Membangun
Madrasah
Jika berbicara pendidikan islam maka gambaran yang
didapatkan pun seputar madrasah dan pesantren. Jika pesantren adalah
lembaga pendidikan formal tertua di Indonesia, maka madrasah adalah lembaga
formal yang lahir untuk menangkal sekularisme pada pendidikan formal pasca
kemerdekaan. Bagaimana perkembangan madrasah ini? Masihkah relevan pada era
kini dan bagaimana prospeknya di masa depan? Paparan dibawah ini menjelaskan
perkembangan pendidikan Islam termasuk madrasah, sehingga kita akan lebih
mengenal tentang madrasah itu sendiri. Lebih lanjut akan menjelaskan
bagaimana gambaran madrasah di masa depan.
Perekembangan
Pendidikan Zaman Rosululloh
Rosululloh saw mengajarkan Islam di rumah Arqam bin Arqom,
tercatat 40 orang terdiri dari laki-laki dan wanita, dan dari beragam usia
mulai dari 8 tahun sampai 50 tahun. Mereka yang dididik Rosululloh di
rumah Arqom bin arqom adalah anak-anak yang usianya 8 tahun seperti Ali bin abi
Thalib dan Zubair bin Al Awwam, Remaja awal seperti Thalhah bin Ubaidillah
(11 tahun) dan Arqam bin Arqam (12 tahun), remaja akhir seperti Saad bin Abi
Waqosh (17 tahun) dan Jafar Bin Abi Thalib (18 tahun), dewasa awal seperti
Utsman bin Affan (20 tahun), dan Thulaib bin Umair (20 tahun), dewasa
akhir seperti Hamzah bin Abi Thalib (42 tahun) dan Ubaidah bin al Harits (50
tahun). Sementara itu dikalangan bangsa arab sendiri pada saat itu telah
berkembang model pendidikan kuttab. Di kuttab ini diajarkan baca
tulis dengan teks dasar puisi-puisi arab, pengajarannya sendiri berlangsung di
rumah para guru. Pasca Islam hijrah ke Madinah, pendidikan model kuttab ini
diberlakukan oleh Rasululloh dengan mengambil tempat di masjid dan rumah
guru. Dan fungsi kuttab pun dibagi menjadi dua macam, pertama mengajarkan
baca tulis dan kedua mengajar al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam. Pada
awal pemerintahan Islam di Madinah, pengajar baca tulis di kuttab
kebanyakan non muslim, karena sedikit sekali kaum muslim yang bisa
menulis. Rosulullah pernah membebaskan para tawanan perang syaratnya mengajari tiap
10 orang muslim membaca dan menulis. Sehingga pada awalnya pengajaran
baca-tulis tidak dinukil langsung dari Al Qur’an tetapi dari puisi dan syair
bijaksana orang-orang arab. Setelah banyak kaum muslimin yang pandai
menulis dan membaca, maka pengajaran baca tulis di kuttab sumber nukil pun
tidak lagi puisi dan syair tetapi Al qur’an. Adapun pengajaran al Qur’an
dan dasar-dasar Islam di Madinah untuk para shahabat dipegang langsung oleh
Rosulloh saw, tetapi untuk penduduk madinah diajarkan oleh Mushab bin
Umair. Setelah islam meluas, Rasulullah senantiasa mengutus orang-orang
yang kompeten untuk menjadi wali sekaligus mengajarkan al Qur’an pada
penduduknya. Maka Rasulloh mengangkat Athab bin Usaid menjadi wali di kota
Mekah, Muadz bin Jabal menjadi wali di Yaman, Amru bin Ash menjadi amil di
Oman, dan lain-lain.
Kurikulum pendidikan Islam pada Zaman Rosulloh adalah al
Qur’an yang allah turunkan sesuai kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa
yang dialami umat saat itu. Selain itu Rosululloh menyuruh para sahabat
memperlajari bahasa Asing. Rosul pernah menyuruh kepada Zaid bin Tsabit,
“saya hendak berkirim surat kepada raja Suryani, saya khawatir kalau mereka
menambah-nambah atau mengurangi sebab itu engkau memperlajari bahasa Suryani
(bahasa Yahudi). Lalu Zaid memperlajari bahasa itu, hingga ia mahir dalam
bahasa itu.
