HAKIKAT DAN MAJAZ
Oleh: Imam Syafi’i
I. Pendahuluan
Dalam kajian Ushul fiqh pemahaman bahasa arab secara
paripurna adalah suatu keharusan bagi orang yang ingin mendalaminya, maka bisa
dikatakan sangat lucu apabila belakangan ini ada orang yang membuat hukum-hukum
baru dengan metode yang tidak jelas dan pemahaman serta rasa bahasa arab yang
sangat minim. Bagi kita yang ingin mendalami Ilmu ushul, pertama-tama yang
harus kita pelajari adalah bahasa yang dipakai oleh objek kajian tersebut, agar
apa yang kita kaji bisa lebih obyektiv dan tidak terkesan subyektiv, karena
dengan bahasalah segala gagasan dan fikiran tertuang dan dengan memahami bahasa
tersebut kita bisa memahami gagasan dan fikiran yang dituangkan.
Dalam makalah singkat ini penulis mencoba memberikan
sedikit pengetahuan tentang bagaimana kita mengunakan dan memperlakukan suatu
lafad menurut maknanya, karena pada makalah-makalah sebelumnya kita telah
disuguhi kajian tentang peletakan lafad (maudu’i) dan petunjuk-petunjuk yang
ada pada lafad (dilalah al lafdi) atas suatu makna. Dan semoga makalah singkat
ini bisa bermangfaat bagi penulis dan para pembaca. (amiin)
II. Definisi Hakikat Dan Majaz
Hakikat menurut bahasa berasal dari fi’il madi حق yang berarti jelas. Sedangkan menurut istilah
Ulama’ ushul adalah:
(وهى كل لفظ
أريد به ما وضع له فى الاصل لشىء معلوم أو لأتصال معنوى)[1]. Yaitu setiap lafad yang menghendaki ma’na asal (wad’i) karena ada hal-hal yang telah di
ketahui. Selanjutnya Makna wad’I adalah: menetukan makna lafad dengan kembali
pada awal mula peletakan makna.[2]
Selanjutnya hakikat dibagi empat bagian antara lain:[3]
1.hakikat lughowi, yaitu: lafad yang
ditetapkan dan di gunakan dalam ma’na lafad oleh ahli bahasa. Seperti pengunaan
kata الانسان sebagai mahluk hidup yang memiliki nalar, dan
lafad الذأب yang digunakan sebagai hewan yang memiliki kuku yang tajam.
2.hakikat syar’I, yaitu: lafad yang
ditetapkan dan digunakan dalam ma’nanya oleh Ahli syari’at. Seperti lafad صلاة yang digunakan untuk ma’na ibadah tertentu dengan syarat-syarat
tertentu
3.hakikat ‘urfi khusus, yaitu: lafad
yang ditetapkan dan digunakan ma’nanya oleh kelompok atau komunitas tertentu. Seperti
istilah I’rab rafa’,nasab, jer, yang digunakan untuk istilah tertentu oleh
kelompok Ahli nahwu.
4.hakikat ‘urfi umum, yaitu lafad
yang ditetapkan dan digunakan dalam ma’nanya oleh kelompok atau komunitas umum. Seperti lafad دابة yang diartikan setiap hewan yang melata, atau lafad مذياع yang
diartikan radio oleh kebanyakan orang.
Sedangkan majaz menurut bahasa berasal dari fi’il madi جاز- يجوز yang berarti lewat atau keluar. Sedangkan
menurut istilah ulama’ ushul adalah:
وهى كل لفظ أريد به لغير ما وضع له فى الاصل
لشىء معلوم أو لأتصال معنوى[4]
setiap lafad yang digunakan tidak pada asal kata dari Artinya.
Seperti lafad أسد yang digunakan Artinya untuk seorang pemberani.
Seperti halnya hakikat majaz juga terbagi menjadi empat bagian.[5]
1.majaz lughowi, yaitu pengunaan
lafad yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena adanya suatu petunjuk
kebahasaan, seperti Contoh di atas dan lafad صلاة yang digunakan untuk
arti selain do’a, walaupun kata tersebut bisa menjadi hakikat menurut arti
bahasa
2. majaz syar’I, yaitu pengunaan
lafad yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena adanya suatu petunjuk
syara’. Seperti pengunaan ahli bahasa terhadap lafad صلاة pada arti ibadah yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
3. majaz ‘urfi khusus, yaitu
pengunaan lafad yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena adanya suatu
hubungan dengan pengunaan oleh komunitas tertentu. Seperti pengunaan kata الحال oleh ahli nahwu untuk arti keadaan atau suasana baik atau buruk .
