alhamdullilah upaya ICIS dan Malaysia ini berhasil,
sehingga dokumen-dokumen yang ada di OKI telah diperbaiki dalam Summit
Conference Kepala-kepala Negara OKI di Makkah, Maret 2006.
Langkah
selanjutnya, ICIS II berusaha keras agar presiden OKI bisa hadir dalam
pembukaan dan menjadi pembicara di ICIS. Alhamdulillah Presiden OKI yang
dijabat Abdullah Ahmad Badhawi berkenan hadir, sehingga penuangan-penuangan itu
bisa diterima oleh ICIS. Dari kerjasama ini melahirkan langkah yang lebih
kongkrit, seperti dalam bidang pendidikan dengan tukar menukar referensi pemikiran
dari para ulama, usaha untuk melakukan peningkatan di bidang ekonomi,
rumusan-rumusan di bidang budaya. Hal inilah yang membuat hubungan antara ICIS
dan OKI menjadi lebih kuat. Sebelum ICIS II digelar,
terdapat dua kali pertemuan The Inaugural Meeting of the OIC Commision of Eminent Persons (CEP), dalam rangka perbaikan
dokumen-dokumen. Pertama di Kuala Lumpur, 27-28
Januari 2005 dan kedua di Islamabad, 28-29 Mei
2005. Dalam forum itu saya sampaikan aspirasi ICIS.
Kemudian
pada tanggal 28 Agustus 2006 saya sebagai Sekjen ICIS mendatangi Sekretariat
Jenderal OKI di Jeddah19, kita kemukakan ide-ide itu dan OKI
tertarik karena ICIS independen, tidak dipengaruhi oleh berbagai polarisasi
politik, sehingga usul-usul ICIS bisa mendukung kemurnian dan kebaikan agama
dan tidak lagi terkontaminasi oleh pro-kontra kepentingan sesaat. Hingga kini
secara resmi ICIS adalah anggota peninjau OKI.
Sekarang ICIS sedang diproses juga
untuk menjadi anggota Rabithah Alam Islami atas permintaan lembaga itu sendiri.
Ketika bertemu dengan Presiden Rabithah Alam Islami, Syaikh Abdullah Atturki, sempat
saya tanyakan mengapa saya dimasukkan menjadi pengurus Rabithah, jawabannya
karena mereka ingin tahu Islam di Indonesia, dan kita diminta berpartisipasi. Saya
presentasikan mengenai Islam di Indonesia, yang mungkin beda dengan Islam di Arab
Saudi, walau perbedaannya bukan mengenai substansi, melainkan lebih pada aspek kultural.
Saya terangkan Islam rahmatan lil’alamin, Islam
kualitas, sikap muslimin nasional dan sikap terhadap Barat. Rupayanya mereka tertarik
dan meminta tulisan Islam secara luas. Harapan ICIS agar mereka bisa mengerti manhaj,
pemikiran maupun tata laksana NU. Hal ini penting, karena selama ini proses
akulturasi NU itu sering dipersoalkan oleh tokoh-tokoh Islam yang menganut
paham puritan, sehingga perlu tabayun (klarifikasi).
Kemudian pada tanggal 20 Sepetember
2006 saya bersama tim PBNU dan Deplu RI berangkat ke New York untuk menghadiri High
Level Interfaith, diskusi tentang lintas agama yang diselenggarakan oleh
PBB bersamaan dengan Sidang Umum PBB20. Pada 22 September 2006 dalam forum
tersebut saya presentasi prinsip-prinsip Islam Rahmatan lil’alamin, dan
ternyata dapat sambutan yang cukup positif. Saya berkunjung ke Sekretariat WCRP
di lingkungan Markas Besar PBB, karena WCRP adalah bagian dari PBB, sebagaimana
lembaga WHO, Unesco dll. Saya bertemu Sekjen WCRP Mr. Findley, saya sampaikan hasil-hasil
ICIS I dan II, dan tentu prinsip Islam rahmatan lil’alamin. Saya juga
memberikan usulan kongkrit, pertama, WCRP hendaknya melihat gejala
kekerasan dalam agama dan lintas agama, serta hubungannya dengan Barat secara
obyektif, tidak sepihak. Kedua, WCRP hendaknya menegur kelompok-kelompok
agama yang menimbulkan konflik baik Islam, Kristen, Budha, Hindu dll, sehingga
fungsinya menjadi kongkrit. Ketiga, meminta WCRP membuat langkah-langkah
penyelamatan ajaran agama dari kekerasan non-agama. Karena faktor-faktor
kekerasan konflik lintas agama itu hanya 30 persen saja, sedangkan yang 70
persen berasal dari non-agama; politis, ekonomis dll. Kekerasan non-agama itu
dibungkus oleh agama, sehingga agama jadi limbah kekerasan non-agama. Kalau bisa agama-agama yang ada
dirakit untuk menghadapi kekerasan secara bersama-sama. Saya meminta agar WCRP
melihat dan mempelajari Indonesia, barangkali bisa menjadi model dunia untuk penyelesaian
konflik keagamaan.
Adapun langkah-langkah kongkrit yang
sudah dilakukan ICIS guna mengampanyekan Islam rahmatan lil’alamin adalah sebagai berikut:
a.
Thailand Selatan
Dua kali kami
berkunjung ke Thailand guna membantu penyelesaian konflik muslim minoritas
Thailand Selatan. Pertama pada Maret-April 2005, yang diterima oleh PM Thailand
Thaksin Shinawatra, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan pejabat tinggi
lainnya. Kedua, 11-12 September 2006, sepekan sebelum Thaksin dikudeta oleh
militer setempat. Misi NU waktu itu adalah memberi masukan pemerintah Thailand
untuk menyelesaikan konflik di tiga provinsi di Thailand Selatan, yaitu Yala,
Pattani, dan Narathiwat.yang mayoritas penduduknya Muslim. Pasca penyerangan
militer Thailand terhadap Masjid Krue Se di Pattani dan terbunuhnya 84
demonstran Muslim di Tak Bai, Narathiwat (Oktober 2004). Dua peristiwa berdarah
ini, telah mengundang keprihatinan Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan PM
Thaksin Shinawatra. Dus, dengan demikian mencoreng pemerintahan Thaksin.
Undangan terhadap PBNU merupakan bagian dari program ini dan Thailand
menganggap NU sebagai kelompok Islam yang moderat dan ormas Islam terbesar di
Indonesia. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, NU tak pernah menempuh jalan kekerasan untuk
memperjuangkan aspirasinya. Selain itu, kultur
masyarakat NU dinilai sama dengan budaya masyarakat Islam di Thailand Selatan.
Karena itu, NU sangat dikenal masyarakat muslim Thailand Selatan21.
Harapan saya agar segera terwujud
resolusi konflik di Thailand Selatan, karena itu ketika di Bangkok kemarin saya
kembali tekankan kepada berbagai pihak di sana. Pertama saya menekankan
agar konflik di Thailand ini harus dianggap sebagai konflik nasional, jangan
sampai masuk unasir internasionalisasi, karena kalau ada internasionalisasinya
penyelesaiannya akan semakin rumit.
Yang kedua, pemeritahan
Thailand harus menciptakan situasi Thai Muslem jangan diorientasikan ke Malay
Muslem (Muslim Melayu), dan karena itu pemerintah harus melindungi semua
warga muslim Thailand Selatan, minus teroris. Khusus mengenai teroris,
pendekatannya bisa melalui pendekatan militer, tetapi penyelesaiannya harus
lewat pengadilan. Karena dengan penyelesaian di pengadilan akan segera
diketahui anatomi dari teroris ini: apakah dari domestik warga Thailand Selatan
atau karena provokasi dari luar negeri. Kalau dari luar negeri dari unsur mana?
