KONSEP GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
ISLAM
Oleh : A. Qomarudin[1]
PENDAHULUAN
Ibadah yang sering disebut sebagai ritus atau ritual adalah bagian
yang amat penting dari setiap agama atau kepercayaan. Dalam Islam, ibadah
mengandung 2 maknapenting sekaligus, pertama, secara intrinsic berarti
pengabdian atau penghambaan, pengagungan, dan pendekataan kepada Allah SWT.
Kedua, ibadah secara instrumental berarti sebagai usaha pendidikanpribadi atau
kelompok kearah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku etis dan
bermoral. Melalui ibadah seorang yang beriman dapat memupuk kesadaran
individual dan kolektifnya akan tugas-yugas pribadi dan sosialnya dalam
mewujudkan kehidupan bersama yang bermartabat, sejahtera, damai, tentram, dan
aman. Akar kesadaran ini adalah keinsafan bahwa segala perbuatan dan kerjanya
di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam proses
yang seadil-adilnya.
Dalam al-Quran
telah dijelaskan tentang peran manusia diutus ke dunia, selain sebagai seorang
khalifah, Allah menciptakan manusia tiada lain supaya mereka beribadah
kepada-Nya. Dalam hal ini fiqih sangat berperan penting pada masalah-masalah ubudiyah.
Karena dalam suatu ibadah terdapat batasan-batasan, aturan-aturan, dan
syarat-syarat yang harus dilakukan oleh seseorang agar ibadahnya diterima di
sisi-Nya. Dengan demikian, setiap langkah manusia haruslah termasuk cerminan
dari suatu ibadah yang dilakukan dengan cara-cara yang telah digariskan oleh
syariat. Untuk mengolah potensi insani yang dimiliki oleh setiap insan dalam
rangka mencapai nilai-nilai ubudiyah yang luhur, diperlukan suatu jalan
atau cara untuk memahami dan mendalami beberapa masalah yang terkait antar
manusia dengan manusia itu sendiri. Sebab, kita hidup di muka bumi ini
berstatus sebagai makhluk social, dalam arti sempit kita memerlukan pertolongan
orang lain dan kita harus menolong orang yang membutuhkan.
Dalam al-Quran
Surah Al-Maidah, Allah SWT berfirman:
و تعا ونوا على البر و
التقوى ولا تعا ونوا على الإثم و العدوان (المائدة: 2)
Artinya: “Tolong menolonglah kamu
sekalian dalam suatu kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu sekalian tolong
menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”(QS. Al-Maidah: 2)
Konsep hidup di
dunia sebagai insan kamil adalah melaksanakan segala perintah-perintah Allah
SWT serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Dalam ayat di atas, yang
menjadi salah satu rekomendasi-Nya adalah saling tolong menolong antar sesame
dalam masalah-masalah kebaikan dan bukan tolong menolong dalam masalah-masalah
keburukan.
Hubungan antar
sesama manusia itu dapat berupa kebendaan (madiyah) dan kesopanan (adabiyah).
Hubungan yang bersifat madiyah tentunya obyek kegiatannya menyangkut
materi. Sementara, hubungan yang bersifat adabiyah penegakan unsurnya
terdapat pada hak dan kewajiban yang bernilai moralitas.
Sebagai langkah
awal penulis, di sini akan penulis bahas mengenai hubungan yang bersifat
kebendaan (madiyah) yang erat kaitannya dengan utang piutang. Ternyata
dalam hal ini, terdapat cara lain untuk meyakinkan orang yang memberi hutang
oleh orang yang berhutang dengan tujuan agar dapat lebih meyakinkan orang yang
memberi hutang bahwa orang yang berhutang benar-benar memerlukannya dan juga
sungguh-sungguh dalam hal pengembaliannya. Cara ini dilakukan dengan jalan
menyerahkan sesuatu barang orang yang berhutang yang dia miliki pada saat itu
(sebagai jaminan) atas sesuatu yang dia hutang. Dan sesuatu tersebut dapat
kembali ketika pihak peminjam sudah dapat mengembalikan sesuatu yang dia
pinjam. Pada saat ini, muamalah semacam ini lebih dikenal dengan istilah gadai
(rahn).
