Friday, April 27, 2012

HAKIKAT dan MAJAZ dalam NAS

HAKIKAT DAN MAJAZ
Oleh: Imam Syafi’i

I. Pendahuluan
Dalam kajian Ushul fiqh pemahaman bahasa arab secara paripurna adalah suatu keharusan bagi orang yang ingin mendalaminya, maka bisa dikatakan sangat lucu apabila belakangan ini ada orang yang membuat hukum-hukum baru dengan metode yang tidak jelas dan pemahaman serta rasa bahasa arab yang sangat minim. Bagi kita yang ingin mendalami Ilmu ushul, pertama-tama yang harus kita pelajari adalah bahasa yang dipakai oleh objek kajian tersebut, agar apa yang kita kaji bisa lebih obyektiv dan tidak terkesan subyektiv, karena dengan bahasalah segala gagasan dan fikiran tertuang dan dengan memahami bahasa tersebut kita bisa memahami gagasan dan fikiran yang dituangkan.
Dalam makalah singkat ini penulis mencoba memberikan sedikit pengetahuan tentang bagaimana kita mengunakan dan memperlakukan suatu lafad menurut maknanya, karena pada makalah-makalah sebelumnya kita telah disuguhi kajian tentang peletakan lafad (maudu’i) dan petunjuk-petunjuk yang ada pada lafad (dilalah al lafdi) atas suatu makna. Dan semoga makalah singkat ini bisa bermangfaat bagi penulis dan para pembaca. (amiin)