4. majaz ‘urfi umum, yaitu pengunaan
lafad yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena adanya suatu hubungan
dengan pengunaan oleh komunitas umum, seperti pengunaan kata دابة yang secara umum berarti hewan melata
menjadi orang yang bodoh.
III. Hukum Hakikat Dan Majaz
Yang dimaksud hukum dalam hakikat dan majaz adalah, ketetapan-ketetapan yang harus dipatuhi dalam
hakikat dan majaz. yang pertama adalah hakikat, dalam hakikat ada beberapa
ketetapan yang harus dipatuhi antara lain:[6]
1. harus mangikuti ketetapan ma’na
awal yang telah ditetapkan oleh pakar atau suatu komunitas dibidangnya. Seperti
furman alloh:اركعوا وأسجدوا “
perintah dalam firman ini memerintahkan kita untuk ruku’ dan sujud seperti yang
diperintahkan oleh syari’ (nabi) seperti yang telah tertuang dalam sebuah
hadist: (صلوا كما
رأيتموانى أصلى
(, dan pengunaan kata الانسان sebagai mahluk hidup yang memiliki nalar, sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh para pakar bahasa.
2. tidak boleh memindah makna asli
dari suatu lafad. Seperti menganti arti pada kata ayah menjadi kakek, kerena
kakek adalah makna majaz dari ayah menurut orang arab.
3. harus mendahulukan arti hakikat
daripada arti majaz.karena arti hakikat adalah arti yang tidak membutuhkan
suatu petunjuk untuk memahaminya, sedangkan arti majaz memdutuhkan suatu
petunjuk untuk memahaminya.
Sedangkan dalam majaz ada dua
ketetapan yang harus dipatuhi yaitu:[7]
1. adanya makna lain yang dipinjam
untuk menganti makna hakikat, dan menjadi suatu ketetapan arti.
2. makna majaz bisa dialihkan kepada
makna lain. Seperti kata khimar yang berarti bodoh bisa dialihkan kepada orang
yang bersuara buruk.
Menurut kesepakatan ulama’ majaz lebih baik dari pada
musytarak (suatu kata yang memiliki beberapa arti yang berbeda), dan lebih baik
dari pada memindah satu arti menjadi arti lain, serta menurut Hanafiyah lebih
baik dari pada membuang atau menyimpan suatu arti.
IV. Bentuk Dan Syarat-Syarat Majaz
Secara garis
besar majaz dibagi menjadi dua bagian 1. majaz isti’aroh. 2. majaz mursal.
Majaz isti’aroh adalah memindah suatu makna dengan cara meminjam makna dari
makna lain karena ada kesamaan . Sedangkan majaz mursal adalah memindah suatu
makna dengan cara menyebutkan tempat akan tetapi yang dikehendaki adalah
sesuatu yang berhubungan dengan tempat itu, sepertu kata الغائط , secara hakikat adalah suatu tempat berlubang yang biasa digunakan orang untuk
buang hajat, dan jika diartikan secara majaz adalah buang hajat[8].
Berpijak dari dua pembagian diatas, Dalam istilah ushul fiqh diperinci lagi
menjadi beberapa macam bentuk majaz,antara
lain.
1.majaz ziyadah (penambahan kata atau
huruf) seperti contoh dalam firman Alloh:
ليس كمثله شىء huruf kaf yang ada pada lafad mistli adalah tambahan menurut jumhur
Ulama’.
2. majaz
nuqson (pengurangan kata atau huruf), contoh: فاسأل
القرية
“tanyailah punduduk desa itu” dalam kalimat ini dipastikan adanya kata
yang dibuang menurut rasio, yaitu kata أهل
3.majaz naql (memindah satu bentuk
kepada bentuk lain yang masih berhubungan) seperti contoh firman Alloh:
÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$#
lafad ghoit dalam firman di atas adalah pindahan
dari tempat untuk buang kotoran.[9]
4. majaz isti’aroh seperti yang telah
disebutkan di dalam firman Alloh:
#yy`uqsù $pkÏù #Y#yÉ` ßÌã br& Ùs)Zt ¼çmtB$s%r'sù
“Kemudian keduanya mendapatkan
dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan
dinding itu…..”Q.S al kahfi 77.