Salah satu aspek di
atas menjadi hal yang sangat penting dalam kajian syariat. Sebab, penulis dapat
meneliti konsep gadai yang ada dalam pegadaian-pegadaian di negara kita
sekarang ini, sungguh telah jauh dari konsep-konsep yang diajarkan oleh syariat
yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Apabila penulis boleh menyimpulkan
gadai pada saat sekarang itu lebih cenderung dapat dimasukkan kedalam hukum
riba, yang mana di dalamnya akan mengakibatkan salah satu pihak yang dirugikan,
terutama dari pihak peminjam. Sesuatu hal yang seperti itu yang menjadi larangan syariat Islam.
Dengan
demikian, agar tolong menolong dalam kebaikan dapat kita ciptakan dan hak-hak
mereka yang lemah dapat kita penuhi dengan tanpa adanya tekanan yang sangat
(beban), maka perlu adanya pemahaman yang mendalam mengenai masalah-masalah
yang berkaitan dengan gadai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam syariat
Islam.
PENGERTIAN GADAI
Gadai dalam bahasa arabnya
mashur disebut dengan ar-rahn (الرهن), yang menurut bahasa mempunyai
arti “tetap dan kekal”. Misalnya ucapan ماء راهن memiliki arti (air yang tenang) atau نعمة راهنة memiliki arti (kenikmatan yang kekal dan
tetap). Namun menurut sebagian ulama’ ada yang mengatakan arti ar-rahn
adalah penahanan, itu karena disandarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Mudasir ayat 38.
كل نفس بما كسبت رهينة.
(المدثر: 38)
Artinxa: “Tiap-tiap diri bertanggung
jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (QS. Al-Mudatsir: 38).[2]
Selain itu, mereka juga bersandar
atas hadits Nabi yang menjelaskan tentang ditahannya jiwa seorang mukmin
disebabkan oleh hutang yang belum terbayar.
Sedangkan ar-rahn menurut istilah syara’ adalah
a.
عقد موضوعه إحتباس مال لقاء حق يمكن إستفاؤه منه
“Suatu akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu
hak yang mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna darinya.”[3]
b. menjadikan barang
yang ada harganya menurut pandangan syara’ sebagai jaminan kepercayaan utang
piutang.[4]
Pada kenyataanya, banyak bermunculan perbedaan mengenai definisi
yang dikemukakan oleh para ulama’ mengenai ar-rahn menurut istilah
syara’, namun pada intinya mempunyai kesamaan yang mendasar. Di sini penulis
hanya mengemukakan 2 pengertian yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai
pijakan mengambil definisi ar-rahn menurut istilah syara', yaitu suatu
akad yang urgensinya dapat menjadikan suatu barang yang pada awalnya ada
harganya secara sempurna menurut pandangan syara’ sebagai jaminan dari
kepercayaan utang piutang.
RUKUN DAN SYARAT GADAI
Suatu pinjaman
dengan jaminan suatu benda atau sering disebut dengan gadai, memiliki beberapa syarat
dan rukun sebagai berikut.
Rukun-rukun gadai
antara lain:
- Akad ijab dan kabul, yaitu penyerahan dari pihak yang menggadaikan dan penerimaan dari pihak yang menghutangi. Ini dapat dilakukan dengan suatu perkataan, selain dengan kata-kata dapat juga dengan surat, isyarat, dan lain sebagainya.[5]
- Aqid (orang yang melakukanakad), ini meliputi 2 arah yaitu rahin (orang yang menggadaikan barang/penggadai) dan murtahin (orang yang berpiutang yang menerima barang gadai sebagai imbalan uang yang dipinjamkan/penerima gadai).
- Ma’qud ’alaih (yang diaqadkan), meliputi 2 hal yaitu marhun (barang yang digadaikan/barang jaminan), dalam masalah barang yang dapat digadaikan ini, Rasulullah SAW bersabda:
كل ما
جاز بيعه جاز رهنه
“setiap sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh juga
digadaikan.”
dan dain marhun bih (hutang yang karenanya
diadakan gadai) atau dengan kata lain tetapnya hutang terlebih dahulu.[6]
Sedangkan syarat-syarat
gadai terbagi menjadi 2 menurut madzhab syafi’i (Asy Syafi’iyah), yaitu:
- Syarat tetapnya gadai, yaitu diterimanya barang gadai.
