PEMIKIRAN TASAWUF
AL-HALLAJ
Oleh: Imam Syafi’i[1]
BAB I PENDAHULUAN
Islam sebagai agama atau ajaran yang
tidak hanya mengajarkan masalah-masalah ekstrenal dalam membimbing manusia
untuk mengetahui jalan hidup yang harus dilalui, tapi juga mengajarkan hal-hal
yang bersifat internal dalam sisi-sisi humanis dengan teologi dan
implementasinya, telah di interpretasikan oleh pemeluknya dengan berbagai
wacana dan pergulatan pemikiran yang sangat beragam.
Dalam khasanah pemikiran Islam muncul
berbagai corak pemikiran tentang keIslaman. Sejak timbulnya klasifikasi ilmu
pengetahuan dalam tradisi keilmuan Islam mulai abad IV, memunculkan berbagai
variasi wacana dan tindakan oleh pemikir-pemikir Islam, mujtahid.
Sehinga pada masa awal kemunculanya sering menimbulkan berbagai gesekan dan
pertarungan wacana yang tidak sehat, dikarenakan belum terbiasanya masyarakat
muslim waktu itu. Masa sebelumnya umat Islam terbiasa dengan kehidupan dan
budaya keberagamaan yang paternalistik, tokoh-tokoh yang memang masih memiliki
kedekatan keilmuan dengan sumber aslinya atau legislator ajaran (nabi), sehinga
keragu-raguan dan probabilitas kesalahan masih bisa ditekan sedemikian rupa dan
kemurnian ajaran juga masih bisa terjaga.
Salah satu pemikiran yang paling rawan
dalam konflik adalah pemikiran-pemikiran Tasawuf. Setelah abad IV hijriah setelah kemapanan ilmu fiqh
dan dalam perkembanganya ada kelompok-kelompok tertentu yang menyalahgunakan
hukum legal formal ini, munculah pemikiran-pemikiran Tasawuf yang memiliki
corak dan ajaran yang berbeda-beda sebagai counter dari gejala tersebut.
Pembahasan tentang ilmu Tasawuf memang
suatu pembahasan yang membutuhkan pendalaman yang lebih cermat dan hati-hati.
Ilmu ini berbeda dengan ilmu-ilmu eksak yang lebih menitikberatkan pembahasanya
pada hal-hal yang bersifat materi atau fisik, pembahasan Tasawuf adalah
pembahasan yang banyak berkutat dengan hal-hal yang metafisik. Sehinga
dibutuhkan penguasaan metodologi dan pengalaman langsung untuk memudahkan kita
menjelaskan apa yang sebenarnya dialami tokoh-tokohnya saat menuangkan gagasan
dan tindakanya sebagai manifestasi keyakinanya.
Dalam makalah simpel ini penulis
mecoba menguraikan sedikit tentang pemikiran dan ajaran Tasawuf versi al Hallaj
yang sangat kontroversial, wahdatu al wujud. Pembahasan kita meliputi
biografi dan corak ajaran beliau. Semoga dari apa yang penulis akan paparkan
bisa menambah wawasan kita tentang masalah-masalah spiritual keagamaan.
Terutama dalam agama Islam………….amin
BAB II PEMBAHASAN
a.
Profil Husain Ibn Mansur al-Hallaj
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa
disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada tanggal 26 Maret
866 M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya
adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk Islam. Al-Hallaj merupakan
syekh sufi abad ke-9
dan ke-10
yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah
Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.[2]
Bagi sebagian ulama Islam, kematian
ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang
manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran Al-Haqq adalah salah satu
nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri.
Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena
mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap
pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj
tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi
atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan
segenap kerahasiaan tersebut.[3]
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak
pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi
sesungguhnya memuji dirinya atas berbagai ajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan
kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan,
"Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar” yakni,
mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa a.s, yang menyatakan Aku adalah Allah, serta
meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima
ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah
sendiri!". Di dalam syairnya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah
pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah
kezaliman."[4]
Tasawuf dalam perkembangannya memiliki dua corak
yang bisa kita bedakan dari pemikiran-pemikiran dan ritual (suluk) para pendiri
atau musyidnya. Corak dari Tasawuf yang pertama adalah corak falsafi, yaitu,
pemikiran dan ajaran sufistik yang banyak terpengaruh dengan
pemikiran-pemikiran yunani, persia, india serta teologi kristen. Yang dimaksud
pengaruh di sini adalah hanya dalam aspek metodologinya saja, tidak sampai
ddalam tataran ajaran-ajaranya, walaupun ada sebagian yang diduga memiliki
pengaruh dalan ajaran. Corak falsafi lebih banyak mengunakan simbol-simbol
khusus atau alegoris yang sulit dipahami orang umum. Salah satu dari tokoh
Tasawuf ini adalah Husain ibn Mansur
al-Hallaj (w.922 M).[5]
Adapun corak yang kedua adalah Tasawuf
sunni, yaitu pemikiran dan ajaran Tasawuf yang lebih mengedepankan dhohir dari
al-Qur’an dan Hadist dengan membatasi dan memberikan aturan-aturan yang ketat
terhadap pengunaan ma’na-ma’na alegoris, serta menyatukan antara ajaran Islam
yang bersifat eksternal dengan ajaran internal. Tokoh dari corak Tasawuf ini
seperti abu Hamid al-Ghozali (w.1112 M)
dan al-Harist al-Muhasibi (w. 858).[6]
Tahun 913M adalah
titik balik bagi jiwa spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji
untuk beberapa kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun,
dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran atau mencapai tahap
wushul.[7] Di akhir 913M inilah ia
merasa bahwa hijab-hijab
ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka
dengan sang Kebenaran Al-Haqq. Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah
Kebenaran" dalam keadaan ekstase.
