VERIFIKASI MENDASAR AJARAN
POKOK (USHUL) DAN CABANG (FURU’)
BAB I
PENDAHULUAN
Makalah oleh: Imam Syafi’i.
dan M. Wahid Hasyim[1]
GAIRAH beragama
dikalangan masyarakat Indonesia
setidaknya satu dekade belakangan ini cukup menarik para pakar agama Islam diberbagai
belahan dunia. Kecenderungan beragama tidak lagi bergerak dari bawah, tetapi
dari kalangan atas masyarakat, Dari tempat-tempat mewah dan artis-artis
terkenal sampai pejabat pemerintahan, tidak lagi hanya mengunakan masjid atau
surau. Singkatnya performance muslim Indonesia saat ini tidak lagi
terkeasan marjinal dan kumuh atau yang
sering dikonotasikan sebagai Islam tradisional, tidak rasional dan kumal. Akan
tetapi yang menjadi persoalan sekarang mampukah
para ulama’ kita mengantisipasi fenomena ini, dengan berbagai karakteristik
umat muslim Indonesia
yang sedemikian itu? artinya mereka tidak lagi dapat di dekati dengan metode
dakwah tradisional yang kebanyakan terkesan menggurui, apalagi lewat
doktrin-doktrin yang kaku dan irasional. Dengan kajian fiqh sosial dan memahami
tujuan syariat secara mendalam Ulama’ kita akan mampu menggiring ,masyarakat modern
memiliki keyakinan melalui proses iman dan akal serta mampu mencari sisi
maslahah dan medharat dalam kehidupan serta kemudian diharapkan menjadi orang
yang bahagia di dunia dan akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Verifikasi adalah pemeriksaan tentang kebenaran laporan,
pernyataan dan perhitungan uang.[2]
Adapun yang dikehendaki dengan verifikasi mendasar tentang ajaran pokok (ushul)
dan ajaran cabang (furu’) adalah memeriksa kembali secara detail dan memilah
mengenai mana ajaran yang pokok dan mana ajaran yang cabang dan diaplikasikan
dalam kehidupan masyarakat luas. Sebelum melangkah kepada pembahasan, alangkah
baiknya jika kita melihat dulu ajaran-ajaran
pokok dan furu’, yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu Fiqih (Furu’ / Cabang)
Ilmu fiqih atau fiqih adalah ilmu yang membahas
ketentuan hukum cabang yang diperoleh dari dalil-dalil syari’at yang meliputi
bidang muamalat dan ibadat. Menurut Amir Syarifuddin ditegaskan secara
definitif fiqih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
yang digali dengan ditemukan dalil-dalil yang tafsili. Diberatkan fiqih itu
dengan ilmu dalam definisi ini karena fiqih itu semacam ilmu pengetahuan.
Memang fiqih itu tidak sama dengan ilmu seperti
disebutkan diatas, karena fiqih bersifat zhanni sebab ini adalah apa yang
dicapai oleh Mujtahid dengan zhannya sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni.
Tetapi karena zhan dalam fiqih ini kuat, maka ia mendekat kepada ilmu,
karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqih.[3]
Selanjutnya Abdullah Siddik menegaskan pula bahwa
hukum-hukum Islam yang dikenal dengan istilah syari’at inilah yang disebut ilmu
fiqih. Dengan demikian ilmu fiqih tidak tebatas pada rukun iman dan rukun Islam
saja, tetapi meliputi segala perbuatan manusia meliputi seluruh kehidupan
manusia. Tegasnya, ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari syari’at. Orang yang
mengerti fiqih disebut faqih = ahli hukum (jurist). Adapun Hasbi Ash-Syidiqi
merumuskan pengertian fiqih ialah: “ilmu fiqih itu ialah sebuah kumpulan ilmu
yang sangat besar gelanggang pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam
jenis hukum dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan seseorang,
segolongan, semasyarakat dan seumum manusia”.
Berdasarkan beberapa rumusan terdapat diatas, maka
nampaklah bahwa ilmu fiqih merupakan salah satu ilmu yang sangat penting
didalam agama Islam. Ilmu fiqih sangat diperlukan untuk mengetahui dengan luas
dan mendalam tentang semua perbuatan manusia. Hal ini sesuai dengan Abdullah
Siddik bahwa ilmu fiqih terbagi atas empat bagian penting, yaitu:
1.
Ibadah,
segala perbuatan umat Islam dalam mendekatkan dirinya kepada Allah, menunjukkan
kepercayaannya dan menyeru kebesaran Allah seperti sholat, puasa, zakat, naik
haji jika mampu.
2.