- Syarat syahnya gadai, dalam hal ini ada beberapa perkara:
1) Syarat yang berkaitan
dengan akad, yaitu hendaknya tidak dikaitkan dengan syarat yang tidak
dikehendaki oleh akad ketika sudah tiba jatuh tempo.
2)
Syarat
yang berkaitan dengan kedua belah pihak (rahin dan murtahin),
yaitu kecakapan kedua belah pihak untuk berakad (dewasa, berakal, dan mahjur
‘alaih/dibatasi).
3)
Syarat
yang berkaitan dengan marhun (barang yang digadaikan), dalam hal ini ada
beberapa perkara:
§ Pegadai punya hak
kuasa atas barang yang digadaikan.
§ Marhun berupa suatu barang.
§ Marhun bukan
barang yang lekas rusak, sedang hutangnya untuk jangka waktu yang cukup lama,
dalam arti barang tersebut sudah rusak sebelum jatuh tempo.
§ Marhun tergolong
barang yang suci.
§ Marhun dapat
diambil manfaatnya menurut syara’, meskipun pada saat yang akan dating.
4)
Syarat
yang berkaitan dengan marhun bih/penyebab penggadaian (hutang yang
karenanya diadakan pegadaian), dalam hal ini ada 4 perkara:
§ Penyebab penggadaian adalah hutang.
§ Hutang itu sudah tetap
§ Hutang itu tetap seketika atau yang akan
dating.
§ Hutang tersebut telah diketahui benda, jumlah
dan sifatnya.[7]
DASAR HUKUM GADAI
Seluruh aspek hukum
yang ditetapkan oleh syara’ tentunya secara jelas dan terang mempunyai dasar hukum
masing-masing, yang dalam hal ini berfungsi sebagai suatu alasan Dzat yang
membuat hukum tersebut (As-Syari’). Selain itu juga dapat berfungsi sebagai
landasan atau pegangan seseorang yang melakukan hukum tersebut (Mukallaf). Maka sebagai referensi atau landasan hukum
dari muamalah yang berkaitan dengan utang piutang dengan adanya suatu jaminan
adalah firman Allah SWT sebagai berikut.
وإن كنتم
على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة (البقرة: 283)
Artinya: “Apabila
kamu dalam perjalanan dan tidak ada yang menuliskan utang, maka hendaklah
dengan rungguhan yang diterima ketika itu.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Selain firman Allah SWT diatas, ada juga hadits Nabi Muhammad SAW
yang menjadi dasar dalam masalah rahn sebagai berikut.
أن النبي صلى الله عليه و
سلم رهن درعه عند يهودي يقال له أبو الشحم على ثلاثين صاعا من شعير لأهله.[8]
Artinya: “Rasulullah SAW
menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi yang bernama Abu As-Sahm atas
30 so’ gandum untuk memberi nafkah kepada keluarga beliau.”
Dari firman Allah
SWT dan hadits Rasulullah SAW di atas, gadai dalam ajaran Islam itu tidak
dilarang, baik saat di perjalanan (safar) ataupun di rumah (muqim). Namun, Islam hanya memberikan batasan-batasan
yang harus dilakukan oleh mereka yang melakukukan gadai supaya tidak masuk
dalam jurang riba. Selain hal tersebut, agama Islam juga tidak membeda-bedakan
antara orang Muslim dan non-Muslim dalam bidang muamalat. Dengan demikian, seorang muslim tetap berkewajiban membayar
hutangnya sekalipun kepada non-Muslim, yang demikian itu telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW kepada umatnya.
PRINSIP-PRINSIP GADAI
Untuk prinsip-prinsip yang ada pada gadai tentunya
mengacu pada ajaran dan akhlak muamalah Islam. Ada 3 aspek dasar ajaran dalam akhlak Islam
yang berkaitan dengan ekonomi, yakni cinta kejujuran, kebenaran, dan keadilan
pada satu pihak dan anti penindasan serta kemubadziran pada pihak lain. Sedang
konsep dasar bagi penyelesaian masalah-masalah yang timbul adalah qishas
dan islah.
Selai itu, Islam juga memiliki
konsep dasar pola pikir dan pola tindak yang sangat sederhana, akan tetapi pas.
Islam membagi tatacara hubungan dalam 2 garis rentang, yaitu hablumminallah
dan hablumminannas yang masing-masing lengkap dengan pola
operasionalnya. Yakni jangan lakukan hal-hal yang tidak diperintah oleh Allah
SWT dalam kontek hablumminallah dan lakukan apasaja yang baik yang kau
mau menurut akalmu, kecuali yang dilarang Allah SWT dalam kontek hablumminannas.