Metode pengajaran yang dilakukan oleh Rosululloh sangat
bervariatif misalnya ceramah, dialog (ketika Muadz akan dikirim menjadi
Gubernur Yaman), tanya jawab (sering para sahabat bertanya tentang suatu
hukum dan rosul menjawabnya), diskusi (misalnya diskusi yang terjadi antara
Rosululloh dan para sahabat tentang hukuman yang akan diberikan pada tawanan
perang Badar), demostrasi, misalnya hadits, “shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihat aku sembahyang” dan metode kisah (misalnya kisah kaum nabi-nabi
terdahulu), metafora (umat muslim laksana satu tubuh, bila sakit salah satu
anggota tubuh, maka yang lain akan turut sakit), pembiasaan (pembiasaan shalat
berjamaah), hafalan, inferensi/prediksi (misalnya kelak umat islam akan seperti
sepotong kue yang diperebutkan oleh banyak orang) .
Rasululloh pun melakukan evalusi pengajaran, dengan cara
mengevaluasi hapalan para shahabat, menyuruh para shahabat membacakan al qur’an
dihadapannya dan membetulkan hapalan dan bacaan yang keliru, dan setiap utusan
yang akan dikirim oleh Rosulullah dicek dulu kemampuannya.Misalnya ketika akan
mengutus Muadz bi Jabal ke Yaman sebagai qadi, Rosululloh menanyakan bagaimana
ia memutuskan suatu perkara yang muncul ditengah-tengah umat. Muadz
menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengal al qur’an, as sunnah, dan jika tidak
didapati di keduanya ia akan berijtihad. Maka Rasululloh pun tersenyum
tanya menyetujui dan percaya akan kompetensi Muadz sebagai qadi Yaman.
Perkembangan
Pendidikan Pada Zaman Khulafa Rasyidin
Seperti halnya pada zaman Rosulullah yang memusatkan
pendidikan di kuttab, maka begitu pula yang terjadi pada zaman Abu Bakar
Sidiq. Kuttab tetap dipertahankan sebagai lembaga tempat belajar membaca
dan menulis.Keberadaan kuttab seiring dengan pembangunan mesjid, dan guru di
kuttab adalah para shahabat Rosululloh. Sehingga dapat dikatakan lembaga
pendidikan islam pada saat itu adalah masjid.
Umar Bin Khotob menjadikan Madinah sebagai pusat
pendidikan. Para shahabat yang faqihfiddin dan ahli hadits
dilarang meninggalkan Madinah, kecuali atas izin Umar sebagai Khalifah pada
saat itu dan dengan waktu yang terbatas. Maka jika ingin memperdalam
Islam, semua orang harus datang ke Madinah. Selain menerapkan pendidikan
di mesjid, Umar pun menerapkan pendidikan di pasar-pasar. Setiap
daerah yang dibebaskan Islam, Umar memerintahkan Panglima perangnya mendirikan
mesjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan, dan Umar pun menyediakan guru yang
digaji oleh Baitulmaal untuk tiap daerah yang dibebaskan untuk mengajarkan isi
Al qur’an dan ajaran Islam lainnya, dan juga bahasa Arab.