Muamalah,
segala apa yang berkaitan soal jual beli, utang piutang, perjanjian dagang dan
lain-lain.
3.
Munakahah,
segala apa yang berkaitan dengan kekeluargaan dan kerumahtanggaan, seperti soal
nikah dan perkawinan, cerai dan rujuk, waris dan pusaka dan lain-lain.
4.
Jinayah,
segala apa yang berkaitan dengan hukum pidana, seperti hukum zina, mencuri,
membunuh, undang-undang perang dan lain-lain.
Para fuqoha dalam menghasilkan pendapat tidak selalu sama didalam
memahami metode dan sistem pendekatannya untuk memahami kehendak tuhan. Keadaan
ini menimbulkan adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fiqih (fuqoha)
atau mazhab, walaupun demikian sumbernya sama.[4]
b. Ilmu Ushul Fiqih (Pokok)
Pertentangan-pertentangan dalam materi fiqih merupakan
sebab kesibukan ulama untuk menyusun ilmu yang mereka namakan “Ushul Fiqih”
yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap Mujtahid dalam istimbath .
adapun ktab yang sampai kepada kita dan dianggap sebagai asas yang sahih bagi
ilmu ini dan kekayaan besar bagi para pembahas ushul fiqih adalah kitab
Al-Risalah yang didiktekan oleh Muhammad Idris Al-Syafii seorang imam Makkah
kemudian imam Mesir.[5]
Dalam Al-Risalah ia membicarakan tentang:
1.
Al-Quran
dan keterangannya
2.
Al-Sunnah
dan kedudukannya dalam rangkaiannya dengan Al-Quran.
3.
Nasikh dan
Mansyukh.
4.
Hadits
riwayat perseorangan
5.
Ijma’
6.
Qiyas.
7.
Ijtihad.
8.
Istihsan.
9.
Perbedaan
pendapat (ikhtilaf).
Dalam pasal pertama ia menyebutkan bagaimana keterangan
Al-Quran yang dijadikannya beberapa macam :
1.sesuatu yang dijelaskan bagi
makhluknya secara nash, seperti jumlah-jumlah fardhu.
2.sesuatu yang dihukumi fardhu dengan
kitabnya dan diterangkan cara pelaksanaannya oleh lidah nabinya seperti
bilangan sholat.
3.sesuatu yang digariskan oleh
Rasulullah saw yang tidak ada nash hukumnya dalam kitab Allah atas hambanya.
4.sesuatu yang difardukan oleh Allah
atas hambanya untuk berijtihad mencarinya, Allah menguji ketaatan mereka dengan
berijtihad sebagaimana Allah menguji ketaatan mereka dalam sesuatu yang difardukan
atas mereka selain ijtihad. Setiap macam-macamnya telah dibuatkan contoh-contoh
yang cukup untuk dipahami.
Kemudian Al-Syafii menyebutkan bahwa Al-Quran berbahasa
Arab dan disitu tidak ada sesuatupun kecuali dengan bahasa arab.[6]
c. Verifikasi
Ushul Fiqh Dan Fiqh Dalam Kajian Fiqh Sosial
Kiranya kita perlu menanyakan kembali apakah praktek
syari’at yang diturunkan kepada manusia itu hanyalah sebagai ungkapan terima
kasih mahluk kapada sang pencipta atau sebagai sebuah anugerah yang esensinya
adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri yang bukan hanya sekedar
aturan-aturan legal formal yang mengatur interaksi vertikal dan horisontal yang
harus di jauhkan jauh dari inovasi-inovasi pemikiran yang bebas.
Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita perlu
membahas kembali kajian-kajian fiqh yang seluruh gagasanya diduga keras adalah
kehendak daripada Syari’(allah). Dalam kajian ilmu fiqh berangkat dari teks
pokok (nash) ada dua hal yang menentukan produk-produk yang di hasilkanya atau
hasil dari ijtihad, yaitu kajian ushul dan furu’. Dalam pembahasan tujuan
syari’at semua ulama’ menyepakati tentang adanya gagasan pokok yang
mendasarinya, yaitu “demi kemaslahatan manusia”, artinya syari’at diturunkan
adalah bertujuan untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Ushul fiqh sebagai sebuah metodologi khusus yang
digunakan untuk menjelajahi kehendak ilahi di tuntut untuk mampu mengakomodir
segala permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan fiqh
adalah implementasi dari pada ushul yang bersifat mampu menjawab segala
permasalahan yang terjadi dalam tataran masyarakat.