II. Definisi Hakikat Dan Majaz
Hakikat menurut bahasa berasal dari fi’il madi حق   yang berarti jelas. Sedangkan menurut istilah Ulama’ ushul adalah: 
(وهى كل لفظ أريد به ما وضع له فى الاصل لشىء معلوم أو لأتصال معنوى)[1].  Yaitu setiap lafad yang menghendaki ma’na asal  (wad’i) karena ada hal-hal yang telah di ketahui. Selanjutnya Makna wad’I adalah: menetukan makna lafad dengan kembali pada awal mula peletakan makna.[2]
Selanjutnya hakikat dibagi empat bagian antara lain:[3]
1.hakikat lughowi, yaitu: lafad yang ditetapkan dan di gunakan dalam ma’na lafad oleh ahli bahasa. Seperti pengunaan kata الانسان sebagai mahluk hidup yang memiliki nalar, dan lafad الذأب yang digunakan sebagai hewan  yang memiliki kuku yang tajam.
2.hakikat syar’I, yaitu: lafad yang ditetapkan dan digunakan dalam ma’nanya oleh Ahli syari’at. Seperti lafad صلاة yang digunakan untuk ma’na ibadah tertentu dengan syarat-syarat tertentu
3.hakikat ‘urfi khusus, yaitu: lafad yang ditetapkan dan digunakan ma’nanya oleh kelompok atau komunitas tertentu. Seperti istilah I’rab rafa’,nasab, jer, yang digunakan untuk istilah tertentu oleh kelompok Ahli nahwu.
4.hakikat ‘urfi umum, yaitu lafad yang ditetapkan dan digunakan dalam ma’nanya oleh kelompok atau  komunitas umum. Seperti lafad دابة yang diartikan setiap hewan yang melata, atau lafad  مذياع  yang diartikan radio oleh kebanyakan orang.
Sedangkan majaz menurut bahasa berasal dari fi’il madi جاز- يجوز  yang berarti lewat atau keluar. Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul adalah:
وهى كل لفظ أريد به لغير ما وضع له فى الاصل لشىء معلوم أو لأتصال معنوى[4]
setiap lafad yang digunakan tidak pada asal kata dari Artinya. Seperti lafad  أسد yang digunakan Artinya untuk seorang pemberani.
Seperti halnya hakikat majaz juga terbagi menjadi empat bagian.[5]
1.majaz lughowi, yaitu pengunaan lafad yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena adanya suatu petunjuk kebahasaan, seperti Contoh di atas dan lafad  صلاة  yang digunakan untuk arti selain do’a, walaupun kata tersebut bisa menjadi hakikat menurut arti bahasa
2. majaz syar’I, yaitu pengunaan lafad yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena adanya suatu petunjuk syara’. Seperti pengunaan ahli bahasa terhadap lafad صلاة  pada arti ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
3. majaz ‘urfi khusus, yaitu pengunaan lafad yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena adanya suatu hubungan dengan pengunaan oleh komunitas tertentu. Seperti pengunaan kata الحال oleh ahli nahwu untuk arti keadaan atau suasana baik atau buruk .
4. majaz ‘urfi umum, yaitu pengunaan lafad yang tidak sesuai dengan ma’na asalnya karena adanya suatu hubungan dengan pengunaan oleh komunitas umum, seperti pengunaan kata دابة yang secara umum berarti hewan melata menjadi orang yang bodoh.
III. Hukum Hakikat Dan Majaz
Yang dimaksud hukum dalam hakikat dan majaz adalah,  ketetapan-ketetapan yang harus dipatuhi dalam hakikat dan majaz. yang pertama adalah hakikat, dalam hakikat ada beberapa ketetapan yang harus dipatuhi antara lain:[6]
1. harus mangikuti ketetapan ma’na awal yang telah ditetapkan oleh pakar atau suatu komunitas dibidangnya. Seperti furman alloh:اركعوا وأسجدوا   “ perintah dalam firman ini memerintahkan kita untuk ruku’ dan sujud seperti yang diperintahkan oleh syari’ (nabi) seperti yang telah tertuang dalam sebuah hadist:  (صلوا كما رأيتموانى أصلى   (, dan pengunaan kata الانسان sebagai mahluk hidup yang memiliki nalar, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pakar bahasa.
2. tidak boleh memindah makna asli dari suatu lafad. Seperti menganti arti pada kata ayah menjadi kakek, kerena kakek adalah makna majaz dari ayah menurut orang arab.
3. harus mendahulukan arti hakikat daripada arti majaz.karena arti hakikat adalah arti yang tidak membutuhkan suatu petunjuk untuk memahaminya, sedangkan arti majaz memdutuhkan suatu petunjuk untuk memahaminya.
Sedangkan dalam majaz ada dua ketetapan yang harus dipatuhi yaitu:[7]
1. adanya makna lain yang dipinjam untuk menganti makna hakikat, dan menjadi    suatu ketetapan arti.
2. makna majaz bisa dialihkan kepada makna lain. Seperti kata khimar yang berarti bodoh bisa dialihkan kepada orang yang bersuara buruk.
Menurut kesepakatan ulama’ majaz lebih baik dari pada musytarak (suatu kata yang memiliki beberapa arti yang berbeda), dan lebih baik dari pada memindah satu arti menjadi arti lain, serta menurut Hanafiyah lebih baik dari pada membuang atau menyimpan suatu arti.