Konsep dasar pola pikir dan
pola tindak ini merupakan dasar dan filosofi untuk melakukan suatu sistem
tatanan hidup manusia, baik individu maupun masyarakat, yang cocok dengan
fitrah manusia itu sendiri. Demikian petunjuk dan dorongan pada satu pihak
serta rem kendali pada pihak yang lain yang digariskan oleh ajaran dan akhlak
Islam.
Secara skematis hal di atas
dapat digambarkan sebagai berikut.[9]
|
|
|
|
|
Dengan demikian, gadai
haruslah didasarkan atas sifat ruhaniyah manusia yaitu kejujuran,
kebenaran, dan keadilan. Dengan tertanamnya sifat-sifat tersebut, maka tidak
akan ada lagi pihak-pihak yang dirugikan dalam hal ini. Dan pada akhirnya semua
kebutuhan antar sesama dapat terpenuhi secara kondusif tanpa adanya perselisihan
yang dapat menyebabkan perpecahan diantara sesama.
RIBA DAN GADAI
Pada
dasarnya perjanjian yang ada dalam perjanjian gadai adalah perjanjian utang
piutang, yang membedakan di sini hanyalah dalam hal ada dan tidak suatu
jaminan. Riba akan menjadi suatu tujuan dalam hal ini apabila dalam akad gadai
tersebut ditentukan syarat-syarat yang sebenarnya tidak perlu diadakan, atau
dengan kata lain ketika akad gadai terjadi ditentukan syarat-syarat, dan
kemudian syarat-ayart tersebut dilaksanakan oleh kedua belah pihak, seperti rahin
wajib memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar hutangnya,
atau misalnya dalam suatu pegadaian disyaratkan bila sang rahin tidak
mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin
menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin,
maka di sini juga telah berlaku yang namanya riba.[10] Karena apabila penerima gadai (murtahin) mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut, sedangkan barang
tersebut sebagai suatu jaminan dari utang pihak rahin, maka hal itu
termasuk dalam hutang yang menarik manfaat, yang dalam hal ini Nabi
melarangnya.
وعن علي رضي الله عنه قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل قرض جر منفعة فهو ربا. (رواه الحارث بن أسمة).
Dari Ali r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda Setiap
menghutangkan yang menarik manfaat adalah termasuk riba. (HR. Harits bin Abi
Usamah).[11]
Sekarang
bagaimanakah sistem pegadaian yang ada di negara kita ini? Apabila di lapangan banyak
diketemukan hal-hal tersebut di atas dan tidak memenuhi beberapa rukun dan
syarat yang ada, maka pegadaian yang ada dapat kita simpulkan menjadi sesuatu
yang tercampur dengan riba, sebab di dalamnya telah terkontaminasi dengan hal-hal
yang menarik manfaat atas pihak-pihak tertentu saja. Dan apabila sebaliknya,
yaitu masih dikedepankannya unsur-unsur yang menunjukkan atas tolong menolong
dengan sesama, maka pegadaian yang ada tetap diperbolehkan.
PENYELESAIAN GADAI
Barang gadaian itu merupakan amanat di
tangan orang yang memberi hutang (pemegang hipotik), seandainya barang gadaian
itu rusak, hutang tidak menjadi gugur sama sekali. Dan apabila kedua belah
pihak berselisih dalam hal pengembalian barang gadaian tersebut, maka yang
diterima adalah ucapan orang yang berhutang dengan disumpah terlebih dahulu.
sedangkan apabila keduanya berselisih dalam hal jumlahnya, maka yang diterima
adalah ucapan dari pemberi hutang dengan disumpah terlebih dahulu.[12]
Sebagian
ulama’ ahli fiqih berkata bahwa gadai itu ada 2 macam:
a.
