Friday, February 3, 2012

Konsep Gadai Dalam Perspektif Syariah Islam.


KONSEP GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH ISLAM
Oleh : A. Qomarudin[1]

PENDAHULUAN
            Ibadah yang sering disebut sebagai ritus atau ritual adalah bagian yang amat penting dari setiap agama atau kepercayaan. Dalam Islam, ibadah mengandung 2 maknapenting sekaligus, pertama, secara intrinsic berarti pengabdian atau penghambaan, pengagungan, dan pendekataan kepada Allah SWT. Kedua, ibadah secara instrumental berarti sebagai usaha pendidikanpribadi atau kelompok kearah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku etis dan bermoral. Melalui ibadah seorang yang beriman dapat memupuk kesadaran individual dan kolektifnya akan tugas-yugas pribadi dan sosialnya dalam mewujudkan kehidupan bersama yang bermartabat, sejahtera, damai, tentram, dan aman. Akar kesadaran ini adalah keinsafan bahwa segala perbuatan dan kerjanya di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam proses yang seadil-adilnya.
            Dalam al-Quran telah dijelaskan tentang peran manusia diutus ke dunia, selain sebagai seorang khalifah, Allah menciptakan manusia tiada lain supaya mereka beribadah kepada-Nya. Dalam hal ini fiqih sangat berperan penting pada masalah-masalah ubudiyah. Karena dalam suatu ibadah terdapat batasan-batasan, aturan-aturan, dan syarat-syarat yang harus dilakukan oleh seseorang agar ibadahnya diterima di sisi-Nya. Dengan demikian, setiap langkah manusia haruslah termasuk cerminan dari suatu ibadah yang dilakukan dengan cara-cara yang telah digariskan oleh syariat. Untuk mengolah potensi insani yang dimiliki oleh setiap insan dalam rangka mencapai nilai-nilai ubudiyah yang luhur, diperlukan suatu jalan atau cara untuk memahami dan mendalami beberapa masalah yang terkait antar manusia dengan manusia itu sendiri. Sebab, kita hidup di muka bumi ini berstatus sebagai makhluk social, dalam arti sempit kita memerlukan pertolongan orang lain dan kita harus menolong orang yang membutuhkan.
            Dalam al-Quran Surah Al-Maidah, Allah SWT berfirman:
و تعا ونوا على البر و التقوى ولا تعا ونوا على الإثم و العدوان (المائدة: 2)
Artinya: “Tolong menolonglah kamu sekalian dalam suatu kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu sekalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”(QS. Al-Maidah: 2)
            Konsep hidup di dunia sebagai insan kamil adalah melaksanakan segala perintah-perintah Allah SWT serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Dalam ayat di atas, yang menjadi salah satu rekomendasi-Nya adalah saling tolong menolong antar sesame dalam masalah-masalah kebaikan dan bukan tolong menolong dalam masalah-masalah keburukan.
            Hubungan antar sesama manusia itu dapat berupa kebendaan (madiyah) dan kesopanan (adabiyah). Hubungan yang bersifat madiyah tentunya obyek kegiatannya menyangkut materi. Sementara, hubungan yang bersifat adabiyah penegakan unsurnya terdapat pada hak dan kewajiban yang bernilai moralitas.
            Sebagai langkah awal penulis, di sini akan penulis bahas mengenai hubungan yang bersifat kebendaan (madiyah) yang erat kaitannya dengan utang piutang. Ternyata dalam hal ini, terdapat cara lain untuk meyakinkan orang yang memberi hutang oleh orang yang berhutang dengan tujuan agar dapat lebih meyakinkan orang yang memberi hutang bahwa orang yang berhutang benar-benar memerlukannya dan juga sungguh-sungguh dalam hal pengembaliannya. Cara ini dilakukan dengan jalan menyerahkan sesuatu barang orang yang berhutang yang dia miliki pada saat itu (sebagai jaminan) atas sesuatu yang dia hutang. Dan sesuatu tersebut dapat kembali ketika pihak peminjam sudah dapat mengembalikan sesuatu yang dia pinjam. Pada saat ini, muamalah semacam ini lebih dikenal dengan istilah gadai (rahn).
            Salah satu aspek di atas menjadi hal yang sangat penting dalam kajian syariat. Sebab, penulis dapat meneliti konsep gadai yang ada dalam pegadaian-pegadaian di negara kita sekarang ini, sungguh telah jauh dari konsep-konsep yang diajarkan oleh syariat yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Apabila penulis boleh menyimpulkan gadai pada saat sekarang itu lebih cenderung dapat dimasukkan kedalam hukum riba, yang mana di dalamnya akan mengakibatkan salah satu pihak yang dirugikan, terutama dari pihak peminjam. Sesuatu hal yang seperti itu yang menjadi larangan syariat Islam.
            Dengan demikian, agar tolong menolong dalam kebaikan dapat kita ciptakan dan hak-hak mereka yang lemah dapat kita penuhi dengan tanpa adanya tekanan yang sangat (beban), maka perlu adanya pemahaman yang mendalam mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan gadai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam syariat Islam.
    

