Friday, April 27, 2012

Apa itu Mashlaha? Ini Maslahah dalam Islam


AL-MASLAHAH
DALAM
PANDANGAN ISLAM
Oleh: imam syafi’i.[1]




Islam adalah agama paripurna yang dianugerahkan kepada seluruh manusia melalui seorang Nabi terakhir yang ummi sebagai tuntunan (baca: syari’at) untuk memperoleh kebahagiaan di Dunia dan Akhirat. Sebagai sebuah anugerah dari yang maha Esa tentunya segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah murni hanya untuk kepentingan umat, karena Allah adalah dzat yang suci dari tujuan-tujuan pribadi.
 perpijak dari sini dan dalil-dalil nash maka Ulama’ membuat  sebuah kaidah pokok dari tujuan syari’at yaitu, mendatangkan berbagai kemaslahatan serta menolak berbagai kerusakan.
Perlu kita ketahui bahwa semua mujtahid berpijak dengan konsep ini dalam menghasilkan produk-produk hukum karena mereka semua sepakat bahwa denganya Syari’at Islam telah membuktikan bahwa ia adalah agama yang paripurna yang mampu untuk menjawab berbagai tantangan dari perkembangan zaman dan peradaban yang tidak bisa kita pungkiri telah memiliki wujud yang selalu berubah-ubah ditiap situasi dan kondisi.
Dalam ini penulis akan memaparkan tentang salah satu dari tujuan syari’at yaitu maslahah yang akan membuka wawasan kita tentang kajian Ushul Fiq­h dan semoga bisa membuat kita lebih arif di dalam menyikapi segala permasalahan yang ada di sekitar kita yang terus berkembang dan berubah dari waktu kewaktu.
a. Pengertian Dan Pembagian  Maslahah
Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemangfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Mangfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala resuatu yang ada kaitan denganya. 
Pandangan terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al Syatiby mengatakan:  maslahat ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menopang keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta  memenuhi segala keinginan  rasio dan syahwatnya secara mutlak [2]. Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menopang kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”[3]. sedangkan menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan-tujuan syari’at”. sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1.melindungi agama (hifdu al diin), 2.melindungi jiwa (hifdu al nafs), 3.melindungi akal (hifdu al aql), 4.melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl), 5.melindungi harta benda (hifdu al mal).[4]
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa lafad al-Maslahah dan al-Mafsadah adalah berupa bentuk yang masih umum, yang menurut kesepakatan ulama’ adalah mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, al-Syatibi menyatakan “bahwa tujuan dari diturunkanya Syari’at adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat secara bersamaan.”.[5]  Perlu  kita tahuhui bahwa kemaslahatah akhirat adalah hal yang paling penting dalam pandangan Islam, yaitu tercapainya keridhoan dari Allah yang maha pemurah di akhirat nanti, karena dalam pandangan islam hidup tidak hanya berhenti pada kehidupan di Dunia saja, dengan kata lain bahwa kerhidhoan Allah di akhirat tidak bisa terlepas dengan keridhoaNya di dunia dan bagaimana seseorang menentukan sikapnya di dunia.
Dari pengertian di atas dan hasil penelitian para ulama’ serta nash-nash syari’at terbukti bahwa segala ketentuan hukum yang ada pada Syari’at adalah terfokus pada konsep kemaslahatan Umat, sebagaimana firman Allah:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.(Q.S al Ambiya:107), unsur maslahah dalam hal ini tentunya hanya bisa di rasakan dan dirumuskan dengan sempurna oleh orang-orang mempunyai kecerdasan yang sempurna dan kompeten di bidangnya, karena pandangan maslahah bisa saja berbeda-beda dari tiap orang sesuai dengan kemampuanya [6].
Tingkatan Dalam Maslahah
Dalam pengunaan maslahah ada tiga tingkatan yang harus kita ketahui, yang dalam pengunaanya juga terdapat perbedaan di antara Ulama’.
1.      Daruriyah, tingkatan ini adalah segala sesuatu yang bisa menjaga terhadap  rusaknya lima asas daripada syari’at yang telah penulis sebutkan di atas, seperti pemberlakuan had terhadap pelaku zina dikarenakan merusak nasab.
