Ustad
Mokhammad Nafi’
Oleh:
Ainul Yaqin, Rachmat Fatahillah, Ahmad Said
Ainul Yaqin, Rachmat Fatahillah, Ahmad Said
A.
PENDAHULUAN
Persatuan Indonesia adalah bunyi
sila ke 3 dari pancasila. Ini dimaksudkan karena di negara kita kaya akan suku,
budaya, dan ras. Dalam hal ini, diharapkan fiqh sebagai ilmu yang bersifat
praktis mampu tampil dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia sebagai etika
sosial, yang dalam pelaksanaannya tidak boleh mengancam tatanan harmonitas
sosial masyarakat Indonesia. Karena Pemahaman fiqh ditengah-tengah masyarakat
sangat formalistik dan sering mengundang orang untuk melakukan
hillah (manipulasi) terhadapnya. Hal ini dikarenakan dalam proses pengembangan
kerangka teoritiknya, fiqh terpisah dari etika. Dengan demikian fiqh
benar-benar sejalan dengan fungsinya sebagai pembimbing sekaligus pemberi
solusi atas permaslahan kehidupan praktis baik kehidupan pribadi maupun
kehidupan sosial.
Menghadapi
realitas sosial yang disertai perubahan masyarakat yang begitu cepat dari
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dampaknya juga ikut
mempengaruhi sosial keagamaan baik dalam aspek akidah maupun muamalah yang
kadang-kadang belum diketahui hukumnya atau sudah diketahui namun masyarakat
umum belum mengatahuinya. Maka diperlukan kemampuan untuk mengkontekstualkan
teks-teks fiqh dalam segi kehidupan sosial Indonesia secara menyeluruh terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul.
Oleh
karena itu, di dalam makalah yang ada dihadapan pembaca ini, penulis akan
menyampaikan beberapa hal yang perlu diketahui terkait untuk
menginterpretasikan teks-teks fiqh secara kontekstual. Beberapa hal tersebut adalah
definisi, pentingnya kontekstualisasi, prosedur-prosedur,
dan contoh permasalah.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Kontekstual
Istilah konteks, kontekstual, kontekstualisasi sesungguhnya
telah banyak diakrabi dunia pesantren. Namun konsep itu tetap meletakkan
teks-teks kitab kuning sebagai suatu kebenaran yang berlaku dalam segala ruang
dan waktu. Seperti judul buku yang ditulis oleh sebagian komunitas pesantren
“fikih kontekstual “ yang berisikan penjelasan istilah ukuran-ukuran berat,
lebar dan panjang sepeti mud ,
farsakh, mil, rithel, sha’ dan lain-lain
disesuaikan dengan ukuran-ukuran yang dikenal di Indonesia, seperti ons,
kilogram, meter dan seterusnya. Jadi kontekstualisasi menurut pengertian di
atas adalah menyesuaikan teks-teks kitab kuning dalam konteks yang berbeda dengan tetap mempertahankan konsep dasarnya. Menurut kamus KBBI V.1.1 adalah suatu uraian
atau kalimat yg dapat mendukung atau menambah kejelasan makna[1]
Pengertian di atas berbeda dengan makna
kontekstualisasi yang diberikan oleh sebagian sarjana muslim. Bagi mereka
kontekstualisasi adalah upaya memberikan konteks terhadap teks-teks keagamaan
dalam konteks sosial budaya, ekonomi, politik seperti apa ia dilahirkan,
terutama teks-teks yang dinilai diskriminatif dan membenarkan tindakan
kekerasan terhadap kelompok lain. Kontekstualisasi dalam pengertian yang kedua
ini meniscayakan pembaca saat ini mampu memposisikan teks-teks klasik dalam konteks sosial-budaya seperti apa ia ditulis,
dihayati dan dipahami oleh pengarang dan pembaca lama.