Dinding yang hampir roboh meminjam makna yang dimiliki oleh mahkluk
hidup yaitu lafad yuridu
[10]Adapun syarat-syarat majaz adalah adanya qorinah atau
petunjuk-petunjuk yang mengarah kepada makna yang dikehendaki, syarat-syaratnya
antara lain sebagai berikut
1. adanya petunjuk lafdiyah atau
nyata. Seperti petunjuk lafad yang disebut sebelum majaz seperti firman alloh:.
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#ãrutIô©$# s's#»n=Ò9$# 3yßgø9$$Î/ $yJsù Mpt¿2u öNßgè?t»pgÏkB
“Mereka Itulah orang yang membeli kesesatan dengan
petunjuk, Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka…….” Q.S al baqoroh. 16
Yang dimaksud ayat diatas bukanlah perdagangan tapi
kerugian yang akan di peroleh di akhirat kelak akibat perbuatan mereka di dunia.
2. adanya petunjuk ma’nawiyah atau
petunjuk yang abstrak seperti rasio. seperti Contoh dalam al Qur’an: ليس كمثله شىء dari pemahaman teks kalimat
tersebut dengan adanya huruf kaf dan lafad mistli seolah-olah ada yang
menyerupai Alloh, padahal hal semacam itu tidak akan bisa diterima oleh akal,
karena tidak ada yang menyerupai Alloh.
3. adanya petunjuk ‘adiyah atau adat
kebiasaan. Seperti kata shalat yang bermakna do’a menurut ahli bahasa dipindah
menjadi arti ibadah tertentu menurut adat selain ahli bahasa. Atau ada orang
yang mengatakan “ saya akan memasak
nasi” menurut suatu kebiasaan yang dimaksud adalah beras.
V. Kontraversi Majaz Dalam Nash
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa majaz ada di dalam al
Quran karim dan Hadist Nabi. Berbeda dengan beberapa ulama’ ushul seperti Abi
bakr ibn dawud al Dhohiri, Abi muslim al asfahani dari Mazhab hanafi, Abi howiz
mindad dari Mazhab maliki, Ibn al Qosh dari mazhab syafi’I dan Abi al fadl dari mazhab hambali.[11]
Mereka berpendapat bahwa majaz itu sama halnya dengan
hazl (gurauan) sehinga mereka dengan tegas menolak adanya majaz dalam al Quran
dan Hadist, sedangkan jumhur ulama’ berpendapat bahwa majaz berbeda dengan hazl,
menurut jumhur hazl adalah: pengunaan lafad yang tidak ditujukan untuk makna
asli (wad’i) serta tidak ada hubungan antar makna dengan cara meminjam arti
lafad lain (isti’aroh), sedangkan majaz berbeda dengan adanya hubungan antar
makna baik dari segi makna atau lafad. Seperti lafad asad (singa)
dengan rajulun syujaun (lelaki pemberani) dengan adanya hubungan
makna keduanya, yaitu adanya sifat pemberani antara keduanya.[12]
dawud al Dhohiri dan beberapa ulama’ yang tidak menyetujui
adanya majaz dalam nash berargumen bahwa majaz walaupun didukung oleh adanya
petunjuk adalah suatu penambahan
(tatwil) yang tidak berfaidah, karena walaupun tampa ada suatu petunjuk masih bisa
diserupakan maksudnya dengan faktor lain. Jumhur ulama’ menyangkal argumen
tersebut dengan mengatakan bahwa adanya suatu petunjuk dalam majaz telah
membuat makna tercegah dari penyerupaan dengan yang lain, serta pengunaan majaz
dalam Nash bertujuan untuk mengungkapkan kata-kata yang sulit diucapkan menjadi
lebih mudah atau kata-kata yang terkesan jorok menjadi lebih sopan, seperti
kata ghoid yang diangap lebih sopan daripada hakikatnya atau bertujuan