IV. Bentuk Dan Syarat-Syarat Majaz
 Secara garis besar majaz dibagi menjadi dua bagian 1. majaz isti’aroh. 2. majaz mursal. Majaz isti’aroh adalah memindah suatu makna dengan cara meminjam makna dari makna lain karena ada kesamaan . Sedangkan majaz mursal adalah memindah suatu makna dengan cara menyebutkan tempat akan tetapi yang dikehendaki adalah sesuatu yang berhubungan dengan tempat itu, sepertu kata   الغائط , secara hakikat adalah suatu tempat  berlubang yang biasa digunakan orang untuk buang hajat, dan jika diartikan secara majaz adalah buang hajat[8]. Berpijak dari dua pembagian diatas, Dalam istilah ushul fiqh diperinci lagi menjadi  beberapa macam bentuk majaz,antara lain.
1.majaz ziyadah (penambahan kata atau huruf) seperti contoh dalam firman Alloh:     ليس كمثله شىء huruf kaf yang ada pada lafad mistli adalah tambahan menurut jumhur Ulama’.
2. majaz nuqson (pengurangan kata atau huruf), contoh: فاسأل القرية “tanyailah punduduk desa itu” dalam kalimat ini dipastikan adanya kata yang dibuang menurut rasio, yaitu kata أهل   
3.majaz naql (memindah satu bentuk kepada bentuk lain yang masih berhubungan) seperti contoh firman Alloh:
÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$#
lafad ghoit dalam firman di atas adalah pindahan dari tempat untuk buang kotoran.[9]
4. majaz isti’aroh seperti yang telah disebutkan di dalam firman Alloh:
#yy`uqsù $pkŽÏù #Y#yÉ` ߃̍ムbr& žÙs)Ztƒ ¼çmtB$s%r'sù
“Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu…..”Q.S al kahfi 77.                                  
Dinding yang hampir roboh  meminjam makna yang dimiliki oleh mahkluk hidup yaitu lafad yuridu
[10]Adapun syarat-syarat majaz adalah adanya qorinah atau petunjuk-petunjuk yang mengarah kepada makna yang dikehendaki, syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut
1. adanya petunjuk lafdiyah atau nyata. Seperti petunjuk lafad yang disebut sebelum majaz seperti firman alloh:.
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#ãruŽtIô©$# s's#»n=žÒ9$# 3yßgø9$$Î/ $yJsù Mpt¿2u öNßgè?t»pgÏkB
“Mereka Itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka…….” Q.S al baqoroh. 16    
Yang dimaksud ayat diatas bukanlah perdagangan tapi kerugian yang akan di peroleh di akhirat kelak akibat perbuatan mereka di dunia.
2. adanya petunjuk ma’nawiyah atau petunjuk yang abstrak seperti rasio. seperti Contoh dalam al Qur’an: ليس كمثله شىء dari pemahaman teks kalimat tersebut dengan adanya huruf kaf dan lafad mistli seolah-olah ada yang menyerupai Alloh, padahal hal semacam itu tidak akan bisa diterima oleh akal, karena tidak ada yang menyerupai Alloh.  
3. adanya petunjuk ‘adiyah atau adat kebiasaan. Seperti kata shalat yang bermakna do’a menurut ahli bahasa dipindah menjadi arti ibadah tertentu menurut adat selain ahli bahasa. Atau ada orang yang mengatakan  saya akan memasak nasi” menurut suatu kebiasaan yang dimaksud adalah beras.