Dalam keputusan
Munadharah “Pengembangan al-Ulum al-Diniyyah Melalui Telaah Kitab Secara Kontekstual (Siyaqi)” di PP. Watucongol, Muntilan,
Magelang, 15-17 Desember 1988, dijelaskan bahwa ta’rif
pemahaman
kitab
kuning
secara
kontekstual adalah Pertama, suatu proses pemahaman kutab kuning yang mengacu kepada
kenyataan syakhshiyyah maupun ijtima’iyyah yang
melatarbelakangi kehadirannya; Kedua,
upaya memahami kitab kuning
yang tidak terbatas
pada makna-makna harfiyah, tetapi mampu menyentuh
natîjah-natijah pemikiran yang menjadi jiwanya; Ketiga, proses belajar dan mengajar kitab kuning yang mengacu kepada kegunaan praktis dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, tajdid fahm al-syari’ah adalah suatu upaya menjabarkan
ajaran Islam, sesuai dengan
tuntutan kondisi yang terus berubah
untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik di dunia maupun di akhirat dengan malalui al-kutub al- mu’tabarah.
Ta’rif
ini ditetapkan karena didasarkan pada pemahaman bahwa syari’at Islam sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sesuai dan dapat mengatasi segala dhurf, sementara
pemikiran
manusia sebagai penjabaran pelaksanaannya
terikat oleh suatu dhuruf. Maka fungsi kitab
kuning dalam konteks
ini seharusnya adalah menjadi suatu wacana yang mampu
membuktikan
kedudukan
al-Qur`an
sebagai tibyanan li kulli syai` dalam kehidupan manusia yang selalu berubah. Itsbat al-tsawabit wa taghyiyr al-mutaghayyirat dengan demikian harus diterapkan; artinya ajaran Islam yang bersifat qath’iy
akan tetap, tidak mengalami perubahan, sementara ajaran Islam yang merupakan produk
ijtihad selalu dimungkinkan untuk
mengalami perubahan[2].
Secara
umum dapat dikatakan bahwa
hampir seluruh ulama menggunakan metode kajian kontekstual, walaupun
dengan intensitas penggunaan yang berbeda- beda. Mungkin
hanya penganut aliran al-Dhahiriyyah yang ditokohi oleh Dawd al- Isfahaniy (202-270 H.) dan Ibn
Hazm al-Andalusiy (384-456 H.) yang
dapat
dikecualikan dari keumuman ini. Karena
pada prinsipnya hampir dapat dikatakan bahwa aliran al-Dhahiriyyah mengabaikan penalaran sama sekali.[3]
2.
Pentingnya Kontekstualisasi
Fiqih merupakan wilayah aplikasi praktis di dalam
hukum islam. Yang perlu di perhatikan dalam fikih adalah bagaimana ia bisa di
baca secara kontekstual sesuai dengan realitas permasalahan umat atau problem kerakyatan.
Di samping merupakan wilayah aplikasi praktis,
fiqih juga merupakan hasil olah pikir para ulama dalam mengakselerasikan
nash-nash dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Karena fiqih merupakan hasil olah pemikiran para mujtahid, maka fiqh itu
sendiri akan selalu berkembang sesuai dengan dinamika dan tuntutan masyarakat.
Sebagai sebuah karya ilmiyah, kitab fiqih (alkutub
‘ibrah) tentu haruslah di hargai dan juga penulisnya patut untuk di hormati
serta hasil ijtihadnya perlu untuk di ikuti
dan di dukung. Akan tetapi ada satu hal yang perlu di perhatikan sebagai
sebuah karya ilmiyah, fiqih bukanlah kitab yang tidak perlu untuk di sakralkan
dan pengarangnya harus di kultuskan dan hasil ijtihadnya tidak tabu untuk di
persoalkan. Sebagai sebuah karya ilmiyah dan juga hasil produk manusia,
tentunya wajar jika di kemudian hari di temukan hal-hal yang dirasa tidak
relevan dengan perkembangan zaman yang amat cepat lantaran di pacu oleh
kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan juga kecanggihan teknologi[4].
Untuk menjawab semua permasalahan-permasalahan
masyarakat yang semakin kompleks tersebut, para mujtahid (warga NU) merubah
pola berpikirnya yang semula hanya memahami kitab fiqih secara tekstual semata
dirubah dengan memahami kitab fiqih secara kontekstual, khususnya berkenaan
dengan pola istinbath hukum melalui forum Bahtsul Masail[5].
