Saturday, March 3, 2012

Rekonstruksi Pemikiran Pesantren Salaf dalam Masanya


I.                   PENDAHULUAN
Masa keemasan Daulah Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Baghdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M). Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan dan dengan karya-karyanya. Mulai dari aliran fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi, filsafat, sampai dengan bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai ilmu kedokteran.
Keberhasilan dalam bidang keilmuan tersebut disebabkan adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan.[1] Hal itu dapat ditunjukkan melalui antusias mereka dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama’, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, dan banyaknya perpustakaan atau tempat belajar yang dibuka yang kemudian menjadi sumber dan pusat intelektual Islam, salah satunya adalah Bait al-Hikmah.
Dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia, terdapat sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan yang lainnya yaitu pesantren. Di tinjau dari segi historisnya, Pesantren merupakan bentuk lembaga pribumi tertua di Indonesia. Pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia, pesantren terus berkembang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya.
Seiring pesatnya kemajuan zaman, tantangan yang dialami lembaga ini menurut pengamatan para ahli pun semakin lama semakin banyak, kompleks, dan mendesak. Ditengah derap kemajuan ilmu dan teknologi yang menjadi motor bergeraknya modernisasi, dewasa ini banyak pihak  merasa ragu terhadap eksistensi pesantren salaf. Keraguan itu dilatar belakangi oleh kecenderungan dari pesantren salaf untuk bersikap menutup diri terhadap perubahan di sekelilingnya dan sikap kolot dalam merespon upaya modernisasi.
Menurut Azyumardi Azra, kekolotan pesantren salaf dalam mentransfer hal-hal yang berbau modern itu merupakan sisa-sisa dari respon pesantren terhadap kolonial Belanda. Lingkungan pesantren salaf merasa bahwa sesuatu yang bersifat modern, yang selalu mereka anggap datang dari barat, berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama.[2] Oleh sebab itu, mereka melakukan isolasi diri terhadap sentuhan perkembangan modern sehingga membuat pesantren salaf dinilai sebagai penganut Islam tradisional.
Corak pesantren salaf seperti ini, yang identik dengan loyalitasnya terhadap tradisi keilmuan klasik dan keterasingannya dengan kemajuan zaman, memang sampel corak pesantren yang paling sering dikultuskan sebagai corak pesantren tertinggal. Beragam permasahan yang menjangkiti pesantren salaf memang berujung pada pertanyaan mendasar tentang seberapa besarkah relevansi pola pendidikan Islam tradisionalis serupa ini terhadap pesatnya tuntutan modernisasi dan besarnya persaingan institusi pendidikan Islam dewasa ini?
Menyadari hal itu, maka penulis berusaha untuk sedikit menggambarkan secerca gagasan yang di dapat dari sejarah peradaban Islam masa daulah Abbasiyyah yang dimana ummat Islam mampu mencapai The Golden Age (masa keemasannya) dalam berbagai bidang terutama bidang intelektual/ pendidikan. Gagasan penulis yaitu seputar tentang rekonstruksi pesantren (dalam hal manhaj al-fikriyyah) sebagai upaya konstruktif dalam sumbangsihnya untuk kemajuan bidang pendidikan di Indonesia.

II.                PEMBAHASAN

A.    SEKILAS TENTANG PESANTREN SALAF

a)      Pengertian
            Pesantren berarti suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat.[3] Zamakhsyari Dhofier menyebutkan lima elemen dasar dari tradisi pesantren, yaitu pondok, masjid, santri, pengajian kitab-kitab klasik, dan kyai.[4]
            Dinamika keilmuan pesantren sebagai fungsi kelembagaan memiliki tiga peranan pokok. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam. Ketiga, pembinaan calon-calon ulama.
b)      Sejarah Pesantren di Indonesia
            Pesantren dapat dianggap sebagai lembaga yang khas Indonesia dan berakar kuat di bumi Indonesia. Akar-akar historis keberadaan pesantren di Indonesia dapat dilacak jauh ke belakang ke masa-masa awal datangnya Islam di Nusantara. Pada masa-masa itu, pesantren tidak saja berperan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam tetapi juga memainkan peranannya sebagai pusat penyebaran agama Islam.
            Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dalam arti bahwa ia dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajarannya masih terikat secara kuat kepada pemahaman, ide, gagasan, dan pemikiran-pemikiran ulama abad pertengahan. Pesantren bukan sekedar merupakan fenomena lokal ke-Jawaan (hanya terdapat di Jawa), akan tetapi merupakan fenomena yang juga terdapat di seluruh Nusantara. Lembaga pendidikan sejenis pesantren ini di Aceh disebut dayah dan di Minangkabau dinamakan surau.[5]