V. Kontraversi Majaz Dalam Nash
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa majaz ada di dalam al Quran karim dan Hadist Nabi. Berbeda dengan beberapa ulama’ ushul seperti Abi bakr ibn dawud al Dhohiri, Abi muslim al asfahani dari Mazhab hanafi, Abi howiz mindad dari Mazhab maliki, Ibn al Qosh dari mazhab syafi’I dan Abi  al fadl dari mazhab hambali.[11]
Mereka berpendapat bahwa majaz itu sama halnya dengan hazl (gurauan) sehinga mereka dengan tegas menolak adanya majaz dalam al Quran dan Hadist, sedangkan jumhur ulama’ berpendapat bahwa majaz berbeda dengan hazl, menurut jumhur hazl adalah: pengunaan lafad yang tidak ditujukan untuk makna asli (wad’i) serta tidak ada hubungan antar makna dengan cara meminjam arti lafad lain (isti’aroh), sedangkan majaz berbeda dengan adanya hubungan antar makna baik dari segi makna atau lafad. Seperti lafad asad (singa) dengan rajulun syujaun (lelaki pemberani) dengan adanya hubungan makna keduanya, yaitu adanya sifat pemberani antara keduanya.[12]
dawud al Dhohiri  dan beberapa ulama’ yang tidak menyetujui adanya majaz dalam nash berargumen bahwa majaz walaupun didukung oleh adanya petunjuk adalah  suatu penambahan (tatwil) yang tidak berfaidah, karena walaupun tampa ada suatu petunjuk masih bisa diserupakan maksudnya dengan faktor lain. Jumhur ulama’ menyangkal argumen tersebut dengan mengatakan bahwa adanya suatu petunjuk dalam majaz telah membuat makna tercegah dari penyerupaan dengan yang lain, serta pengunaan majaz dalam Nash bertujuan untuk mengungkapkan kata-kata yang sulit diucapkan menjadi lebih mudah atau kata-kata yang terkesan jorok menjadi lebih sopan, seperti kata ghoid yang diangap lebih sopan daripada hakikatnya atau bertujuan untuk memperindah kata sebagai salah satu mu’jizat dari pada nash tersebut.[13]
Selanjutnya mereka yang munyangkal majaz mengatakan seandainya Alloh mengunakan majaz dalam firmanya maka Alloh adalah dzat yang berkata majaz dan semua ulama’ sepakat bahwa sifat tersebut tidak ada dalam nama-nama Alloh. Menagapi argumen ini jumhur ulama’ berkata bahwa untuk mengetahui nama-nama Alloh kita harus mengikuti apa yang telah diajarkan oleh Alloh dan Rosulnya dan tidak boleh membuat nama selain apa yang telah diajarkan (tauqifi), jadi Alloh dalam firmanya memang sebagian mengunakan kata-kata yang majaz tapi kita tidak boleh mensifati Alloh dengan dzat yang berkata majaz menurut kebanyakan ulama’.[14]
VI. Ketentuan Dalam Pemakaian Hakikat Dan Majaz
Pada dasarnya hakikat adalah asal dari makna suatu lafad, maka kita tidak boleh mengunakan makna majaz tampa adanya alasan yang jelas, sehinga ulama’ membuat kaidah yang berbunyi: ألآصل فى الكلام الحقيقة     asal dari setiap kalimat  adalah hakikat “. Sedangkan ulama’ ushul menjelaskan beberapa kriteria untuk memindah hakikat menjadi majaz dengan lima sebab.[15]
1. adanya petunjuk tempat, seperti saat kita mengatakan “sungai yang mengalir” secara hakikat tidaklah mungkin sungai yang menjadi tempat dari air bisa mengalir, yang dikehendaki dari kalimat di atas adalah air yang mengalir, begitu juga contoh firman Alloh:
$tBur ÈqtGó¡o 4yJôãF{$# 玍ÅÁt7ø9$#ur ÇÊÒÈ
 “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang Melihat.”Q.S al fatir. 19
Dengan petunjuk firman Alloh:
Ÿw üÈqtGó¡o Ü=»ptõ¾r& Í$¨Z9$# Ü=»ptõ¾r&ur Ïp¨Yyfø9$# 4 Ü=»ysô¹r& Ïp¨Yyfø9$# ãNèd tbrâͬ!$xÿø9$# ÇËÉÈ
“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah Itulah orang-orang yang beruntung”Q.S al Hasyr 20.         
Dari petunjuk penempetan di neraka dan surga kita bisa mengetahui bahwa yang dimaksud dengan buta dan melihat adalah hati.
2. adanya petunjuk kebiasaan, seperti saat orang mengatakan memasak nasi, pengunaan secara hakikat tidaklah dibenarkan karena adat kebiasaan masyarakat yang dimaksud adalah memasak beras.
3. adanya petunjuk makna yang dimaksud oleh pembicara, contoh ketika ada orang yang ditawari untuk diajak makan siang dan menolak dengan mengatakan “demi allah aku tidak akan makan siang”, maka untuk memahami kalimat ini kita tidak boleh mengunakan hakikat yang berarti umum, tapi yang harus digunakan adalah makna majaz. Jadi saat dia pulang dan makan siang di rumahnya berarti ia tidak melangar sumpahnya, karana yang ia maksud adalah makan siang dengan orang yang mengajaknya.
4. adanya petunjuk urutan kalimat baik sebelum atau sesudahnya. Seperti firman Alloh:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß  4
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.Q.S al Kahfi 29
Dari petunjuk hakikat dari perintah pada ayat di atas menunjukan pilihan bagi seseorang untuk iman atau kafir, tetapi kita tidak boleh mengunakan makna hakikat dengan adanya petunjuk kalimat sesudahnya yang berupa ancaman bagi orang yang zalim, yang menurut para ulama’ kata zalim itu bersifat umum baik kafir kepada alloh atau nikmatNya.
Dan firman Alloh:
4 ª!$$sù ãNä3øts öNà6oY÷t/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 `s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ
(Maka Allah akan memberi Keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.Q.S al nisa’  141
kalau kita berpegang pada hakikat dari ayat yang terakhir akan kita fahami bahwa orang-orang kafir tidak akan bisa untuk memerangi dan mengalahkan orang- orang yang beriman di dunia ini secara dhohir maupun batin, tetapi dari petunjuk kalimat sebelumya akan kita fahami bahwa kemenangan sejati hanya akan digapai di akhirat kelak. Ibn Abbas pernah ditanya seseorang tentang ayat di atas dan beliau menjawab: “ apabila kalian merasa bingung tentang huruf atau ayat dalam al Qur’an maka periksalah kembali huruf atau ayat sebelum dan sesedahnya”.[16]  
5.  karena keterbatasan makna majaz daripada makna hakiki. Seperti saat ada orang bersumpah tidak akan makan daging, maka ia tidak melangar sumpah apabila mamakan ikan, karena menurut masyarakat pengertian daging adalah yang berasal dari hewan yang memiliki darah yang mengalir, dan kita tidak diperintahkan untuk menyehbelih ikan, walaupun dalam al Qur’an disebut dengan daging segar (لحما طريا).[17] Jadi dalam hal ini yang dipakai adalah majaz syar’i yang memiliki makna terbatas pada hewan yang memiliki darah yang mengalir.