PENGERTIAN GADAI
Gadai dalam bahasa arabnya mashur disebut dengan ar-rahn (الرهن), yang menurut bahasa mempunyai arti “tetap dan kekal”. Misalnya ucapan ماء راهن  memiliki arti (air yang tenang) atau نعمة راهنة  memiliki arti (kenikmatan yang kekal dan tetap). Namun menurut sebagian ulama’ ada yang mengatakan arti ar-rahn adalah penahanan, itu karena disandarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Mudasir ayat 38.
كل نفس بما كسبت رهينة. (المدثر: 38)
Artinxa: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (QS. Al-Mudatsir: 38).[2]
Selain itu, mereka juga bersandar atas hadits Nabi yang menjelaskan tentang ditahannya jiwa seorang mukmin disebabkan oleh hutang yang belum terbayar.
            Sedangkan ar-rahn menurut istilah syara’ adalah
a.       عقد موضوعه إحتباس مال لقاء حق يمكن إستفاؤه منه
“Suatu akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna darinya.”[3]
b.      menjadikan barang yang ada harganya menurut pandangan syara’ sebagai jaminan kepercayaan utang piutang.[4]
Pada kenyataanya, banyak bermunculan perbedaan mengenai definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ mengenai ar-rahn menurut istilah syara’, namun pada intinya mempunyai kesamaan yang mendasar. Di sini penulis hanya mengemukakan 2 pengertian yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai pijakan mengambil definisi ar-rahn menurut istilah syara', yaitu suatu akad yang urgensinya dapat menjadikan suatu barang yang pada awalnya ada harganya secara sempurna menurut pandangan syara’ sebagai jaminan dari kepercayaan utang piutang.

RUKUN DAN SYARAT GADAI
            Suatu pinjaman dengan jaminan suatu benda atau sering disebut dengan gadai, memiliki beberapa syarat dan rukun sebagai berikut.
            Rukun-rukun gadai antara lain:
  1. Akad ijab dan kabul, yaitu penyerahan dari pihak yang menggadaikan dan penerimaan dari pihak yang menghutangi. Ini dapat dilakukan dengan suatu perkataan, selain dengan kata-kata dapat juga dengan surat, isyarat, dan lain sebagainya.[5]
  2. Aqid (orang yang melakukanakad), ini meliputi 2 arah yaitu rahin (orang yang menggadaikan barang/penggadai) dan murtahin (orang yang berpiutang yang menerima barang  gadai sebagai imbalan uang yang dipinjamkan/penerima gadai).
  3. Ma’qud ’alaih (yang diaqadkan), meliputi 2 hal yaitu marhun (barang yang digadaikan/barang jaminan), dalam masalah barang yang dapat digadaikan ini, Rasulullah SAW bersabda:
كل ما جاز بيعه جاز رهنه
“setiap sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh juga digadaikan.”
dan dain marhun bih (hutang yang karenanya diadakan gadai) atau dengan kata lain tetapnya hutang terlebih dahulu.[6]
            Sedangkan syarat-syarat gadai terbagi menjadi 2 menurut madzhab syafi’i (Asy Syafi’iyah), yaitu:
  1. Syarat tetapnya gadai, yaitu diterimanya barang gadai.
  2. Syarat syahnya gadai, dalam hal ini ada beberapa perkara:
1)      Syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu hendaknya tidak dikaitkan dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akad ketika sudah tiba jatuh tempo.
2)      Syarat yang berkaitan dengan kedua belah pihak (rahin dan murtahin), yaitu kecakapan kedua belah pihak untuk berakad (dewasa, berakal, dan mahjur ‘alaih/dibatasi).
3)      Syarat yang berkaitan dengan marhun (barang yang digadaikan), dalam hal ini ada beberapa perkara:
§  Pegadai punya hak kuasa atas barang yang digadaikan.
§  Marhun berupa suatu barang.
§  Marhun bukan barang yang lekas rusak, sedang hutangnya untuk jangka waktu yang cukup lama, dalam arti barang tersebut sudah rusak sebelum jatuh tempo.
§  Marhun tergolong barang yang suci.
§  Marhun dapat diambil manfaatnya menurut syara’, meskipun pada saat yang akan dating.
4)      Syarat yang berkaitan dengan marhun bih/penyebab penggadaian (hutang yang karenanya diadakan pegadaian), dalam hal ini ada 4 perkara:
§  Penyebab penggadaian adalah hutang.
§  Hutang itu sudah tetap
§  Hutang itu tetap seketika atau yang akan dating.
§  Hutang tersebut telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya.[7]   


