Monday, May 21, 2012

Verifikasi Mendasar Ajaran Poko (Ushul) dan Cabang (Furu')


VERIFIKASI MENDASAR AJARAN POKOK (USHUL) DAN CABANG (FURU’)
BAB I
 PENDAHULUAN
Makalah oleh: Imam Syafi’i. dan M. Wahid Hasyim[1]



GAIRAH beragama dikalangan masyarakat Indonesia setidaknya satu dekade belakangan ini cukup menarik para pakar agama Islam diberbagai belahan dunia. Kecenderungan beragama tidak lagi bergerak dari bawah, tetapi dari kalangan atas masyarakat, Dari tempat-tempat mewah dan artis-artis terkenal sampai pejabat pemerintahan, tidak lagi hanya mengunakan masjid atau surau. Singkatnya performance muslim Indonesia saat ini tidak lagi terkeasan marjinal  dan kumuh atau yang sering dikonotasikan sebagai Islam tradisional, tidak rasional dan kumal. Akan tetapi yang menjadi persoalan sekarang  mampukah para ulama’ kita mengantisipasi fenomena ini, dengan berbagai karakteristik umat muslim Indonesia yang sedemikian itu? artinya mereka tidak lagi dapat di dekati dengan metode dakwah tradisional yang kebanyakan terkesan menggurui, apalagi lewat doktrin-doktrin yang kaku dan irasional. Dengan kajian fiqh sosial dan memahami tujuan syariat secara mendalam Ulama’ kita akan mampu menggiring ,masyarakat modern memiliki keyakinan melalui proses iman dan akal serta mampu mencari sisi maslahah dan medharat dalam kehidupan serta kemudian diharapkan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi
Verifikasi adalah pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan dan perhitungan uang.[2] Adapun yang dikehendaki dengan verifikasi mendasar tentang ajaran pokok (ushul) dan ajaran cabang (furu’) adalah memeriksa kembali secara detail dan memilah mengenai mana ajaran yang pokok dan mana ajaran yang cabang dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat luas. Sebelum melangkah kepada pembahasan, alangkah baiknya jika kita melihat  dulu ajaran-ajaran pokok dan furu’, yaitu sebagai berikut:   
a. Ilmu Fiqih (Furu’ / Cabang)
Ilmu fiqih atau fiqih adalah ilmu yang membahas ketentuan hukum cabang yang diperoleh dari dalil-dalil syari’at yang meliputi bidang muamalat dan ibadat. Menurut Amir Syarifuddin ditegaskan secara definitif fiqih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dengan ditemukan dalil-dalil yang tafsili. Diberatkan fiqih itu dengan ilmu dalam definisi ini karena fiqih itu semacam ilmu pengetahuan.
Memang fiqih itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, karena fiqih bersifat zhanni sebab ini adalah apa yang dicapai oleh Mujtahid dengan zhannya sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni. Tetapi karena zhan dalam fiqih ini kuat, maka ia mendekat kepada ilmu, karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqih.[3]
Selanjutnya Abdullah Siddik menegaskan pula bahwa hukum-hukum Islam yang dikenal dengan istilah syari’at inilah yang disebut ilmu fiqih. Dengan demikian ilmu fiqih tidak tebatas pada rukun iman dan rukun Islam saja, tetapi meliputi segala perbuatan manusia meliputi seluruh kehidupan manusia. Tegasnya, ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari syari’at. Orang yang mengerti fiqih disebut faqih = ahli hukum (jurist). Adapun Hasbi Ash-Syidiqi merumuskan pengertian fiqih ialah: “ilmu fiqih itu ialah sebuah kumpulan ilmu yang sangat besar gelanggang pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang, segolongan, semasyarakat dan seumum manusia”.
Berdasarkan beberapa rumusan terdapat diatas, maka nampaklah bahwa ilmu fiqih merupakan salah satu ilmu yang sangat penting didalam agama Islam. Ilmu fiqih sangat diperlukan untuk mengetahui dengan luas dan mendalam tentang semua perbuatan manusia. Hal ini sesuai dengan Abdullah Siddik bahwa ilmu fiqih terbagi atas empat bagian penting, yaitu:
1.      Ibadah, segala perbuatan umat Islam dalam mendekatkan dirinya kepada Allah, menunjukkan kepercayaannya dan menyeru kebesaran Allah seperti sholat, puasa, zakat, naik haji jika mampu.
2.      Muamalah, segala apa yang berkaitan soal jual beli, utang piutang, perjanjian dagang dan lain-lain.
3.      Munakahah, segala apa yang berkaitan dengan kekeluargaan dan kerumahtanggaan, seperti soal nikah dan perkawinan, cerai dan rujuk, waris dan pusaka dan lain-lain.
4.      Jinayah, segala apa yang berkaitan dengan hukum pidana, seperti hukum zina, mencuri, membunuh, undang-undang perang dan lain-lain.
Para fuqoha dalam menghasilkan pendapat tidak selalu sama didalam memahami metode dan sistem pendekatannya untuk memahami kehendak tuhan. Keadaan ini menimbulkan adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fiqih (fuqoha) atau mazhab, walaupun demikian sumbernya sama.[4]

