AL-MASLAHAH
DALAM
PANDANGAN
ISLAM
Oleh: imam syafi’i.[1]
Islam adalah agama paripurna yang dianugerahkan kepada
seluruh manusia melalui seorang Nabi terakhir yang ummi sebagai tuntunan
(baca: syari’at) untuk memperoleh kebahagiaan di Dunia dan Akhirat. Sebagai
sebuah anugerah dari yang maha Esa tentunya segala sesuatu yang ada di dalamnya
adalah murni hanya untuk kepentingan umat, karena Allah adalah dzat yang suci
dari tujuan-tujuan pribadi.
perpijak dari
sini dan dalil-dalil nash maka Ulama’ membuat
sebuah kaidah pokok dari tujuan syari’at yaitu, mendatangkan berbagai
kemaslahatan serta menolak berbagai kerusakan.
Perlu kita ketahui bahwa semua mujtahid berpijak dengan
konsep ini dalam menghasilkan produk-produk hukum karena mereka semua sepakat
bahwa denganya Syari’at Islam telah membuktikan bahwa ia adalah agama yang
paripurna yang mampu untuk menjawab berbagai tantangan dari perkembangan zaman
dan peradaban yang tidak bisa kita pungkiri telah memiliki wujud yang selalu
berubah-ubah ditiap situasi dan kondisi.
Dalam ini penulis akan memaparkan tentang salah satu
dari tujuan syari’at yaitu maslahah yang akan membuka wawasan kita tentang kajian
Ushul Fiqh dan semoga bisa membuat kita lebih arif di dalam menyikapi segala
permasalahan yang ada di sekitar kita yang terus berkembang dan berubah dari
waktu kewaktu.
a. Pengertian Dan Pembagian
Maslahah
Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan
segala bentuk kemangfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih
jelasnya Mangfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang
masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan
atau segala resuatu yang ada kaitan denganya.
Pandangan terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian,
yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut
syara’(hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al Syatiby mengatakan: “ maslahat ditinjau dari segi artinya
adalah segala sesuatu yang menopang keberlangsungan dan Menyerpurnakan
kehidupan manusia, serta memenuhi segala
keinginan rasio dan syahwatnya secara
mutlak” [2].
Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu
yang menopang kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu
menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik
kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan
melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”[3].
sedangkan menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan-tujuan
syari’at”. sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1.melindungi agama (hifdu
al diin), 2.melindungi jiwa (hifdu al nafs), 3.melindungi akal (hifdu
al aql), 4.melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl),
5.melindungi harta benda (hifdu al mal).[4]
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa lafad al-Maslahah
dan al-Mafsadah adalah berupa bentuk yang masih umum, yang menurut kesepakatan
ulama’ adalah mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, al-Syatibi
menyatakan “bahwa tujuan dari diturunkanya Syari’at adalah untuk
kemaslahatan di dunia dan akhirat secara bersamaan.”.[5]
Perlu kita tahuhui bahwa kemaslahatah akhirat
adalah hal yang paling penting dalam pandangan Islam, yaitu tercapainya
keridhoan dari Allah yang maha pemurah di akhirat nanti, karena dalam pandangan
islam hidup tidak hanya berhenti pada kehidupan di Dunia saja, dengan kata lain
bahwa kerhidhoan Allah di akhirat tidak bisa terlepas dengan keridhoaNya di
dunia dan bagaimana seseorang menentukan sikapnya di dunia.
Dari pengertian di atas dan hasil penelitian para ulama’
serta nash-nash syari’at terbukti bahwa segala ketentuan hukum yang ada pada Syari’at
adalah terfokus pada konsep kemaslahatan Umat, sebagaimana firman Allah:
“Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.(Q.S al Ambiya:107), unsur maslahah dalam hal ini tentunya hanya
bisa di rasakan dan dirumuskan dengan sempurna oleh orang-orang mempunyai
kecerdasan yang sempurna dan kompeten di bidangnya, karena pandangan maslahah
bisa saja berbeda-beda dari tiap orang sesuai dengan kemampuanya [6].
Tingkatan Dalam Maslahah
Dalam pengunaan maslahah ada tiga
tingkatan yang harus kita ketahui, yang dalam pengunaanya juga terdapat
perbedaan di antara Ulama’.