DASAR HUKUM GADAI
            Seluruh aspek hukum yang ditetapkan oleh syara’ tentunya secara jelas dan terang mempunyai dasar hukum masing-masing, yang dalam hal ini berfungsi sebagai suatu alasan Dzat yang membuat hukum tersebut (As-Syari’). Selain itu juga dapat berfungsi sebagai landasan atau pegangan seseorang yang melakukan hukum tersebut (Mukallaf). Maka sebagai referensi atau landasan hukum dari muamalah yang berkaitan dengan utang piutang dengan adanya suatu jaminan adalah firman Allah SWT sebagai berikut.
 وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة (البقرة: 283)
Artinya: “Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada yang menuliskan utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu.” (QS. Al-Baqarah: 283)
            Selain firman Allah SWT diatas, ada juga hadits Nabi Muhammad SAW yang menjadi dasar dalam masalah rahn sebagai berikut.
أن النبي صلى الله عليه و سلم رهن درعه عند يهودي يقال له أبو الشحم على ثلاثين صاعا من شعير لأهله.[8]
Artinya: “Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi yang bernama Abu As-Sahm atas 30 so’ gandum untuk memberi nafkah kepada keluarga beliau.”
            Dari firman Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW di atas, gadai dalam ajaran Islam itu tidak dilarang, baik saat di perjalanan (safar) ataupun di rumah (muqim). Namun, Islam hanya memberikan batasan-batasan yang harus dilakukan oleh mereka yang melakukukan gadai supaya tidak masuk dalam jurang riba. Selain hal tersebut, agama Islam juga tidak membeda-bedakan antara orang Muslim dan non-Muslim dalam bidang muamalat. Dengan demikian, seorang muslim tetap berkewajiban membayar hutangnya sekalipun kepada non-Muslim, yang demikian itu telah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya.


PRINSIP-PRINSIP GADAI
Untuk prinsip-prinsip yang ada pada gadai tentunya mengacu pada ajaran dan akhlak muamalah Islam. Ada 3 aspek dasar ajaran dalam akhlak Islam yang berkaitan dengan ekonomi, yakni cinta kejujuran, kebenaran, dan keadilan pada satu pihak dan anti penindasan serta kemubadziran pada pihak lain. Sedang konsep dasar bagi penyelesaian masalah-masalah yang timbul adalah qishas dan islah.
Selai itu, Islam juga memiliki konsep dasar pola pikir dan pola tindak yang sangat sederhana, akan tetapi pas. Islam membagi tatacara hubungan dalam 2 garis rentang, yaitu hablumminallah dan hablumminannas yang masing-masing lengkap dengan pola operasionalnya. Yakni jangan lakukan hal-hal yang tidak diperintah oleh Allah SWT dalam kontek hablumminallah dan lakukan apasaja yang baik yang kau mau menurut akalmu, kecuali yang dilarang Allah SWT dalam kontek hablumminannas.
Konsep dasar pola pikir dan pola tindak ini merupakan dasar dan filosofi untuk melakukan suatu sistem tatanan hidup manusia, baik individu maupun masyarakat, yang cocok dengan fitrah manusia itu sendiri. Demikian petunjuk dan dorongan pada satu pihak serta rem kendali pada pihak yang lain yang digariskan oleh ajaran dan akhlak Islam.
Secara skematis hal di atas dapat digambarkan sebagai berikut.[9]