As Shatiby membagi
ijtihad dalam dua bentuk, pertama; ijtihad istinbathi yakni upaya Mujtahid
dalam menempuh ide hukum dari nash sesuai dengan tujuan syara’. Ide hukum ini
selanjutnya menjadi tolak ukur dalam mengkaji sebuah masalah di mana hukum
hendak diterapkan, akan tetapi semua teori hukum yang di pakai oleh para Mujtahid
tidak secara keseluruhan mampu di praktekkan dalam rumusan hukum fiqh karena
ushul fiqh sendiri adalah hashl dari olah fikir para Mujtahid yang digali
langsung dari nash melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehinga menjadi
sebuah keniscayaan apabila teori-teori dalam ushul fiqh banyak mengalami
perbedaan di antara para Mujtahid di karenakan perbedaan tingkatan pengetahuan
mereka terhadap disiplin ilmu pengetahuan, selanjutnya walaupun ushul fiqh
adalah hasil daripada rumusan Mujtahid akan tetapi dari hasilnya terbukti
menjadi sebuah teori yang kebanyakan mampu menjadi pedoman bagi para pengikut
madzhab untuk menangapi segala problematika masyarakat. Dalam menyikapi semua
perbedaan di atas tentunya kita bisa mengambil banyak pelajaran dan keuntungan
serta dituntut untuk selektif di dalam memilih dan mengunakan teori-teori di
atas dengan menyesuaikanya dengan keadaan sosial di masyarakat atau bahkan
dengan rumusan teori baru yang lebih mendasar dan kongkrit.
Kedua Ijtihad Tadbiqi, (tahtbiq al manhaj)
yakni upaya sebuah Mujtahid untuk menerapkan hukum yang diperoleh melalui Ijtihad
Istinbathi terhadap suatu masalah atau kasus yang berkembang di masyarakat.
Namun, karena kondisi kehidupan manusia selalu berubah bisa jadi hasil dari
ijtihad akan berubah-rubah, untuk itu seorang Mujtahid haruslah peka terhadap
kondisi sosial di masyarakat. Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai tindakan
membuat hukum dengan mengaitkannya terhadap makna kully dalam penetapannya
terhadap suatu kasus tertentu.
Dari keterangan di atas jelas bahwa metode di atas
sebagai ijtihad sosial terhadap
realisasi ide-ide Al Qur’an Pada dataran kehidupan manusia yang selalu
berkembang dan mengalami perubahan, yang tentunya metode ini adalah metode
ijtihad yang tidak akan berhenti sampai akhir zaman, selanjutnya yang menjadi
objek kajian dalam metode ini bukanlah Al Qur’an dan hadist akan tetapi adalah
keadaan sosial di masyarakat[7],
jadi rumusan-rumusan hukumnya akan selalu agak berbeda-beda disetiap waktu dan
situasi. Mungkin salah satu contoh yang bisa penulis paparkan di sini adalah
masalah potong tangan bagi pelaku pencurian yang telah memenuhi syarat potong
tangan, umar pernah tidak melaksanakan hukuman tersebut di karanakan kondisi
masyarakat pada waktu itu mengalami situasi perekonomian yang buruk.
Verifikasi ushul dan fiqh kiranya sangat diperlukan
dalam menunjang terlaksananya segala tujuan syari’at, karena dengan adanya
pemilahan dan kajian mendalam dan konstuktif antara peran ushul dan fiqh maka
akan tampak jalaslah kedudukan keduanya dalam menentukan hukum dimasyarakat,
sehingga tidak ada lagi masalah yang tidak akan terpecah dalam kehidupan
masyarakat. Dalam merumuskan suatu hukum yang pertama kali di telaah adalah
nash-nash pokok yang menjadi dasar pijakan utama bagi orang beragama, yaitu al
Qur’an dan hadist melalui disiplin ilmu pengetahuan yang telah disepakati para
Ulama’. Jadi ushul fiqh atau kajian ushul adalah kebutuhan primer yang harus
dilaksanakan oleh para Mujtahid untuk merealisasikan hukum syara’ dalam bentuk
fiqh dengan tetap berpegang teguh terhadap tujuan syari’at.
Kemudian yang menjadi permasalahan kita sekarang adalah,
bagaimana seandainya rumusan yang di ambil dari teori-teori tersebut ternyata
terbukti tidak menjadikan kemaslahatan dalam kehidupan dimasyarakat dan
berlawanan dengan tujuan syara’ seperti dalam kasus zina dan pembunuhan bagi
orang yang terpaksa atau dalam ancaman, dalam berbagai literatur klasik
seseorang wanita harus tetap mempertahankan kehormatanya untuk tidak melakukan
zina walaupun dalam ancaman pembunuhan yang tidak bisa dihindari, karena dalam
kaidah di sebutkan “ keadaan darurat tidak bisa di hilangkan dengan keadaan
darurat yang lain” sehinga wanita tersebut harus mengorbankan nyawanya demi
mempertahankan kehormatanya dikarenakan seandainya dia pasrah maka dia telah
menyebabkan seorang pria wajib terkena rajam (membahayakan yang lain),
sedangkan tujuan syari’at adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Kalau
kita perhatikan kejadian di atas terjadi kontradiksi di antara rumusan tujuan
syari’at yang berjumlah lima
poin:
1.
menjaga
jiwa
2.
menjaga
agama
3.
menjaga
keturunan
4.
menjaga
akal
5.
menjaga
harta.