1. Daruriyah, tingkatan ini adalah
segala sesuatu yang bisa menjaga terhadap
rusaknya lima
asas daripada syari’at yang telah penulis sebutkan di atas, seperti
pemberlakuan had terhadap pelaku zina dikarenakan merusak nasab.
2. hajiyah, tingkatan yang tidak sampai merusak
asas syari’at akan tetapi dibutuhkan, seperti menikahkan anak-anak.
3. tahsiniyah, yaitu tingkatan
maslahah yang tidak mambahayakan dasar-dasar Syari’at dan tidak dibutuhkan,
seperti menikahkan seorang wanita dengan lelaki yang sederajat.[7]
Setelah kita mengetahui tentang urutan
daripada maslahah kita harus mengetahui hukum dari ketiga tingkatan tersebut, tingkatan
yang pertama wajib dilaksanakan, sedangkan tingkatan kedua dan ketiga hanya
bisa dilaksankan apabila ditopang oleh dalil-dalil yang pasti dan kuat. Apabila
tidak di dukung oleh rasio disebut dengan Istihsan, apabila di topang oleh
suatu asal maka di sebut Qiyas,[8]dan apabila bersandar dengan darurat maka disebut dengan
Istislah atau Maslahah Mursalah.
Maslahah adalah tujuan daripada syari’at
dan hukuim-hukum yang meliputinya, secara tidak langsung konsep ini tentunya
dipakai dan harus menjadi persyaratan utama yang perlu dipegang dan mendasari
pemikiran para mujtahid, walaupun nanti dalam pengejawantahanya para Mujtahid
memiliki pengertian yang berbeda-beda, dalam pembahasah ini Fuqoha’ terbagi
menjadi tiga kelompok,
Ø Mereka yang berpegang teguh
pada dhohir daripada Nash (al Qur’an dan Hadist), serta mereka berkeyakinan
bahwa kemaslahatan tidaklah akan keluar dari Nash tersebut, mereka ini adalah
kelompok dhohiriyah yang tidak mengakui Qiyas sebagai metode pengalian hukum,
mereka hanya mengakui bahwa hanya Nash sajalah yang patut untuk dijadikan
sumber dari pengalian hukum karena tidak ada kemaslahatan diluar daripada Nash[9]
Ø Kelompok ulama’ yang mengakui
bahwa kemaslahatan ada dalam Nash, akan tetapi mereka juga mendalami penyebab
,tujuan , dan inti daripada kemaslahatan yang ada di dalam Nash sehinga mereka
mampu untuk menganalogikan masalah-masalah baru yang terjadi dengan dalil-dalil
Nash sebagai representasi dari konsep maslahah. Tetapi mereka menolak konsep
maslahah yang tidak bisa dianalogikan dengan dalil-dalil Nash sehinga
kepentinga-kepentingan individu atau hawa nafsu bisa terminimalisasi dengan
sempurna. Mereka adalah golongan fuqoha’ yang mengakui konsep Qiyas sebagai
metode pengalian hukum.
Ø Mereka yang memiliki angapan bahwa maslahah
adalah suatu bentuk yang berdiri sendiri yang mengakar pada lima dasar pokok
syari’at yang telah disebutkan di atas walaupun tampa dilandasi oleh dalil nash
yang jelas-jelas mendukung atau menolaknya, dan hal inilah yang oleh Ulama’
disebut dengan maslahah mursalah atau istislah yang di pakai oleh
malikiyah seandainya maslahah ditopang dengan dalil Nash yang jelas atau yang
masih memiliki kesamaan sebab atau illat maka disebut dengan Qiyas.
Secara garis besar maslahah terbagi
menjadi tiga bagian:
1. maslahah mu’tabaroh.
2. maslahah mulgho.
3. Maslahah Mursalah.
Dan untuk lebih jelasnya penulis akan paparkan satu persatu dari pembagian
tersebut di bawah ini.