Rem dan kendali
Anti penindasan dan anti kemubadziran
 
Petunjuk dan dorongan
Kejujuran, kebenaran dan keadilan
 
 


 
  
















Anggota masyarakat
 

Anggota masyarakat
 
 











 



                        


Kesepakatan/perjanjian di bidang muamalat
 
 



















Dengan demikian, gadai haruslah didasarkan atas sifat ruhaniyah manusia yaitu kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Dengan tertanamnya sifat-sifat tersebut, maka tidak akan ada lagi pihak-pihak yang dirugikan dalam hal ini. Dan pada akhirnya semua kebutuhan antar sesama dapat terpenuhi secara kondusif tanpa adanya perselisihan yang dapat menyebabkan perpecahan diantara sesama.

             
RIBA DAN GADAI
            Pada dasarnya perjanjian yang ada dalam perjanjian gadai adalah perjanjian utang piutang, yang membedakan di sini hanyalah dalam hal ada dan tidak suatu jaminan. Riba akan menjadi suatu tujuan dalam hal ini apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan syarat-syarat yang sebenarnya tidak perlu diadakan, atau dengan kata lain ketika akad gadai terjadi ditentukan syarat-syarat, dan kemudian syarat-ayart tersebut dilaksanakan oleh kedua belah pihak, seperti rahin wajib memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar hutangnya, atau misalnya dalam suatu pegadaian disyaratkan bila sang rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku yang namanya riba.[10] Karena apabila penerima gadai (murtahin) mengambil manfaat dari  barang gadaian tersebut, sedangkan barang tersebut sebagai suatu jaminan dari utang pihak rahin, maka hal itu termasuk dalam hutang yang menarik manfaat, yang dalam hal ini Nabi melarangnya.
وعن علي رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل قرض جر منفعة فهو ربا. (رواه الحارث بن أسمة).
Dari Ali r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda Setiap menghutangkan yang menarik manfaat adalah termasuk riba. (HR. Harits bin Abi Usamah).[11]
            Sekarang bagaimanakah sistem pegadaian yang ada di negara kita ini? Apabila di lapangan banyak diketemukan hal-hal tersebut di atas dan tidak memenuhi beberapa rukun dan syarat yang ada, maka pegadaian yang ada dapat kita simpulkan menjadi sesuatu yang tercampur dengan riba, sebab di dalamnya telah terkontaminasi dengan hal-hal yang menarik manfaat atas pihak-pihak tertentu saja. Dan apabila sebaliknya, yaitu masih dikedepankannya unsur-unsur yang menunjukkan atas tolong menolong dengan sesama, maka pegadaian yang ada tetap diperbolehkan.