b. Ilmu Ushul Fiqih (Pokok)
Pertentangan-pertentangan dalam materi fiqih merupakan sebab kesibukan ulama untuk menyusun ilmu yang mereka namakan “Ushul Fiqih” yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap Mujtahid dalam istimbath . adapun ktab yang sampai kepada kita dan dianggap sebagai asas yang sahih bagi ilmu ini dan kekayaan besar bagi para pembahas ushul fiqih adalah kitab Al-Risalah yang didiktekan oleh Muhammad Idris Al-Syafii seorang imam Makkah kemudian imam Mesir.[5]
Dalam Al-Risalah ia membicarakan tentang:
1.      Al-Quran dan keterangannya
2.      Al-Sunnah dan kedudukannya dalam rangkaiannya dengan Al-Quran.
3.      Nasikh dan Mansyukh.
4.      Hadits riwayat perseorangan
5.      Ijma’
6.      Qiyas.
7.      Ijtihad.
8.      Istihsan.
9.      Perbedaan pendapat (ikhtilaf).
Dalam pasal pertama ia menyebutkan bagaimana keterangan Al-Quran yang dijadikannya beberapa macam :
1.sesuatu yang dijelaskan bagi makhluknya secara nash, seperti jumlah-jumlah fardhu.
2.sesuatu yang dihukumi fardhu dengan kitabnya dan diterangkan cara pelaksanaannya oleh lidah nabinya seperti bilangan sholat.
3.sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah saw yang tidak ada nash hukumnya dalam kitab Allah atas hambanya.
4.sesuatu yang difardukan oleh Allah atas hambanya untuk berijtihad mencarinya, Allah menguji ketaatan mereka dengan berijtihad sebagaimana Allah menguji ketaatan mereka dalam sesuatu yang difardukan atas mereka selain ijtihad. Setiap macam-macamnya telah dibuatkan contoh-contoh yang cukup untuk dipahami.
Kemudian Al-Syafii menyebutkan bahwa Al-Quran berbahasa Arab dan disitu tidak ada sesuatupun kecuali dengan bahasa arab.[6] 