2.       hajiyah, tingkatan yang tidak sampai merusak asas syari’at akan tetapi dibutuhkan, seperti menikahkan anak-anak.
3.      tahsiniyah, yaitu tingkatan maslahah yang tidak mambahayakan dasar-dasar Syari’at dan tidak dibutuhkan, seperti menikahkan seorang wanita dengan lelaki yang sederajat.[7]
Setelah kita mengetahui tentang urutan daripada maslahah kita harus mengetahui hukum dari ketiga tingkatan tersebut, tingkatan yang pertama wajib dilaksanakan, sedangkan tingkatan kedua dan ketiga hanya bisa dilaksankan apabila ditopang oleh dalil-dalil yang pasti dan kuat. Apabila tidak di dukung oleh rasio disebut dengan Istihsan, apabila di topang oleh suatu asal maka di sebut Qiyas,[8]dan apabila bersandar dengan darurat maka disebut dengan Istislah atau Maslahah Mursalah.
Maslahah adalah tujuan daripada syari’at dan hukuim-hukum yang meliputinya, secara tidak langsung konsep ini tentunya dipakai dan harus menjadi persyaratan utama yang perlu dipegang dan mendasari pemikiran para mujtahid, walaupun nanti dalam pengejawantahanya para Mujtahid memiliki pengertian yang berbeda-beda, dalam pembahasah ini Fuqoha’ terbagi menjadi tiga kelompok,
Ø  Mereka yang berpegang teguh pada dhohir daripada Nash (al Qur’an dan Hadist), serta mereka berkeyakinan bahwa kemaslahatan tidaklah akan keluar dari Nash tersebut, mereka ini adalah kelompok dhohiriyah yang tidak mengakui Qiyas sebagai metode pengalian hukum, mereka hanya mengakui bahwa hanya Nash sajalah yang patut untuk dijadikan sumber dari pengalian hukum karena tidak ada kemaslahatan diluar daripada Nash[9]
Ø  Kelompok ulama’ yang mengakui bahwa kemaslahatan ada dalam Nash, akan tetapi mereka juga mendalami penyebab ,tujuan , dan inti daripada kemaslahatan yang ada di dalam Nash sehinga mereka mampu untuk menganalogikan masalah-masalah baru yang terjadi dengan dalil-dalil Nash sebagai representasi dari konsep maslahah. Tetapi mereka menolak konsep maslahah yang tidak bisa dianalogikan dengan dalil-dalil Nash sehinga kepentinga-kepentingan individu atau hawa nafsu bisa terminimalisasi dengan sempurna. Mereka adalah golongan fuqoha’ yang mengakui konsep Qiyas sebagai metode pengalian hukum.
Ø   Mereka yang memiliki angapan bahwa maslahah adalah suatu bentuk yang berdiri sendiri yang mengakar pada lima dasar pokok syari’at yang telah disebutkan di atas walaupun tampa dilandasi oleh dalil nash yang jelas-jelas mendukung atau menolaknya, dan hal inilah yang oleh Ulama’ disebut dengan maslahah mursalah atau istislah yang di pakai oleh malikiyah seandainya maslahah ditopang dengan dalil Nash yang jelas atau yang masih memiliki kesamaan sebab atau illat maka disebut dengan Qiyas.
Secara garis besar maslahah terbagi menjadi tiga bagian:
1. maslahah mu’tabaroh.
2. maslahah mulgho.
3. Maslahah Mursalah.
Dan untuk lebih jelasnya penulis akan paparkan satu persatu dari pembagian tersebut di bawah ini.
