ARAB SEBELUM ISLAM
Pembimbing : Arif Zamhari, Ph.D
Disusun oleh : Sahroni
A. Pendahuluan
Kelahiran Islam dapat
dipararelkan dengan turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an
sendiri turun sevara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Sebagai
sebuah “ultimate teks”, al-Qur’an bagi umat Islam adalah segalanya, ia adalah
pedoman dan rambu-rambu sekaligus model ideal untuk diterjemahkan ke dalam
kehidupan dalam berbagai dimensinya.
Di sisi lain, kenyataan bahwa
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan diturunkan dalam konteks
geografis Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa suatt pemahaman yang
komprehensif terhadap al-Qur’an hanya mungkin dilakukan dengan sekaligus
melacak pemaknaan dan pemahaman pribadi, masyarakat dan lingkungan mereka yang
menjadi audiens pertama al-Qur’an, yaitu Muhammad dan masyarakat Arab saat itu
dengan segala kultur dan tradisinya.
B. Pembahasan
1. Kondisi Geografis Semenanjung
Arab
Arabia adalah
semenanjung yang besar di barat daya Asia. Kalau diperhatikan kelihatanlah
bahwa Jazirah Arab itu berbentuk empat persegi panjang, yang sisi-sisinya tiada
sejajar. Di sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah, disebelah selatan
dengan Lautan Hindia, di sebelah timur dengan Teluk Arab Persia dan di sebelah
utara dengan Gurun Irak dan Gurun Syam (Gurun Siria).
Sejak dulu,
wilayah ini terbagi dalam tiga bagian ; pertama, kawasan utara dan barat
yang disebut Hijaz. merentang dari palestina ke Yaman, disekitar laut merah.
Mekah, Madinah dan Thaif adalah kota-kota penting di Hijaz. Kedua,
kawasan tengah dan timur yang disebut Gurun Arab. Kawasan ini meliputi zona
Najd. Ketiga, kawasan selatan yang disebut Yaman. Kawasan ini terletak
di sebelah barat daya Jazirah Arab, sekitar 750 km dari utara ke selatan dan
400 km dari barat ke timur.
2. Asal-usul Bangsa Arab
Menurut fakta sejarah, jazirah Arab telah dihuni oleh banyak suku. Namun
dalam sejarah negeri ini, ada tiga suku induk yang telah mencapai kemasyhuran
lebih besar dari pada suku lainnya.
a. Ba'idah : Ba'idah berarti punah. Disebut demikian
karena suku ini telah punah dari muka ini; mereka tertimpa bencana dari langit
dan bumi karena kedurhakaan mereka yang tiada henti. Suku ini seperti kaum 'Ad
dan Tsamud sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an.
b. Qahtani : kaum ini adalah keturunan ya'rab bin
qahtan. Mereka tingal di Yaman dan bagian Arab selatan. Mayoritas penduduk Yaman,
juga suku aus dan khazraj – dua suku besar di madinah di masa dini Islam –
adalah keturunan Qahtan.
c. Adnani : mereka adalah keturunan Ismail putra nabi Ibrahim.
Ini berawal ketika ibrahim menerima perintah dari allah yang memerintahkan nabi
Ibrahim untuk membawa dan menghunikan putranya Ismail dan ibunya Hajar dari
Palestina ke tanah Makkah. Kemudian Ismail menikah dengan wanita dari suku
Jarham yang telah membangun kemah dekat Makkah. Keturunan adnan terbagi menjadi
banyak suku. Yang ternasyhur di antaranya adalah suku Quraisy.
3. Moral Umum Bangsa Arab
Yang dimaksud disini adalah moral dan adat istiadat masyarakat yang berlaku
di kalangan Arab pra Islam. Walaupun masyarakat Arab pra Islam dikenal dengan
masa Jahiliyah namun secara umum orang Arab memiliki sifat-sifat yang patut
dipuji.
Sebelum datangnya Islam, orang Arab berwatak pemurah dan ramah, jarang melanggar
amanat, taat kepada kepercayaannya dan sangat fasih berbicara, suka mengembara,
pemberani dan ahli berkuda dan memanah. Bagi mereka melarikan diri dari musuh
adalah aib yang amat memalukan.
Kejahiliyahan bangsa Arab pra Islam
disebabkan karena tidak adanya bimbingan dan pendidikan yang pantas. Keadaan tersebut
telah membuat banyak orang Arab berbuat asusila dan takhayyul sehingga mereka menjalani
kehidupan seperti hewan. Sejarah telah mencatat mereka telah melakukan
peperangan selama lima puluh tahun hingga seratus tahun, dan itupun disebabkan
oleh hal-hal kecil dan sepele.
Perbuatan anarkis tersebut – tidak
adanya hukum dan tata tertib, dan tidak adanya pemerintahan yang berwenang
untuk mengontrol situasi dan menangani kedurhakaan – menyebabkan orang Arab
menjalani kehidupan nomada (berpindah-pindah), di samping kondisi georafisnya
yang tidak sehat (tandus kering).