untuk memperindah kata sebagai salah satu mu’jizat dari pada nash tersebut.[13]
Selanjutnya mereka yang munyangkal majaz mengatakan
seandainya Alloh mengunakan majaz dalam firmanya maka Alloh adalah dzat yang
berkata majaz dan semua ulama’ sepakat bahwa sifat tersebut tidak ada dalam
nama-nama Alloh. Menagapi argumen ini jumhur ulama’ berkata bahwa untuk
mengetahui nama-nama Alloh kita harus mengikuti apa yang telah diajarkan oleh Alloh
dan Rosulnya dan tidak boleh membuat nama selain apa yang telah diajarkan (tauqifi),
jadi Alloh dalam firmanya memang sebagian mengunakan kata-kata yang majaz tapi
kita tidak boleh mensifati Alloh dengan dzat yang berkata majaz menurut kebanyakan
ulama’.[14]
VI. Ketentuan Dalam Pemakaian Hakikat Dan Majaz
Pada dasarnya hakikat adalah asal dari makna suatu
lafad, maka kita tidak boleh mengunakan makna majaz tampa adanya alasan yang jelas, sehinga
ulama’ membuat kaidah yang berbunyi: ألآصل فى
الكلام الحقيقة “ asal dari setiap kalimat adalah hakikat “. Sedangkan ulama’ ushul
menjelaskan beberapa kriteria untuk memindah hakikat menjadi majaz dengan lima sebab.[15]
1. adanya petunjuk tempat, seperti
saat kita mengatakan “sungai yang mengalir” secara hakikat tidaklah
mungkin sungai yang menjadi tempat dari air bisa mengalir, yang dikehendaki
dari kalimat di atas adalah air yang mengalir, begitu juga contoh firman Alloh:
$tBur
ÈqtGó¡o
4yJôãF{$# çÅÁt7ø9$#ur
ÇÊÒÈ
“Dan
tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang Melihat.”Q.S al fatir. 19
Dengan
petunjuk firman Alloh:
w üÈqtGó¡o Ü=»ptõ¾r&
Í$¨Z9$# Ü=»ptõ¾r&ur
Ïp¨Yyfø9$# 4
Ü=»ysô¹r&
Ïp¨Yyfø9$# ãNèd tbrâͬ!$xÿø9$#
ÇËÉÈ
“Tidaklah sama
penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni
jannah Itulah orang-orang yang beruntung”Q.S al Hasyr 20.
Dari petunjuk penempetan di neraka dan surga kita bisa
mengetahui bahwa yang dimaksud dengan buta dan melihat adalah hati.
2. adanya petunjuk kebiasaan,
seperti saat orang mengatakan memasak nasi, pengunaan secara hakikat tidaklah
dibenarkan karena adat kebiasaan masyarakat yang dimaksud adalah memasak beras.
3. adanya petunjuk makna yang
dimaksud oleh pembicara, contoh ketika ada orang yang ditawari untuk diajak makan
siang dan menolak dengan mengatakan “demi allah aku tidak akan makan siang”,
maka untuk memahami kalimat ini kita tidak boleh mengunakan hakikat yang
berarti umum, tapi yang harus digunakan adalah makna majaz. Jadi saat dia
pulang dan makan siang di rumahnya berarti ia tidak melangar sumpahnya, karana
yang ia maksud adalah makan siang dengan orang yang mengajaknya.
4. adanya petunjuk urutan kalimat
baik sebelum atau sesudahnya. Seperti firman Alloh:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%Ï#uß 4
“Dan
Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah
ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.Q.S al Kahfi 29
Dari petunjuk hakikat dari perintah pada ayat di atas
menunjukan pilihan bagi seseorang untuk iman atau kafir, tetapi kita tidak
boleh mengunakan makna hakikat dengan adanya petunjuk kalimat sesudahnya yang
berupa ancaman bagi orang yang zalim, yang menurut para ulama’ kata zalim itu
bersifat umum baik kafir kepada alloh atau nikmatNya.