c. Verifikasi Ushul Fiqh Dan Fiqh Dalam Kajian Fiqh Sosial
Kiranya kita perlu menanyakan kembali apakah praktek syari’at yang diturunkan kepada manusia itu hanyalah sebagai ungkapan terima kasih mahluk kapada sang pencipta atau sebagai sebuah anugerah yang esensinya adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri yang bukan hanya sekedar aturan-aturan legal formal yang mengatur interaksi vertikal dan horisontal yang harus di jauhkan jauh dari inovasi-inovasi pemikiran yang bebas.
Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita perlu membahas kembali kajian-kajian fiqh yang seluruh gagasanya diduga keras adalah kehendak daripada Syari’(allah). Dalam kajian ilmu fiqh berangkat dari teks pokok (nash) ada dua hal yang menentukan produk-produk yang di hasilkanya atau hasil dari ijtihad, yaitu kajian ushul dan furu’. Dalam pembahasan tujuan syari’at semua ulama’ menyepakati tentang adanya gagasan pokok yang mendasarinya, yaitu “demi kemaslahatan manusia”, artinya syari’at diturunkan adalah bertujuan untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ushul fiqh sebagai sebuah metodologi khusus yang digunakan untuk menjelajahi kehendak ilahi di tuntut untuk mampu mengakomodir segala permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan fiqh adalah implementasi dari pada ushul yang bersifat mampu menjawab segala permasalahan yang terjadi dalam tataran masyarakat.
As Shatiby membagi ijtihad dalam dua bentuk, pertama; ijtihad istinbathi yakni upaya Mujtahid dalam menempuh ide hukum dari nash sesuai dengan tujuan syara’. Ide hukum ini selanjutnya menjadi tolak ukur dalam mengkaji sebuah masalah di mana hukum hendak diterapkan, akan tetapi semua teori hukum yang di pakai oleh para Mujtahid tidak secara keseluruhan mampu di praktekkan dalam rumusan hukum fiqh karena ushul fiqh sendiri adalah hashl dari olah fikir para Mujtahid yang digali langsung dari nash melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehinga menjadi sebuah keniscayaan apabila teori-teori dalam ushul fiqh banyak mengalami perbedaan di antara para Mujtahid di karenakan perbedaan tingkatan pengetahuan mereka terhadap disiplin ilmu pengetahuan, selanjutnya walaupun ushul fiqh adalah hasil daripada rumusan Mujtahid akan tetapi dari hasilnya terbukti menjadi sebuah teori yang kebanyakan mampu menjadi pedoman bagi para pengikut madzhab untuk menangapi segala problematika masyarakat. Dalam menyikapi semua perbedaan di atas tentunya kita bisa mengambil banyak pelajaran dan keuntungan serta dituntut untuk selektif di dalam memilih dan mengunakan teori-teori di atas dengan menyesuaikanya dengan keadaan sosial di masyarakat atau bahkan dengan rumusan teori baru yang lebih mendasar dan kongkrit. 
Kedua Ijtihad Tadbiqi, (tahtbiq al manhaj) yakni upaya sebuah Mujtahid untuk menerapkan hukum yang diperoleh melalui Ijtihad Istinbathi terhadap suatu masalah atau kasus yang berkembang di masyarakat. Namun, karena kondisi kehidupan manusia selalu berubah bisa jadi hasil dari ijtihad akan berubah-rubah, untuk itu seorang Mujtahid haruslah peka terhadap kondisi sosial di masyarakat. Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai tindakan membuat hukum dengan mengaitkannya terhadap makna kully dalam penetapannya terhadap suatu kasus tertentu.
Dari keterangan di atas jelas bahwa metode di atas sebagai ijtihad sosial terhadap  realisasi ide-ide Al Qur’an Pada dataran kehidupan manusia yang selalu berkembang dan mengalami perubahan, yang tentunya metode ini adalah metode ijtihad yang tidak akan berhenti sampai akhir zaman, selanjutnya yang menjadi objek kajian dalam metode ini bukanlah Al Qur’an dan hadist akan tetapi adalah keadaan sosial di masyarakat[7], jadi rumusan-rumusan hukumnya akan selalu agak berbeda-beda disetiap waktu dan situasi. Mungkin salah satu contoh yang bisa penulis paparkan di sini adalah masalah potong tangan bagi pelaku pencurian yang telah memenuhi syarat potong tangan, umar pernah tidak melaksanakan hukuman tersebut di karanakan kondisi masyarakat pada waktu itu mengalami situasi perekonomian yang buruk.
Verifikasi ushul dan fiqh kiranya sangat diperlukan dalam menunjang terlaksananya segala tujuan syari’at, karena dengan adanya pemilahan dan kajian mendalam dan konstuktif antara peran ushul dan fiqh maka akan tampak jalaslah kedudukan keduanya dalam menentukan hukum dimasyarakat, sehingga tidak ada lagi masalah yang tidak akan terpecah dalam kehidupan masyarakat. Dalam merumuskan suatu hukum yang pertama kali di telaah adalah nash-nash pokok yang menjadi dasar pijakan utama bagi orang beragama, yaitu al Qur’an dan hadist melalui disiplin ilmu pengetahuan yang telah disepakati para Ulama’. Jadi ushul fiqh atau kajian ushul adalah kebutuhan primer yang harus dilaksanakan oleh para Mujtahid untuk merealisasikan hukum syara’ dalam bentuk fiqh dengan tetap berpegang teguh terhadap tujuan syari’at.
Kemudian yang menjadi permasalahan kita sekarang adalah, bagaimana seandainya rumusan yang di ambil dari teori-teori tersebut ternyata terbukti tidak menjadikan kemaslahatan dalam kehidupan dimasyarakat dan berlawanan dengan tujuan syara’ seperti dalam kasus zina dan pembunuhan bagi orang yang terpaksa atau dalam ancaman, dalam berbagai literatur klasik seseorang wanita harus tetap mempertahankan kehormatanya untuk tidak melakukan zina walaupun dalam ancaman pembunuhan yang tidak bisa dihindari, karena dalam kaidah di sebutkan “ keadaan darurat tidak bisa di hilangkan dengan keadaan darurat yang lain” sehinga wanita tersebut harus mengorbankan nyawanya demi mempertahankan kehormatanya dikarenakan seandainya dia pasrah maka dia telah menyebabkan seorang pria wajib terkena rajam (membahayakan yang lain), sedangkan tujuan syari’at adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Kalau kita perhatikan kejadian di atas terjadi kontradiksi di antara rumusan tujuan syari’at yang berjumlah lima poin:
1.      menjaga jiwa
2.      menjaga agama
3.      menjaga keturunan
4.      menjaga akal
5.      menjaga harta.
Disini terjadilah kontradiksi antara menjaga jiwa dan menjaga kehormatan serta keturunan. Lantas bagaimanakah para Mujtahid saat ini mengambil kesimpulan apakah tetap memberlakukan kaidah lama atau akan menjadi pengecualian dari kaidah di atas yang selanjutnya menjadikan kaidah baru dalam tataran metodologi.
Menurut hemat penulis kaidah lama tidaklah kita kesampingkan begitu saja, akan tetapi tetap kita jadikan referensi untuk menentukan kaidah baru dengan kembali melakukan kajian-kajian teks dan latar belakang sosial masyarakat, setelah itu kita bisa mengambil kesimpulan.
Kita tentunya sepakat bahwa apa yang dilakukan para Mujtahid terdahulu tidaklah terlepas dari para Mujtahid sebelumnya serta kemampuan yang mereka miliki, yaitu terjadinya estafet ilmu pengetahuan di antara para Mujtahid dengan adanya penyempurnaan-penyempurnaan sesudahnya.
Setelah kita mengetahui verifikasi ushul fiqh dan fiqh, tentunya kita juga harus mengetahui fungsi-fungsi dari keduanya yang antara lain adalah:
1.      menerangkan dasar-dasar ijtihad dan kaidah-kaidah yang berdiri sendiri yang memungkinkan kita membandingkanya dengan kaidah-kaidah yang lain
2.      menerangkan kaidah-kaidah yang di tetapkan pada furu’
3.      bisa melakukan studi perbandingan yang menyeluruh, karena selalu berkutat dalam pembahasan  partikular dan universal
4.      Mempermudah bagaimana mengeluarkan hukum, menumbuhkan furu’ dan kongklusi hukum untuk masalah-masalah yang tidak terjadi pada masa imam[8]