PENYELESAIAN GADAI
            Barang gadaian itu merupakan amanat di tangan orang yang memberi hutang (pemegang hipotik), seandainya barang gadaian itu rusak, hutang tidak menjadi gugur sama sekali. Dan apabila kedua belah pihak berselisih dalam hal pengembalian barang gadaian tersebut, maka yang diterima adalah ucapan orang yang berhutang dengan disumpah terlebih dahulu. sedangkan apabila keduanya berselisih dalam hal jumlahnya, maka yang diterima adalah ucapan dari pemberi hutang dengan disumpah terlebih dahulu.[12]
            Sebagian ulama’ ahli fiqih berkata bahwa gadai itu ada 2 macam:
a.       Gadai yang memerlukan biaya
Gadai yang memerlukan biaya ini dibagi juga menjadi 2:
a)      binatang yang biasa dinaiki dan diperah susunya, untuk pegadaian semacam ini wajib atas orang yang menaiki punggung binatang tersebut dan atas orang yang meminum susunya untuk memberi nafkah kepadanya sebagai imbalan atas apa yang diambilnya. Dan apabila terdapat kelebihan dari nafkah sebagai imbalan atas manfaat binatang itu, maka harta tersebut menjadi milik sang pemiliknya semula (rahin).
b)      apa-apa yang tidak bisa dinaiki dan diperah, seperti seorang budak. Untuk yang semacam ini tidak boleh bagi pihak yang digadaikan kepadanya semua itu untuk mengambil manfaatnya, kecuali dengan izin pemiliknya. Jika sang pemilik memberinya izin dengan keharusan memberikannya nafkah dan mengambil manfaat sebagai imbalan nafkah itu , yang semacam itu diperbolehkan sebab kesemuanya itu saling mengganti (tidak ada pihak yang dirugikan).
b.      Gadai yang tidak memerlukan biaya, seperti rumah, barang dan lain sebagainya
Terhadap barang-barang yang semacam ini, pihak yang digadaikan kepadanya barang-batrang tersebut tidak diperbolehkan mengambil manfaatnya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya. Dan apabila tidak ada kesepakan antara kedua belah pihak, maka barang itu menjadi tetap diistirahatkan hingga akhir akad gadai.[13]
            Beberapa hal di atas dikuatkan oleh hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: “apabila digadaikan seekor kambing, maka yang memegang gadai tersebut boleh  meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu, maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya menjadi riba”. (riwayat Hammad bin Salmah)[14]
Mengenai biaya yang digunakan untuk merawat barang-barang yang digadaikan, seperti pakan binatang yang digadaikan, biaya tempatnya, pemeliharaannya dan lain sebagainya adalah tanggungjawab orang yang menggadaikan barang itu (rahin). Yang demikian itu telah dijelaskan oleh hadits Saya’id bin Al-Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
لا يغلق الرهن من صاحيحبه الذي رهنه, له غنمه, وعليه غرمه.
“Barang yang digadaikan tidak tertutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya, miliknya hasil darinya dan menjadi tanggungjawabnya jika ada dendanya.” (diriwayatkan Asy-Syafi’I dan Ad-Daruquthni, dia berkata: Isnadnya hasan shahih)
Yang seperti itu, karena barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dia berkewajiban memberikan nafkahnya, yaitu wajib membayar ongkos sewa tempat, penggembalaan binatangnya  dan upah pengamanan atas barang yang digadaikan.[15] Maka apabila seseorang menginginkan adanya pemanfaatan atas barang gadaian harus ada izin dari pihak yang menggadaikan barangnya tersebut.
Demikian halnya, untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat yang dapat menjerumuskan dalam utang piutang yang menarik pada riba. Sebagai contoh, apabila dalam prakteknya mensyaratkan seperti "apabila sang rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran hutang", maka yang demikian itu tidak diperbolehkan, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar hutang' harga marhun akan lebih kecil daripada hutang rahin yang harus dibayarkan, yang mengakibatkan ruginya sang murtahin, atau memungkinkan juga sebaliknya, yang mengakibatkan ruginya pihak rahin.
Apabila syarat seperti tersebut di atas dilakukan dalam akad, akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Maka apabila datang waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain dengan harga yang umum berlaku saat itu. Kemudian dari penjualan tersebut, hak murtahin hanyalah sebesar jumlah hutang rahin dan sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah hutang, maka rahin masih mempunyai tanggungan hutang yang harus dibayarkan.[16]


SIMPULAN
            Pada prinsipnya gadai itu mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi, namun kenyataan dalam masyarakat konsep gadai tersebut dinilai secara "tidak adil". Karena banyaknya pihak-pihak yang berperan di dalamnya yang hanya mementingkan kepentingan pribadi mereka, yang di sebabkan tidak adanya nilai-nilai ruhaniyah yang tertanam di dalam jiwa mereka. Di sisi yang lain, banyak dari kita yang meninggalkan atau melupakan pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan oleh al-Quran dan Rasulullah SAW, atau bahkah acuh tak acuh terhadap apa-apa yang telah diajarkan oleh syariat.
            Pokok ajaran agama Islam dalam kontek hablumminannas yang menyatakan "lakukan apasaja yang baik yang kau mau menurut akalmu, kecuali yang dilarang Allah SWT", mengindikasikan bahwa di dalam kita bersosialisasi dengan sesama, kita harus mengedepankan nilai-nilai ssosial yang tertanam dalam sifat-sifat ruhaniyah yang telah dianugrahkan kepada setiap insan-Nya. Dengan demikian tidak akan kita temukan lagi dari beberapa pihak yang ada yang salah satu dari mereka merasa dirugikan oleh pihak yang lain. Sehingga dari situ dapat menumbuhkan rasa persaudaraan yang erat antara seorang muslim yang satu dengan muslim yang lainnya serta rasa  persaudaran kepada semua insan pada umumnya.   


DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Hafid. M.A. 1992. Kunci Fiqih Syafi'i. Semarang: CV. Asy Syifa'.
Al-Fauzan, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan. 2005. Ringkasan Fiqih Lengkap. Jakarta: Darul Falah.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Pengantar Fiqih Muamalah. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
As-Syafi’i, Sayyid Musthofa ad-Dahabi. t.t. Fath Al-Wahab bi Sarhi Manhaj At-Thulab. Surabaya: Nurul Huda.
Marjono, Hartono. SH. 1997. Menegakkan Syariah Islam dalam Konteks KeIndonesiaan. Bandung: Mizan.
Sudarsono, S.H., M.Si. 2001. Pokok Pokok Hukum Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suhendi, Hendi. M.Si. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada.
Syafe'i, Rachmad. M.A. 1997. Konsep Gadai (ar-rahn) dalam Fiqh Islam: antara Nilai social dan Nilai Komersial. Dalam Chuzimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, MA (ed). Problemática Hukum Islam Kontemporer. Yakarta: LSIK.  
Zuhri, Moh. Dipl. Tafl dkk. 1994. Terjemah Fiqih Empat Madzhab. Semarang: CV. Asy-syifa’.





[1] A. Qomarudin adalah salah satu mahasiswa STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang semester 2 yang bertempat tinggal di pondok pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang (mondok).
[2] Moh. Zuhri, Dipl. Tafl dkk. 1994. Terjemah Fiqih Empat Madzhab. Semarang: CV. Asy-syifa’. Jld 4. hlm 613.

[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. 2001. Pengantar Fiqih Muamalah. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. hlm 95.

[4] Moh. Zuhri. Loc.Cit.
[5] Hendi Suhendi, M.Si. 2005. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada. hlm 107-108.

[6] Moh. Zuhri. Op.Cit. hlm 615-616.
[7] Moh. Zuhri. Op.Cit. hlm 630-634.

[8] Sayyid Musthofa ad-Dahabi as-Syafi’i. t.t. Fath Al-Wahab bi Sarhi Manhaj At-Thulab. Surabaya: Nurul Huda. juz 1. hlm 192.
[9] Hartono Marjono, SH. 1997. Menegakkan Syariah Islam dalam Konteks KeIndonesiaan. Bandung: Mizan. hlm 50-51.
[11] Rachmad Syafe'i, M.A. 1997. Konsep Gadai (ar-rahn) dalam Fiqh Islam: antara Nilai social dan Nilai Komersial. Dalam Chuzimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, MA (ed). Problemática Hukum Islam Kontemporer. Yakarta: LSIK. hlm 68.  
[12] Hafid Abdullah, M.A. 1992. Kunci Fiqih Syafi'i. Semarang: CV. Asy Syifa'. hlm 146.

[13] Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. 2005. Ringkasan Fiqih Lengkap. Jakarta: Darul Falah. hlm 557.

[14] Sudarsono, S.H., M.Si. 2001. Pokok Pokok Hukum Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta. hlm 474.

[15] Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Op.Cit. hlm 554-555.
[16] Hendi Suhendi, M.Si. Op.Cit. hlm 110.

2 comments:

  1. assalamualaikum...
    mau nanya a punya konsep / buku2 tentang pergadaian dengan non muslim
    di tunggu jawabanya yaaa

    ReplyDelete
  2. Coba baca buku "Super Leader n super Manager" insyaAllah jdulx gtu... :) :)

    ReplyDelete