Menanggapai kontekstualitas fiqih ini, ada sebuah
pernyataan yang di lontarkan oleh kiai Wahab ketika berdebat dengan kiai Bisri.
Pernyataan tersebut yakni “pekih iku nek rupek yo diokeh-okeh” maksudnya
fiqih itu kalau sempit ya diupayakn agar longgar[6].
Pernyataan yang dilontarkan kiai Wahab di atas
seakan sederhana tapi mengandung nilai filosofis yang tinggi. Hal ini
dimaksudkan karena fiqih sendiri merupakan produk ijtihad. Karena ia merupakan
produk ijtihad maka dia bukanlah barang sakral dan juga suci yang tidak boleh
di ubah meskipun situasi sosial budaya telah berubah.
Gagasan mengenai pengkontekstualisasian kitab
fiqih ini bukan berarti kita meninggalkan dan menanggalkan kitab fiqih secara
mutlak. Akan tetapi kita memamahami kitab fiqih tersebut dengan
mengintregasikanya dengan disiplin ilmu lainya. Bila itu semua sudah di lakukan
maka kehidupan kita ini akan dijiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak
menyimpang dari rel fiqih itu sendiri[7].
Hal lain yang tak kalah pentingnya kenapa
kontekstualisasi kitab fiqih penting karena pertama, adanya perubahan sistem sosial budaya. Kedua terjadinya realitas kepentingan umat. Ketiga
adanya temuan baru dalam iptek. Keempat adanya tantanga baru yang
dihadapi umat islam[8].
Melihat kenyataan semakin kompleksnya problematika
fikih dan memerlukan solusi atau jawaban yang tidak sekedar hanya mengacu pada
tekstualitas bermazhab (alkutub ‘ibrah) secara kaku. Maka disinilah
perlunya pendekatan (pendekatan kontekstual) baru terhadap masalah yang lebih
kontekstual dan argumentasi yang lebih rasional, sehingga memenuhi harapan dan
kemaslahatan masyarakat sekarang.
3.
Prosedur-Prosedur Kontekstualisasi
Mengutip gagasan yang disampaikan A. Mukti Ali yang dikutib dalam
buku “Fiqh Sosial kiai Sahal Mahfudh” dikatakan bahwa untuk mencetak santri
sekaliber Kiai Sahal diperlukan santri yang benar-benar mampu mengintegrasikan
beberapa kemampuan, yaitu pertama mengetahui khazanah keilmuan zaman
dulu yang terangkum dalam sejarah, kedua ilmu filsafat untuk menemukan
esensi dan substansi dari seluruh bangunan ilmu, ketiga metodologi agar
mampu mengolah konsep-konsep lama menjadi relevan dan aktual, dan keempat
bahasa (minimal bahasa arab dan inggris) supaya mampu mengkaji
literatur-literatur Islam yang untuk saat ini banyak ditulis dalam kedua bahasa
tersebut.[9]
Hal di atas juga diperkuat oleh Azizi yang menurutnya ada beberapa
tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mengembalikan kodrat hukum Islam
yakni :
Pertama hukum Islam
yang merupakan hasil karya fuqaha masa lalu yang selama ini ditempatkan di satu
sisi sebagai doktrin hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya.
Sehingga doktrin yang mungkin dianggap “sakral” tersebut menjadi sesuatu
yang “profan” dapat disentuh akal dan diinterpretasi ulang.
Kedua melihat hasil
ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi lebih hidup dan mempunyai
nilai. Berbicara mengenai hasil ijtihad, meskipun tetap disebut hukum Islam
tentu tidak lepas dari pengaruh subjektivitas pelaku ijtihad berserta
lingkungan yang melingkupinya. Oleh karena itu, usaha kontekstualisasi terhadap
hasil ijtihad ulama masa lalu mestinya menjadi suatu keharusan. Kajian seperti
ini tidak cukup hanya dengan membaca teks dari hasil ijtihad tersebut yang
tertulis dalam al-kutub ‘ibrah.