Dari garis ekstrim kiri atau ekstrim kanan? Selanjutnya saya usulkan pendekatan
militer dan scurity harus seimbanag dengan pendidikan, kesejahteraan dan
keadilan.
Selanjutnya saya meminta kepada pemerintah Thailand agar mempunyai advisor
yang mengerti agama Islam sehingga dia tidak salah melangkah. Seperti tentara
masuk masjid pakai sepatu, hal itu menunjukkan bahwa dia tidak tahu bahwa
perilaku seperti itu sangat menyinggung perasaan orang Islam. Bukti paling recently
(terkini), saya diundang ke sana kemarin ini untuk ketemu Putra Mahkota,
waktunya tepat waktu maghrib. Saya karena musafir, saya boleh solat jamak
dengan solat Isya’. Tetapi, ulama atau tokoh Islam yang di situ kan
merasa tidak dihargai keyakinannya. Jadi ini semua menunjukkan bahwa pemerintah
Thailand tidak paham Islam.
Kemudian
saya juga mengingatkan kepada pemerintaah Thailand agar waspada terhadap
infilterasi, seperti mereka yang biasa melakukan bisnis bencana, orang yang memanfaatkan konflik untuk ajang jual
beli senjata. Karena sekarang ini di sana orang kampung dipegangi senjata,
sementara pemerintah takut pemberontakan. Ini kan terbalik. Dan supaya invisible
hand diperhatikan, karena setiap konflik itu mesti ada sesuatu di bawah
permukaan. Saya belum melihat hal-hal ini belum ada perubahan di sana.
Orang-orang lulusan Timur Tengah, terutama
yang dari Makkah dan Madinah, jangan
membawa negara Islam yang tidak memungkinkan untuk didirikan di Thailand.
Mengapa tidak mengambil guru-guru yang dari pesantren NU saja? NU mencoba
menawarkan alternatif rekruitmen tenaga guru agama dan da’i. Karena sebenarnya,
orang NU paling paham cara berkomunikasi dengan orang-orang Hindu dan Budha. Kepada
Raja Bhumibol, Thaksin, Menlu Kanthathi maupun pemimpin Budha Thailand Somdej
Phra Buddhacharya, saya sampaikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil
'alamin (pemberi kasih sayang untuk seluruh alam). Setiap agama menyuruh
pemeluknya untuk berbuat baik, membantu orang lain yang kesusahan, dan hidup
harmonis dengan lingkungan. Prinsip ini tidak hanya berlaku bagi sesama muslim,
terhadap pemeluk agama lain pun berlaku sama.
Meski demikian, setiap agama juga
mempunyai kekhususan yang berbeda dari agama lain. Perbedaan ini terutama
menyangkut akidah dan ritual. Karena itulah yang sama tidak perlu dijadikan
beda dan yang beda tidak perlu disamakan. Dalam kondisi seperti ini, negara
wajib melindungi dan memberi kebebasan yang sama kepada semua umat beragama
dalam menjalankan ajaran agama mereka.
b.
Syiria
Gonjang-ganjig
politik menggelisahkan rakyat Syiria takkala AS mengancam akan memberi sanksi
politik dan ekonomi, lantaran tuduhan yang dialamat terhadap rezim Assad
membunuh mendiang PM Lebanon Rafik Hariri. Bahkan jika Syiria tidak mau ambil
jalan kompromi, maka diancam dengan serangan. Karena itu saya dan beberapa kyai
datang ke sana atas nama ICIS untuk mempelajari masalahnya, ternyata tuduhan
itu tidak terbukti. Maka saya mengambil inisiatif untuk mendukung moral
terhadap Syria, bahwa Syiria sebuah bangsa dituduh begitu saja tanpa bukti-bukti
otentik, jangan-jangan seperti terhadap Irak yang dituduh mempunyai senjata
pemusnah massal tapi belakangan tidak terbukti hanya untuk melakukan justifikasi
terhadap serangan. Maka saya bertemu dengan Menteri Wakaf dalam suatu arena
media perlemen rakyat di Damaskus, yaitu sebuah kemah tempat rakyat menanyakan
sesuatu terhadap wakil-wakilnya di parlemen. Saya dan delegesi menyatakan
dukungan terhadap Syiria dan menandatanagani sebuah statemen bahwa ICIS
dan NU mendukung moral terhadap perjuangan rakyat Syiria untuk menghadapi
tuduhan AS itu. Alhamdulillah sampai sekarang tidak ada
peristiwa-peristiwa lagi.
Di Syiria banyak ulama kaliber dunia,
seperti Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Said Ramadhan dan Dr Salahuddin Kaftaru yang
mempunyai banyak tulisan ilmiah tentang agama, baik di bidang tasawuf, tafsir,
tauhid, syariah maupun masalah-masalah muamalah dan politik Islam. Tulisan-tulisan
tersebut banyak menjadi referensi kita
karena bervisi ahlussunna waljama’ah.
Di samping itu, karena saya
berangkat dengan Kyai Masruri, Kyai Nur Muhammad Iskandar, dan Kyai Idris
Mrazuki, maka bersama-sama dengan saya diberi ijazah oleh Syaikh Wahbah
Zuhaili dan Said Ramadhan untuk
mengajarkan kitab-kitab beliau dan mengharapkan kepada PBNU agar meterjemahkan kitab-kitab
tersebut, alhamdulillah sekarang sudah dalam proses penerbitan oleh LTN
NU.
Dengan demikian maka tawassuth
yang dianut oleh NU bukan berarti tidak punya sikap. Tawassuth adalah jalan tengah tetapi berdasarkan kebenaran dan keadilan, bukan jalan
tengah yang tidak bersikap, sehingga selalu melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip
keadilan yang tidak terbatas pada negara. Misalnya sewaktu AS diserang pada 11
September 2001, kita ke AS untuk menyampaikan simpati dan bela sungkawa; kita
berpihak kepada pemberantasan terorisme. Tatapi saat AS hendak menyerang Irak
tentu kita cegah. Sama halnya dengan
yang kita lakukan di Syiria. Jadi kita tidak melakukan pembelaan terhadap salah
satu pihak, tetapi kita melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip keadilan. Siapa pun yang dirusak atau tidak diperlakukan dengan
adil maka kita akan melakukan minimal moral support.
c.
Iran
Timbul polemik yang memanas di Iran
tentang senjata nuklir untuk tujuan damai dan juga diancam oleh AS untuk diberlakukan
sanksi lewat Dewan Keamanan PBB. DK PBB akan memberi sanksi kepada Iran karena
pihak AS dan Barat tidak percaya kalau nuklir itu untuk tujuan damai atau teknologi
damai. Ketidakpercayaan itu tidak juga hilang sekalipun tanpa bukti. Di sinilah
kedigdayaan AS. Kita datang ke Iran untuk mempelajari persoalannya. Setelah mendapat jawaban pasti dari Presiden Mahmud
Ahmadi Nejad, Ketua Parlemen dan para ulama Syi'ah di sana, bahwa tidak ada
nuklir untuk senjata, maka kita melakukan dukungan moral terhadap Iran dalam
masalah nuklir untuk tujuan damai. Inilah yang menarik perhatian dari Iran,
sehingga ketika Presiden Iran berkunjung ke Indonesia memerlukan mampir di PBNU.
Persoalan ini jangan disalah pahami bahwa kita setuju pada ajaran Syi'ah.