4. Agama dan Kepercayaan
Bangsa Arab adalah salah satu
dari bangsa-bangsa yang telah mendapat petunjuk. Mereka mengikuti agama Nabi
Ibrahim. Tetapi bangsa Arab setelah mengikuti agama
Nabi Ibrahim lantas kembali lagi menyembah berhala.
Selama masa yang panjang,
keyakinan agama telah diwarnai dengan politeisme dan kepercayaan bahwa berhala
merupakan manifestasi ketuhanan. Sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur'an: " Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka:
"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan
menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui."[1] "…Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya."[2]
Bangsa Arab memandang bahwa
berhala-berhala itu mempunyai kekusasaan dan
dapat memberi keselamatan. Tak heran apabila mereka mau mengadakan
perjalanan, mereka mengusap-ngusap berhala-berhalanya terlebih dahulu sebagai
sebuah penghormatan dan memohon keselamatan. Di samping itu, di antara kalangan
bangsa Arab juga ada yang memuja matahari dan rembulan.
Di samping
pemujaan kepada berhala-berhala, agama-agama ketuhanan pun telah pernah
memasuki Jazirah Arab, sebelum datang agama Islam. Seorang raja Yaman yang
bernama Zu Nuas adalah pemeluk agama yahudi. Zu Nuas menerima agama Yahudi dari
orang-orang Yahudi yang berpindah ke Yaman. Pusat kedudukan yahudi adalah Yatsib.
Sedangkan agama Masehi (nasrani) tinggal di Njaran. Agama masehi ini datang ke
Jazirah Arab ialah dari Siria, Mesir dan Habsyi. Namun kedua komunitas ini juga
telah mengalami penyimpangan-penyimpangan terkait dengan keesaan Tuhan.
Selain itu, banyak juga mitos
dan takayyul yang berlaku di kalangan Arab.[3] Kepercayaan-kepercayaan terhadap mitos dan
takhayyul tersebut antara lain: membakar sapi untuk memanggil hujan, mencap
unta sehat untuk menyembuhkan unta yang sakit, mengurung unta di dekat kuburan
seorang tokoh supaya dapat ditunggangi di akhirat dan lain-lain.[4]
5. Kondisi Sosial Arab
pra Islam
Kebiasaan mengembara membuat orang-orang Arab
senang hidup bebas, tanpa aturan yang mengikat sehingga mereka menjunjung
tinggi nilai-nilai kebebasan. Pada musim paceklik dan musim panas, mereka
terbiasa melakukan perampasan sebagai sarana hidup.
Peperangan antar kabilah untuk merebut sumber mata
air menjadi tradisi yang kuat, bahkan berlanjut dari generasi ke generasi.
Karena itu, mereka membutuhkan keturunan yang banyak terutama anak laki-laki
untuk menjaga kehormatan kabilahnya.
Sementara anak perempuan dalam
pandangan orang Arab tak lebih dari barang perniagaan yang dapat
diperjualbelikan, tidak memiliki hak pribadi dan sosial – termasuk hak untuk
mewarisi – bahkan menganggapnya seperti binatang. Perempuan adalah aib yang sangat memalukan.
Al-Qur’an menggambarkan perbuatan sadis ini dalam surat at-takwir ayat 8-9 : “...Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya.
karena dosa apakah dia dibunuh.”
Orang Arab
adalah mereka mengubur putri-putrinya dalam keadaan hidup-hidup atau memancung
kepala di hari kelahirannya atau melemparkannya dari bukit tinggi ke lembah
yang dalam atau sesekali mereka membenamkannya ke dalam air. kebiasaan
Kebiasaan biadab ini telah didokumentasikan dalam al-Qur’an : “
Dan apabila
seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah
(merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Selain Karakter feudal pada hukum Arab pra-Islam
tergambar dengan adanya superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum
bangsawan di atas kaum miskin dan lemah. Kehidupan dagang yang banyak dijalani
oleh orang Arab Makkah pada waktu itu –yang mengutamakan kesejahteraan materi-
menjadikan tumbuhnya superioritas golongan kaya dan bangsawan di atas golongan
miskin dan lemah. Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam adalah pemegang tampuk
kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang makmur dan sejahtera di Makkah,
kebalikan dari kaum miskin dan lemah.
Sekalipun ada nilai kebaikan (al-muru'ah)
dalam masyarakat Arab pra-Islam, sebagaimana yang tergambar dalam puisi-puisi
Arab pra-Islam, yaitu bahwa salah satu kebaikan yang harus dimiliki oleh
pemimpin kelompok adalah kedermawanan -sebagaimana dicatat oleh Philip K.
Hitti-, namun disebutkan oleh Lapidus bahwa masyarakat Arab pra-Islam mempunyai
rasa kebanggaan yang salah, yaitu neglect of the poor, neglect of almsgiving
and of support for the weaker member of the community (menampik orang miskin,
menolak memberi sedekah dan bantuan kepada anggota masyarakat yang lemah).