B.     POLA LAMA DAN PROBLEMATIKA DUNIA PESANTREN SALAF

            Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki kecenderungan untuk mempertahankan tradisi yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tafsir dan tasawuf yang hidup antara abad 7 sampai dengan abad 13, sehingga muncul kesan yang melekat bahwa dalam beberapa hal, kaum muslim tradisional mengalami stagnasi.
Hal yang paling urgen yang menjadikan kualitas pendidikan pesantren jauh dari masa intelektualitas Islam pada masa bani Abbasiyyah adalah adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Ismail Rozi Al-Faruqi pernah mengungkapkan bahwa faktor penyebab kelesuan intelektualisme Islam yaitu, proses penyempitan makna fikih serta status fakih yang jauh berbeda dengan konsep fikih dan fakih para pendiri madzab, pertentangan antara wahyu dan akal, keterpisahan kata dan perbuatan, serta sekulerisme dalam memandang budaya dan agama.[6]
Mayoritas pesantren salaf di Indonesia juga masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab-kitab kuning berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan (kitab kuning). Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem halaqah (kelompok pengajian) yang dilaksanakan di masjid atau surau. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada kyai pengasuh pondoknya.
Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir, ide, gagasan para santrinya yang cenderung berfikir tradisional (klasik) yang masih mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.