Tetapi kita sedang bicara tentang keadilan dan hak-hak setiap negara untuk
membela kepentingan dan hak-haknya tanpa harus ketakutan dengan hegemoni AS. Sekarang
hubungan NU dengan Iran menjadi meningkat. Kita tidak pernah masuk level pembicaraan
tentang ideologi, karena memang syi'ah dan sunni berbeda, tetapi
perbedaan itu tidak boleh menghilangkan pembelaan terhadap ketidakadilan.
Mengenai isu nuklir Iran, PBB agar menghormati dan menjamin keinginan tiap negara
melaksanakan sesuai Traktat Non-Proliferasi yang membolehkan mengembangkan teknologi nuklir untuk
maksud dan tujuan damai, termasuk
Iran. Sebaliknya, Iran harus
memenuhi komitmennya sebagai Negara Pihak NPT. AS beserta sekutunya, hendaknya menjauhi cara-cara kekerasan dalam
penyelesaian kasus Iran, seperti tindakan yang dilakukan terhadap Irak dan
Afghanistan.
d.
Pakistan
Ketika ICIS menghadiri Konferensi II OIC CEP (Commission of
Eminent Persons)
di Islamabad, 28-29 Mei 2005 untuk
memperbaiki dokumen-dokumen OKI, saya menyempatkan datang ke para ulama sunni
dan syi'ah yang ada di sana. Kemudian saya presentasikan wawasan tentang
ukhuwwah Islamiyah dan bahaya pemecahbelahan dari orang luar ke dalam
kelompok-kelompok sunni vs syi'ah. Dalam pertemuan itu, saya dipanelkan dengan Menteri Agama Pakistan,
dihadiri pula ulama-ulama sunni dan syi'ah.
Satu hari sebelumnya, ada bom
meledak melanda kelompok syi’ah. Serta merta yang diduga memprovokasi
adalah kelompok sunni. Kemudian memang ada aksi pembalasan dari kelompok
syi'ah terhadap kelompok sunni. Akhirnya kita mempelajari kasus
Islamabad ini. Setelah kita konfirmasikan, ternyata memang ada konflik, tapi
konflik itu belakangan meningkat karena ada tangan-tangan kotor dari luar yang
mengipasi.
Kasus ini memberi pengertian kepada
kita, bahwa setiap ada celah pertikaian selalu dimasuki oleh orang luar. Pertikaian itu adalah larangan agama, sehingga setiap
larangan agama kita langgar, maka akan masuk angin. Di sini tugas ICIS adalah
menggerakkan ukhuwwah Islamiyah di Pakistan. Pakistan sarat masalah
politik, karena menjadi tempat berpijak AS untuk menyerang Afghanistan dan
memberantas 'terorisme', sehingga sangat kental nuansa politiknya dalam
pertikaian atau konflik agama.
e.
Vatikan
Kami dua kali berkunjung
ke Tahta Suci Vatikan, di Roma dalam rangka memperkenalkan dan memberi
pemahaman Islam moderat yang rahmatan lil’alamien. Yang pertama pada
waktu Paus Yohannes Paulus II, ketika AS belum menyerang Irak. Misi kedatangan
kami ke sana adalah meminta dukungan Paus supaya memperkuat penolakan kita
terhadap rencana serangan AS ke Irak. Semula kita menduga mungkin Paus tidak
merespon persoalan serangan Irak ini. Ketika itu rombongan dipimpin oleh
Kardinal Darmaatmadja, sejawat dari KWI. Ternyata di luar dugaan, sikap Paus
jauh lebih keras dari umat Islam di Indonesia, ia mengatakan serangan terhadap Irak
bukan hanya tragedi kemanusiaan tetapi tragedi agama, bahkan tragedi sejarah.
Begitu kita sampai di sana, langsung Kardinal yang ada di AS diberi tugas oleh
Paus untuk mendukung Deklarasi Anti Perang Lintas Agama yang dimotori oleh
Gerakan Moral Nasional (Geralnas) Indonesia, supaya segera menyampaikan ke
pemerintah AS. Ketika itu kelihatan bahwa sesungguhnya agresi-agresi AS tidaklah
didukung oleh agama, baik agama Islam, Katolik, maupun Protestan. Sehingga
dapat dikatakan bahwa agresi-agresi AS itu tidak muncul dari agama.
Kali
kedua, saya datang ke Vatikan atas undangan Duta Besar Indonesia di Vatikan
untuk mempromosikan Islam moderat. Kami bertemu HE Archbishop Michael
Fitzgerald (President of Pontical Council for Interreligious Dialogue) pada
28-30 September 2005 dengan tema
Dialog “Islam in Pluralistic Society”. Kita berdiskusi tentang
co-eksistensi, pro-eksistensi dan toleransi. Co-eksistensi adalah menghargai
eksistensi masing-masing tanpa harus mengintervensi hal-hal dari agama lain
yang memang berbeda dan tidak pula menyerang secara apriori keyakinan agama
lain yang memang berbeda. Pro-eksistensi adalah inisiatif dan kreasi dari maising-masing
agama untuk menciptakan modus-modus bersama, modus vevendi. Ketika itu kita
rumuskan toleransi dan moderasi. Moderasi menurut NU-Vatikan adalah moderasi
pemikiran dalam agama, yaitu keseimbangan antara keyakinan dan toleransi. Jadi
seorang moderat harus menghargai keyakinan yang lain, tetapi tidak perlu
mereduksi agamanya sendiri hanya untuk melakukan toleransi.
Hal-hal
seperti itulah yang pada tahun 2006 juga kita bawa ke Porto Alegro dalam Assembly
IX di Brasil, WCC (Wolrd Council of
Churches) milik Protestan yang berpusat di Genewa. Di Assembly
ini saya bawakan tentang garis moderasi NU dan Islam di Indonesia serta
kesepakatan-kesepakatan yang pernah kita ambil. Ternyata hal itu juga disetujui
oleh kelompok Krsiten Protestan. Pada saat itulah tanggal 16 Februari 2006 ada statement
bahwa gereja-geraja Protestan di AS meminta maaf kepada dunia karena tidak
mampu mencegah pemerintah dan presiden AS melakukaan agresi. Ini semua
memperlihatkan, bahwa kemelut dunia itu hakikatnya tidak timbul karena
semata-mata faktor agama. Faktor agama berabad-abad tenang, sekalipun diakui
bahwa masing-masing agama mengidap penyakit ekstrimisme, baik di Islam,
Kristen, Hindu, Budha, maupun Katolik. Konflik yang sekarang terjadi di
mana-mana adalah hegemoni politik dan ekonomi yang menggunakan label agama
secara timbal-balik dalam hukum sebab-akibat. Karenanya, maka perjuangan kita
sekarang ini adalah bagaimana memurnikan agama sebagai agama, kemudian memilah
agama dari faktor non-agama yang diagamakan. Di samping itu juga memperdekat
jarak antara agama dengan perilaku pemeluk agama, karena pemeluk agama itu
tidak selalu berbuat sesuai ajaran agamanya. Ini semua adalah perjuangan besar
di dunia yang dipromosikan oleh NU melalui ICIS dan mendapat sambutan positif di
mana-mana.
f. Uni Eropa
Pertemuan kami dengan Presiden Uni
Eropa, Javier Solana juga dalam misi yang sama dengan ke Vatikan, yaitu mencari
dukungan untuk mencegah agresi Bush ke Irak. Tetapi Uni Eropa waktu itu
terbelah, sebagian pro serangan ke Irak dan sebagian anti serangan ke Irak. Sesuai penjelasan Solana ketika
datang ke PBNU baru-baru ini, diakui di Uni Eropa sendiri sudah melihat ekses-ekses
dari serangan AS ini. Karena itu, timbulllah
demo-demo anti Bush, demo-demo anti serangan AS ke Irak di daratan Eropa
sendiri. Sekalipun ketika sebelum penyerangan sebagian mereka mendukung.