Namun harus dibarengi dengan kajian yang serius terhadap aspek sejarah dan
sosial yang melingkupi mujtahid ketika itu serta kajian metodologi yang
digunakan dalam menghasilkan keputusan hukum Islam. Dalam hal ini, pendekatan
sejarah, terlebih sejarah sosial dan sosiologi menjadi sangat penting. Di
samping itu, perlu dikaji tentang sejarah hidup para mujtahid terutama sekali
yang berkaitan dengan pemikiran hukumnya.
Ketiga setelah mampu
melakukan kontekstualisasi, barulah akan mampu mengadakan reaktualisasi. Ini
harus dilandasi dengan kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad tersebut
dan bukan penolakan terhadapnya. Setelah itu baru dilanjutkan dengan
reinterpretasi dan pada waktunya akan ada tuntutan untuk mereformasi terhadap
ajaran pada tataran praktis yang merupakan pemahaman para mujtahid terhadap
wahyu. Di sini berarti harus terjadi historical continuity dalam
mempelajari hokum Islam secara akademik.
Keempat perlunya
kajian hukum Islam yang melibatkan disiplin ilmu lain atau meneliti hukum Islam
yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau
multidisipliner. Ilmu bantu ini mutlak diperlukan dalam rangka mendekatkan
hukum pada konteks yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
sekarang[10].
Sedangkan di dalam warga NU (khususnya di dalam kajian bahstul masa’il)
telah menerapakan beberapa prosedur atau tahapan-tahapan agar ilmu fiqh dapat
tampil sebagai solusi penyelesaian problematika yang terjadi dalam segala segi
kehidupan masyarakat dengan tepat guna. Prosedur-prosedur tersebut yakni :
a.
Prosedur
Penjawaban Masalah
Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam
kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab 4 yang telah disepakati dan
mengutamakan bermadzhab secara qauli[11].
Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai
berikut:
1)
Suatu
kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh
‘ibarat kitab[12]
dan di sana hanya terdapat 1 qaul[13]/
wajah[14],
maka dipakailah qaul sebagaimana diterangkan dalam ‘ibarat tersebut
2)
Suatu
kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat
lebih dari 1 qaul/ wajah, maka dilakukan taqrir jam’i[15]
untuk memilih satu qaul/ wajah
3)
Suatu
kasus tidak ada qaul/ wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka
dilakukan prosedur ilhqul masa’il bi nadha’iriha[16]
secara jama’i oleh para ahlinya
4)
Suatu
kasus tidak ada qaul/ wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka
bisa dilakukan istinbath[17],
jama’i deangan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya.[18]
b.
Prosedur
Pemilihan Qaul/Wajah
1)
Ketika
dijumpai beberapa qaul/ wajah dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan
usaha memilih salah satu pendapat
2)
Pemilihan
salah satu pendapat dilakukan:
a)
Dengan
memilih pendapat yang lebih mashlahat dan/atau yang lebih kuat
b)
Sedapat
mungkin dengan menjalankan ketentuan muktamar NU ke I, bahwa perbedaan pendapat
diselesaikan dengan memilih : pertama Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syaikhani (an-Nawawi dan
ar-Rafi’i) Kedua Pendapat yang
dipegangi oleh an-Nawawi saja. Ketiga Pendapat
yang dipegangi oleh ar-Rafi’i saja. Keempat Pendapat
yang didukung oleh mayoritas ulama. Kelima Pendapat
ulama yang terpandai Keenam Pendapat ulama yang paling wara’
c.
Prosedur
Ilhaq
Ketika ada suatu masalah/ kasus yang belum dipecahkan dalam kitab,
maka kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul masail bi nazha’iriha
secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih
dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
d.
Prosedur
Istinbath
Ketika ada suatu masalah yang tidak memungkinkan dilakukan ilhaq
karena tidak adanya mulhaq bih dan wajhul ilhaq sama sekali di dalam kitab,
maka dilakukan istinbath secara jama’i, yaitu dengan mempraktekkan qawaid
ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah oleh para ahlinya.[19]
4.
Contoh Permasalahan
a.