1. Maslahah Mu’tabarah
Maslahah mu’tabarah adalah maslahah yang
ada ada dalil-dalinya dalam Syara’ atau kaidah ushul fiqh dan memiliki hubungan
langsung dengan lima dasar Syari’ah yaitu melindungi agama, akal, harta, nasab,
dan jiwa, Perpijak dari kaidah ini maka timbulah konsep qiyas dalam Mazhab
syafi’I yaitu mempertimbangkan suatu hukum yang lahir dari pendalaman rasio
terhadap Nash yang jelas. mengenai maslahah ini semua jumhur Ulama’ sepakat
tentang keabsahanya. [10]
2. Maslahah Mulgho
Maslahah mulgho adalah maslahah yang di
tolak oleh Syara’, dengan kata lain bahwa maslahah ini hanya murni berpijak
pada rasio semata, dan para Ulama’ sepakat tentang penolakan mereka terhadap
maslahah model ini dikarenakan akan memberikan peluang yang luas kepada peran
nafsu atau kepentingan individu. Seperti yang pernah fatwakan oleh Yahya ibn
yahya tentang kafarah jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan kepada seorang
amir dengan puasa dua bulan berturut-turut, beliau berargumentasi bahwa apabila
seorang amir atau orang yang kaya diberi keluasan untuk memilih tiga opsi atau
urutan diantara memerdekakan budak, memberi makan fakir miskin, dan puasa dua
bulan sudah barang tentu ia akan memilih selain puasa karena itu lebih mudah
baginya, sedangkan Menurut beliau tujuan daripada kafarat adalah membuat efek
jera bagi seseorang. Pendapat ini tentunya bertentangan dengan para Ulama’ yang
berpendapat di antara memilih tiga opsi dari kifarat atau mengurutkanya, karena
dari fatwa beliau itu terkesan subjektif, oleh karena itu banyak ulama’ yang
menolak fatwa beliau.
3.Maslahah Mursalah.
Imam Maliki dalam memahami maslahah mengeluarkan sebuah metode yang bernama Maslahah
Mursalah, Maslahah Mursalah menurut bahasa adalah kebaikan atau kemangfaatan
secara umum, sedangkan menurut terminologi ulama’ Ushul Fiqh adalah berpegang
teguh terhadap tujuan umum dari Syariat, akan tetapi tidak dilandasi oleh argumentasi
yang jelas dari Nash tentang persetujuan atau penolakan terhadapnya, sebagian
ulama’ ada yang menyebutnya dengan Istislah, atau Almunasib al Mursal (adanya
keterikatan dengan tujuan Syariat secara umum tampa ada spesifikasi yang jelas),
seperti yang telah dilakukan oleh para
Sahabat dengan mengumpulkan Mushaf dan membakar semua Mushaf yang tidak sesuai
dengan tulisan Ustman, sebenarnya apa yang dilakukan para sahabat ini tidak ada
dalil yang jelas akan tetapi sesuai dengan tujuan umum daripada Syariat yaitu
menjaga agama islam dari perpecahan.
Maslahah mursalah sebenarnya tidak hanya
membuat suatu hukum tanpa ada hubunganya dengan Syari’at, Maslahah mursalah
juga memiliki hubungan yang mengarah kepada tujuan daripada Syari’at walaupun
tidak sekuat Qiyas, karena hubungan yang ada dalam maslahah mursalah bersifat
global (kulli) oleh karena itu ada yang menyebutnya Munasib al Mursal. Adapun metode
penerapanya secara umum adalah:
& Jenis permasalahan yang dibahas
cenderung mengarah pada jenis yang tertera pada Nash.
& Bentuk permasalahan yang
dibahas cenderung mengarah dengan bentuk yang telah tertera pada Nash.
Dalam menangapi maslahah mursalah ini
para Ulama’ menjadi dua kubu antara yang menyetujui dengan konsep yang di usung
oleh Mazhab Maliki ini dengan yang tidak menyetujuinya.
1. Mereka
yang tidak setuju dengan konsep ini antara lain adalah Mazhab Syafi’I, Syi’ah,
dan Dhohiri. mereka yang tidak sependapat dengan konsep ini memiliki beberapa
alasan antara lain:
Ä Bahwa teks hukum-hukum syariat
adalah hukum yang suci dan telah menerangkan berbagai permasalahan yang ada sampai
akhir zaman walaupun tidak secara langsung, serta tidak akan bertentangan
dengan perubahan sedikitpun oleh situasi dan kondisi, dengan adanya nash al
Qur’an yang berbunyi:
. “Apakah manusia mengira,
bahwa ia akan dibiarkan begitu saja” (tanpa pertanggung jawaban)?(al
qiyamah36:)
Ä Maslahah mursalah berkutat di antara maslahah
mulgho yang tertolak dan maslahah yang mu’tabaroh, karena tidak adanya dalil
yang jelas oleh karena itu harus manolaknya[12]
Ä Mengunakan maslahah mursalah
akan menyebabkn seseorang tidak memahami syari’at dengan sempurna karena akan
terjadi pencampur adukan antara hukum syari’at dengan hawa nafsu dan memberikan
peluang terhadap sifat subjektifitas terhadap orang-orang yang tidak bertangung
jawab dalam mengunakan hukum.