Gelombang ini merembet ke mana-mana, sehingga kehadiran Bush di Indonesia pun
disambut dengan bermacam demo di mana-mana. Apalagi Indonesia sebagai negara
yang jumlah umat Islamnya tersebsar di dunia, tentu mempunyai empati terhadap
hancurnya negara-negara yang berpenduduk muslim.
Dalam penanganan Irak
pasca agresi AS, semua pihak harus menghormati kedaulatan Irak sebagai
negara merdeka. Karena itu, seluruh pasukan asing di Irak harus ditarik dan
digantikan pasukan PBB. PBB
hendaknya mengkoordinasikan seluruh Negara untuk pembangunan kembali Irak.
Kepada para pemimpin dan seluruh rakyat Irak untuk bersatu dan membangun
kembali Irak pasca agresi.
Maqsud al-a’dham (main goal) konteks
hubungan dengan negara-negara Barat agar kita tidak melakukan dikotomi antara
Islam dengan Barat. Upaya yang kita lakukan adalah mempromosikan nilai-nilai tawassuth
di kalangan ulama muslimin seluruh dunia dari segala madzhab dan aliran
pemikiran. Di samping itu kita juga mengundang observer dari
negara-negara Barat yang memiliki studi Islam di negaranya masing-masing.
Dengan demikian, maka hubungan internasional NU dengan dunia Barat menjadi baik
karena sudah terprogram dalam kerangka rahmatan lil 'alamin.
Semua ini kita lakukan dalam lima tahun terakhir.
Inilah upaya-upaya yang dilakukan NU dalam rangka menyebarkan Islam rahmatan
lil’alamin dengan pendekatan tawassuth dan i’tidal-nya dalam
konteks internasional dengan suatu muara akhir terciptanya keseimbangan antara
Timur Tengah dengan Barat.
g. Australia
Waktu orang
Australia menjadi korban bom Bali I, maka kita ke sana untuk menyampaikan
bela sungkawa dan berziarah ke makam korban. Kita nyatakan, kami adalah Islam
moderat yang anti terorisme dan kami bersama Australia juga bertekad memerangi terorisme. Tetapi
ketika Australia mendukung serangan AS ke Irak, kebetulan saya ada di Melbourne,
banyak sekali masyarakat Melbourne yang demosntrasi menentang perang itu, dan
saya selaku delegasi juga ikut terjun menentang dalam demosntrasi tersebut.
Kami juga menjalin
hubungan interfaith di Australia bersama para tokoh agama yang lain dari
Indonesia, seperti pinpinan Katolik Indonesia Kardinal Nathan Darmaatmadja,
pimpin Kristen (PGI) Yewangoe dan lainnya. Kita juga memberikan bantuan dalam usaha memerangi terorisme. Dengan demikian hubungan kita
dengan Australia menjadi baik. NU melakukan kerjasama dalam bidang pendidikan, sekarang sudah banyak
anak-anak NU yang studi di Australia . Program kerjasama yang sekarang sedang
berjalan antara PBNU dengan Australia adalah tentang Manajemen Penanganan
Kesiapan Penanggulangan Bencana di pesantren-pesantren, yang menelan biaya
sekitar 700.000 Dolar Australia, atau sekitar Rp 4 miliar.
h. Inggris
Lewat ICIS kita juga
melakukan hubungan networking dengan Inggris, yaitu bekerjasama dengan The British
Council. Hasilnya yang sudah dan sedang berjalan adalah kita berkali-kali
mengirim tenaga-tenaga muda dari pesantren ke Inggris mengikuti Pelatihan Manajemen
Pendidikan dalam bentuk kursus singkat (shortcourse). Program pelatihan manajemen
pendidikan ini sekarang sudah memasuki angkatan ke empat, masing-masing
angkatan memberangkatkan sekitar 20-30 orang.
Selain kerjasama dalam bidang kepelatihan, kita juga mengirim beberapa
anak NU yang studi lanjut di sana, mereka mendapat beasiswa dari pemerintah
Inggris.
i. Jerman
Sementara kerjasama NU dengan negara-negara Eropa,
terutama dengan Jerman lewat yayasan Hanns Siedel
Stiftung yang merupakan foundation
dari Partai Pemenang Pemilu di Jerman yang pada umumnya Katolik. NU juga
menjalin hubungan interfaith, persaudaraan roundtable di Brussel.
Program kerjasama dengan Jerman dilanjutkan dalam bidang pendidikan yang
ditangani Lembaga Ma’arif.
j. Palestina dan
Israel
Kami mendukung Pemerintahan Baru Palestina yang melibatkan Partai
Fatah. Sebaliknya kita kecam agresi militer Israel di Gaza,
Palestina dan penahanan sejumlah anggota Kabinet dan Parlemen Palestina. Penghukuman kolektif dan
penghancuran instalasi sipil oleh Israel, jelas bertentangan dengan hukum
internasional. Agresi dan tindak kekerasan militer Israel harus dihentikan dan para pemimpin
Palestina yang ditahan harus dibebaskan. Baik Palestina maupun Israel hendaknya kembali ke jalur dialog dan negosiasi. Pihak Kuartet perlu menggelar
kembali proses damai yang terhenti. Kita dan semua pihak harus mendukung terbentuknya Negara Palestina yang
berdaulat.
k. Amerika Serikat
Ketika
saya dan tim PBNU menghadiri undangan pemerintah AS, tak berapa lama pasca tragedi 11 September 2001, dan ketika berdialog langsung
dengan Presiden AS George W Bush di Bali kami menjelaskan tentang Islam Rahmatan
Lil’alamin ini, bahwa wajah Islam yang sebenarnya bukanlah yang
dipresentasikan oleh kelompok-kelompok radikal, melainkan wajah yang penuh
keramahan dan penghormatan pada sesama dalam realitas keragamannya.
Ironisnya, informasi dan pemahaman
terhadap Islam di Barat masih mainstream
Islamo phobia, terutama pasca tragedi tumbangnya Twin Tower World
Trade Center (WTC) 11 September 2001
di AS. Islam sering disalahmengertikan, sehingga terjadi
’ketegangan’ antara Islam vis a vis Barat. Barat sendiri sebenarnya
sudah mengklarifikasi terhadap opini yang berkembang, bahwa terjadi perbenturan
antara Islam dengan Barat. Sebagaimana diakui oleh Samuel P. Huntington2 bahwa masyarakat Barat, termasuk
Presiden AS Bill Clinton waktu itu sepakat, bahwa Barat tidak mempunyai masalah
dengan Islam, tetapi memiliki masalah dengan kaum ekstrimis Islam. Konflik abad
XX antara demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme hanya bersifat sementara
dan superficial dibanding ketegangan antara Islam vis a vis Barat
(Kristen).
Maka tatkala terjadi ‘Deklarasi Perang’ terhadap
terorisme oleh George W Bush semakin menyuburkan sikap negative thingking
terhadap Islam, sehingga Islam diidentikkan dengan segala macam simbol dan
fenomena yang cenderung berkonotasi negatif, seperti terorisme, kekerasan,
fundamentalis, lusuh, diktator, ortodok, tidak menghargai pluralisme dan
sejenisnya. Harus diakui, kesan-kesan negatif terhadap Islam seperti ini adalah
akibat dari pemberitaan media massa Barat yang entah sengaja atau tidak, secara
sistematis berusaha menyebarluaskan pandangan-pandangan streotipikal dan
pejoratif tersebut. Propaganda
pembentukan citra negatif terhadap Islam bahkan dilakukan dalam penerbitan
buku-buku ilmiah, menurut sebuah survey terdapat sekitar 60 ribu lebih buku yang isinya menentang
Islam selama kurun 150 tahun.
l. PBB
Di Markas PBB kami
menjelaskan, bahwa NU bisa hidup rukun bersama
saudara-saudaranya sesama muslim yang berbeda aliran dan madzhab. NU juga mampu bertoleransi dengan warga non-muslim.