Contoh Pemahaman
Tekstual
Muktamar
NU ke VIII (Jakarta, 5-7 Mei 1933) memutuskan mengenai zakatnya orang
memelihara ikan dalam tambak yang biasanya dipanen dua kali setahun. Kalau
sewaktu membeli bibit ikan dan tambaknya untuk berdagang, yakni sengaja akan
dijual lagi dengan keuntungan, maka kewajiban memberi zakat itu dalam akhir
tahun. Jika membelinya kolam untuk dimiliki atau menyewa dan membeli bibit ikan
untuk berdagang, maka hanya berkewajiban membayar zakat tijarahnya ikan
saja dalam akhir tahun (terhitung mulai membeli bibit). Hal ini merujuk pada
kitab al-Jamal ‘al-Fathul al-Wahhab
juz II/264-265[20] .
فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب - (1 / 194)
(و) الواجب (فيما ملك بمعاوضة) مقرونة
(بنية تجارة) وإن لم يجددها في كل تصرف (كشراء وإصداق) وهبة بثواب واكتراء لا كإقالة
ورد بعيب وهبة بلا ثواب واحتطاب لانتفاء المعاوضة (ربع عشر قيمته.
تحفة المحتاج بشرح المنهاج - (2 / 355)
"وإنما يصير العرض للتجارة إذا
اقترنت نيتها بكسبه بمعاوضة"
حواشي الشرواني والعبادي - (3 / 295)
(إذا اقترنت نيتها الخ) أي نية التجارة
بهذا العرض بكسب ذلك العرض وتملكه بمعاوضة وتقدم أيضا أن التجارة تقليب المال بالتصرف
فيه بنحو البيع لطلب النماء فتبين بذلك أن البزر المشترى بنية أن يزرع ثم يتجر بما
ينبت ويحصل منه كبزر البقم لا يكون عرض تجارة لا هو ولا ما نبت منه أما الاول فلان
شراءه لم يقترن بنية التجارة به نفسه بل بما ينبت منه وأما الثاني فلانه لم يملك بمعاوضة
بل بزراعة بزر القنية ولا يقاس البذر المذكور على نحو صبغ اشترى ليصبغ به للناس بعوض
لان التجارة هناك بعيد الصبغ المشرى لا بما ينشأ منه بخلاف البذر المذكور.
Keputusan diatas seakan diperkuat oleh tiga
keputusan dalam Munas Alim Ulama NU (Cilacap, 15-17 Nopember 1987), yang
memutuskan, bahwa berternak ikan bandeng untuk keperluan sehari-hari tidak
wajib dizakati, sebab tidak memenuhi persyaratan zakat tijaroh. Adapun contoh
perternakan hewan bukan zakawi tetapi wajib dizakati adalah perternakan bandeng
dengan disengaja diperdagangkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang lain.
b.
Contoh Pemahaman
Kontekstual
Keputusan di atas walaupun didasarkan pada teks-teks
al-kutub al-mu’tabarah, namun ada tiga pertanyaan prinsip yang harus di
jawab:
a)
Kapan kitab-kitab rujukan tersebut ditulis?
Dari
kitab-kitab rujukan tentang harta kena zakat tersebut, yang tertua adalah kitab
yang disusun pada abad 11 M, yakni al-Muhadzab karya Abu Ishaq Ibrahim
bin Ali bin Yusuf bin Abdullah al-Fairuzzabady asyairazy (w. 476 H/ 1083M),
sedang yang termuda adalah kitab yang disusun pada abad 18 M, yaitu al-Hawasyi
al-Madaniyah karya Sulaiman al-Kurdy (w. 1194 H/ 1780 M ) saat ini abad 21 M, yang berarti kitab
rujukan termuda telah berusia 200 tahun lebih.
Apalagi yang
tertua, sampai sekarang telah berusia 900 tahun lebih. Padahal kitab-kitab tersebut, walau
berdasarkan nash misalnya, tetaplah produk nalar dan kreasi manusia yang
tentative (bersifat sementara) dan tentunya mengandung
keterbatasan-keterbatasan.