Disini terjadilah kontradiksi antara menjaga jiwa dan
menjaga kehormatan serta keturunan. Lantas bagaimanakah para Mujtahid saat ini
mengambil kesimpulan apakah tetap memberlakukan kaidah lama atau akan menjadi
pengecualian dari kaidah di atas yang selanjutnya menjadikan kaidah baru dalam
tataran metodologi.
Menurut hemat penulis kaidah lama tidaklah kita
kesampingkan begitu saja, akan tetapi tetap kita jadikan referensi untuk
menentukan kaidah baru dengan kembali melakukan kajian-kajian teks dan latar
belakang sosial masyarakat, setelah itu kita bisa mengambil kesimpulan.
Kita tentunya sepakat bahwa apa yang dilakukan para Mujtahid
terdahulu tidaklah terlepas dari para Mujtahid sebelumnya serta kemampuan yang
mereka miliki, yaitu terjadinya estafet ilmu pengetahuan di antara para Mujtahid
dengan adanya penyempurnaan-penyempurnaan sesudahnya.
Setelah kita mengetahui verifikasi ushul fiqh dan fiqh,
tentunya kita juga harus mengetahui fungsi-fungsi dari keduanya yang antara
lain adalah:
1.
menerangkan
dasar-dasar ijtihad dan kaidah-kaidah yang berdiri sendiri yang memungkinkan
kita membandingkanya dengan kaidah-kaidah yang lain
2.
menerangkan
kaidah-kaidah yang di tetapkan pada furu’
3.
bisa
melakukan studi perbandingan yang menyeluruh, karena selalu berkutat dalam
pembahasan partikular dan universal
4.
Mempermudah
bagaimana mengeluarkan hukum, menumbuhkan furu’ dan kongklusi hukum untuk
masalah-masalah yang tidak terjadi pada masa imam[8]
BAB III
SIMPULAN.
Sebagai muslim kaafah kita tentunya harus menggali
hukum-hukum islam dengan segala kapasitas yang
telah diberikan tuhan kepada manusia, di samping mengetahui kedudukan
syari’at dan produk-produk yang dihasilkanya. Serta mengemas syariat sebagai
sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia bukan sebagai suatu hal yang
terkesan menakutkan dan kejam, seperti yang banyak terjadi di berbagai kalangan
komunitas muslim konserfatif. Dengan kemasan yang sesuai dengan keadaan sosial masyarakat
tentunya syari’at akan menjadi motivasi utama bagi pembentukan masyarakat yang
dinamis, kreatif dan beradab tampa tercerabut dari fondasi teologis dan
substansinya, sebagaimana janji alloh yang telah menjadikan kita orang-orang
muslim dan beriman sebagai umat terbaik di muka bumi ini dari pada umat-umat
yang lain. Wallohu a’lam bi al showab.
Daftar
Rujukan
1.
Sudarsono,
Pokok-pokok Hukum Islam,2001, PT Rineka Cipta, cet:II .
2.
Zuhri,
Mohammad, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, 1980, Darul Ikhya.
3.
Sabirin,
Sahrir. Islam dinamis, tiara wacana, 1997 yogyakarta, hal:80
4.
Hasbi As-Shiddiqy,
Tengku Muhammad pokok-pokok pegangan imam madzhab, pustaka rizqi putera. 1997. semarang.
5.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, DEPDIKNAS, Balai Pustaka.
[1] Mahasiswa STAI Ma’had ‘Aly al Hikam semester IV.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, DEPDIKNAS, Balai
Pustaka, hal: 1260
[3] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam,2001, PT Rineka Cipta, cet:II
hal: 74
[4] Ibid, hal:76
[5] Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, 1980, Darul
Ikhya, hal:395
[6] Ibid , hal:396
[7] Sahrir Sabirin. Islam dinamis, tiara wacana, 1997 yogyakarta,
hal:80
[8] Teungku Muhammad hasbi as shidiqy, pokok-pokok pegangan imam
madzhab, pustaka rizqi putera. 1997. semarang,
hal:16
No comments:
Post a Comment