Dengan sikap seperti ini, NU bisa meminimalisasi konflik dan ketegangan antar
agama. NU menjaga keseimbangan dan keserasian dengan masyarakat lintas budaya
dan lintas agama. NU menjadi titik temu dan titik tengah elemen-elemen bangsa,
serta perekat hidup rukun dalam berbangsa dan bernegara.
Kita mendesak PBB
memfasilitasi dan memediatori dialog antar peradaban agar tercipta kondisi
dunia yang aman, tenteram dan damai. Sehingga ketegangan Islam vis a vis
Barat, secara bertahap dapat diselesaikan. Dalam penyelesaian konflik
Timur-Tengah, misalnya penyelasaian Lebanon pasca agresi militer Israel, PBB
harus bertindak tegas terhadap Israel yang nyata-nyata melanggar hukum
internasional. Beruntung PBB
segera mengeluarkan resolusi
PBB nomor 1701 yang dapat menghentikan serangan Israel ke Lebanon. Resolusi tersebut harus ditaati semua
pihak, terutama Israel
yang beberapa kali melanggar. Negara-negara Islam mesti berpartisipasi dalam Pasukan Perdamaian PBB untuk menjaga perdamaian di Libanon. Israel harus mengganti seluruh
kerugian yang diderita Lebanon akibat serangan militer dan membangun kembali fasilitas dan infrastuktur
yang rusak. Dalam hal ini, PBB bertindak sebagai koordinatornya.
IV. KESIMPULAN
Belum ada ! Harap disimpulkan dari:
1.
Perspektif Teoritis: a……., b………, c………, d………..
2. Perspektif Empiris: a……., b………, c………., d………., e……….
Daftar
Bacaan
Abd. Rahman, Musthafa, 2002, Dilema Israel: Antara
Krisis Politik dan
Perdamaian, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
---------------------, 2002, Jejak-Jejak Juang
Palestina, dari Oslo hingga Intifadah
Al Aqsa, Jakarta,
Penerbit Buku Kompas.
Abed Al Jabiri, Muhammad, 2001, Post Tradisionalisme
Islam, Yogyakarta,
LKIS.
Abied Shah, M. Aunul, et. all., 2001, Islam Garda
Depan: Mosaik Pemikiran
Islam Timur
Tengah, Bandung, Mizan.
Adian, Donny Gahral, 2001, Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta,
Jalasutra.
Ali Engineer, Asghar, 2000, Devolusi Negara Islam,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Al-Qardhawi, Yusuf, 1988, Mengapa Kita Kalah di
Palestina?, Bandung,
Penerbit
Pustaka.
Ayalon, Ami, editor, 1991, Middle East Contemporary Survey,
Vol. XIII,
Colorado, USA, Westview
Press,Inc.
Amien Rais, M., 1999, Cakrawala Islam: Antara Cita dan
Fakta, Bandung,
Mizan.
Armstrong, Karen,
2001, Berperang Demi Tuhan, Bandung, Mizan.
------------, Holy War, 1988, The Crusades and
Their Impact on Today’s World.
New York,
Anchor Books, Doubleday.
-------------, 2001, Sejarah Tuhan, Bandung,
Mizan.
Bandoro, Bantarto, 1991, Timur Tengah Pasca Perang
Teluk, Dimensi Internal
dan Eksternal, Jakarta, CSIS.
Banuazizi, Ali and Weiner, Myron, 1994, The New
Geopolitics of Central Asia
and Its
Borderlands, Bloomington and
Indianapolis, Indiana University Press.
Barakat, Halim, 1993, The Arab World: Society,
Culture, and State, USA,
University of
California Press.
Binder, Leonard, 2001, Islam Liberal: Kritik terhadap
Ideologi-ideologi
Pembangunan, Yogyakarta.
Boyle, Francis, 2002, Bohong Besar: Palestina dan
Hukum Internasional,
Jakarta,
Alvabet.
Brockers, Mathias, 2003, Konspirasi, Teori-teori
Konspirasi & Rahasia 11.9.,
Jakarta,
Penerbit PT. Ina Publikatama.
Carleton, Patrick, 1939, Buried Empires, The Earliest
Civilizations of the Middle
East, Chicago, E.P.Dutton & Co.,Inc.
Copeland, Miles, 1969, The Game of Nations, The
Amorality of Power Politicts,
New York,
Simon and Schuster.
Coser, Lewis A., 1967, Continuities in The Study of
Social Conflict, New York,
The Free
Press.
Coser, Lewis, 1956, The Functions of Social Conflict,
New York, The Free Press.
Creswell, John W., 1994, Research Design Qualitative
& Quantitative
Approaches, California, Sage Publications.
Dahrendorf, Ralf, 1959, Class and Class Conflict in
Industrial Sosiety, California,
Stanford
University Press.
Davis, John H., 1968, A Study of The Zionist/Arab
Problem: The Evasive
Peace, London, Cox & Wyman Ltd.
Demko,George J. and Wood, William B., 1994, Reordering
the World:
Geopolitical
Perspectives on the Twenty-First Century. Eds.2, Colorado,
USA, Wesview
Press.
Dipoyudo, Kirdi, 1981, Timur Tengah: Pusaran Strategis
Dunia, Jakarta, CSIS.
-------------------, 1977, Timur Tengah dalam
Pergolakan, Jakarta: CSIS, 1977.
Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta,
PT Raja Grafindo
Persada.
Friedman,Thomas L., 2002, Understanding Globalization:
The Lexus and The
Olive Tree, New York, Anchor Books, 2000, edisi
terjemahan oleh Tim ITB,
Memahami
Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun,
Bandung, ITB, 2002.
Garaudy, Roger, 1984, Janji-janji Islam, Jakarta,
Bulan Bintang.
-------------------, 2000, Mitos dan Politik Israel, Jakarta,
Gema Insani.
Gerges, Fawaz A., 1999, America and Political Islam:
Clash of Civilization or
Clash of
Interrest?, New York, USA, The Press Syndicate of The University
of Cambridge,
1999, edisi terjemahan, 2002, Amerika dan Islam Politik:
Benturan
Peradaban atau Benturan Kepentingan?, Jakarta, AlvaBet.
Hart, B.H. Liddell, 1960, Strategy, Sixth
Printing, New York, Frederick A.
Praeger.
Hasheem, Waheed Hamzah, 1991, Global Superpower
Politics in The Third
World, Kuala Lumpur, Goldana Coporation SDN. BHD.
Hefner, Robert W., 2001, Civil Islam, Jakarta,
ISAI dan LKIS.
Hidayat,
Komaruddin, 1996, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika, Jakarta, Yayasan Paramadina.
Hilal, Iyad, 2000, Palestina Akar Masalah dan
Solusinya, Bogor, Pustaka
Thariqul
Izzah.
Hitti, Philip K., 2001, Sejarah Ringkas Dunia Arab, Yogyakarta, Iqra' Pustaka.
Huntington, Samuel P., 1996, The Clash of Civilizations
and Remaking of World
Order, Edisi Terjemahan dalam, 2002, Benturan Antar Peradaban dan
Masa Depan
Politik Dunia, Yogyakarta, Qalam.