Ayat al-Qur’an dan as-Sunnah yang produk wahyu saja,
menurut jumhur ulama ada beberapa yang mansukh, apalagi kitab hasil karya nalar
manusia tentu berhak, berpotensi dan bahkan harus dipertimbangkan untuk
diadakan peninjauan kembali sesuai sifat tentative dan keterbatasannya.
Terlebih bila dikaitkan dengan perubahan zaman, kultur, dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang secara signifikan membedakan abad 21 dengan abad
sebelumnya, apalagi abad 18 dan 11 M.
b)
Apa tujuan pokok disyari’atkannya zakat?
Secara garis besar tujuan pokok syariat Islam
adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Demikian pula
disyari’atkannya zakat tentu memiliki tujuan, baik yang bersifat umum atau
khusus, antara lain: menjembatani jurang pemisah antara yang miskin dengan yang
kaya, mewujudkan solidaritas/kesetiakawanan sosial, memelihara harta dari
incaran penjahat, membantu fakir miskin dan yang membutuhkan, membersihkan diri
dari penyakit tamak dan kikir, serta merupakan ekspresi rasa syukur akan nikmat
yang telah diterima.
c)
Apa dasar pertimbangan penetapan harta kena
zakat oleh Rasulullah SAW?
Pada hakikatnya harta kena zakat itu berdasarkan nas,
yaitu emas, perak, hasil perdagangan, dll. Namun apakah dalil nas
itu demikian ketat, kaku, dan baku tanpa ada peluang penafsiran, adaptasi, dan
bahkan modifikasi? Jelas tidak, karena penetapan nas mengenai harta kena
zakat itu adalah atas dasar representasi pencaharian atau penghasilan utama dan
potensi kekayaan waktu itu, dan bukan berdasarkan jenis dan macam penghasilan
ataupun pekerjaan yang tersurat dalam nas. Jadi penetapan harta kena
zakat tersebut bukan karena statusnya sebagai makanan pokok tapi karena sebagai
penghasilan pokok, dan bukan karena jenis pekerjaannya tapi karena potensi
hasil pekerjaan tersebut. Argumen dari wawasan tersebut adalah firman Allah
SWT:
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
(#qà)ÏÿRr&
`ÏB
ÏM»t6ÍhsÛ
$tB
óOçFö;|¡2
!$£JÏBur
$oYô_t÷zr&
Nä3s9
z`ÏiB
ÇÚöF{$#
(
wur
(#qßJ£Jus?
y]Î7yø9$#
çm÷ZÏB
tbqà)ÏÿYè?
NçGó¡s9ur
ÏmÉÏ{$t«Î/
HwÎ)
br&
(#qàÒÏJøóè?
ÏmÏù
4
(#þqßJn=ôã$#ur
¨br&
©!$#
;ÓÍ_xî
îÏJym
ÇËÏÐÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.(QS. Al-Baqarah: 267)
Kata ما
dalam óOçFö;|¡2 $tB dan
ÇÚöF{$# z`ÏiB
Nä3s9 $oYô_t÷zr& !$£JÏBur termasuk kata yang menunjukkan pegertian umum, artinya
“apa saja” yang berarti hasil apa saja dari usaha baikmu (termasuk gaji, honor,
budidaya jangkrik dan lain-lain) dan hasil bumi apa saja yang kamu peroleh
(termasuk tebu, cengkih dan sebagainya), asal telah memenuhi persyaratan zakat,
maka wajiblah dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Adapun sabda Nabi SAW yang
terkait dengan harta kena zakat harus difahami sebagai penjelasan terhadap
keumuman ayat diatas sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu, dan bukalah
pembatasan, bukan pula harga mati.
Berdasarkan uraian di
atas dapat ditegaskan, bahwa harta kena zakat dapat dan bahkan harus
dikembangkan macamnya, baik menyangkut hasil pertanian, peternakan, profesi,
maupun jasa dan sebagainya, dengan bertumpu pada pertimbangan potensi
penghasilan dan peluang kekayaan, sehingga tercapailah tujuan pokok disyari’atkannya
zakat.[21]
C.
