I.
PENDAHULUAN
Masa keemasan Daulah Abbasiyah adalah zaman keemasan
peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Baghdad yang berlangsung selama
kurang lebih lima abad (750-1258 M). Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan
tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan dan dengan karya-karyanya. Mulai
dari aliran fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi, filsafat, sampai dengan bidang
keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai ilmu kedokteran.
Keberhasilan dalam bidang keilmuan tersebut disebabkan
adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah
peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa
didukung oleh ilmu pengetahuan.[1] Hal itu
dapat ditunjukkan melalui antusias mereka dalam mencari ilmu, penghargaan yang
tinggi bagi para ulama’, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, dan
banyaknya perpustakaan atau tempat belajar yang dibuka yang kemudian menjadi
sumber dan pusat intelektual Islam, salah satunya adalah Bait al-Hikmah.
Dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia, terdapat
sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas tersendiri dan berbeda
dengan lembaga pendidikan yang lainnya yaitu pesantren. Di tinjau dari segi
historisnya, Pesantren merupakan bentuk lembaga pribumi tertua di Indonesia. Pesantren
sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke
Indonesia, pesantren terus berkembang sesuai dengan perkembangan dunia
pendidikan pada umumnya.
Seiring pesatnya kemajuan zaman, tantangan yang dialami
lembaga ini menurut pengamatan para ahli pun semakin lama semakin banyak,
kompleks, dan mendesak. Ditengah derap kemajuan ilmu dan teknologi yang menjadi
motor bergeraknya modernisasi, dewasa ini banyak pihak merasa ragu terhadap eksistensi pesantren
salaf. Keraguan itu dilatar belakangi oleh kecenderungan dari pesantren salaf untuk
bersikap menutup diri terhadap perubahan di sekelilingnya dan sikap kolot dalam
merespon upaya modernisasi.
Menurut Azyumardi Azra, kekolotan pesantren salaf dalam
mentransfer hal-hal yang berbau modern itu merupakan sisa-sisa dari respon
pesantren terhadap kolonial Belanda. Lingkungan pesantren salaf merasa bahwa
sesuatu yang bersifat modern, yang selalu mereka anggap datang dari barat,
berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama.[2] Oleh sebab
itu, mereka melakukan isolasi diri terhadap sentuhan perkembangan modern
sehingga membuat pesantren salaf dinilai sebagai penganut Islam tradisional.
Corak pesantren salaf seperti ini, yang identik dengan
loyalitasnya terhadap tradisi keilmuan klasik dan keterasingannya dengan kemajuan
zaman, memang sampel corak pesantren yang paling sering dikultuskan sebagai
corak pesantren tertinggal. Beragam permasahan yang menjangkiti pesantren salaf
memang berujung pada pertanyaan mendasar tentang seberapa besarkah relevansi
pola pendidikan Islam tradisionalis serupa ini terhadap pesatnya tuntutan
modernisasi dan besarnya persaingan institusi pendidikan Islam dewasa ini?
Menyadari hal itu, maka penulis berusaha untuk sedikit
menggambarkan secerca gagasan yang di dapat dari sejarah peradaban Islam masa
daulah Abbasiyyah yang dimana ummat Islam mampu mencapai The Golden Age
(masa keemasannya) dalam berbagai bidang terutama bidang intelektual/
pendidikan. Gagasan penulis yaitu seputar tentang rekonstruksi pesantren (dalam
hal manhaj al-fikriyyah) sebagai upaya konstruktif dalam sumbangsihnya untuk
kemajuan bidang pendidikan di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
A. SEKILAS TENTANG PESANTREN SALAF
a)
Pengertian
Pesantren berarti suatu lembaga pendidikan Islam
Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya
sebagai pedoman hidup keseharian (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan
pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat.[3]
Zamakhsyari Dhofier menyebutkan lima elemen dasar dari tradisi pesantren, yaitu
pondok, masjid, santri, pengajian kitab-kitab klasik, dan kyai.[4]
Dinamika keilmuan pesantren sebagai fungsi kelembagaan
memiliki tiga peranan pokok. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam. Kedua,
pemeliharaan tradisi Islam. Ketiga, pembinaan calon-calon ulama.
b)
Sejarah
Pesantren di Indonesia
Pesantren dapat dianggap sebagai lembaga yang khas
Indonesia dan berakar kuat di bumi Indonesia. Akar-akar historis keberadaan
pesantren di Indonesia dapat dilacak jauh ke belakang ke masa-masa awal
datangnya Islam di Nusantara. Pada masa-masa itu, pesantren tidak saja berperan
sebagai pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam tetapi juga memainkan
peranannya sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Pesantren
dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dalam arti bahwa ia dalam
menyelenggarakan pendidikan dan pengajarannya masih terikat secara kuat kepada
pemahaman, ide, gagasan, dan pemikiran-pemikiran ulama abad pertengahan.