C.     REKONSTRUKSI PEMIKIRAN PESANTREN SALAF
            Menurut KBBI kata rekonstruksi berarti pengembalian seperti semula. Dalam hal ini, upaya rekonstruksi pemikiran pesantren salaf adalah sebagai proses pengembalian (manhaj al-fikriyyah) pemikiran pesantren salaf dalam rangka untuk mengoptimalkan peran pendidikan Islam seperti pada zaman keemasannya, zaman dinasti Abbasiyyah .[7]
Menurut hemat penulis yang dalam hal ini sesuai dengan apa yang ada di dalam buku ”Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren”, seharusnya sistem pendidikan pesantren melakukan upaya-upaya konstruktif agar pesantren salaf tetap relevan dan mampu bertahan.[8] Dibawah ini ada beberapa upaya konstruktif (untuk memodernisasi) dalam menyikapi problematika pesantren :
Sebagaimana diketahui dalam hal kurikulum pendidikan, selama ini pesantren salaf dalam sistem pengajarannya, meski telah menerapkan sistem madrasi, masih berstandarkan acuan kitab-kitab kuning, tanpa diubah dan dimodifikasi. Padahal dalam pendidikan seharusnya terdapat skala prioritas penekanan dan pencapaian secara tepat.
Selain itu, pesantren salaf hendaknya mulai mengembangkan wawasan pengetahuan agama santrinya hingga bidang pengetahuan ilmu-ilmu al-Quran, Hadits, Ushul Fiqh, dan jika memungkinkan, menambahkan porsi pengajaran bidang pengetahuan sejarah. Selama ini, pesantren salaf kurang memberikan porsi memadai untuk ilmu-ilmu tersebut, atau dalam pencapaian target pengajarannya kurang maksimal. Pesantren salaf memang terkesan Fiqh-Oriented, kendati pun bidang pengetahuan bahasa Arab juga menjadi salah satu perhatian utama, namun hal ini pun diajarkan sekedar sebagai instrumen pengantar untuk memahami bidang pengetahuan Fiqh melalui kitab-kitab klasik, tidak lebih dari itu.
Pendalaman bahasa Arab di pesantren salaf ternyata bukan ditujukan sebagai sarana komunikatif atau muhadatsah baik secara aktif maupun pasif. Sehingga tak heran, kalau banyak lulusan pesantren salaf yang mengalami kesulitan jika berkomunikasi dengan bahsa Arab, meski bertahun-tahun belajar Nahwu-Sharaf dan Balaghah.
Di sisi lain, pesantren salaf sangat kurang dalam hal mengembangkan wawasan pengetahuan, pola-pola pembelajaran yang bisa menumbuhkan daya inisiatif dan kreatif santri. Hal ini terlihat jelas ketika dalam berfikir, santri-santri salaf selalu di doktrin dengan selalu menggunakan tradisi pemikiran yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli fiqh, hadits, dan tafsir ulama’-ulama’ madzhab pertengahan. Padahal, inilah penyebab utama kelesuan intelektualisme Islam yaitu, proses penyempitan makna fikih serta status fakih yang jauh berbeda dengan konsep para pendiri madzhab.
Dalam hal kebebasan berfikir, pesantren salaf juga masih mendikte pemikiran para santrinya dengan dalih pintu ijtihad telah tertutup, sehingga kecenderungan santri salaf untuk menjabarkan dan mengeksplorasi pengetahuan agama dengan rasionalitas akal mereka sangatlah minim. Hal ini berbanding terbalik dengan proses pendidikan masa Daulah Abbasiyyah dimana ada kebebasan berfikir dan mengeksplorasi pemikiran guna penemuan dan pengembangan ilmu-ilmu baru.
Oleh karena itu, dalam upaya rekonstruksi pemikiran pesantren, hal yang paling urgen adalah melakukan sebuah inovasi pemikiran dari pola pikir yang cenderung konservatif menjadi pola pikir yang bermetodologi. Dari yang hanya mempelajari kitab-kitab klasik dari madzahib tertentu dan dari pemikiran ulama’ pada masa lampau, menuju pembelajaran yang mengintegrasikan antara ilmu agama, ilmu umum, dan juga ilmu pengetahuan kekinian.
Alangkah indahnya jika pesantren salaf memberikan keleluasaan kepada santrinya dalam berfikir, menemukan dan mengembangkan ilmu agama dengan rasionalitas akal mereka sendiri tanpa dibatasi oleh kungkungan alasan tertutupnya pintu ijtihad. Dan akan sangat baik pula jika tradisi intelektual pada masa Bani Abbasiyyah yaitu tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian, tidak ada diskriminasi dan dikotomi ilmu pengetahuan, serta pengabdian akan keilmuan menjadi tradisi di pesantren salaf.
Dari cara berfikir seperti inilah yang nantinya akan mengubah stigma negatif pesantren salaf yang cenderung konservatif dan klasik menjadi pesantren yang mampu menjawab berbagai problematika pemikiran dan sekaligus mampu mengembalikan citra pesantren sebagai pusat peradaban intelektual Islam sebagaimana halnya Bait al-Hikmah menjadi sumber lahirnya peradaban intelektual Islam pada masa daulah bani Abbasiyyah.






III.             DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi. "Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam
Nucholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan  (Jakarta :
Paramida, 1997).
Daulay, Haidar Putra . Historisasi dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001).
Dhofier, Zamakhsyri . Tradisi Pesantren, Studi Tentang  Pandangan Hidup Kyai
(Jakarta: LP3ES, 1994).
Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta : Gama Media,
2002).
Qardhawi, Yusuf. Meluruskan Sejarah Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005).
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Suwendi, "Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa Catatan", dalam
Pesantren Masa Depan,



[1] Yusuf Qardhawi, Meluruskan Sejarah Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.123.
[2]  Azumardi Azra, "Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam Nucholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan  (Jakarta : Paramida, 1997), xvi.
[3]  Haidar Putra Daulay, Historisasi dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 9.
[4]  Zamakhsyri Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang  Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 44.
[5] Ibid., 106.
[6] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta : Gama Media, 2002), 5.
[7]  Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia
[8] Suwendi , "Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa Catatan", dalam Pesantren Masa Depan, 216.

No comments:

Post a Comment