KESIMPULAN
Perubahan paradigma dalam memandang
fiqh memang merupakan suatu keharusan. Sebab fiqh tampil bukan hanya sebagai
alat pengukur kebenaran, akan tetapi diharuskan mampu tampil sebagai alat
pembaca realitas sosial dan kemudian dapat mengambil sikap dan tindakan
tertentu atas realitas sosial yang ada. Sehingga nantinya fiqh memiliki fungsi
ganda; pertama sebagai alat pengukur realitas sosial, dan kedua sebagai alat
rekayasa sosial. Untuk dapat mewujudkan kedua fungsi tersebut, maka langkah
pertama yaitu penalaran produk atau perangkat yang dimiliki fiqh untuk dikembangkan
secara kontekstual, dan selanjutnya dikembangkan dengan model pengembangan
madzhab qauli ataupun manhaji.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani. Jamal Makmur.
2007. Fiqh sosial Kiai Sahal Mahfudh (antara Konsep
dan Implementasi)<.span>. Surabaya: Khalista.
Azizy. A. Qodri A. 2003. Reformasi
Bermazhab (Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik) Modern. Jakarta
: Teraju.
http://fk3stain.blogdetik.com/index.php/2009/06/24/kontekstualisasi-kitab-kuning-di-era-global/ 1.09 pm 21-4-2011
Mahfudh. Sahal. 2004. Nuansa
Fiqih Sosial. Yogyakarta : Lkis.
Masyhuri. Imam Ghazali
(edit). 2006. Ahkamul Fuqoha. Surabaya: Diantama.
Masyhuri.Aziz. 1977. Ahkamul Fuqoha.
Surabaya : Dinamika Press.
Natsir. Ridwan edit.
2006. Dialektika Islam Dengan Problem Kontemporer. Surabaya : IAIN press
dan Lkis.
Wahid. Abu Moqsin Ghazali dan Marzuki. Pendekatan
Kontekstual Terhadap al-Muhazzab al-Syairazi. Pdf. 23-4-2011. 21.00
Zahroh. Muhammad
Abu. t.t Tarikh al
Madzahib al islamiyah. Beirut: Dar al Fikr al-'Araby.
[1] KBBI V.1.1
[2] Abu Moqsin Ghazali dan Marzuki Wahid. Pendekatan
Kontekstual Terhadap al-Muhazzab al-Syairazi. Pdf. 23-4-2011. 21.00
[3] Muhammad Abu Zahroh. t.t Tarikh
al Madzahib al islamiyah. Beirut: Dar
al Fikr al -'Araby. Hlm. 544.
[4] Ridwan Natsir edit. 2006. Dialektika Islam Dengan
Problem Kontemporer. Surabaya : IAIN press dan Lkis. Hlm. 136
[5]
Berkaitan dengan reformasi metodologis ini, pada Munas NU di Bandar Lampung
1992 telah ditetapkan tiga rumusan metode istinbath hukum bagi NU, yaitu metode
qauly, metode ilhaqy dan metode manhaji. Lihat Ahkamul
Fuqoha. Surabaya : Diantama. Hlm. 630
[6] Ibid.
Hlm. 18
[7] Sahal Mahfudh.
2004. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta : Lkis. Hlm. 38
[9] Jamal Makmur
Asmani. 2007. Fiqh sosial Kiai Sahal Mahfudh (antara Konsep dan Implementasi). Surabaya: Khalista. Cet. I. Hlm 231.
[10] A.
Qodri A. Azizy. 2003. Reformasi Bermazhab (Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad
Sesuai Saintifik) Modern. Jakarta : Teraju.
Hlm.73-76
[11] Mengikuti
pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab tertentu. Sedangkan
bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan
kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.
[12] Al-kutub
al-mu’tabarah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah
ahlussunnah wal jamaah
[13] Pendapat imam
madzhab
[14] Pendapat ulama
madzhab
[15] Upaya secara
kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/ wajah.
[16] Menyamakan
khukum dari suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus serupa yang
telah dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”)
[17] Mengeluarkan
hukum syara’ dari dalilnya dengan qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah.
No comments:
Post a Comment