Perjumpaan ini membangkitkan dalam
dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan
menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan
setiap muslim,
melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Inti ajaran Hallaj adalah Hulul yaitu
Ketuhanan lahut yang menjelma ke dalam diri insan nasut. Dalam
pandangan Hallaj hidup kebatinan insan yang suci akan naik tingkat hidupnya
dari satu maqam ke maqam lain. Misalnya: muslim, mu'min, salihin, muqarrabin.
Karena manusia adalah tiupan ruh lahut sebagaimana firman allah:
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ ……..
Kemudian ia menyempurnakannyaa
(penciptaan manusia) dan meniupkan ruhNya, serta mrnjadikan pendengaran,
penglihatan, dan perasaan atas kalian…….
Sehingga ketika mencapai tingkat muqarrabin,
menurut dia, sampailah di puncak sehingga bersatu dengan Tuhan. Sifat persatuan
itu antara lain diibaratkan bagai persatuan khamar dengan air. Konsep ini
bermuara pada Ana al-Haqq, karena kebenaran itu salah satu asma Allah
SWT. Al-Haqq sendiri dalam ilmu tasawuf berarti Tuhan. Inilah penggalan
syairnya:
‘Telah bercampur
roh-Mu dan rohku Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih
Bila menyentuh
akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku Sebab itu, Engkau adalah Aku, dalam segala
hal’. [8]
Hulul tak lepas dari konsep Hallaj
yang lain, al-haqiqatu al-Muhammadiyah atau Nur Muhammad sebagai
asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan
seluruh perantaraaNyalah seluruh alam ini dijadikan. Dia juga menyodorkan
konsep tentang kesatuan segala agama.
Ajaran-ajaran Hallaj sangat
berpengaruh terhadap tasawuf dan para sufi yang hadir berikutnya. Susahlah untuk
memisahkan ajaran tasawuf sesudah Hallaj daripada faham wihdatul wujud
(pantheisme). Hallaj pun disebutnya telah memuluskan jalan bagi kedatangan Ibnu
'Arabi sang pengusung ajaran wihdatul wujud, Ibnu Faridh, Jalaluddin Rumi,
Al-Jami, Suhrawardy, dan Ibnu Sab'in.
Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut
Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani
Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang
mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah
Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah
wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang
hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana
wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana
mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut
dalam waktu yang lama. Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’,
Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.
Ada ungkapan Sufi yang sangat arif
bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa
Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa
bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah
mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia
tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi
sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Allah
menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia
menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab
hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.[9]
d. Kontroversi Pemikiran al Hallaj
Di dunia sufisme, Husin Ibnu Mansur
Al-Hallaj adalah fenomena tersendiri.
Perjalanan hidupnya seperti Imam Al-Ghazali, sang hujjatul Islam itu, penuh
warna, mengalami pelbagai gejolak dan perubahan, serta dinamik secara
intelektual. Ana al-Haqq, Akulah Kebenaran, adalah label munajat utama
spiritual Al-Hallaj. Ekspresi personal yang tegas, tanpa ambiguitas dan apologi
itu, membuahkan kutukan atas dirinya sekaligus menumbuhkan kejayaan
kesyahidannya. Al-Hallaj memang cermin perjuangan hebat ulama tasawuf
menghadapi ulama fikih. Berbagai kontroversi mengiringi perjalanan hayatnya.
Pengembaraan panjang membentuk pribadi
dan pandangan hidup Hallaj. Pada usia 53 tahun namanya pun menjadi buah bibir
di kalangan ulama fikih. Mereka menilai sesat pandangan tasawuf Hallaj.
Penguasa saat itu pun memandang ajaran Hallaj membahayakan ketenteraman umum.
Ulama fikih terkenal, Ibnu Daud Al-Isfahani, lalu mengeluarkan fatwa untuk
membantah dan menolak ajaran-ajaran Hallaj.