1. Maslahah Mu’tabarah
Maslahah mu’tabarah adalah maslahah yang ada ada dalil-dalinya dalam Syara’ atau kaidah ushul fiqh dan memiliki hubungan langsung dengan lima dasar Syari’ah yaitu melindungi agama, akal, harta, nasab, dan jiwa, Perpijak dari kaidah ini maka timbulah konsep qiyas dalam Mazhab syafi’I yaitu mempertimbangkan suatu hukum yang lahir dari pendalaman rasio terhadap Nash yang jelas. mengenai maslahah ini semua jumhur Ulama’ sepakat tentang keabsahanya. [10]  
2. Maslahah Mulgho
Maslahah mulgho adalah maslahah yang di tolak oleh Syara’, dengan kata lain bahwa maslahah ini hanya murni berpijak pada rasio semata, dan para Ulama’ sepakat tentang penolakan mereka terhadap maslahah model ini dikarenakan akan memberikan peluang yang luas kepada peran nafsu atau kepentingan individu. Seperti yang pernah fatwakan oleh Yahya ibn yahya tentang kafarah jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan kepada seorang amir dengan puasa dua bulan berturut-turut, beliau berargumentasi bahwa apabila seorang amir atau orang yang kaya diberi keluasan untuk memilih tiga opsi atau urutan diantara memerdekakan budak, memberi makan fakir miskin, dan puasa dua bulan sudah barang tentu ia akan memilih selain puasa karena itu lebih mudah baginya, sedangkan Menurut beliau tujuan daripada kafarat adalah membuat efek jera bagi seseorang. Pendapat ini tentunya bertentangan dengan para Ulama’ yang berpendapat di antara memilih tiga opsi dari kifarat atau mengurutkanya, karena dari fatwa beliau itu terkesan subjektif, oleh karena itu banyak ulama’ yang menolak fatwa beliau.
3.Maslahah Mursalah.
Imam Maliki dalam memahami maslahah  mengeluarkan sebuah metode yang bernama Maslahah Mursalah, Maslahah Mursalah menurut bahasa adalah kebaikan atau kemangfaatan secara umum, sedangkan menurut terminologi ulama’ Ushul Fiqh adalah berpegang teguh terhadap tujuan umum dari Syariat, akan tetapi tidak dilandasi oleh argumentasi yang jelas dari Nash tentang persetujuan atau penolakan terhadapnya, sebagian ulama’ ada yang menyebutnya dengan Istislah, atau Almunasib al Mursal (adanya keterikatan dengan tujuan Syariat secara umum tampa ada spesifikasi yang jelas),  seperti yang telah dilakukan oleh para Sahabat dengan mengumpulkan Mushaf dan membakar semua Mushaf yang tidak sesuai dengan tulisan Ustman, sebenarnya apa yang dilakukan para sahabat ini tidak ada dalil yang jelas akan tetapi sesuai dengan tujuan umum daripada Syariat yaitu menjaga agama islam dari perpecahan.
Maslahah mursalah sebenarnya tidak hanya membuat suatu hukum tanpa ada hubunganya dengan Syari’at, Maslahah mursalah juga memiliki hubungan yang mengarah kepada tujuan daripada Syari’at walaupun tidak sekuat Qiyas, karena hubungan yang ada dalam maslahah mursalah bersifat global (kulli) oleh karena itu ada yang menyebutnya Munasib al Mursal. Adapun metode penerapanya secara umum adalah:
&  Jenis permasalahan yang dibahas cenderung mengarah pada jenis yang tertera pada Nash.
&  Bentuk permasalahan yang dibahas cenderung mengarah dengan bentuk yang telah tertera pada Nash.
&  Hukum yang di bahas cenderung mengarah dengan hukum yang ada pada pada Nash.[11]
Dalam menangapi maslahah mursalah ini para Ulama’ menjadi dua kubu antara yang menyetujui dengan konsep yang di usung oleh Mazhab Maliki ini dengan yang tidak menyetujuinya.
1. Mereka yang tidak setuju dengan konsep ini antara lain adalah Mazhab Syafi’I, Syi’ah, dan Dhohiri. mereka yang tidak sependapat dengan konsep ini memiliki beberapa alasan antara lain: 
Ä Bahwa teks hukum-hukum syariat adalah hukum yang suci dan telah menerangkan berbagai permasalahan yang ada sampai akhir zaman walaupun tidak secara langsung, serta tidak akan bertentangan dengan perubahan sedikitpun oleh situasi dan kondisi, dengan adanya nash al Qur’an yang berbunyi:
.  Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja” (tanpa pertanggung jawaban)?(al qiyamah36:)
Ä   Maslahah mursalah berkutat di antara maslahah mulgho yang tertolak dan maslahah yang mu’tabaroh, karena tidak adanya dalil yang jelas oleh karena itu harus manolaknya[12]
Ä Mengunakan maslahah mursalah akan menyebabkn seseorang tidak memahami syari’at dengan sempurna karena akan terjadi pencampur adukan antara hukum syari’at dengan hawa nafsu dan memberikan peluang terhadap sifat subjektifitas terhadap orang-orang yang tidak bertangung jawab dalam mengunakan hukum.