Gadai yang
memerlukan biaya
Gadai yang memerlukan biaya
ini dibagi juga menjadi 2:
a) binatang yang biasa
dinaiki dan diperah susunya, untuk pegadaian semacam ini wajib atas orang yang
menaiki punggung binatang tersebut dan atas orang yang meminum susunya untuk
memberi nafkah kepadanya sebagai imbalan atas apa yang diambilnya. Dan apabila
terdapat kelebihan dari nafkah sebagai imbalan atas manfaat binatang itu, maka
harta tersebut menjadi milik sang pemiliknya semula (rahin).
b)
apa-apa yang tidak bisa dinaiki dan diperah,
seperti seorang budak. Untuk yang semacam ini tidak boleh bagi pihak yang
digadaikan kepadanya semua itu untuk mengambil manfaatnya, kecuali dengan izin
pemiliknya. Jika sang pemilik memberinya izin dengan
keharusan memberikannya nafkah dan mengambil manfaat sebagai imbalan nafkah itu
, yang semacam itu diperbolehkan sebab kesemuanya itu saling mengganti (tidak
ada pihak yang dirugikan).
b. Gadai yang tidak
memerlukan biaya, seperti rumah, barang dan lain sebagainya
Terhadap barang-barang yang
semacam ini, pihak yang digadaikan kepadanya barang-batrang tersebut tidak
diperbolehkan mengambil manfaatnya, kecuali dengan izin orang yang
menggadaikannya. Dan apabila tidak ada kesepakan antara
kedua belah pihak, maka barang itu menjadi tetap diistirahatkan hingga akhir
akad gadai.[13]
Beberapa hal di
atas dikuatkan oleh hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: “apabila
digadaikan seekor kambing, maka yang memegang gadai tersebut boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang
diberikannya pada kambing itu, maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu,
lebihnya menjadi riba”. (riwayat Hammad bin Salmah)[14]
Mengenai biaya yang digunakan untuk merawat
barang-barang yang digadaikan, seperti pakan binatang yang digadaikan, biaya
tempatnya, pemeliharaannya dan lain sebagainya adalah tanggungjawab orang yang
menggadaikan barang itu (rahin). Yang demikian itu telah dijelaskan oleh
hadits Saya’id bin Al-Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda,
لا يغلق الرهن من صاحيحبه
الذي رهنه, له غنمه, وعليه غرمه.
“Barang
yang digadaikan tidak tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya,
miliknya hasil darinya dan menjadi tanggungjawabnya jika ada dendanya.” (diriwayatkan Asy-Syafi’I dan Ad-Daruquthni, dia berkata: Isnadnya
hasan shahih)
Yang seperti itu, karena barang yang digadaikan adalah
milik orang yang menggadaikan (rahin), dia berkewajiban memberikan
nafkahnya, yaitu wajib membayar ongkos sewa tempat, penggembalaan
binatangnya dan upah pengamanan atas
barang yang digadaikan.[15]
Maka apabila seseorang
menginginkan adanya pemanfaatan atas barang gadaian harus ada izin dari pihak
yang menggadaikan barangnya tersebut.
Demikian halnya, untuk menjaga
supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan
syarat-syarat yang dapat menjerumuskan dalam utang piutang yang menarik pada
riba. Sebagai contoh, apabila dalam prakteknya mensyaratkan seperti "apabila
sang rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah
ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran
hutang", maka yang demikian itu tidak diperbolehkan, sebab ada kemungkinan
pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar hutang' harga marhun
akan lebih kecil daripada hutang rahin yang harus dibayarkan, yang
mengakibatkan ruginya sang murtahin, atau memungkinkan juga sebaliknya,
yang mengakibatkan ruginya pihak rahin.
Apabila syarat seperti
tersebut di atas dilakukan dalam akad, akad gadai itu sah, tetapi
syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Maka apabila datang waktu
pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya, hak murtahin
adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau
yang lain dengan harga yang umum berlaku saat itu. Kemudian dari penjualan
tersebut, hak murtahin hanyalah sebesar jumlah hutang rahin dan
sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun
kurang dari jumlah hutang, maka rahin masih mempunyai tanggungan
hutang yang harus dibayarkan.[16]
SIMPULAN
Pada prinsipnya gadai itu mempunyai nilai
sosial yang sangat tinggi, namun kenyataan dalam masyarakat konsep gadai
tersebut dinilai secara "tidak adil". Karena banyaknya pihak-pihak
yang berperan di dalamnya yang hanya mementingkan kepentingan pribadi mereka,
yang di sebabkan tidak adanya nilai-nilai ruhaniyah yang tertanam di
dalam jiwa mereka. Di sisi yang lain, banyak dari kita yang meninggalkan atau
melupakan pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan oleh al-Quran dan Rasulullah
SAW, atau bahkah acuh tak acuh terhadap apa-apa yang telah diajarkan oleh
syariat.