Husaini, Adian, 2001, Mau Menang Sendiri; Israel Sang
Teroris yang
Pragmatis?, Jakarta, Pustaka Progresif.
Janowitz, Morris, 1970, Political Conflict: Essays in
Political Sociology, Chicago,
Quadrangle
Books.
Johnson, James Turner, 1997, The Holy War Idea in
Western and Islamic
Traditions, Pennsylvania, USA, The Pennsylvania State
University Press,
edisi
terjemahannya, 2002, Perang Suci Atas
Nama Tuhan dalam Tradisi
Barat dan
Islam, Bandung, Pustaka
Hidayah.
Khadduri, Madjid, 2002, War & Peace In The Law of
Islam, edisi terjemahan
Perang
& Damai dalam Hukum Islam, Yogyakarta, Tarawang Press.
Khaldun, Ibnu, 2000, Muqaddimah, Jakarta, Pustaka
Firdaus.
Khattami, Muhammad, 1998, Membangun Dialog Antar
Peradaban, Bandung,
Mizan.
Kipper, Judith and Saunders, Harold H., 1991, The
Middle East in Global
Perspective, Colorado, Westview Press.
Lapidus, Ira M., 1999, Sejarah Sosial Umat Islam,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Long, David E. And Reich, Bernard, 2002, The
Government and Politics
of the Middle East and North Africa, Fourth Edition, Colorado, USA,
Westview
Press.
Mahajan, Rahul, 2002, The New Crusade: America’s War
on Terrorism, New
York, Monthly
Review Press, atau terjemahannya, 2002, Perang Salib Baru,
Amerika
Melawan Terorisme atau Islam?, Jakarta: Serambi.
Marlow, Louise, 1999, Masyarakat Egaliter Visi Islam,
Bandung, Penerbit
Mizan.
Maulani, Z.A., 2002, Zionisme: Gerakan Menaklukkan
Dunia, Jakarta, Penerbit
Daseta.
Muttaqin, Farid & Sukidi, 2001, Teroris Serang
Islam, Babak Baru Benturan
Barat-Islam, Bandung, Pustaka Hidayah.
Nye, Joseph S, 1993, Understanding Internasional
Conflicts, An Introduction to
Theory and
History, New York, Harper
Collins College Publishers.
Parry, Albert, 1976, Terrorism from Robespierre to
Arafat, New York, The
Vanguard
Press, Inc.
Patai, Raphael, 2002, The Arab Mind, Revised Edition,
New York, Hatherleigh.
Sayyid Al-Wakil, Muhammad, 1998, Wajah Dunia Islam:
dari Dinasti Bani
Umayyah hingga
Imperialisme Modern, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.
Shoelhi, Muhammad, 2003, Demi Harga Diri Mereka
Melawan Amerika,
Jakarta, Puzam.
Sicker, Martin, 2000, Pang of Messiah: The Troubled
Birth of The Jewish State,
Westport, Connecticut,
London, Praeger Publisher.
Sihbudi, Riza M. et. all., 1995, Profil Negara-negara
Timur Tengah, Jakarta,
Pustaka Jaya.
-------------, 1993, Konflik dan Diplomasi di Timur
Tengah, Bandung, PT Eresco.
-------------, 1992, Palestina: Solidaritas Islam dan
Tata Politik Dunia Baru,
Jakarta,
Pustaka Hidayah.
Swingle, Paul, 1970, The Structure of Conflict,
New York and London,
Academic Press.
Yahya,
Mukhtar, 1985, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur
Tengah
Sebelum Lahir Islam,
Jakarta, Bulan Bintang.
Zallum,
Abdul Qadim, 2001, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah,
Bangil-Jatim, Al-Izzah.
CURRICULLUM VITAE
DRS H AHMAD HASYIM MUZADI
Nama :
Ahmad Hasyim Muzadi
Tempat dan Tanggal Lahir :
Tuban, 8 Agustus 1944
Agama :
Islam
Alamat :
Gedung PBNU, Jl Kramat Raya 164 Jakarta
Telepon :
62-21-3908424
Faks :
62-21-3908425
PENDIDIKAN
1.
Madrasah
Ibtidaiyyah Tuban-Jawa Timur (1950-1953)
2.
SD
Tuban-Jawa Timur (1954-1955)
3.
SMPN 1
Tuban-Jawa Timur (1955-1958)
4.
KMI Gontor
Ponorogo-Jawa Timur (1956-1962)
5.
PP Senori
Tuban-Jawa Timur (1963)
6.
PP
Lasem-Jawa Tengah (1963)
7.
IAIN
Malang-Jawa Timur (1964-1969)
BAHASA
1.
Indonesia
2.
Inggris
3.
Arab
PENGALAMAN PROFESIONAL
1.
Angggota
DPRD II Malang Jawa Timur (1972-1982)
2.
Anggota DPRD
I Jawa Timur (1986-1987)
PENGALAMAN KEORGANISASIAN
1.
Ketua
Ranting NU Bululawang-Malang (1964)
2.
Ketua Anak
Cabang GP Ansor Bululawang-Malang (1965)
3.
Ketua PMII Cabang
Malang (1966)
4.
Ketua KAMI
Malang (1966)
5.
Ketua GP
Ansor Cabang Malang (1967-1971)
6.
Ketua DPC
PPP Malang (1973-1977)
7.
Ketua PCNU
Malang (1973-1977)
8.
Ketua PW GP
Ansor Jawa Timur (1983-1987)
9.
Ketua PP GP
Ansor (1987)
10.
Sekretaris
PWNU Jawa Timur (1987-1988)
11.
Ketua PWNU
Jawa Timur (1992-1999)
12.
Ketua Umum
PBNU (1999-2009)
13.
Sekjen
International Conference of Islamic Scholars (ICIS, 2004-2008)
14.
Anggota
Commission of Eminent Persons (CEP) Organization of Islamic Conference (OIC),
2006-Sekarang
15.
Anggota
Majelis Pelaksana Muslim Word League (2006-Sekarang)
16.
Presiden
Word Conference of Religions for Pece (WCRP) 2006
PUBLIKASI
1.
Membangun NU
Pasca Gus Dur, Jakarta, Grasindo, 1999
2.
NU di Tengah
Agenda Persoalan Bangsa, Jakarta, Logos, 1999
3.
Menyembuhkan
Luka NU, Jakarta
4.
Penulis
Kolom Refleksi Harian Nasional REPUBLIKA
5.
Penulis
Opini di Koran Sindo
6.
Penulis di
Koran Kompas
7.
Penulis di
The Jakarta Post
8.
Penulis di
Koran Tempo
9.
Penulis di
Jawa Pos
10.
dll.
KUNJUNGAN KETUA UMUM PBNU KE LUAR NEGERI
1.
Sudan, 2
Januari 2002
2.
Msir,
Januari 2002
3.
Singapura, 3
Februari 2002
4.
Amerika, 4
Februari 2002
5.
Yaman, 17-19
Mei 2002
6.
India, 6-10
Juni 2002
- Pengundang :
Jamia Millia Islamia
- Acara :
1. Berkunjung ke University of Jamia Millia Islamia
2. Berkunjung ke Jawarlal Nehru University
3. Bertemu Wakil Presiden India
4. Bertemu Perdana Menteri India
5. Bertemu Gubernur Andhra Pradesh
7.
Inggris, 29
September-5 Oktober 2002
- Pengundang :
The British Council
- Acara :
1. Berkunjung ke House of Lords
2. Bertemu FCO Minister Mr Michael O ‘Brien
3. Berkunjung ke Muslim Council of Britain
4. Berkunjung ke Islamic Culture Centre
5. Berkunjung ke Al Koei Foundation
6. Berkunjung ke School of Oriental and
African Studies (SOAS)
7. Berkunjung ke The British Library
8. Berkunjung ke Markfield Institute of
Higher Education (MIHE)
9. Berkunjung ke University of Birmingham
8.