Tetapi di kemudian hari kebanyakan dari ulama’ mutaakhirin dari kelompok mazhab yang menentang banyak mengunakan metode ini walaupun dengan syarat-syarat tertentu di karenakan banyaknya masalah-masalah baru yang sangat mendesak untuk diselesaikan. kalau kita melihat realitas produk-produk fiqh mqzhab mereka sebenarnya juga sering memakai maslahah mursalah, sebagaimana dalam mazhab  Syafi’I dalam menjawab tentang seseorang yang dibunuh oleh suatu kelompok maka keseluruhanya wajib terkena had, dengan argumentasi firman Allah:
 “Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu..(al nahl:126). dan pendapat ini kemudian dijadikan ijma’.
2. Mereka yang menyetujuinya antara lain Mazhab Maliki (mazhab ini adalah pelopor dari maslahah mursalah), Hanafi, dan Hambali, dan Mereka yang sependapat dengan metode ini memiliki argumentasi yang akan penulis jelaskan pada argumentasi maslahah mursalah.
Syarat-Syarat Maslahah Mursalah.
Imam Malik dalam mengunakan maslahah mursalah sebenarnya tidak memberikan peluang terhadap subjektivitas seseorang, ini terbukti dengan adanya syarat-syarat yang beliau terapkan terhadap pengunaanya dengan ketat, syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Maslahah mursalah harus memiliki kecenderungan mengarah dengan tujuan syari’at  walaupun secara umum dan tidak bertentangan dengan dasar-dasar Syara’, dalil-dalil hukum.
2.      Pembahasanya harus bersifat rasional dengan indikasi seandainya dipaparkan terhadap orang-orang berakal mereka akan menerimanya.
3.      Pengunaanya bertujuan untuk kebutuhan yang sangat darurat atau untuk menghilangkan berbagai bentuk kesulitan dalam beragama.[13]
4.      Maslahah mursalah yang di gunakan untuk membuat hukum adalah benar-benar Maslahah secara nyata bukan dugaan.
5.      Maslahah yang dipakai adalah maslahah umum, bukan maslahah bagi kepentingan satu golongan atau indifidu tertentu.
Hujah maslahah mursalah
Setelah kita mengetahui argumentasi dari para Ulama’ yang menolak konsep maslahah mursalah hendaknya kita juga harus tahu alasan-alasan para Ulama’ yang getol mempertahankan konsep ini, sebenarnya perbedaan mereka hanyalah apabila konsep maslahah mursalah dipakai di dalam muamalat (hubungan antar manusia), adapun apabila diterapkan dalam masalah yang bersifat ibadah maka semua ulama’ sepakat tentang tidak berlakunya konsep ini, karena ibadah yang kita terima dari Syari’ bersifat doktrin (tauqifi) yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh akal[14]. Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa Ulama’ mengunakan maslahah mursalah adalah:
Ä bahwa kehidupan manusia akan selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Ä seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup ini,[15] seperti keterangan dalam firman Allah:
  dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(al haj:78)
Ä para mujtahid di masa Sahabat sebagian dari mereka mengunakan maslahah mursalah dalam beberapa keputusan mereka dan tidak ada yang mengingkari mereka.[16]
Secara garis besar Ulama’ memiliki pendapat yang berbada-beda dalam mengunakan Maslahah mursalah.
1.      Maslahah mursalah apabila memiliki asal yang jelas dari Nash maka ulama’ menyebutnya dengan Qiyas, bahkan ada yang mengatakan hal ini tidak bisa disebut dengan Maslahah mursalah lagi.