Pada akhirnya Al-Hallaj dipenjara
selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam sengketa antara
segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus
di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut.
Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan
istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di
atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati
atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Padahal dalam seluruh pandangan
Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud
(kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut
pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana
Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan
Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya
dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul
Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja.
Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.
Seorang sufi agung muncul pada
pertengahan abad XI, yakni Abu Hamid Al-Ghazali (450-550 H). Dengan kecerdasan
dan jiwa besarnya, Hujjatul Islam Al-Ghazali mampu mempertemukan kembali ilmu
lahir dengan ilmu batin, fikih dengan tasawuf, dan juga filsafat. Dia hidup
pada zaman Nizamul Mulk, Wazir Besar Kerajaan Bani Saljuk, yang mendirikan
sekolah-sekolah tinggi untuk memperdalam penyelidkan agama dan perkembangannya.
Dr Zwemmer, pakar penelitian Protestan, memuji tinggi Ghazali. Katanya: setelah
Nabi Muhammad SAW datanglah dua orang besar untuk menyempurnakan agamanya.
Pertama, Imam Bukhari yang mengumpulkan Hadisnya dan kedua Al Ghazali yang
menguraikan fahamnya.[10]
BAB III SIMPULAN
Dewasa ini, ilmu tasawuf kian
digemari. Praktik sufisme yang dalam sejarahnya pernah dihujat lantaran terlalu
mengagungkan sang mursyid atau syekh tarekat, kini marak di berbagai tempat. Di
masa lalu itu, perilaku tasawuf bahkan sering dinilai bid'ah karena tak
bersandar pada al-Quran dan Hadist
secara tesktual.
Sebagai ajaran yang menekankan aspek
batin tentunya untuk saat ini sangat di perlukan, karena inti dari ajaran
tasawuf adalah membebaskan manusia dari nafsu, sikap egoisme serta hedonisme
dan sexualisentris, yang sekarang banyak melanda masyarakat kita, akibat dari
efek sekularisme.
Ajaran al hallaj yang lebih menekankan
aspek esoteris, adalah sebagai tahapan awal dari jalan seorang sufi yang secara
idealnya tidak di konsumsi secara mentah-mentah. Ajaran ini memang sangat perlu
untuk di pelajari bagi mereka yang yang telah menguasai beberapa keilmuan
sastra arab untuk meningkatkan batiniyah, Karena Ungkapan-ungkapan yang
digunakan lebih banyak mengunakan kata-kata esoteris.[11]
Sebagai penutup, tentunya untuk saat
ini kita harus lebih berhati-hati dalam melakukan penilaian terhadap suatu
pemikiran dalam tasawuf, menjauhkan diri dari penilaian terhadap hal-hal yang
tidak kita pelajari secara mendalam, adalah salah satu sifat orang yang cerdas.
DAFTAR PUSTAKA
al-Ghozali abu Hamid. catatan pingir Ihya ulumu
ad-Din oleh zabadi tobanah juz 2 alhidayah surabaya
Ensiklopedi tematis dunia Islam ”Pemikiran dan
peradapan. PT ihtiar baru van hoeve.
Husain Sayyid. William c. Chittick. Leonard
lewisohn. Warisan sufi terj tim
tim pustaka sufi jogjakarta 2003
Mulkhan Abdul munir. Dari semar ke sufi al-ghiyats jogjakarta 2003
Hakim M. luqman terj Roudhotu at-tholibin wa umdatu as-sholihin.
Risalah gusti surabaya 1997
Hakim M.luqman & abu Ahmad najih. terj. Majmuatu ar-rosul lil
ghozaly. Risalah gusti 1996
[1] Mahasiswa semester V STAI Ma’had Aly ALHIKAM
Malang
[2] ibid
[3]abu Hamid al-Ghozali op.cit. Hal 302
[4] Sayyid husain. William c. chittick. Leonard
lewisohn. Warisan sufi terj tim
tim pustaka sufi jogjakarta cet.1 2003 hal 161
[5]abu Hamid al-Ghozali. catatan pingir ihya ulumu
ad-Din oleh zabadi tobanah juz 2 alhidayah surabaya tt. Hal 257
[6] Ensiklopedi tematis dunia Islam ”pemikiran dan
peradapan. PT ihtiar baru van hoeve.tt hal 152
[7] M. luqman hakim terj roudhotu at-tholibin wa
umdatu as-sholihin. Risalah gusti surabaya 1997 cet.3 Hal 32
[8] Sayyid husain. William c. chittick. Leonard
lewisohn. op.cit. Hal 466
[9] Ibid. Hal 302
[10] M. luqman hakim op.cit hal 55
[11] M.luqman hakim & abu ahmad najih. terj. Majmuatu
ar-rosul lil ghozaly. Risalah gusti 1996 cet.1 hal 120
No comments:
Post a Comment