Tetapi di kemudian hari kebanyakan dari
ulama’ mutaakhirin dari kelompok mazhab yang menentang banyak mengunakan metode
ini walaupun dengan syarat-syarat tertentu di karenakan banyaknya
masalah-masalah baru yang sangat mendesak untuk diselesaikan. kalau kita
melihat realitas produk-produk fiqh mqzhab mereka sebenarnya juga sering
memakai maslahah mursalah, sebagaimana dalam mazhab Syafi’I dalam menjawab tentang seseorang yang
dibunuh oleh suatu kelompok maka keseluruhanya wajib terkena had, dengan
argumentasi firman Allah:
“Dan jika kamu memberikan balasan, Maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu..(al
nahl:126). dan pendapat ini kemudian dijadikan ijma’.
2. Mereka
yang menyetujuinya antara lain Mazhab Maliki (mazhab ini adalah pelopor dari
maslahah mursalah), Hanafi, dan Hambali, dan Mereka yang sependapat dengan
metode ini memiliki argumentasi yang akan penulis jelaskan pada argumentasi
maslahah mursalah.
Syarat-Syarat Maslahah Mursalah.
Imam Malik dalam mengunakan maslahah
mursalah sebenarnya tidak memberikan peluang terhadap subjektivitas seseorang,
ini terbukti dengan adanya syarat-syarat yang beliau terapkan terhadap
pengunaanya dengan ketat, syarat-syarat tersebut adalah:
1. Maslahah mursalah harus
memiliki kecenderungan mengarah dengan tujuan syari’at walaupun secara umum dan tidak bertentangan
dengan dasar-dasar Syara’, dalil-dalil hukum.
2. Pembahasanya harus bersifat
rasional dengan indikasi seandainya dipaparkan terhadap orang-orang berakal
mereka akan menerimanya.
3. Pengunaanya bertujuan untuk
kebutuhan yang sangat darurat atau untuk menghilangkan berbagai bentuk
kesulitan dalam beragama.[13]
4. Maslahah mursalah yang di
gunakan untuk membuat hukum adalah benar-benar Maslahah secara nyata bukan
dugaan.
5. Maslahah yang dipakai adalah
maslahah umum, bukan maslahah bagi kepentingan satu golongan atau indifidu tertentu.
Hujah maslahah mursalah
Setelah kita mengetahui argumentasi dari
para Ulama’ yang menolak konsep maslahah mursalah hendaknya kita juga harus
tahu alasan-alasan para Ulama’ yang getol mempertahankan konsep ini, sebenarnya
perbedaan mereka hanyalah apabila konsep maslahah mursalah dipakai di dalam
muamalat (hubungan antar manusia), adapun apabila diterapkan dalam masalah yang
bersifat ibadah maka semua ulama’ sepakat tentang tidak berlakunya konsep ini,
karena ibadah yang kita terima dari Syari’ bersifat doktrin (tauqifi) yang
tidak sepenuhnya terjangkau oleh akal[14]. Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa
Ulama’ mengunakan maslahah mursalah adalah:
Ä bahwa kehidupan manusia akan
selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga
akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Ä seandainya konsep maslahah
mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati
kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan
kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup
ini,[15] seperti keterangan dalam firman Allah:
“dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(al
haj:78)
Ä para mujtahid di masa Sahabat
sebagian dari mereka mengunakan maslahah mursalah dalam beberapa keputusan
mereka dan tidak ada yang mengingkari mereka.[16]
Secara garis besar Ulama’ memiliki pendapat
yang berbada-beda dalam mengunakan Maslahah mursalah.
1. Maslahah mursalah apabila
memiliki asal yang jelas dari Nash maka ulama’ menyebutnya dengan Qiyas, bahkan
ada yang mengatakan hal ini tidak bisa disebut dengan Maslahah mursalah lagi.