Pesantren bukan sekedar merupakan fenomena lokal ke-Jawaan (hanya terdapat di
Jawa), akan tetapi merupakan fenomena yang juga terdapat di seluruh Nusantara.
Lembaga pendidikan sejenis pesantren ini di Aceh disebut dayah dan di
Minangkabau dinamakan surau.[5]
B. POLA LAMA DAN PROBLEMATIKA DUNIA PESANTREN SALAF
Sebagai lembaga
pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki kecenderungan untuk
mempertahankan tradisi yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli fiqh,
hadits, tafsir dan tasawuf yang hidup antara abad 7 sampai dengan abad 13,
sehingga muncul kesan yang melekat bahwa dalam beberapa hal, kaum muslim
tradisional mengalami stagnasi.
Hal yang paling urgen yang menjadikan kualitas pendidikan pesantren
jauh dari masa intelektualitas Islam pada masa bani Abbasiyyah adalah adanya
dikotomi ilmu pengetahuan. Ismail Rozi Al-Faruqi pernah mengungkapkan bahwa
faktor penyebab kelesuan intelektualisme Islam yaitu, proses penyempitan makna
fikih serta status fakih yang jauh berbeda dengan konsep fikih dan fakih para
pendiri madzab, pertentangan antara wahyu dan akal, keterpisahan kata dan perbuatan,
serta sekulerisme dalam memandang budaya dan agama.[6]
Mayoritas pesantren salaf di Indonesia juga masih tetap
mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab-kitab kuning
berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan (kitab kuning).
Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem halaqah (kelompok pengajian)
yang dilaksanakan di masjid atau surau. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya
kepada kyai pengasuh pondoknya.
Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir, ide, gagasan
para santrinya yang cenderung berfikir tradisional (klasik) yang masih
mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.
C.
REKONSTRUKSI
PEMIKIRAN PESANTREN SALAF
Menurut KBBI kata rekonstruksi berarti pengembalian
seperti semula. Dalam hal ini, upaya rekonstruksi pemikiran pesantren salaf
adalah sebagai proses pengembalian (manhaj al-fikriyyah) pemikiran
pesantren salaf dalam rangka untuk mengoptimalkan peran pendidikan Islam
seperti pada zaman keemasannya, zaman dinasti Abbasiyyah .[7]
Menurut hemat penulis yang dalam hal ini sesuai dengan
apa yang ada di dalam buku ”Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren”,
seharusnya sistem pendidikan pesantren melakukan upaya-upaya konstruktif agar
pesantren salaf tetap relevan dan mampu bertahan.[8] Dibawah
ini ada beberapa upaya konstruktif (untuk memodernisasi) dalam menyikapi
problematika pesantren :
Sebagaimana diketahui dalam hal kurikulum pendidikan,
selama ini pesantren salaf dalam sistem pengajarannya, meski telah menerapkan
sistem madrasi, masih berstandarkan acuan kitab-kitab kuning, tanpa diubah dan
dimodifikasi. Padahal dalam pendidikan seharusnya terdapat skala prioritas
penekanan dan pencapaian secara tepat.
Selain itu, pesantren salaf hendaknya mulai
mengembangkan wawasan pengetahuan agama santrinya hingga bidang pengetahuan
ilmu-ilmu al-Quran, Hadits, Ushul Fiqh, dan jika memungkinkan, menambahkan
porsi pengajaran bidang pengetahuan sejarah. Selama ini, pesantren salaf kurang
memberikan porsi memadai untuk ilmu-ilmu tersebut, atau dalam pencapaian target
pengajarannya kurang maksimal. Pesantren salaf memang terkesan Fiqh-Oriented,
kendati pun bidang pengetahuan bahasa Arab juga menjadi salah satu perhatian
utama, namun hal ini pun diajarkan sekedar sebagai instrumen pengantar untuk
memahami bidang pengetahuan Fiqh melalui kitab-kitab klasik, tidak lebih dari
itu.