2.      Maslahah mursalah boleh dipakai apabila memiliki kecenderungan mengarah kepada tujuan Syari’at dan tidak jelas-jelas bertentangan denga Nash.
3.      maslahah mursalah boleh digunakan apabila diduga memiliki kedekatan makna dengan kaidah umum walaupun tidak berhubungan langsung dengan Nash yang jelas. Sebenarnya maslahah inilah yang banyak dikecam oleh beberapa Ulama’ karena memberikan peluang terhadap peran nafsu dan subjektivitas seseorang.
4.      Konsep maslahah mursalah hanya bisa dipakai apabila dalam keadaan darurat saja, ini adalah pendapat imam al ghozali dalam kitabnya al Mustasfa, akan tetapi pendapat ini ditolak oleh beberapa Ulama’, bahwa konsep darurat memiliki ketentuan tersendiri yang berbeda dengan Maslahah mursalah yaitu “ darurat akan memperbolehkan perkara yang diharamkan” serta darurat mamiliki dalil tersendiri di dalam Syari’at dan tidak bisa di campur adukan dengan Maslahah mursalah.[17]
KESIMPULAN
Eksistenti dari sebuah aliran atau mazdhab adalah berada pada kredibilitas dan kemampuanya untuk selalu mampu menjawab persoalan yang berkembang pada masanya dengan tanpa meningalkan identitas dan dasar-dasar pokok yang dianutnya (aqidah), maka dengan dengan mempertahankan konsep maslahah inilah kita akan mendapati  bahwa  Mashab-mazhab Fiqh mencoba membuktikan bahwa islam adalah agama yang mudah dan tidak membebani umatnya dengan hal-hal yang sukar dengan tampa tercerabut dari pondasi awalnya (al Qur’an-Hadis), karena konsep yang di usung oleh maslahah adalah bertujuan untuk membahas hal-hal yang nyata serta terjadi di sekitar umat. 
Melihat situasi perkembangan zaman saat ini yang begitu pesat dan cepat serta banyaknya hal-hal yang tidak mungkin bisa terjawab hanya dengan merujuk pada  teks-teks produk dari sebuah metode yang berkembang pada masa lalu , maka pentinglah kiranya bagi kita untuk merujuk pada konsep-konsep yang mendasari para Mujtahid dalam menjawab perkembangan zaman pada masa mereka, terutama tentang metode mereka di dalam mengunakan dan mengolah dasar pokok daripada Syari’at yaitu Al-maslahah, karena dengan ini kita akan menjadi umat yang dinamis dan lebih suka berpikir objektiv, Karena diturunkannya syariat di tengah kehidupan umat manusia adalah untuk mewujudkan  keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan tuntunan Syariat. Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan harus memenuhi kriteria kepentingan umum (maslahah ‘ammah) yang dibenarkan oleh syara’.


Wallohu al Muwafiq
ila
Aqwami al Thoriq

@


[1]. Mahasiswa Semester III  STAI Ma’had ‘Aly  AL-HIKAM, Malang.
[2].Dr. Ahmad raisuni.1997. “Nadhoriyat al Maqosid ‘inda syatibi”. Mesir. Dar al kalimah Hlm 204
[3].Ibid Hlm 205
[4] Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby. 217
[5].Dr. Ahmad raisuni.op.cit Hlm 203.
[6]. al Imam Muhammad Abu zahra.1997. “ushul al fiqh” . Kairo. Dar al fikr al ‘araby. Hlm 244.  
[7] Al ghozaly.op.cit.Hlm217
[8] Ibid.
[9].ibid. Hlm 246
[10] Khalifah ba bakr.1997.’al ijtihad bi al ra’yi.kairo.maktabah al zahra. Hlm 427
[11]. Ibid.hlm.429
[12] Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al tsaqofiyah. Hlm 137
[13] Khalifah ba bakr.op.cit. Hlm.452
[14] Dr M.ibn ahmad taqiyah. Op.cit. Hlm. 138
[15] Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm  89
[16] Dr M.ibn ahmad taqiyah. Op.cit. Hlm. 136 
[17]. Ibid. Hlm 140

No comments:

Post a Comment