I. PENDAHULUAN
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam (The Lord of the world and The Creator of insan) Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan karunianya kepada kita semua, sehingga kita masih diberi kesempatan untuk memperbanyak ibadah kita. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad Saw. yang telah mengajarkan kepada kita segalanya tentang cinta (Everything about love).
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa al-Din al-Islam sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan tentang tatacara berhubungan dengan Tuhan (Allah), dan tatacara berhubungan dengan sesama makhluq.
Seluruh umat Islam telah faham dan mengerti bahwa hadits Rasulullah Saw. merupakan pedoman hidup yang utama setelah al-Quran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan dalam menurut petunjuk ayat yang masih muthlak dalam al-Quran, maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits.
Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah Saw. menyatakan kegembiraannya dan syukur kepada Allah atas baiat sahabat Mu’adz bin Jabal (seorang sahabat yang diangkat untuk menjadi Gubernur di Yaman), bahwa ia akan berpedoman kepada al-Quran, kemudian al-Sunnah dan yang terakhir ijtihadnya sendiri. Hal tersebut memberi gambaran betapa urgennya posisi hadits sebagai pedoman utama setelah al-Quran.
Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagia di dunia dan di akhirat. Rasulullah Saw. lahir ke dunia ini dengan membawa Risalah Islam, yaitu al-Ahkam al-Syar’iyyah sebagai petunjuk jalan kebenaran baik yang sumbernya pasti (qath’iy tsubut) seperti al-Qur’an dan al-Hadits, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (dzanny tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir. Berikut ini penulis akan berusaha menjelaskan tentang “Kehujjahan hadits dan dialektika perdebatannya serta fungsi hadits terhadap al-Quran”.
II. PEMBAHASAN
A. Dialektika Perdebatan Hadits dan Kehujjahannya.
Di dalam al-Quran, ada beberapa kandungannya yang bersifat ijmaly (global) dan umum, namun adapula kandungan al-Quran yang bersifat tafshily (terperinci). Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman hidup manusia. Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran itu. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis ritu, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan, tetapi juga langsung amalan praktis.
Para ulama telah sepakat bahwa hadits atau al-Sunnah al-Nabawiyah wajib ditaati sebagaimana posisi al-Quran di dalam pengambilan suatu hukum syariat (Itsbat al-Ahkam), al-Sunnah adalah sumber kedua dalam Syariat Islam , dalil hal tersebut banyak sekali terdapat dalam al-Quran, ijma’, dan filsafat ulama’(pemikiran para ulama’) .
Allah berfirman dalam Surat al-Nahl ayat 44;
••
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Ayat tersebut merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan al Quran itu. Bahkan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dan surat al-Nisa’ ayat 80, Allah memberi penegasan atas kewajiban ummat Islam untuk mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukakan oleh Rasulullah.
• •
Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr 7).
•
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ 80).
Mayoritas umat Islam telah sepakat untuk menerima hadits sebagai landasan (dasar) hukum Islam, namun terdapat pula golongan minoritas yang menolak hadits sebagai sumber syari’at setelah al-Quran. Mereka berasumsi bahwa cukuplah al-Quran saja sebagai dasar tasyri’ .
Mereka memperkuat argument mereka dengan firman Allah dalam Surat Al-Nahl 89 yang berbunyi;
•
Artinya : Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Menurut mereka, ayat tersebut sangatlah jelas menunjukkan bahwa al-Quran itu telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan penjelasan dengan sangatlah gamblang dan jelas, hingga tidak memerlukan lagi yang lain, seperti hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam al-Quran masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
Argument selanjutnya yaitu andaikata hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menulisnya sehingga para Sahabat dan Tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan hadits, demi untuk memelihara agar tidak hilang dan dilupakan orang. Hal demikian itu supaya diterima kaum muslimin secara qath’iy. Sebab dalil yang dzonny tidak sah dijadikan landasan dalam berhujjah.
Namun pendapat tersebut dianggap kurang kuat, dan kemudian dimentahkan oleh pendapat para Jumhur Ulama’;
a) Al-Quran memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah yang masih global (umum) dan hanya sebagian nashnya yang telah diterangkan dengan jelas, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah Saw. Karena memang beliau diutus oleh Allah untuk menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran. Oleh karena itu, maka penjelasan Rasulullah Saw tentang hukum-hukum itu sama urgennya dan sama halnya dengan penjelasan al-Quran itu sendiri.
b) Tidak adanya perintah menulis hadits dan melarang menulisnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Shahih, tidak menunjukkan ketiadaan kehujjahan hadits.
Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah untuk menulis al-Quran dan mendewankannya, untuk menjaga agar jangan sampai hilang dan bercampur dengan sesuatu. Kehujjahan itu tidak terletak hanya pada tertulisnya hadits saja, tetapi juga terdapat pada ke-mutawatir-annya, pengambilannya dari orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara demikian bukan berarti kurang sah daripada pemindahan dari tulisan.
Namun dalam perjalanannya, kritikan tidak hanya datang dari umat Islam sendiri yang tidak menerima hadits, namun banyak juga dari golongan luar Islam yang mempertentangkan kehujjahan hadits. Salah seorang orientalis yang sangat mengguncangkan dunia Islam oleh hasil penelitiannya adalah Joseph Schacht, salah seorang murid Ignaz Goldziher, yang mengatakan bahwa “Sanad hadits itu merupakan buatan para Qadhi yang ingin melegitimasi pendapat mereka dengan menyandarkannya kepada Rasul, atau kepada tokoh-tokoh yang ada di belakang mereka, yang kemudian dikenal dengan teori projecting back” .
Dalam mengkaji Hadits Nabi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad
(transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadis). Sementara
kitab-kitab yang dipakai dalam ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwaththa’
karya Imam Malik, kitab al-Muwaththa’ karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Umm dan al-Risalah karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i.
Namun penelitian Schacht ini dibantah oleh Prof. Dr. M.M Azami, menurut beliau kitab-kitab tersebut lebih layak disebut kitab-kitab fiqih dari pada kitab-kitab hadits. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, meneliti hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih hasilnya tidak akan tepat. Penelitian hadits haruslah pada kitab-kitab hadits .
Untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khususnya Prof. Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami menghancurkan teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah hadits. Azami melakukan penelitian khusus tentang hadits-hadits nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik.
Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi Saw. Naskah Suhail ini berisi 49 hadits. Sementara azami meneliti perawi hadits itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah).
Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwapada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadits, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama.
Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya hadits, maupun bunyi matan hadits tersebut . Terlepas dari perdebatan panjang tersebut, kebanyakan ulama’ hadits menyepakati bahwa kehujjahan hadits tidak perlu diragukan lagi. Dikarenakan posisi hadits yang sangat urgen sebagai pedoman setelah al-Quran.
Para ulama sepakat jika dilihat dari segi sanad, hadits itu terbagi menjadi 2 yaitu; Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Namun menurut versi yang dikemukakan kalangan Hanafiyah, hadits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad .
Semua ulama telah sepakat akan kehujjahan Hadits Mutawatir, namun mereka masih berselisih pendapat dalam hal kehujjahan Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
B. Fungsi Hadits terhadap al-Quran.
Hadits ataupun kata lainnya al-Sunnah dan al-Quran mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Keduanya merupakan sumber hukum Islam, namun posisi al-Sunah adalah yang kedua setelah al-Quran. Hadits sebagai penafsir al-Quran, penyingkap rahasia-rahasia al-Quran, penjelas atas maksud-maksud yang dikehendaki Allah dari perintah-perintah dan hukum-hukum-Nya yang ada di dalam al-Quran.
Dari segi dilalah al-Ahkam, ada 4 uraian fungsi al-Hadits terhadap al-Quran;
• Hadits (al-Sunnah) sebagai penjelas apa-apa yang dimaksudkan al-Quran, adapun penjelasan itu ada 4 macam yaitu:
a) Deduksi terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam al-Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh hadits yang berbunyi;
حدثنا عمر بن أحمد بن علي حدثنا محمد بن الوليد حدثنا عبد الوهاب حدثنا أيوب عن أبي قلابة حدثنا مالك بن الحويرث : عن النبي صلى الله عليه و سلم نحوه وقال فيه أيضا صلوا كما رأيتموني أصلي
b) Mentaqyid yang mutlaq, contohnya adalah hadits-hadits yang menjelaskan pengertian dari kata اليد dalam firman Allah surat al- Maidah: 38 yaitu:
Ayat tersebut menjelaskan maksud dari kata al-yad adalah tangan kanan, dan pemotongannya dari pergelangan tangan, bukan dari siku.
c) Mengkhususkan (mentakhsis) yang umum, contohnya seperti hadits yang menerangkan maksud dari kata الظلم dalam surat al- An’am 82 yaitu:
Yang dimaksud dari kata al-Dzulmu adalah syirik, karena sebagian Sahabat memahami secara umumnya sehingga mereka berkata “siapa dari kita yang tidak dzolim”, kemudian Nabi SAW bersabda:
حدثنا على بن خشرم ، أخبرنا عيسى بن يونس ، عن الاعمش ، عن إبراهيم ، عن علقمة ، عن عبد الله قال : " لما نزلت : (الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم) شق ذلك على المسليمن فقالوا : يارسول الله وأينا لا يظلم نفسه ؟ قال : ليس ذلك، إنما هو الشرك ، ألم تسمعوا (رواه أحمد والبخارى)
d) Penjelas yang samar, contohnya adalah hadits yang menjelaskan maksud dari kata الخيطين dalam surat al-Baqoroh 187 yaitu:
•
Sebagian Sahabat memahami bahwa itu adalah tali yang putih dan hitam. Maka Nabi bersabda:
هما بياض النهار وسواد الليل
• Hadits (al-Sunnah) sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh al-Quran, dalam hal ini kedua-duanya menjadi sumber hukum dan berfungsi sebagai penguat (al-ta’kid).
Contoh hadits yang berbunyi;
حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير وعلي بن محمد قالا حدثنا أبو معاوية عن بريد بن أبي بردة عن أبي بردة عن أبي موسى قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن الله يملي للظالم . فإذا أخذه لم يفلته ) ثم قرأ وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة (رواه الشيخان عن ابن موسى الاشعرى)
Menguatkan ayat al-Quran yang berbunyi;
وكذالك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة
Demikian juga hadits-hadits yang menunjukkan akan kewajiban shalat, zakat, haji, berbuat baik, ihsan, memaafkan dll.
• Hadits (al-Sunnah) sebagai petunjuk atas suatu hukum yang tidak ada di dalam al- Quran. Misalnya hadits yang melarang mempoligami antara seorang wanita dengan bibinya baik dari ibu atau ayah.
• Hadits (al-Sunnah) sebagai penghapus (nasikh) hukum yang ditetapkan al-Quran, (Hal ini menurut pendapat yang membolehkan penasakhan al-Quran dengan al-Sunnah) .
Contoh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Daruquthni :
وروى الدراقطني في سننه عن جعفر بن محمد عن أبيه، قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم : (لاوصية لوارث، ولا إقرار له بالدين)
Hadits di atas menasikh hukum wasiat bagi orang tua, kerabat (ahli waris) yang ditetapkan oleh al-Quran surat al-Baqoroh 180 yaitu:
•
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf , (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
III. SIMPULAN
Dari pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hadits atau al-Sunnah al-Nabawiyyah adalah sumber hukum kedua dalam hukum Islam setelah al-Quran. Terlepas dari berbagai dialektika perdebatan yang terjadi di kalangan para ulama’, posisi hadits sangatlah penting dalam proses penetapan hukum Islam (Istinbath al-Ahkam). Hadits berfungsi sebagai penjelas dan sekaligus penafsir al Quran, yang menjelaskan maksud-maksud yang dikehendaki Allah SWT dalam ayat-ayat al Quran. Baik dalam menjelaskan ayat yang bersifat mujmal (global), taqyidul mutlaq, tahksisul ‘am, atau taudlihu al-Musykil.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Alwy Al-Maliky, Muhammad 1982. Al Manhal Al Latif fi Ushul Al Hadits As Syarif.
Al-Khatib, Muhammad Hajjaj. 1989. Ushul Hadits. Beirut: Dar el-Fikr.
Mushthafa Azami, Muhammad. 1980. Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarekh
Tadwinih. Beirut. Lebanon.
M. Azami, Muhammad. 1978. Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana,
American Trust Publication.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits. PT. Alma’arif, Bandung.
Schacht, Joseph. 1964. An Introductionti Islamic Law, Oxford, Clarendom Press.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Shalih, Subhi. 1997. Ushul Hadits. Beirut: Darul ‘Ilmi.
Sunan al-Daruquthni, Sunan Al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah. 2010. Al- Maktabah
Al-Syamilah.
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam (The Lord of the world and The Creator of insan) Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan karunianya kepada kita semua, sehingga kita masih diberi kesempatan untuk memperbanyak ibadah kita. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad Saw. yang telah mengajarkan kepada kita segalanya tentang cinta (Everything about love).
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa al-Din al-Islam sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan tentang tatacara berhubungan dengan Tuhan (Allah), dan tatacara berhubungan dengan sesama makhluq.
Seluruh umat Islam telah faham dan mengerti bahwa hadits Rasulullah Saw. merupakan pedoman hidup yang utama setelah al-Quran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan dalam menurut petunjuk ayat yang masih muthlak dalam al-Quran, maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits.
Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah Saw. menyatakan kegembiraannya dan syukur kepada Allah atas baiat sahabat Mu’adz bin Jabal (seorang sahabat yang diangkat untuk menjadi Gubernur di Yaman), bahwa ia akan berpedoman kepada al-Quran, kemudian al-Sunnah dan yang terakhir ijtihadnya sendiri. Hal tersebut memberi gambaran betapa urgennya posisi hadits sebagai pedoman utama setelah al-Quran.
Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagia di dunia dan di akhirat. Rasulullah Saw. lahir ke dunia ini dengan membawa Risalah Islam, yaitu al-Ahkam al-Syar’iyyah sebagai petunjuk jalan kebenaran baik yang sumbernya pasti (qath’iy tsubut) seperti al-Qur’an dan al-Hadits, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (dzanny tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir. Berikut ini penulis akan berusaha menjelaskan tentang “Kehujjahan hadits dan dialektika perdebatannya serta fungsi hadits terhadap al-Quran”.
II. PEMBAHASAN
A. Dialektika Perdebatan Hadits dan Kehujjahannya.
Di dalam al-Quran, ada beberapa kandungannya yang bersifat ijmaly (global) dan umum, namun adapula kandungan al-Quran yang bersifat tafshily (terperinci). Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman hidup manusia. Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran itu. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis ritu, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan, tetapi juga langsung amalan praktis.
Para ulama telah sepakat bahwa hadits atau al-Sunnah al-Nabawiyah wajib ditaati sebagaimana posisi al-Quran di dalam pengambilan suatu hukum syariat (Itsbat al-Ahkam), al-Sunnah adalah sumber kedua dalam Syariat Islam , dalil hal tersebut banyak sekali terdapat dalam al-Quran, ijma’, dan filsafat ulama’(pemikiran para ulama’) .
Allah berfirman dalam Surat al-Nahl ayat 44;
••
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Ayat tersebut merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan al Quran itu. Bahkan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dan surat al-Nisa’ ayat 80, Allah memberi penegasan atas kewajiban ummat Islam untuk mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukakan oleh Rasulullah.
• •
Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr 7).
•
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ 80).
Mayoritas umat Islam telah sepakat untuk menerima hadits sebagai landasan (dasar) hukum Islam, namun terdapat pula golongan minoritas yang menolak hadits sebagai sumber syari’at setelah al-Quran. Mereka berasumsi bahwa cukuplah al-Quran saja sebagai dasar tasyri’ .
Mereka memperkuat argument mereka dengan firman Allah dalam Surat Al-Nahl 89 yang berbunyi;
•
Artinya : Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Menurut mereka, ayat tersebut sangatlah jelas menunjukkan bahwa al-Quran itu telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan penjelasan dengan sangatlah gamblang dan jelas, hingga tidak memerlukan lagi yang lain, seperti hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam al-Quran masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
Argument selanjutnya yaitu andaikata hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menulisnya sehingga para Sahabat dan Tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan hadits, demi untuk memelihara agar tidak hilang dan dilupakan orang. Hal demikian itu supaya diterima kaum muslimin secara qath’iy. Sebab dalil yang dzonny tidak sah dijadikan landasan dalam berhujjah.
Namun pendapat tersebut dianggap kurang kuat, dan kemudian dimentahkan oleh pendapat para Jumhur Ulama’;
a) Al-Quran memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah yang masih global (umum) dan hanya sebagian nashnya yang telah diterangkan dengan jelas, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah Saw. Karena memang beliau diutus oleh Allah untuk menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran. Oleh karena itu, maka penjelasan Rasulullah Saw tentang hukum-hukum itu sama urgennya dan sama halnya dengan penjelasan al-Quran itu sendiri.
b) Tidak adanya perintah menulis hadits dan melarang menulisnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Shahih, tidak menunjukkan ketiadaan kehujjahan hadits.
Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah untuk menulis al-Quran dan mendewankannya, untuk menjaga agar jangan sampai hilang dan bercampur dengan sesuatu. Kehujjahan itu tidak terletak hanya pada tertulisnya hadits saja, tetapi juga terdapat pada ke-mutawatir-annya, pengambilannya dari orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara demikian bukan berarti kurang sah daripada pemindahan dari tulisan.
Namun dalam perjalanannya, kritikan tidak hanya datang dari umat Islam sendiri yang tidak menerima hadits, namun banyak juga dari golongan luar Islam yang mempertentangkan kehujjahan hadits. Salah seorang orientalis yang sangat mengguncangkan dunia Islam oleh hasil penelitiannya adalah Joseph Schacht, salah seorang murid Ignaz Goldziher, yang mengatakan bahwa “Sanad hadits itu merupakan buatan para Qadhi yang ingin melegitimasi pendapat mereka dengan menyandarkannya kepada Rasul, atau kepada tokoh-tokoh yang ada di belakang mereka, yang kemudian dikenal dengan teori projecting back” .
Dalam mengkaji Hadits Nabi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad
(transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadis). Sementara
kitab-kitab yang dipakai dalam ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwaththa’
karya Imam Malik, kitab al-Muwaththa’ karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Umm dan al-Risalah karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i.
Namun penelitian Schacht ini dibantah oleh Prof. Dr. M.M Azami, menurut beliau kitab-kitab tersebut lebih layak disebut kitab-kitab fiqih dari pada kitab-kitab hadits. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, meneliti hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih hasilnya tidak akan tepat. Penelitian hadits haruslah pada kitab-kitab hadits .
Untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khususnya Prof. Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami menghancurkan teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah hadits. Azami melakukan penelitian khusus tentang hadits-hadits nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik.
Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi Saw. Naskah Suhail ini berisi 49 hadits. Sementara azami meneliti perawi hadits itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah).
Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwapada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadits, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama.
Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya hadits, maupun bunyi matan hadits tersebut . Terlepas dari perdebatan panjang tersebut, kebanyakan ulama’ hadits menyepakati bahwa kehujjahan hadits tidak perlu diragukan lagi. Dikarenakan posisi hadits yang sangat urgen sebagai pedoman setelah al-Quran.
Para ulama sepakat jika dilihat dari segi sanad, hadits itu terbagi menjadi 2 yaitu; Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Namun menurut versi yang dikemukakan kalangan Hanafiyah, hadits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad .
Semua ulama telah sepakat akan kehujjahan Hadits Mutawatir, namun mereka masih berselisih pendapat dalam hal kehujjahan Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
B. Fungsi Hadits terhadap al-Quran.
Hadits ataupun kata lainnya al-Sunnah dan al-Quran mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Keduanya merupakan sumber hukum Islam, namun posisi al-Sunah adalah yang kedua setelah al-Quran. Hadits sebagai penafsir al-Quran, penyingkap rahasia-rahasia al-Quran, penjelas atas maksud-maksud yang dikehendaki Allah dari perintah-perintah dan hukum-hukum-Nya yang ada di dalam al-Quran.
Dari segi dilalah al-Ahkam, ada 4 uraian fungsi al-Hadits terhadap al-Quran;
• Hadits (al-Sunnah) sebagai penjelas apa-apa yang dimaksudkan al-Quran, adapun penjelasan itu ada 4 macam yaitu:
a) Deduksi terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam al-Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh hadits yang berbunyi;
حدثنا عمر بن أحمد بن علي حدثنا محمد بن الوليد حدثنا عبد الوهاب حدثنا أيوب عن أبي قلابة حدثنا مالك بن الحويرث : عن النبي صلى الله عليه و سلم نحوه وقال فيه أيضا صلوا كما رأيتموني أصلي
b) Mentaqyid yang mutlaq, contohnya adalah hadits-hadits yang menjelaskan pengertian dari kata اليد dalam firman Allah surat al- Maidah: 38 yaitu:
Ayat tersebut menjelaskan maksud dari kata al-yad adalah tangan kanan, dan pemotongannya dari pergelangan tangan, bukan dari siku.