Singapore,
28-29 Oktober 2002
- Pengundang :
Departemen Pertahanan Singapore
- Acara :
1. Bertemu Mr Raymond Wong (Director for International Affairs)
2. Bertemu Mr Barry Desker (Director for
Institute of Defence
And strategis Studies/IDSS)
3. IDDS Forum “The Challanges Facing Islam in
Indonesia”
4. Bertemu Mr Abdullah Tarmugi (Spekaer of
Parliament)
9.
Australia,
Februari 2003
10.
Vatikan,
19-20 Februari 2003
- Pengundang :
Pemerintah Vatikan
- Acara :
Bertemu Paus Yohanes Paulus II
11.
Belgia,
20-25 Februari 2003
- Pengundang :
Pemerintah Belgia
- Acara :
Seminar
12.
Jerman, 27
April-3 Mei 2003
- Pengundang :
Federal Government & Hanns Siedel Stiftung
- Acara :
1. Berkunjung ke KBRI Berlin
2. Berkunjung ke Hanns Siedel Stiftung
4. Berkunjung ke Deutscher Bundestag (German
Parliament)
5. Berkunjung ke Institut fur
Islamwissenschaften
6. Berkunjung ke Turkish Community of Berlin
7. Berkunjung ke Federal Foreign Office
8. Bertemu Mr Klaus Jurgen Hedrich
9. Bertemu Director of ettal Monastery
10. Bertemu Bavarian Cooperative Federation
11. Bertemu Dr Rainer Gepperth (Director of
the Institute for
International contact and cooperation)
12. Bertemu Dr Ingo Friedrich, MdEP
13. Berkunjung ke Catholic News Agency
13.
Mesir, 23
Mei 2003
14.
Iran, Juni
2003
15.
Mesir, Juli
2003
16.
Denmark,
8-11 Agusus 2003
- Pengundang :
Danish Center for Culture and Development (DCCD)
Danish Accociation for International
Coopertaion (DAIC)
- Acara :
1. Seminar “Images of Asia”
2. Bertemu Director of DCCD Grethe F Rostbell
3. Bertemu Director of DAIC Henning Kjaer
17.
Jerman, 7-9
September 2003
- Pengundang :
Comunita di Sant Egidio
- Acara :
International Peace Meeting
18.
Libya,
September 2003
- Pengundang :
KBRI Oslo
- Acara :
1. Forum on Indonesia “The Challenge of Reform : the
Indonesian Experience”
2. Bertemu Dubes RI Hatanto Reksodipoetro
19.
Norwegia,
26-30 September 2003
- Pengundang :
KBRI Oslo
- Acara :
1. Forum on Indonesia “The Challenge of Reform : the
Indonesian Experience”
2. Bertemu Dubes RI Hatanto Reksodipoetro
20.
Austria,
26-30 September 2003
- Pengundang :
KBRI Wina
- Acara :
1. Bertemu Interreligious International Federation for
World peace
2. Bertemu Prof Annas Schakfeh (Islamic
Centre)
3. Berkunjung ke the Foriegn Minister
4. Seminar “Current Challenges to Islam in
Indonesia”
5. Bertemu Dubes RI Samodra Sriwidjaja
21.
Libya, 11
Januari 2004
22.
Mesir, 12-13
Januari 2004
23.
Malaysia,
27-28 Januari 2005
- Pengundang :
OIC Commission of Eminent Persons (CEP)
- Acara :
The Inaugural Meeting of the OIC Commision of
Eminent Persons (CEP)
24.
Thailand, 27
Maret-1 April 2005
- Pengundang : Ministry of Foreign Affairs of Thailand
- Acara : 1. Bertemu Raja Thailand Bhumibol Adulyadej
2. Bertemu Perdana Menteri HE Thaksin
Shinawatra
3.
Bertemu Menteri Luar Negeri Dr Surakiart Sathirathai
4.
Dialog “Why do we need to empower
moderate
muslims And how”
25.
Pakistan,
28-29 Mei 2005
- Pengundang :
OIC Commission of Eminent Persons (CEP)
- Acara :
Konferensi II OIC CEP
26.
Belgia, Juni
2005
27.
Australia,
22-24 September 2005
- Pengundang :
PCI NU Australia
- Acara :
1. Pelantikan PCI NU Australia
2. Dialog dengan tokoh lintas agama Melborne
28.
Vatikan,
28-30 September 2005
- Pengundang: KBRI Vatikan
- Acara 1. Resepsi Diplomatik KBRI Vatikan
2.
Bertemu HE Archbishop Michael Fitzgerald (President of
Pontical Council for Interreligious
Dialogue)
3.
Dialog “Islam in Pluralistic Society”
29.
Suria,
Desember 2005
30.
Yordan,
Desember 2005
31.
Brazil,
Februari 2006
32.
Belanda, 27
Februari- 1 Maret 2006
33.
Saudi
Arabia, Maret 2006
34.
Iran, April
2006
35.
Yordania,
Juni 2006
36.
Saudi
Arabia, Agustus 2006
Jakarta, 1 September 2006
1
Lebih jelasnya tentang Deklarasi Kyoto baca ‘’The Kyoto Declaration on
Confronting Violence and Advancing Shared Security’’, Religions for Peace
Eighth World Assembly August 2006, Kyoto Japan, August 29th, 2006.
2 Arnold Toynbee, sejarawan terkemuka
Inggris, mencacat bahwa Konferensi Agama se Dunia pada tahun 1970 di Kyoto,
Jepang merupakan sejarah pertama bagi tokoh agama seluruh dunia berkumpul bersama menjawab tantangan
perdamian global. Lihat Religions for Peace-International, 777 United
Nation Plaza, New York, NY 10017 USA, www.reiigionsforpeace.org.
3 Muhammad Ali Ash-Shabuni menjelaskan
bahwa sifat rahman adalah kurnia atau kerahmatan Allah berupa rizki yang luas
dan kemaslahatan bagi kemanusiaan yang berlaku umum baik untuk orang mukmin
mapun orang kafir. Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat dalam Kitab
Shawatuttafasir Tafsir lil Qur’anil Karim, Juz
I ( Makka: Darul Fikri, 1996/1416
H) hlm.18-21.
4 Baca DR Wahbah Az- Zuhaili dalam kitab
’Tafsir Munir’, Juz XVII-XVIII
(Damasqus: Darul Fikri, 1991/1411) hlm. 143-145, kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah rahmat bagi kaum kafir adalah ditundanya
adab.
5 Hadis Riwayat Ibnu Abbas: Bahwa
sesungguhnya terutusnya Nabi Muhammad SAW adalah sebagai rahmat bagi semesta alam, baik bagi orang mukmin maupun bagi orang
kafir. Adapun rahmat bagi orang mukmin adalah Allah memberi hidayah dengan
mamsukkan iman, dan melakukan amal sesuai perintah allah, sehingga dia
mendapatkan surga. Sedang rahmat bagi kaum kafir adalah tertundanya balak, yang
biasanya berlaku bagi umat sebelumnya langsung turun balak. Baca kitab Jami’ul Bayan ’An Ta’wili Ayat Alquran,
Abu Jakfar Muhammad Jarir Ath-Thobari, Darul Fikri, hlm. 106-107,
terbit tahun 310 H.