Pokok
ajaran agama Islam dalam kontek hablumminannas yang menyatakan "lakukan
apasaja yang baik yang kau mau menurut akalmu, kecuali yang dilarang Allah SWT",
mengindikasikan bahwa di dalam kita bersosialisasi dengan sesama, kita harus
mengedepankan nilai-nilai ssosial yang tertanam dalam sifat-sifat ruhaniyah yang
telah dianugrahkan kepada setiap insan-Nya. Dengan demikian tidak akan kita
temukan lagi dari beberapa pihak yang ada yang salah satu dari mereka merasa
dirugikan oleh pihak yang lain. Sehingga dari situ dapat menumbuhkan rasa
persaudaraan yang erat antara seorang muslim yang satu dengan muslim yang
lainnya serta rasa persaudaran kepada semua
insan pada umumnya.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Hafid.
M.A. 1992. Kunci Fiqih Syafi'i. Semarang: CV. Asy Syifa'.
Al-Fauzan,
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan. 2005. Ringkasan Fiqih Lengkap. Jakarta:
Darul Falah.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 2001.
Pengantar Fiqih Muamalah. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
As-Syafi’i, Sayyid Musthofa
ad-Dahabi. t.t. Fath Al-Wahab bi Sarhi Manhaj At-Thulab. Surabaya: Nurul Huda.
Marjono, Hartono.
SH. 1997. Menegakkan Syariah Islam dalam Konteks KeIndonesiaan. Bandung:
Mizan.
Sudarsono,
S.H., M.Si. 2001. Pokok Pokok Hukum Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suhendi,
Hendi. M.Si. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada.
Syafe'i, Rachmad.
M.A. 1997. Konsep Gadai (ar-rahn) dalam Fiqh Islam: antara Nilai social dan
Nilai Komersial. Dalam Chuzimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, MA (ed).
Problemática Hukum Islam Kontemporer. Yakarta: LSIK.
Zuhri,
Moh. Dipl. Tafl dkk. 1994. Terjemah Fiqih Empat Madzhab. Semarang: CV.
Asy-syifa’.
[1] A. Qomarudin adalah salah satu mahasiswa STAI Ma’had Aly Al-Hikam
Malang semester 2 yang bertempat tinggal di pondok pesantren mahasiswa Al-Hikam
Malang (mondok).
[2] Moh. Zuhri, Dipl. Tafl dkk. 1994. Terjemah Fiqih Empat Madzhab. Semarang: CV. Asy-syifa’.
Jld 4. hlm 613.
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. 2001. Pengantar Fiqih
Muamalah. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra. hlm 95.
[4] Moh. Zuhri. Loc.Cit.
[5] Hendi Suhendi, M.Si. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada. hlm
107-108.
[6] Moh. Zuhri. Op.Cit. hlm 615-616.
[7] Moh. Zuhri. Op.Cit. hlm 630-634.
[8] Sayyid Musthofa ad-Dahabi as-Syafi’i. t.t. Fath Al-Wahab bi
Sarhi Manhaj At-Thulab. Surabaya:
Nurul Huda. juz 1. hlm 192.
[9] Hartono Marjono, SH. 1997. Menegakkan
Syariah Islam dalam Konteks KeIndonesiaan. Bandung: Mizan. hlm 50-51.
[11] Rachmad Syafe'i, M.A. 1997. Konsep Gadai (ar-rahn) dalam Fiqh Islam: antara Nilai social dan Nilai
Komersial. Dalam Chuzimah
T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, MA (ed). Problemática Hukum Islam Kontemporer.
Yakarta: LSIK. hlm 68.
[12] Hafid Abdullah, M.A. 1992. Kunci Fiqih
Syafi'i. Semarang: CV. Asy Syifa'. hlm 146.
[13] Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. 2005.
Ringkasan Fiqih Lengkap. Jakarta: Darul Falah. hlm 557.
assalamualaikum...
ReplyDeletemau nanya a punya konsep / buku2 tentang pergadaian dengan non muslim
di tunggu jawabanya yaaa
Coba baca buku "Super Leader n super Manager" insyaAllah jdulx gtu... :) :)
ReplyDelete