BAB III
SIMPULAN.
Sebagai muslim kaafah kita tentunya harus menggali hukum-hukum islam dengan segala kapasitas yang  telah diberikan tuhan kepada manusia, di samping mengetahui kedudukan syari’at dan produk-produk yang dihasilkanya. Serta mengemas syariat sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia bukan sebagai suatu hal yang terkesan menakutkan dan kejam, seperti yang banyak terjadi di berbagai kalangan komunitas muslim konserfatif. Dengan kemasan yang sesuai dengan keadaan sosial masyarakat tentunya syari’at akan menjadi motivasi utama bagi pembentukan masyarakat yang dinamis, kreatif dan beradab tampa tercerabut dari fondasi teologis dan substansinya, sebagaimana janji alloh yang telah menjadikan kita orang-orang muslim dan beriman sebagai umat terbaik di muka bumi ini dari pada umat-umat yang lain. Wallohu a’lam bi al showab.




Daftar Rujukan

1.      Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam,2001, PT Rineka Cipta, cet:II .
2.      Zuhri, Mohammad, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, 1980, Darul Ikhya.
3.      Sabirin, Sahrir. Islam dinamis, tiara wacana, 1997 yogyakarta, hal:80
4.      Hasbi As-Shiddiqy, Tengku Muhammad pokok-pokok pegangan imam madzhab, pustaka rizqi putera. 1997. semarang.
5.      Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, DEPDIKNAS, Balai Pustaka.


[1] Mahasiswa STAI Ma’had ‘Aly al Hikam semester IV.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, DEPDIKNAS, Balai Pustaka, hal: 1260
[3] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam,2001, PT Rineka Cipta, cet:II hal: 74
[4] Ibid, hal:76
[5] Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, 1980, Darul Ikhya, hal:395
[6] Ibid , hal:396
[7] Sahrir Sabirin. Islam dinamis, tiara wacana, 1997 yogyakarta, hal:80
[8] Teungku Muhammad hasbi as shidiqy, pokok-pokok pegangan imam madzhab, pustaka rizqi putera. 1997. semarang, hal:16

No comments:

Post a Comment