VII. Simpulan
Setelah  mengetahui sedikit tentang penjelasan hakikat dan majaz  kita bisa menyimpulkan bahwa pembahasan tentang hakikat dan majaz di pandang dari berbagai segi, seperti pembagian hakikat dan majaz, hukum atau ketentuan-ketentuan di dalamnya, syarat, serta matode pengunaanya. Sebenarnya banyak sekali perbedaan-perbedaan seputar teori tentang pemahaman hakikat dan majaz karena perbedaan sudut pandang yang tidak penulis kemukakan di dini, karena poin penting dari pemahaman hakikat dan majaz adalah adanya kehati-hatian dan kejelian di dalam memahami suatu teks, yang sudah bisa sipastikan telah dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam mamahami suatu nash (mujtahid).
Pemahaman hakikat dan majaz adalah salah satu dari metode yang digunakan para mujtahid untuk mengali pengunaan lafad atas suatu makna yang bisa menghadirkan suatu pengertian di dalam memahami teks dengan melibatkan dalil aqli (rasio) atau dalil naqli (nash) maupun kebiasaan dari pengunaan bahasa (rasa bahasa), karena tampa pemahaman mendalam terhadap kajian ini akan membuat seseorang tergelincir ke dalam pemahaman yang berbahaya dan menyesatkan, Maka dengan memahami hakikat dan majaz dengan sempurna serta mematuhi berbagai ketentuan yang ada di dalamnya kita akan terbebas dari berbagai pemahaman yang keliru.

من ربنا التوفيق للصواب * والنفع فى الدارين بالمقالة


[1] Kasyful asrar  lil imam bazdawi juz 1 hal 66.  lihat talwih ‘ala al taudhih juz 1  hal  69-71 
[2] ushul fiqh, wahbah zuhaily  juz1   hal  293
[3] Kasyful asrar juz 1 hal 61, dan syarh isnawy juz 1 hal 315
[4] Al Wafi fi ushul al fiqh, ibn ‘aly al saghnaqy juz 1  hal 334
[5] ushul fiqh, wahbah zuhaily  juz1   hal  293
[6] ushul al asr khosi  juz 1  hal 171
[7] ibid
[8] Metode ijtihad Ibn Rusyd.   Dr. kasuwi saiban  hal 77 .   lihat al nafahat  syarh al Waroqot  Ibn abd latif  hal 48
[9] metode ijtihad ibn rusyd  Dr kasuwi saiban. Hal  77
[10] Taqrirat jauharul maknun    hal  15
[11] Lihat al ihkam Ibn hazm juz 4  hal 447.   syarh al luma’ al Syairozi juz 1  hal 169.   al bahru al muhid al zarkasyi, juz 2   hal 182
[12] Al Wafi fi ushul al fiqh, ibn ‘aly al saghnaqy juz 1  hal 334-335
[13] Lihat syarh asnawi juz 1  hal 353
[14] Ushul fiqh  W. zuhaily  juz 1  hal 300
[15] Kitab al Wafi fi ushul al fiqh ibn al saghnaqy  juz 1   hal  430
[16] tafsir Ibn kasir juz 1   hal  567
[17] al wafi fi ushul al fiqh ibn al saghnaqy  juz 1   hal  440

2 comments: