SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH
PENDAHULUAN
Di kala umat manusia dalam kegelapan dan kehilangan pegangan hidupnya,
lahirlah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Ketika menginjak usia 40 tahun, Nabi
Muhammad SAW lebih
banyak bertahannuts, yang pada malam 17 Ramadhan / 06
Agustus 610 M di Gua
Hiro,
datanglah
malaikat
Jibril dengan membawa wahyu
pertama, yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1-5. dengan wahyu tersebut beliau telah menjadi rasul pilihan Allah yang bertugas menyampaikan perintah Allah kepada segenap umat
manusia. Semasa kerasulannya, beliau banyak membawa pengikut kepada ajaran Allah. Hingga peradaban Islam pun
tertanam
pada
hati segenap umatnya dan dalam
lingkungannya.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kekhalifahan dipegang
oleh Khulafaur- Rasyidin. Banyak
upaya yang dilakukan pada masa-masa tersebut hingga pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, maka
bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir.
Berubahnya bentuk pemerintahan dari khalifah ke dinasti (kerajaan) tidak membuat ajaran Islam berubah
pula, melainkan
peradabannya mengalami perkembangan yang pesat. Kemudian
dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan dinasti (kerajaan), yaitu dinasti Bani Umayyah
dan dinasti Bani Abbasiyah.
Dalam Makalah Ini Akan Disinggung Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Bani
Abbasiyah Yang Secara Terperinci Yang Akan Di Paparkan Dalam Pembahasan Sebaga
Berikut
PEMBAHASAN
A.
Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti
Bani Abbasiyah adalah
melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah yang berpusat di Baghdad. Dinamakan Daulah Abbasiyah
karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass[1]. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul
awwal 132 H, Kekuasaan Dinasti
Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M[2],
pendirian dinasti ini sebagai bentuk reaksi terhadap khalifah Bani Umayyah yang
mengalami kemerosotan di mata rakyat[3].
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh
negeri. Pemberontakan yang
paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah).
Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan
Abbul Abbas. Dengan jatuhnya
negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah
kekuasaan Abbasiyah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah
bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur
sosial dan ideologi. Sehingga
dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan
suatu revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar
(1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas
revolusi yaitu :
a. Bahwa pada masa sebelum
revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari
masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan
masyarakat yang
di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang
berkuasa itu.
b. Mekanisme
pemerintahannya tidak efesien
karena kelalaiannya menyesuaikan
lembaga-lembaga sosial
yang
ada
dengan
perkembangan keadaan dan
tuntutan zaman.
c.
Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa
pada wawasan baru
yang ditawarkan oleh para kritikus.
d.
Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang
lemah dan kaum bawahan,
melainkan dilakukan
oleh para penguasa oleh karena hal-
hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada .
Sebelum
daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat
3
tempat
yang
menjadi
pusat
kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri
dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman
nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari
kalanga pendukung Ali maupun pendukung keluarga
Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik.
Kufah merupakan
kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan
secara terang-terangan
dengan
golongan Bani Umayyah.
Demikian
pula
dengan
Khurasan,
kota
yang penduduknya mendukung Bani Hasyim.
Ia mempunyai warga yang
bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah
bingung dengan kepercayaan yang menyimpang.
Disinilah diharapkan
dakwah
kaum
Abbassiyah mendapatkan dukungan[4].
B.
Perkembangan Pemerintahan dan Politik
Masa pemerintahan dua
khalifah yang pertama Abu al-Abbas al-Asaffah dan saudaranya Abu Ja,far
al-Mansur, merupakan masa pembentukan dan konsolidasi orientasi pemerintahan, di antara kedua khalifah ini yang
paling gigih dalam membina pemerintahan adalah Abu Ja,far al-Mansur, untuk
mendapatkan posisi dinasti Ia menghadapi lawan-lawannya dengan keras seperti
bani Umayyah, Khawarij, dan syiah,ia menyingkirkan tokoh-tokoh yang menjadi
lawan politiknya[5].
Untuk mengokohkan posisi
dinastinya al-Mansur mula menyusun strategi yang berbeda dengan dinasti Bani
Umayyah yang bercorak ke araban, ia mengambil hubungan dengan Persia dan
melengkapi struktur pemeritahan, pertma memindahkn ibukota dari Damaskus
ke Bagdad dekat ibukota Persia kedua tentara pengawal tidak lagi dari
orang arab melainkan dari Persia, ketiga dala administrasi pemerintahan
Persia al-Mansur mengangkat wazir atau mentri yang membawahai kepala
departemen-departemen.[6]
Dan penarikan kembali daerah-daerah yang sebelumnya melepaskan diri pemerintah
pusat serta membentengai daerahdaerah perbatasan.
Dalam menjalankan pemerintahan,
Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu
oleh seorang wazir (perdana mentri) atau
yang
jabatanya disebut dengan wizaraat
Sedangkan wizaraat itu
dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat
Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah
dan bekerja atas
nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya
berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah
sebagai lambang saja . Pada kasus lainnya
fungsi Khalifah
sebagai pengukuh
Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah [7]
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh
seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan
pemerintahan negara,
wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik
yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Dalam zaman daulah
Abbassiyah juga didirikan
angkatan perang, amirul
umara, baitul maal, organisasi kehakiman, Selama Dinasti
ini berkuasa,
pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda
sesuai
dengan
perubahan
politik, sosial, ekonomi dan budaya, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda- beda
sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya.
Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah
Bani Abbasiyah I antara lain
:
a.
Para Khalifah tetap dari keturunan Arab,
sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
b.
Kota Baghdad digunakan sebagai
ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia .
d.
Kebebasan
berfikir sebagai HAM diakui
sepenuhnya
.
e.
Para menteri turunan
Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintah[8]
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :
1. Periode
Pertama (750-847 M)
Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali
di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin
pada ini sebagai berikut :
a. Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
b. Abu Ja’far al mansyur (754 – 775 M)
c. Abu
Abdullah M. Al-Mahdi bin Al
Mansyur (775-785 M)
d. Abu Musa
Al-Hadi (785—786 M)
e. Abu
Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f. Abu
Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g. Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h. Abu Ishak
M. Al Muta’shim (833-842 M)
i. Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j. Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)[9]
2. Periode
kedua (232 H/847 M - 590 H/1194 M)
Pada periode ini, kekuasaan bergeser
dari system sentralistik pada sistem desentralisasi, yaitu ke
dalam tiga negara otonom
:
a. Kaum Turki
(232-590 H)
b. Golongan
Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c. Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa
Khalifah Abbassiyah.
3. Periode
ketiga (590 H/1194 M - 656 H/1258 M)
Pada periode ini, kekuasaan berada
kembali ditangan
Khalifah,
tetapi
hanya di baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya. Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi
masa kebudayaan Islam di zaman daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1. Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya
Daulah Bani Abbasiyah tahun 750 M,
sampai meninggalnya Khalifah
al-Wasiq (847 M).
2. Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal (847 M), sampai
berdirinya daulah Buwaihiyah
di Baghdad (946 M).
3. Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya
daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4. Masa Abbasy IV, yaitu masuknya
orang-orang Seljuk ke Baghdad
(1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako
(1268 M).
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi
lima periode :
1. Periode
pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan
Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya.
Secara politis,
para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Di
sisi
lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan
dalam Islam.
Masa pemerintahan
Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat,
yaitu dari tahun
750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu
Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat
Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu, al-Mansur memindahkan ibu kota
negara
ke kota
yang
baru
dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.
Dengan demikian, pusat
pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota
yang
baru
ini
al-Mansur
melakukan
konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal
untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi
baru dengan mengangkat
wazir sebagai
coordinator departemen.
Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama
lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang
berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya,
Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya,
Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat
dan kemudian Khurasan. Pada masa
tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia
itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke
Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad
ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang
sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan
pos ditugaskan untuk menghimpun
seluru informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur
jawatan
pos
bertugas melaporkan
tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha
menaklukan kembali
daerah-daerah
yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan
pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar
Constantine V dan selama genjatan senjata
758-765 M, Bizantium membayar
upeti
tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya
merupakan mandat
dari
Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman
Khalifah Harun al-
Rasyid (786-809
M)
dan
putranya
al-Ma’mun
(813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman
Khalifah ini.
Kesejahteraan sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan
dan kebudayaan serta
kesastraan
berada
pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah
negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi[10].
Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa
Khalifah
Harun al-Rasyid lebih
menekankan
pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam
dari
pada
perluasan
wilayah yang
memang
sudah luas. Orientasi kepada
pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada
ilmu. Pada
masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad
mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi
peluang besar kepada orang-
orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan.
Demikian
ini di latar
belakangi
oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan
sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada
masa Daulah Umayyah,
Dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang
Muslim
mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak
gerakan politik yang mengganggu stabilitas,
baik dari
kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah
dan
kalangan
intern
Bani
Abbas
dan lain-lain
semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai
prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada
dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan
serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah,
bahkan cenderung mencolok.
Kehidupan mewah para Khalifah
ini
ditiru
oleh
para
hartawan dan anak-anak pejabat.
Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan
terganggu
dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi
peluang kepada tentara
profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya
berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai
pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan
Dinasti ini, meskipun
setelah itu
usianya masih dapat bertahan lebih dari
empat ratus tahun.
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah
seorang
Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang
memilih dan mengangkat Khalifah.
Dengan demikian
kekuasaan
tidak lagi berada
di
tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada
usaha untuk melepaskan diri dari para
perwira Turki itu, tetapi
selalu
gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah
merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat,
mendirikan Dinasti-Dinasti kecil.
Inilah permulaan masa disintregasi
dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor
penting yang menyebabkan
kemunduran Bani Abbas pada periode ini
adalah sebagai berikut:
a.
Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat
saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan
sangat rendah. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan
kepada mereka menjadi sangat tinggi.
b.
Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah
c.
merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode
ini,
Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai
yang diperintah dan diberi gaji.
Bani Buwaih membagi
kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian
selatan negeri
Persia, Hasan untuk wilayah bagian
utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz,
Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode
ini tidak lagi
merupakan pusat pemerintahn
Islam karena telah pindah ke Syiraz
di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah
Abbasiyah
terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar
seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa.
Bidang ekonomi, pertanian,
dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan
masjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani Buwaih berkuasa
di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan
Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran
Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya
dalam bidang agama
kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang- orang Syi’ah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada
periode ini.
Nizam al-Mulk, perdana menteri pada
masa Alp Arselan
dan Malikhsyah,
mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah
Hanafiyah di Baghdad. Cabang- cabang Madrasah Nizamiyah
didirikan
hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model
bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai
disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan
Islam yang dilahirkan dan berkembang
pada periode ini adalah
al-Zamakhsari, penulis
dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali
dalam bidang ilmu kalam
dan
tasawwuf, dan
Umar
Khayyam dalam bidang
ilmu
perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah
kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk
mengepalai masing-masing propinsi tersebut.
Pada
masa
pusat
kekuasaan melemah,
masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang
terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut
berakhir di Irak di tangan
Khawarizm Syah pada tahun 590 H/
1199 M.
5. Periode
kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan
Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah
Abbasiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah
tidak lagi berada di
bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak
sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya
yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa
kembali, tetapi hanya di Baghdad
dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan
Khalifah
yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol
dan Tartar
menyerang Baghdad.
Baghdad dapat direbut
dan dihancur luluhkan
tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad
akibat serangan
tentara
Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa
pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah
Abbasiyah,
masa
kemunduran
dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini
tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya
sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila Khalifah
kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan
berkuasa mengatur roda pemerintahan.
C. Kemajuan Dan Kejayaan Dinasti Bani Abasiyah
Kemajuan peradaban bani abbasiyah baru tercapai ketika masa
khalifah harun al-rasid, kemajuan ini dipicu atas kebijakan-kebijakan yang baik
dari khalifah[11]. Secara umum kemajuan dan kejayaan bani abbasiyah ditinjau
dari berbagai bidang:
a.
Bidang Intelektual/keilmuan
Perkembangan
Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada
masa pemerintahhan Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
masa pemerintahhan Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1.
Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu
mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
2.
Gerakan TerjemahPada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing
dilakukan dengan giat sekali. Pelopor gerakan terjemah ini adalah khalifah
al-mansyur sedangkan penerjemahan secara langsung dari bahasa yunani ke bahasa
arab dipelopori oleh hunayn ibn ishaq[12]. Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama
di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini
muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain ;
i.
Bidang filsafat: al-Kindi, Ibnu Bajah, Ibnu
Tufail, Ibnu Sina, al- Ghazali,Ibnu Rusyid.
ii.
Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain
bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi.
iii.
Bidang Matematika: Umar al-Farukhan ,
al-Khawarizmi.
iv.
Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni
dan sebagainya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka
para ahli pengetahuan, para alim ulama,
berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu
pengetahuan, antara lain :
berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu
pengetahuan, antara lain :
1. Ilmu
Umum
a.Ilmu
Filsafat
1)
Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2) Al
Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3) Ibnu
Bajah (wafat tahun 523 H)
4) Ibnu
Thufail (wafat tahun 581 H)
5) Ibnu
Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa,Najat,
Qoman, Saddiya dan lain-lain
6) Al
Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al-Munqizh
Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain-lain.
7) Ibnu
Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah
dan lain-lain
dan lain-lain
b.
Bidang Kedokteran
1) Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai
bapak Kimia.
2) Hurain
bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai penterjemah bahasa asing.
3) Thabib bin Qurra (836-901 M)
4) Ar
Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan
campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
c.
Bidang Matematika
1) Umar Al
Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2) Al
Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
d.
Bidang Astronomi
Berkembang
subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal
dalam perbintangan ini seperti :
dalam perbintangan ini seperti :
1) Al
Farazi : pencipta Astro lobe
2) Al
Gattani/Al Betagnius
3) Abul
wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4) Al Farghoni atau Al Fragenius
e.
Bidang Seni Ukir
Beberapa
seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni
tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
2. Ilmu
Naqli
a. Ilmu
Tafsir
Para
mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al
Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad binIshak dan lain-lain
Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad binIshak dan lain-lain
b. Ilmu
Hadist
Muncullah
ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H),
Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At
Tarmidzi, dan lain-lain
Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At
Tarmidzi, dan lain-lain
c. Ilmu Kalam
Dalam
kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan
ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
d. Ilmu
Tasawuf
Ahli-ahli
dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H).
Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya : Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya : Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e. Para
Imam Fuqaha
Lahirlah
para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih
mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan
faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah[13] (Hasjmy, 1995:276-278).
mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan
faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah[13] (Hasjmy, 1995:276-278).
3. Bidang Fisik
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani
Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya dilakukan oleh para Khalifah di
bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan –bangunan yang berupa:
a.
Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan
pendidikan rendah dan menengah.
b.
Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para
ulama, sarjana,ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c.
Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang
didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya
juga disediakan tempat ruanganbelajar.
d.
Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah
orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang
ini, dengan nama Madrasah.
e.
Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan
tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di
bidang fisik seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan
berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
Selain
lima hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang memperlihatkan
kemajuan pesat Bani Abbassiyah.
1.
Istana Qarruzzabad di Baghdad
2.
Istana di kota Samarra
3.
Bangunan-bangunan sekolah
4.
Masjid Raya Kordova (786 M)
5.
Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
6.
Istana Al Hamra di Kordova
7.
Istana Al Cazar, dan lain-lain (Ma’ruf,1996:39-40).
4. Bidang Perekonomian
Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah,
perbendaharaan negara penuh dan
berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah
adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan
keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam.
berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah
adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan
keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam.
Dan
keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :
1. Pertanian,
Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi
mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
2. Perindustrian,
Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai
industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
3. Perdagangan, Segala
usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
a) Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
b) Membangun armada-armada dagang.
a) Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
b) Membangun armada-armada dagang.
c)
Membangun armada : untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak
laut.
Usaha-usaha
tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan
dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.
dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.
5. Bidang Kebudayaan dan Rasionalitas
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa
kebebasan berpikir diakui sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia oleh
Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu
akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa
mengeluarkan pendapat. Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i , Hanafi, Hambali , dan Maliki.
akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa
mengeluarkan pendapat. Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i , Hanafi, Hambali , dan Maliki.
Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah
awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits.
Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran, yang ada hanyalah
Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang dibuat untuk tujuan
tertentu[14]
Dalam
negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang
berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam
unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang
mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani,
Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam
unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang
mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani,
Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
1.
Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena
2 faktor, yaitu :
a.
Pembentukan lembaga wizarah
b.
Pemindahan ibukota
2.
Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi
dengan dua cara:
a.
Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India
seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
b.
Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam lewat
kebudayaan Persia.
3.
Kebudayaan Yunani
Sebelum
dan sesudah Islam, terkenallah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat
kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling termasyur diantaranya adalah :
a.
Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang dijadikan tempat
pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam.Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam.Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
b.
Harran,Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala
macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani
terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
c.
Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani. Dalam kota
Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru
Plato” (Neo Platonisme). Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo
Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
4.
Kebudayaan Arab
Masuknya
kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu
:
a. Jalan
Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa
Arab.
b. Jalan
Bahasa,Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun
bahasa samy dan tempat lahirnya Islam
D. Faktok Kemunduran Dan Kehancuran Dinasti
Bani Abasiyah
Disamping
kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
a.
Faktor Internal
1.
Persaingan antar Bangsa
Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
Khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khalifah adalah
orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik
dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah, naik tahta,
dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah
Abbasiyyah sebenarnya sudah berakhir.
2.
Kemerosotan Ekonomi
Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti
Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti
Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan
3. Konflik Keagamaan
Konflik
yang melatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan
Zindik atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam.
Zindik atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam.
4. Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan
Kemajuan
besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para
penguasa untuk hidup mewah, yang kemudian ditiru oleh para haratawan dan
anak-anak pejabat sehingga menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat
menjadi miskin.
b.
Faktor Eksternal
1.
Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan
banyak
korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen. Islam : Sejarah Singkat. Yogyakarta Penerbit Jendela, 2002
Nurhakim, Moh, Sejarah Peradaban Isla, UMM Press, Malang,2004
Nurhakim, Moh, Sejarah Peradaban Isla, UMM Press, Malang,2004
H.Ibnu Ashori dan Muhklis, sejarah peradaban islam,(artikel) Surabaya,
2006,
Supriyadi Dedi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam,CV Pustaka
Setia, 2008
Lapidus
Ira M ,Sejarah
Sosial Ummad Islam, terj.Ilyas
Hasan, Bandung: Mizan,1980
Dr.
Badri Yatim, M.A. sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Wali Press, 2003
Mansur. Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah.
Yokyakarta: Global Utama Putra, 2004
Abdurrahman,dkk..
Sejarah Peradaban Islam. Yokyakarta: Lesfi. 2003
Syalabi, A. Sejarah
dan Kebudayaan Islam Jilid 2. Jakarta: Pustaka Alhusna,1997
Hasimy, A. Sejarah
Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1995.
2.
[1]
Moh. Nurhakim, Sejarah Peradaban Isla, UMM Press,
Malang,2004, hlm 63
[2]
H.Ibnu Ashori dan Muhklis, sejarah peradaban islam,(artikel) Surabaya,
2006, Dedi Supriyadi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam,CV Pustaka Setia,
2008, hlm 143.
[3]
Moh. Nurhakim, Op.cit, hlm 63
[4]
H.Ibnu Ashori dan Muhklis, Op.Cit
[5]
Moh. Nurhakim, Op.cit, hlm 64
[6] Ibid
[7] Ira M. Lapidus,Sejarah
Sosial Ummad Islam, terj.Ilyas Hasan, Bandung: Mizan,1980, hlm 180
[8] A. Hasymy,Sejarah Peradaban Islam, 1993,
hlm ,213-214.
[11] Mansur. 2004. Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah.
Yokyakarta: Global Utama Putra.Hal. 124
[12] Abdurrahman,dkk. 2003. Sejarah Peradaban Islam.
Yokyakarta: Lesfi. Hal. 124
No comments:
Post a Comment