Saturday, May 26, 2012

PEMIKIRAN TASAWUF AL-HALLAJ


PEMIKIRAN TASAWUF  AL-HALLAJ
Oleh: Imam Syafi’i[1]

BAB I PENDAHULUAN
Islam sebagai agama atau ajaran yang tidak hanya mengajarkan masalah-masalah ekstrenal dalam membimbing manusia untuk mengetahui jalan hidup yang harus dilalui, tapi juga mengajarkan hal-hal yang bersifat internal dalam sisi-sisi humanis dengan teologi dan implementasinya, telah di interpretasikan oleh pemeluknya dengan berbagai wacana dan pergulatan pemikiran yang sangat beragam.
Dalam khasanah pemikiran Islam muncul berbagai corak pemikiran tentang keIslaman. Sejak timbulnya klasifikasi ilmu pengetahuan dalam tradisi keilmuan Islam mulai abad IV, memunculkan berbagai variasi wacana dan tindakan oleh pemikir-pemikir Islam, mujtahid. Sehinga pada masa awal kemunculanya sering menimbulkan berbagai gesekan dan pertarungan wacana yang tidak sehat, dikarenakan belum terbiasanya masyarakat muslim waktu itu. Masa sebelumnya umat Islam terbiasa dengan kehidupan dan budaya keberagamaan yang paternalistik, tokoh-tokoh yang memang masih memiliki kedekatan keilmuan dengan sumber aslinya atau legislator ajaran (nabi), sehinga keragu-raguan dan probabilitas kesalahan masih bisa ditekan sedemikian rupa dan kemurnian ajaran juga masih bisa terjaga.
Salah satu pemikiran yang paling rawan dalam konflik adalah pemikiran-pemikiran Tasawuf. Setelah  abad IV hijriah setelah kemapanan ilmu fiqh dan dalam perkembanganya ada kelompok-kelompok tertentu yang menyalahgunakan hukum legal formal ini, munculah pemikiran-pemikiran Tasawuf yang memiliki corak dan ajaran yang berbeda-beda sebagai counter dari gejala tersebut.
Pembahasan tentang ilmu Tasawuf memang suatu pembahasan yang membutuhkan pendalaman yang lebih cermat dan hati-hati. Ilmu ini berbeda dengan ilmu-ilmu eksak yang lebih menitikberatkan pembahasanya pada hal-hal yang bersifat materi atau fisik, pembahasan Tasawuf adalah pembahasan yang banyak berkutat dengan hal-hal yang metafisik. Sehinga dibutuhkan penguasaan metodologi dan pengalaman langsung untuk memudahkan kita menjelaskan apa yang sebenarnya dialami tokoh-tokohnya saat menuangkan gagasan dan tindakanya sebagai manifestasi keyakinanya.
Dalam makalah simpel ini penulis mecoba menguraikan sedikit tentang pemikiran dan ajaran Tasawuf versi al Hallaj yang sangat kontroversial, wahdatu al wujud. Pembahasan kita meliputi biografi dan corak ajaran beliau. Semoga dari apa yang penulis akan paparkan bisa menambah wawasan kita tentang masalah-masalah spiritual keagamaan. Terutama dalam agama Islam………….amin
BAB II PEMBAHASAN   
a.  Profil Husain Ibn Mansur al-Hallaj
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk Islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.[2]
Bagi sebagian ulama Islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran Al-Haqq adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.[3]
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya atas berbagai ajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar” yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa a.s, yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syairnya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."[4]
b. Ajaran al Hallaj
Tasawuf dalam perkembangannya memiliki dua corak yang bisa kita bedakan dari pemikiran-pemikiran dan ritual (suluk) para pendiri atau musyidnya. Corak dari Tasawuf yang pertama adalah corak falsafi, yaitu, pemikiran dan ajaran sufistik yang banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran yunani, persia, india serta teologi kristen. Yang dimaksud pengaruh di sini adalah hanya dalam aspek metodologinya saja, tidak sampai ddalam tataran ajaran-ajaranya, walaupun ada sebagian yang diduga memiliki pengaruh dalan ajaran. Corak falsafi lebih banyak mengunakan simbol-simbol khusus atau alegoris yang sulit dipahami orang umum. Salah satu dari tokoh Tasawuf ini adalah   Husain ibn Mansur al-Hallaj (w.922 M).[5]
Adapun corak yang kedua adalah Tasawuf sunni, yaitu pemikiran dan ajaran Tasawuf yang lebih mengedepankan dhohir dari al-Qur’an dan Hadist dengan membatasi dan memberikan aturan-aturan yang ketat terhadap pengunaan ma’na-ma’na alegoris, serta menyatukan antara ajaran Islam yang bersifat eksternal dengan ajaran internal. Tokoh dari corak Tasawuf ini seperti  abu Hamid al-Ghozali (w.1112 M) dan al-Harist al-Muhasibi (w. 858).[6]
Tahun 913M adalah titik balik bagi jiwa spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk beberapa kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran atau mencapai tahap wushul.[7] Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran Al-Haqq. Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" dalam keadaan ekstase.
Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Inti ajaran Hallaj adalah Hulul yaitu Ketuhanan lahut yang menjelma ke dalam diri insan nasut. Dalam pandangan Hallaj hidup kebatinan insan yang suci akan naik tingkat hidupnya dari satu maqam ke maqam lain. Misalnya: muslim, mu'min, salihin, muqarrabin. Karena manusia adalah tiupan ruh lahut sebagaimana firman allah:
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ ……..
Kemudian ia menyempurnakannyaa (penciptaan manusia) dan meniupkan ruhNya, serta mrnjadikan pendengaran, penglihatan, dan perasaan atas kalian…….
 Sehingga ketika mencapai tingkat muqarrabin, menurut dia, sampailah di puncak sehingga bersatu dengan Tuhan. Sifat persatuan itu antara lain diibaratkan bagai persatuan khamar dengan air. Konsep ini bermuara pada Ana al-Haqq, karena kebenaran itu salah satu asma Allah SWT. Al-Haqq sendiri dalam ilmu tasawuf berarti Tuhan. Inilah penggalan syairnya:
‘Telah bercampur roh-Mu dan rohku Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih
Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku Sebab itu, Engkau adalah Aku, dalam segala hal’. [8]
Hulul tak lepas dari konsep Hallaj yang lain, al-haqiqatu al-Muhammadiyah atau Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan seluruh perantaraaNyalah seluruh alam ini dijadikan. Dia juga menyodorkan konsep tentang kesatuan segala agama.  
Ajaran-ajaran Hallaj sangat berpengaruh terhadap tasawuf dan para sufi yang hadir berikutnya. Susahlah untuk memisahkan ajaran tasawuf sesudah Hallaj daripada faham wihdatul wujud (pantheisme). Hallaj pun disebutnya telah memuluskan jalan bagi kedatangan Ibnu 'Arabi sang pengusung ajaran wihdatul wujud, Ibnu Faridh, Jalaluddin Rumi, Al-Jami, Suhrawardy, dan Ibnu Sab'in.
Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama. Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.
Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.[9]


d. Kontroversi Pemikiran al Hallaj
Di dunia sufisme, Husin Ibnu Mansur Al-Hallaj  adalah fenomena tersendiri. Perjalanan hidupnya seperti Imam Al-Ghazali, sang hujjatul Islam itu, penuh warna, mengalami pelbagai gejolak dan perubahan, serta dinamik secara intelektual. Ana al-Haqq, Akulah Kebenaran, adalah label munajat utama spiritual Al-Hallaj. Ekspresi personal yang tegas, tanpa ambiguitas dan apologi itu, membuahkan kutukan atas dirinya sekaligus menumbuhkan kejayaan kesyahidannya. Al-Hallaj memang cermin perjuangan hebat ulama tasawuf menghadapi ulama fikih. Berbagai kontroversi mengiringi perjalanan hayatnya.
Pengembaraan panjang membentuk pribadi dan pandangan hidup Hallaj. Pada usia 53 tahun namanya pun menjadi buah bibir di kalangan ulama fikih. Mereka menilai sesat pandangan tasawuf Hallaj. Penguasa saat itu pun memandang ajaran Hallaj membahayakan ketenteraman umum. Ulama fikih terkenal, Ibnu Daud Al-Isfahani, lalu mengeluarkan fatwa untuk membantah dan menolak ajaran-ajaran Hallaj.
Pada akhirnya Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.
Seorang sufi agung muncul pada pertengahan abad XI, yakni Abu Hamid Al-Ghazali (450-550 H). Dengan kecerdasan dan jiwa besarnya, Hujjatul Islam Al-Ghazali mampu mempertemukan kembali ilmu lahir dengan ilmu batin, fikih dengan tasawuf, dan juga filsafat. Dia hidup pada zaman Nizamul Mulk, Wazir Besar Kerajaan Bani Saljuk, yang mendirikan sekolah-sekolah tinggi untuk memperdalam penyelidkan agama dan perkembangannya. Dr Zwemmer, pakar penelitian Protestan, memuji tinggi Ghazali. Katanya: setelah Nabi Muhammad SAW datanglah dua orang besar untuk menyempurnakan agamanya. Pertama, Imam Bukhari yang mengumpulkan Hadisnya dan kedua Al Ghazali yang menguraikan fahamnya.[10]