Pada zaman Umar ini pula dikenalkan metode halaqoh dalam
pengajaran tingkat lanjut. Adalah Abdurahman bin Ma’qal dan Imran bin al
Hashim yang diutus ke Basyrah dan Hasan bin Abi Jabalah yang diutus ke
Mesir, dan Abdurrahman bin Ghanam ke Syiria, menggunakan metode guru duduk
dihalaman mesjid sedangkan muridnya melingkarinya (halaqoh). Menurut
Nakoesteen sistem pendidikan islam dalam bentuk halaqoh ini sangat unik, guru
biasanya duduk di dekat dinding atau pilar mesjid, sementara siswanya duduk
membentuk lingkaran dengan lutut antar siswa saling menempel.Murid yang level
pengetahuannya lebih tinggi duduk dekat guru, sedangkan yang level
pengetahuannya lebih rendah akan duduk lebih jauh dari gurunya.Sehingga perlu
belajar keras agar dapat mengubah konfigurasi halaqohnya, sebab posisi dalam
halaqoh menjadi sangat signifikan. Tidak ada batas resmi jumlah siswa
dalam halaqoh, tetapi biasanya terdiri sekitar 20 orang. Metode yang
dipakai di halaqoh tersebut adalah imla, dan penjelasan. Menjelang akhir
halaqoh dilakukan dengan cara tanya jawab, atau guru memeriksa catatan
muridnya, mengoreksinya, dan menambahkan seperlunya.
Pendidikan di masa Utsman dan Ali adalah melanjutkan
pendidikan di masa sebelumnya. Dengan sistem kuttab di sekitar
mesjid dan fokus yang sama yaitu mengajarkan al qur’an dan hadits, dan bahasa
Arab untuk wilayah di luar jazirah Arab. Hanya saja pada zaman Utsman pada
faqihfiddin tidak dilarang lagi meninggalkan Madinah, sehingga mereka
dapat menyebarkan ilmunya di daerah-daerah yang disukai, akibatnya pelaksanaan
pendidikan di daerah-daerah makin berkembang.
Perkembangan
Pendidikan di Zaman Umayyah
Sistem kuttab yang mengajarkan membaca, menulis Al
qur’an dan agama islam lainnya tetap dilanjutkan pada zaman Umayyah. Hanya
saja tempatnya selain di mesjid dan rumah guru juga diselenggarakan di
istana. Kuttab di istana bertujuan mengajarkan anak-anak dari
keluarga yang berada di istana Khalifah. Guru istana
dinamakan muaddib. Tugas muaddib diungkapkan oleh Abdul Malik bin
Marwan, “ajarkan kepada anak-anak itu berkata benar, sebagaimana kau ajarkan al
qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi,
karena mereka amat jahat dan kurang beradab.Jauhkan anak-anak itu dari pemalu,
karena pemalu itu merusak mereka.Gunting rambut mereka supaya tebal
kuduknya. Beri makan mereka dengan daging supaya kuat
tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka, supaya mereka menjadi orang besar
dan berani. Suruh mereka menyikat gigi dan minum air dengan menghirup
pelan-pelan bukan dengan bersuara, seperti hewan. Kalau engkau hendak
mengajarkan adab kepada mereka hendaklah dengan tertutup tiada diketahui oleh
siapa pun”. Jadi pendidikan istana mengajarkan al qur’an, hadits, syair,
riwayat hukama, menulis, membaca, dan adab sopan santun.
Ilmu tingkat lanjut seperti kedokteran, filsafat, astronomi,
sains, sastra, seni bangaunan, seni rupa, dan seni suara berkembang pada masa
ini.Beberapa kota seperti Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova,
Basrah, Damsyik, dan Palestina menjadi pusat kajian ilmu lanjutan. Bahkan
pada zaman Khalifah Al Walid didirikan sekolah kedokteran, dan melarang
penderita kusta meminta-minta di jalan, dan mereka diberi jaminan sosial. Perpustakaan
besar Qurtubah (Cordova) pun berdiri di Spanyol. Pada zaman Muawiyah
Khalid bin Yazid, sarjana Yunani yang berada di Mesir diperintahkan untuk
menterjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Ilmu
tingkat lanjut yang berkembang begitu pesat pada zaman ini tidak lepas dari
pendidikan lanjut yang ada di madrasah dan mesjid. Pada zaman Umayyah ini
berdirilah madrasah-madrasah yang didirikan di Qurthubah (Cordova), Isybillah
(Seville), Thulaithilah (Toledo), dan Gharnathah (Granada), dan
lain-lain. Bahkan pada zaman Khalifah Abdul Rahman III dengan mengambil
tempat di sebuah mesjid didirikan universitas cordova sebagai pusat ilmu
pengetahuan.