3 Baca A. Hasyim
Muzadi, Mengembangkan NU Melalui Penyembuhan Luka Bangsa, (Jakarta:
PBNU, 2002) hlm. 42-47.
4
Lihat Dr. Muhammad Imarah, Al-lslam
wat-Ta'addudiyah: Al-lkhtilaf wat-Tanawwuu fi Ithaaril-Wihdah
edisi terjemahannya: Islam dan
Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, penerjemah,
Abdul Hayyie Al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999). Lihat juga Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme
Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005).
5 K.H. Achmad Siddiq adalah pengasuh
Pesantren Asd-Siddiqiyah Jember, cendekiawan NU yang produktif menulis ini
menjabat Ketua Wilayah NU Jawa Timur tahun 1950. Ketika NU menjadi partai politik 1952, dia
masuk jajaran pengurus PBNU.
Pada tahun 1955 dan 1956-1959, menduduki Wakil Ketua II dan Wakil Sekretaris
Umum PBNU. Ia menjadi inisiator utama penerimaan NU atas asas Tunggal Pancasila dan Khittah 1926 pada Munas tahun 1983 di Situbondo. Dan pada Muktamar NU ke-27, Situbondo, beliau
mencapai karir tertinggi sebagai Rais Am PBNU menggantikan KH. Ali Ma'shum.
6 "Khutbah iftitah...",
hal.10-11; K.H. Achmad Siddq,"Hanya Pribadi Berkualitas yang mamapu
Mewujudkan Jam'iyah Berkualitas", Aula, no. 6., Agustus 1989, hal. 19;
Hairus Salim H.S. dan Ridwan
Fakla AS,"K.H. Achmad Siddiq: Pemikiran Keagamaan dan kenegaraannya",
dalam Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.), Biografi 5 Rais 'Am
Nahdhatul Ulama, (Yogyakarta:LTN-NU
Yogyakarta bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995) hlm. 177-178; dan A. Syafi'i Ma'arif, Peta Bumi
Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 238.
7 Dikutip A. Syafi'i Ma'arif, dalam Peta
Bumi Intelektualisem Islam di Indoensia, (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 238
8 Menurut riwayat Abu Bakar r.a, bahwa setelah Fath
Makkah Rasulullah bersabdah " Pergilah kamu, kamu sekalian telah
menjadi orang bebas atau merdeka". Kemudian, Rasulullah membaca ayat
yang maknanya: "Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian
dari jenis laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa agar kalian saling
mengenali. Sungguh orang yang paling mulia diantara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa".
9 Naskah asli Surat
Komite Hijaz yang ditujukan kepada Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman al-Su’ud
serta jawaban dari Raja Saudi itu masih tersimpan rapi di Perpustakaan PBNU
dalam Bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
10 Periksa Badan Hukum
pendirian NU yang ketika itu masih di bawah pemerintahan penjajah Belanda yang
naskah aslinya bisa dilihat di Perpustakaan PBNU Jakarta Jl. Kramat Raya 164.
Mengenai alasan pendirian, baca KH. A. Muchith Muzadi dalam ‘NU dalam
Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 tahun Ikut NU), (Surabaya:
Khalista, Juli 2006), hlm. 32-42.
11 Fikrah Nahdliyah
dirumuskan dan diputuskan lewat Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi
Besar Nahdlatul Ulama (Munas dan Konbes NU) di Asrama Haji Sukolilo Surabaya
pada tanggal 27-30 Juli 2006/2-5 Rajab 1427 H. Lebih jelasnya lihat Materi
Munas dan Konbes NU 2006 yang diterbitkan oleh PBNU.
12 Surat al-Hasyr ayat 7 " Dan apa yang
telah kamu berikan kepada RasulNya sebagai harta rampasan (fa'i) dari harta penduduk negeri itu,
maka adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat dan anak yatim, orang miskin dan
ibnu sabil, agar harta rampasan tidak beredar (dulatan) antara orang-orang kaya di antara kamu". Dr. Moh . Rifai, al-Qur'an:
Terjemah/Tafsir (Semarang:
CV. Wicaksana, 2001) hlm. 980.
13 Di Eropa, contoh negara yang menerapkan paham
teokrasi adalah kerajaan Belanda. Dalam catatan sejarah kerajaan Belanda
diyakini sebagai pengemban tugas suci yaitu kekuasaan yang merupakan amanat
suci mission sacre dari Tuhan untuk memakmurkan rakyatnya. Politik seperti ini juga menjadi landasan baku
negara Belanda dalam melakukan penjajahan di Indonesia, karena mereka meyakini
bahwa raja berhak menjadi wali atas negara jajahannya.
14 Terminologi sekularisme pertamakali
diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906), sarjana Inggris, sebagai gagasan alternatif untuk mengatasi
ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan
sekularisme, masing-masing agama dan
negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan
agama mengurusi gereja.
15 Paham ini dipelopori oleh Karl Mark, dan
dikembangkan oleh Vladimir Lenin, lihat Vladimir Lenin, Sosialisme dan Agama, Diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Anonim (1997) Edisi Bahasa Inggris yang ke-4, ( Progress
Publishers, Moscow, 1972, Cetakan ke-3), halaman 83-87 Diedit oleh Anonim (Desember 1998).
17 Baik keputusan
Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Kediri , 21-27 Nopember 1999 hingga keputusan
Muktamar NU ke-31 di Donuhudan, Solo tahun 2004 menegaskan bahwa pengurus
harian NU dari berbagai tingkatan tidak boleh merangkap jabatan dengan pengurus
partai politik (Parpol). Periksa AD/ART NU, terutama yang sudah diamandemen
lewat Muktamar yang terakhir, yaitu Muktamar ke-31 di Solo.
20 Maklumat Nahdlatul
Ulama merupakan keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Surabaya yang disahkan tanggal 30 Juli
2006 ditandatangani H.A. Hasyim Muzadi selaku Ketua Umum PBNU dan Dr. KH A .M.
Sahal Mahfudh selaku Rais Am PBNU
21 Baca Hasyim Muzadi ‘Rasa
Kampung Menu Global’, Jawa-Pos, Senin 9 Oktober 2006.
19 Untuk lebih jelasnya
apa saja misi yang dibicarakan dalam pertemuan ICIS/PBNU dengan Sekjen OKI,
Rabithah Alam Islami dan IDB baca
artikel A Hasyim Muzadi ‘Perdamaian di Timur Tengah’ dalam Koran Seputar Indonesia (Sindo), Jumat
1 September 2006, opini Republika ‘Timur Tengah dan Prospek Islam’, Senin 4 September 2006. Juga dalam opini The Jakarta Post ‘’Unresolved Midle East isues and Step
Islam want to take’’ , Tuesday, September 19, 2006.
20 Juga mengenai apa
saja yang saya bicarakan di PBB dan WCRP bisa dibaca dalam artikel A Hasyim
Muzadi di Koran Sindo ‘PBB dan Dialog Antarperadaban’ , Sabtu 23
September 2006.
21 Mengenai peran NU
dalam krisis Thailand bisa dibaca dalam opini ‘Penanganan Konflik Thailand
Selatan’, dalam koran Sindo edisi
Sabtu, 16 September 2006.
2 Menurut Huntington,
ilmuwan Harvard University yang juga dikenal sebagai think tank
Gedung Putih AS, bahwa pasca perang dingin yang ditandai dengan tumbangnya
Tembok Berlin, dunia akan menghadapi clash of civilizations, benturan antar peradaban, terutama Barat vis a
vis Islam.Lebih jelasnya baca ’Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia’, edisi terjemanahan dari The Clash of Civilizations and
The Remaking of World Order ( Yogyakarta: Qalam, 2002) hlm. 387-404.
No comments:
Post a Comment