2. Maslahah mursalah boleh dipakai
apabila memiliki kecenderungan mengarah kepada tujuan Syari’at dan tidak
jelas-jelas bertentangan denga Nash.
3. maslahah mursalah boleh
digunakan apabila diduga memiliki kedekatan makna dengan kaidah umum walaupun
tidak berhubungan langsung dengan Nash yang jelas. Sebenarnya maslahah inilah
yang banyak dikecam oleh beberapa Ulama’ karena memberikan peluang terhadap
peran nafsu dan subjektivitas seseorang.
4. Konsep maslahah mursalah hanya
bisa dipakai apabila dalam keadaan darurat saja, ini adalah pendapat imam al
ghozali dalam kitabnya al Mustasfa, akan tetapi pendapat ini ditolak oleh beberapa
Ulama’, bahwa konsep darurat memiliki ketentuan tersendiri yang berbeda dengan
Maslahah mursalah yaitu “ darurat akan memperbolehkan perkara yang diharamkan”
serta darurat mamiliki dalil tersendiri di dalam Syari’at dan tidak bisa di
campur adukan dengan Maslahah mursalah.[17]
KESIMPULAN
Eksistenti dari sebuah aliran atau mazdhab adalah berada
pada kredibilitas dan kemampuanya untuk selalu mampu menjawab persoalan yang berkembang
pada masanya dengan tanpa meningalkan identitas dan dasar-dasar pokok yang
dianutnya (aqidah), maka dengan dengan mempertahankan konsep maslahah
inilah kita akan mendapati bahwa Mashab-mazhab Fiqh mencoba membuktikan bahwa
islam adalah agama yang mudah dan tidak membebani umatnya dengan hal-hal yang
sukar dengan tampa tercerabut dari pondasi awalnya (al Qur’an-Hadis),
karena konsep yang di usung oleh maslahah adalah bertujuan untuk membahas
hal-hal yang nyata serta terjadi di sekitar umat.
Melihat situasi perkembangan zaman saat ini yang begitu
pesat dan cepat serta banyaknya hal-hal yang tidak mungkin bisa terjawab hanya
dengan merujuk pada teks-teks produk
dari sebuah metode yang berkembang pada masa lalu , maka pentinglah kiranya
bagi kita untuk merujuk pada konsep-konsep yang mendasari para Mujtahid dalam
menjawab perkembangan zaman pada masa mereka, terutama tentang metode mereka di
dalam mengunakan dan mengolah dasar pokok daripada Syari’at yaitu Al-maslahah, karena
dengan ini kita akan menjadi umat yang dinamis dan lebih suka berpikir
objektiv, Karena diturunkannya syariat di tengah kehidupan umat manusia adalah
untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia
di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan
kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala
ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan
tuntunan Syariat. Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta
merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan
harus memenuhi kriteria kepentingan umum (maslahah ‘ammah) yang dibenarkan oleh
syara’.
Wallohu
al Muwafiq
ila
Aqwami al
Thoriq
@
[1]. Mahasiswa Semester III STAI
Ma’had ‘Aly AL-HIKAM, Malang.
[2].Dr. Ahmad raisuni.1997. “Nadhoriyat al Maqosid ‘inda syatibi”.
Mesir. Dar al kalimah Hlm 204
[3].Ibid Hlm 205
[4] Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al
turats al ‘araby. 217
[5].Dr. Ahmad raisuni.op.cit Hlm 203.
[6]. al Imam Muhammad Abu zahra.1997. “ushul al fiqh” . Kairo. Dar al
fikr al ‘araby. Hlm 244.
[7] Al ghozaly.op.cit.Hlm217
[8] Ibid.
[9].ibid. Hlm 246
[10] Khalifah ba bakr.1997.’al ijtihad bi al ra’yi.kairo.maktabah al
zahra. Hlm 427
[11]. Ibid.hlm.429
[12] Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon.
muasisu al kitab al tsaqofiyah. Hlm 137
[13] Khalifah ba bakr.op.cit. Hlm.452
[14] Dr M.ibn ahmad taqiyah. Op.cit. Hlm. 138
[15] Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm 89
[16] Dr M.ibn ahmad taqiyah. Op.cit. Hlm. 136
[17]. Ibid. Hlm 140
No comments:
Post a Comment