Perkembangan
Pendidikan di Zaman Abbasiyah
Pada zaman ini madrasah merupakan lembaga pendidikan per
exelence,yaitu sistem pendidikan yang bercorak fiqih dan
hadits. Perkembangan madrasah sangat pesat pada zaman ini, walaupun
terjadi kemunduran di Bagdad, masalah pendidikan tetap menjadi
perhatian. Khilafah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan sampai
kedaerah-daerah terpencil sekali pun. Gedung madrasah dibangunkan dengan
bagus dan besar sekaligus dengan perpustakaannya, biaya pendidikan bagi siswa
disediakan agar dapat belajar dengan gratis, dan disediakan pula guru-guru yang
berpengetahuan luas dan medalam. Pada masa ini dibangun Madrasah
Nizhamiyah, yang akan menjadi perguruan tinggi terbesar pada
zamannya. Salah seorang pengajar di Madrasah Nizhamiyah adalah Al
Ghazali. Al Ghazali terkenal dengan asas mengajarnya, yaitu:
1.
Memperhatikan tingkat daya berpikir anak
2. Menerangkan
pelajaran dengan jelas
3. Mengajarkan
dari konkrit ke abstrak
4. Mengajarkan
ilmu pengetahuan secara berangsur-angsur
Kehadiran Madrasah Nizhamiyah telah memberi pengaruh
yang besar pada masyarakat baik bidang politik, ekonomi, maupun sosial
keagamaan .Dalam bidang ekomomi, madrasah ini telah menghasilkan lulusan
yang siap menjadi pegawai pemerintah dibidang hukum dan administrasi. Pada
sosial keagamaan, madrasah yang memfokuskan pada ajaran fiqih, dianggap sesuai
dengan kebutuhan masyarakat umumnya.
Madrasah pada zaman abasiyah tampak ditangani langsung dan
serius oleh pemerintah. Melalui lembaga madrasah muncullah kecintaan dan
gairah pada intelektual islam terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat
dibuktikan dari berbagai ilmu agama dan sains yang mereka hasilkan.
Konsep
Pendidikan Islam jika diterapkan Di Indonesia
i.
Profesi
guru merupakan profesi yang sangat mulia, dan hal tersebut didasarkan pada
acuan tekstual maupun rasional, diantara dasar atau dalil tekstualnya adalah
sabda nabi saw. Yang artinya:…..”saya ini sebenarnya diutus sebagai seorang
guru”….
ii.
Jadi
profesi guru merupakan warisan dari misi kerosulan.Pendidikan merupakan sebuah
wasilah untuk mencapai kemulian dan menserahkan jiwa, pendidikan yang benar
merupakan jalan mendekat kepada tuhan, al-ghazali menyatakan: selama ilmu itu
dimiliki seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia
menjadi lebih dekat kepada Allah.
iii.
Guru
harus memiliki rasa kasih sayang kepada peserta didiknya, memandang mereka
seperti anaknya sendiri, karena nabi bersabda:…”sebetulnya saya ini bagimu
semua adalah seperti kedudukan orang tua terhadap anaknya.
Daftar Pustaka
- An Nabhani, T. (2007). Daulah Islamiyah [terjemaahan]. Jakarta: HTI Press. Hassibuan, Z.E. (2007). Profil Rosulloh sebagai Pendidik Ideal [dalam Sejarah Pendidikan Islam, ed. Nizar, S]. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. h.8.
- An Nabhani, T.
- Salphen, (2007). Pola Pendidikan Islam pada Zaman Khlafaur Rasyidin. Candra, S. (2007). Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti UmayyahOp.cit. h.61.
- Pramujaya, S. (2007). Kurikulum dan Pola Pengembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Klasik Zaman Keemasan. Op.Cit. h. 131.
- Ediwarman. (2007). Madrasah Nizhamiyah: Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pendidikan Islam dan Aktivits Ortodoksi Sunni. Op.Cit. 167-168.
No comments:
Post a Comment