BAB III SIMPULAN
Dewasa ini, ilmu tasawuf kian digemari. Praktik sufisme yang dalam sejarahnya pernah dihujat lantaran terlalu mengagungkan sang mursyid atau syekh tarekat, kini marak di berbagai tempat. Di masa lalu itu, perilaku tasawuf bahkan sering dinilai bid'ah karena tak bersandar pada al-Quran dan  Hadist secara tesktual.
Sebagai ajaran yang menekankan aspek batin tentunya untuk saat ini sangat di perlukan, karena inti dari ajaran tasawuf adalah membebaskan manusia dari nafsu, sikap egoisme serta hedonisme dan sexualisentris, yang sekarang banyak melanda masyarakat kita, akibat dari efek sekularisme.
Ajaran al hallaj yang lebih menekankan aspek esoteris, adalah sebagai tahapan awal dari jalan seorang sufi yang secara idealnya tidak di konsumsi secara mentah-mentah. Ajaran ini memang sangat perlu untuk di pelajari bagi mereka yang yang telah menguasai beberapa keilmuan sastra arab untuk meningkatkan batiniyah, Karena Ungkapan-ungkapan yang digunakan lebih banyak mengunakan kata-kata esoteris.[11]
Sebagai penutup, tentunya untuk saat ini kita harus lebih berhati-hati dalam melakukan penilaian terhadap suatu pemikiran dalam tasawuf, menjauhkan diri dari penilaian terhadap hal-hal yang tidak kita pelajari secara mendalam, adalah salah satu sifat orang yang cerdas.  

DAFTAR PUSTAKA
al-Ghozali abu Hamid. catatan pingir Ihya ulumu ad-Din oleh zabadi tobanah juz 2 alhidayah surabaya
Ensiklopedi tematis dunia Islam ”Pemikiran dan peradapan. PT ihtiar baru van hoeve.
Husain Sayyid. William c. Chittick. Leonard lewisohn. Warisan sufi  terj tim tim pustaka sufi jogjakarta 2003
Mulkhan Abdul munir. Dari semar ke sufi al-ghiyats jogjakarta 2003
Hakim M. luqman terj Roudhotu at-tholibin wa umdatu as-sholihin. Risalah gusti surabaya 1997
Hakim M.luqman & abu Ahmad najih. terj. Majmuatu ar-rosul lil ghozaly. Risalah gusti 1996



[1] Mahasiswa semester V STAI Ma’had Aly ALHIKAM Malang
[2] ibid
[3]abu Hamid al-Ghozali op.cit. Hal 302
[4] Sayyid husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. Warisan sufi  terj tim tim pustaka sufi jogjakarta cet.1 2003 hal 161
[5]abu Hamid al-Ghozali. catatan pingir ihya ulumu ad-Din oleh zabadi tobanah juz 2 alhidayah surabaya tt. Hal 257 
[6] Ensiklopedi tematis dunia Islam ”pemikiran dan peradapan. PT ihtiar baru van hoeve.tt hal 152 
[7] M. luqman hakim terj roudhotu at-tholibin wa umdatu as-sholihin. Risalah gusti surabaya 1997 cet.3 Hal 32
[8] Sayyid husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. op.cit. Hal 466
[9] Ibid. Hal 302
[10] M. luqman hakim op.cit hal 55
[11] M.luqman hakim & abu ahmad najih. terj. Majmuatu ar-rosul lil ghozaly. Risalah gusti 1996 cet.1 hal 120

No comments:

Post a Comment