c) Mengkhususkan (mentakhsis) yang umum, contohnya seperti hadits yang menerangkan maksud dari kata الظلم dalam surat al- An’am 82 yaitu:
Yang dimaksud dari kata al-Dzulmu adalah syirik, karena sebagian Sahabat memahami secara umumnya sehingga mereka berkata “siapa dari kita yang tidak dzolim”, kemudian Nabi SAW bersabda:
حدثنا على بن خشرم ، أخبرنا عيسى بن يونس ، عن الاعمش ، عن إبراهيم ، عن علقمة ، عن عبد الله قال : " لما نزلت : (الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم) شق ذلك على المسليمن فقالوا : يارسول الله وأينا لا يظلم نفسه ؟ قال : ليس ذلك، إنما هو الشرك ، ألم تسمعوا (رواه أحمد والبخارى)
d) Penjelas yang samar, contohnya adalah hadits yang menjelaskan maksud dari kata الخيطين dalam surat al-Baqoroh 187 yaitu:
•
Sebagian Sahabat memahami bahwa itu adalah tali yang putih dan hitam. Maka Nabi bersabda:
هما بياض النهار وسواد الليل
• Hadits (al-Sunnah) sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh al-Quran, dalam hal ini kedua-duanya menjadi sumber hukum dan berfungsi sebagai penguat (al-ta’kid).
Contoh hadits yang berbunyi;
حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير وعلي بن محمد قالا حدثنا أبو معاوية عن بريد بن أبي بردة عن أبي بردة عن أبي موسى قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن الله يملي للظالم . فإذا أخذه لم يفلته ) ثم قرأ وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة (رواه الشيخان عن ابن موسى الاشعرى)
Menguatkan ayat al-Quran yang berbunyi;
وكذالك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة
Demikian juga hadits-hadits yang menunjukkan akan kewajiban shalat, zakat, haji, berbuat baik, ihsan, memaafkan dll.
• Hadits (al-Sunnah) sebagai petunjuk atas suatu hukum yang tidak ada di dalam al- Quran. Misalnya hadits yang melarang mempoligami antara seorang wanita dengan bibinya baik dari ibu atau ayah.
• Hadits (al-Sunnah) sebagai penghapus (nasikh) hukum yang ditetapkan al-Quran, (Hal ini menurut pendapat yang membolehkan penasakhan al-Quran dengan al-Sunnah) .
Contoh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Daruquthni :
وروى الدراقطني في سننه عن جعفر بن محمد عن أبيه، قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم : (لاوصية لوارث، ولا إقرار له بالدين)
Hadits di atas menasikh hukum wasiat bagi orang tua, kerabat (ahli waris) yang ditetapkan oleh al-Quran surat al-Baqoroh 180 yaitu:
•
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf , (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
III. SIMPULAN
Dari pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hadits atau al-Sunnah al-Nabawiyyah adalah sumber hukum kedua dalam hukum Islam setelah al-Quran. Terlepas dari berbagai dialektika perdebatan yang terjadi di kalangan para ulama’, posisi hadits sangatlah penting dalam proses penetapan hukum Islam (Istinbath al-Ahkam). Hadits berfungsi sebagai penjelas dan sekaligus penafsir al Quran, yang menjelaskan maksud-maksud yang dikehendaki Allah SWT dalam ayat-ayat al Quran. Baik dalam menjelaskan ayat yang bersifat mujmal (global), taqyidul mutlaq, tahksisul ‘am, atau taudlihu al-Musykil.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Alwy Al-Maliky, Muhammad 1982. Al Manhal Al Latif fi Ushul Al Hadits As Syarif.
Al-Khatib, Muhammad Hajjaj. 1989. Ushul Hadits. Beirut: Dar el-Fikr.
Mushthafa Azami, Muhammad. 1980. Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarekh
Tadwinih. Beirut. Lebanon.
M. Azami, Muhammad. 1978. Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana,
American Trust Publication.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits. PT. Alma’arif, Bandung.
Schacht, Joseph. 1964. An Introductionti Islamic Law, Oxford, Clarendom Press.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Shalih, Subhi. 1997. Ushul Hadits. Beirut: Darul ‘Ilmi.
Sunan al-Daruquthni, Sunan Al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah. 2010. Al- Maktabah
Al-Syamilah.
No comments:
Post a Comment