Pendalaman bahasa Arab di pesantren salaf ternyata bukan
ditujukan sebagai sarana komunikatif atau muhadatsah baik secara aktif maupun
pasif. Sehingga tak heran, kalau banyak lulusan pesantren salaf yang mengalami
kesulitan jika berkomunikasi dengan bahsa Arab, meski bertahun-tahun belajar
Nahwu-Sharaf dan Balaghah.
Di sisi lain, pesantren salaf sangat kurang dalam hal
mengembangkan wawasan pengetahuan, pola-pola pembelajaran yang bisa menumbuhkan
daya inisiatif dan kreatif santri. Hal ini terlihat jelas ketika dalam
berfikir, santri-santri salaf selalu di doktrin dengan selalu menggunakan tradisi
pemikiran yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli fiqh, hadits, dan
tafsir ulama’-ulama’ madzhab pertengahan. Padahal, inilah penyebab utama
kelesuan intelektualisme Islam yaitu, proses penyempitan makna fikih serta
status fakih yang jauh berbeda dengan konsep para pendiri madzhab.
Dalam hal kebebasan berfikir, pesantren salaf juga masih
mendikte pemikiran para santrinya dengan dalih pintu ijtihad telah tertutup,
sehingga kecenderungan santri salaf untuk menjabarkan dan mengeksplorasi pengetahuan
agama dengan rasionalitas akal mereka sangatlah minim. Hal ini berbanding
terbalik dengan proses pendidikan masa Daulah Abbasiyyah
dimana ada kebebasan berfikir dan mengeksplorasi pemikiran guna penemuan dan
pengembangan ilmu-ilmu baru.
Oleh karena itu, dalam upaya rekonstruksi pemikiran
pesantren, hal yang paling urgen adalah melakukan sebuah inovasi pemikiran dari
pola pikir yang cenderung konservatif menjadi pola pikir yang bermetodologi.
Dari yang hanya mempelajari kitab-kitab klasik dari madzahib tertentu dan dari
pemikiran ulama’ pada masa lampau, menuju pembelajaran yang mengintegrasikan
antara ilmu agama, ilmu umum, dan juga ilmu pengetahuan kekinian.
Alangkah indahnya jika pesantren salaf memberikan
keleluasaan kepada santrinya dalam berfikir, menemukan dan mengembangkan ilmu
agama dengan rasionalitas akal mereka sendiri tanpa dibatasi oleh kungkungan
alasan tertutupnya pintu ijtihad. Dan akan sangat baik pula jika tradisi
intelektual pada masa Bani Abbasiyyah yaitu tradisi membaca, menulis, berdiskusi,
keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian, tidak ada diskriminasi dan
dikotomi ilmu pengetahuan, serta pengabdian akan keilmuan menjadi tradisi di
pesantren salaf.
Dari cara berfikir seperti inilah yang nantinya akan
mengubah stigma negatif pesantren salaf yang cenderung konservatif dan klasik menjadi
pesantren yang mampu menjawab berbagai problematika pemikiran dan sekaligus
mampu mengembalikan citra pesantren sebagai pusat peradaban intelektual Islam
sebagaimana halnya Bait al-Hikmah menjadi sumber lahirnya peradaban intelektual
Islam pada masa daulah bani Abbasiyyah.
III.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azumardi. "Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan",
Pengantar dalam
Nucholis Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta :
Paramida, 1997).
Daulay, Haidar Putra . Historisasi dan Eksistensi Pesantren, Sekolah,
dan Madrasah
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001).
Dhofier, Zamakhsyri . Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES,
1994).
Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,
Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan
Islam (Yogyakarta
: Gama Media,
2002).
Qardhawi, Yusuf. Meluruskan Sejarah Umat Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo
Persada, 2005).
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Suwendi, "Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa
Catatan", dalam
Pesantren Masa Depan,
[1] Yusuf Qardhawi, Meluruskan Sejarah Umat Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.123.
[2] Azumardi Azra, "Pesantren
: Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam Nucholis Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta : Paramida, 1997), xvi.
[3] Haidar Putra Daulay, Historisasi dan
Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2001), 9.
[4] Zamakhsyri Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 44.
[6] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,
Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta : Gama
Media, 2002), 5.
[8] Suwendi , "Rekonstruksi
Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa Catatan", dalam Pesantren Masa
Depan, 216.
No comments:
Post a Comment