Dan firman Alloh:
4 ª!$$sù ãNä3øts öNà6oY÷t/ tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 3 `s9ur @yèøgs ª!$# tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ
(Maka Allah
akan memberi Keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman.Q.S al nisa’ 141
kalau kita berpegang pada hakikat dari ayat yang
terakhir akan kita fahami bahwa orang-orang kafir tidak akan bisa untuk
memerangi dan mengalahkan orang- orang yang beriman di dunia ini secara dhohir
maupun batin, tetapi dari petunjuk kalimat sebelumya akan kita fahami bahwa
kemenangan sejati hanya akan digapai di akhirat kelak. Ibn Abbas pernah ditanya
seseorang tentang ayat di atas dan beliau menjawab: “ apabila kalian merasa
bingung tentang huruf atau ayat dalam al Qur’an maka periksalah kembali huruf
atau ayat sebelum dan sesedahnya”.[16]
5.
karena keterbatasan makna majaz daripada makna hakiki. Seperti saat ada
orang bersumpah tidak akan makan daging, maka ia tidak melangar sumpah apabila
mamakan ikan, karena menurut masyarakat pengertian daging adalah yang berasal
dari hewan yang memiliki darah yang mengalir, dan kita tidak diperintahkan
untuk menyehbelih ikan, walaupun dalam al Qur’an disebut dengan daging segar (لحما طريا).[17]
Jadi dalam hal ini yang dipakai adalah majaz syar’i yang memiliki makna
terbatas pada hewan yang memiliki darah yang mengalir.
VII. Simpulan
Setelah
mengetahui sedikit tentang penjelasan hakikat dan majaz kita bisa menyimpulkan bahwa pembahasan
tentang hakikat dan majaz di pandang dari berbagai segi, seperti pembagian
hakikat dan majaz, hukum atau ketentuan-ketentuan di dalamnya, syarat, serta
matode pengunaanya. Sebenarnya banyak sekali perbedaan-perbedaan seputar teori
tentang pemahaman hakikat dan majaz karena perbedaan sudut pandang yang tidak
penulis kemukakan di dini, karena poin penting dari pemahaman hakikat dan majaz
adalah adanya kehati-hatian dan kejelian di dalam memahami suatu teks, yang
sudah bisa sipastikan telah dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas
dalam mamahami suatu nash (mujtahid).
Pemahaman hakikat dan majaz adalah salah satu dari metode
yang digunakan para mujtahid untuk mengali pengunaan lafad atas suatu makna
yang bisa menghadirkan suatu pengertian di dalam memahami teks dengan
melibatkan dalil aqli (rasio) atau dalil naqli (nash) maupun kebiasaan dari
pengunaan bahasa (rasa bahasa), karena tampa pemahaman mendalam terhadap kajian
ini akan membuat seseorang tergelincir ke dalam pemahaman yang berbahaya dan
menyesatkan, Maka dengan memahami hakikat dan majaz dengan sempurna serta
mematuhi berbagai ketentuan yang ada di dalamnya kita akan terbebas dari
berbagai pemahaman yang keliru.
من ربنا التوفيق للصواب * والنفع فى
الدارين بالمقالة
[1] Kasyful asrar lil imam bazdawi juz 1 hal 66. lihat talwih ‘ala al taudhih juz 1 hal
69-71
[2] ushul fiqh, wahbah zuhaily juz1
hal 293
[3] Kasyful asrar juz 1 hal 61, dan syarh
isnawy juz 1 hal 315
[5] ushul fiqh, wahbah zuhaily juz1
hal 293
[6] ushul al asr khosi juz 1
hal 171
[7] ibid
[8] Metode ijtihad Ibn Rusyd. Dr. kasuwi saiban hal 77 .
lihat al nafahat syarh al Waroqot Ibn abd latif
hal 48
[10] Taqrirat jauharul maknun hal 15
[11] Lihat al ihkam Ibn hazm juz 4 hal 447.
syarh al luma’ al Syairozi juz 1
hal 169. al bahru al muhid
al zarkasyi, juz 2 hal 182
[12] Al Wafi fi ushul al fiqh, ibn ‘aly al
saghnaqy juz 1 hal 334-335
[13] Lihat syarh asnawi juz 1 hal 353
[14] Ushul fiqh
W. zuhaily juz 1 hal 300
[15] Kitab al Wafi fi ushul al fiqh ibn al
saghnaqy juz 1 hal
430
[16] tafsir Ibn kasir juz 1 hal
567
[17] al wafi fi ushul al fiqh ibn al
saghnaqy juz 1 hal
440
mohon share ye pak..untuk dibuat tugasan.. :)
ReplyDeleteTake it Please....
Delete