Sistem hukum dan sejarah perbudakan di kalangan Arab pra-Islam merupakan bukti
kuat adanya karakter feudal pada hukum Jahiliyyah masyarakat Arab pra-Islam
tersebut. Budak adalah manusia rendahan yang memiliki derajat jauh di bawah
rata-rata manusia pada umumnya, bisa diperjualbelikan, bisa diperlakukan apa
saja oleh pemiliknya, dan tidak memiliki hak-hak asasi manusia sewajarnya
selaku seorang manusia.
6. Budaya Arab pra
Islam
Di balik watak dan prilaku keras orang Arab,
mereka memiliki jiwa seni yang sangat halus dalam bidang sastra, khususnya
syair. Kepandaian dalam menggubah syair merupakan kebanggaan, dan setiap
kabilah akan memposisikan pada tempat yang terhormat. Maka tidak heran kalau
pada masa itu muncul para penyair ternama, semisal Umru' al-Qais, al-Nabighah
al-Dubyani, A'sya, Harits bin Hillizah al-Yasykari, Antarah al-Absi, Zuhair bin
Abi Sulma, Lubaid bin Rabi'ah dan lainnya.
Mereka mengekspresikan syairnya di pasar Ukkadz
yang terletak di antara Tha'if dan Nakhlak. Syair-syair yang berkualitas tinggi
kemudian digantung di sekitar Ka'bah dan dianggap sebagai hasil karya sasrta
yang bermutu (muallaqat).
Sebelum Islam datang, tradisi pendidikan mereka
terbatas pada tradisi lisan. Pewarisan pengetahuan berlangsung dari mulut ke
mulut (oral), dan dari generasi ke generasi. Materi pendidikan mencakup
pengetahuan dan ketrampilan dasar sesuai dengan kondisi kehidupan setempat saat
itu. Dengan kebanyakan penduduk yang masih nomad dan peternakan sebagai sumber
daya utama, maka materi pendidikan mencakup teknik dasar beternak secara
alamiah, mengetahui lokasi lahan tempat rumput subur, menunggang kuda, dan
pengetahuan dasar tentang arah untuk menghindari kesesatan di tengah padang
pasir.
Pada kehidupan nomad seperti ini, kita tidak tahu apakah upaya pewarisan
ini terjadi secara sistimatis dan terencana, atau berlangsung sebagai bagian
dari hidup itu sendiri. Yang pasti, apa yang kita sebut sebagai pendidikan pada
saat itu jelas berbeda dengan apa yang kita pahami di era modern.
Sisi lain yang menarik dari kegiatan pendidikan
mereka adalah dominannya syair sebafai media ekspresi pemeliharaan buah pikiran
dan tradisi yang mengakar. Bagi masyarakat Arab, mengungkapkan sesuatu dalam
bentuk syair mempunyai nilai lebih dibanding dengan ungkapan bebas (prosa).
Sehingga tidak mengherankan kalau syair merupakan salah satu bagian penting
dari kegiatan budaya dan intelektual mereka dari dult sampai sekarang.
7. Kondisi dan
Situasi Politik Arab Pra Islam
Sebelum kelahiran Islam, ada tiga kekuatan politik besar yang perlu dicatat
dalam hubungannya dengan Arab; yaitu kekaisaran Nasrani Byzantin dan kekaisaran
Persia yang memeluk agama Zoroaster, serta Dinasti Himyar yang berkuasa di Arab
bagian selatan. Setidaknya ada dua hal yang bisa dianggap
turut mempengaruhi kondisi politik jazirah Arab, yaitu interaksi dunia Arab
dengan dua adi kuasa saat itu, yaitu kekaisaran Byzantin dan Persia serta
persaingan antara yahudi, beragam sekte dalam agama Nasrani dan para pengikut
Zoroaster.
Kondisi Arab yang terlindung
oleh gurun-gurun pasir, serta masyarakatnya yang sebagian besar hidup nomad,
membuat Arab tidak tertaklukkan secara utuh oleh ketiga kekuatan tersebut. Di tambah
lagi adanya beragam suku dengan wilayah dan pemimpin yang berbeda-beda serta
tidak bersatu.
Tradisi kehidupan gurun yang
keras serta perang antar suku yang acap kali terjadi ini nantinya banyak
berkaitan dalam penyebaran ide-ide Islami dalam al-Qur’an, seperti ”jihad”, ”sabar”,
”persaudaraan” (ukhuwwah), persamaan, dan yang berkaitan dengan semua
itu.
Jazirah Arab terletak sangat
terisolasi, baik dari sisi daratan maupun lautan. Sejarah dunia yang besar
telah jauh meniggalkannya. Perselisihan yang membawa peperangan antar suku
berlangsung dalam sekala besar-besaran di stepa-stepa jazirah tersebut. Dari
sudut pandang negara-negara adikuasa, Arabia merupakan kawasan terpencil dan
biadab, sekalipun memiliki posisi cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam
ajang perebutan kekuasaan politik raksasa : Bizantiun dan Persia.
Kekaisaran Bizantium dan
Kekaisaran Romawi Timur – dengan ibu kota Konstantinopel – merupakan
bekas Imperium Romawi dari masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah
imperium ini telah meliputi Asia kecil, Siria, Mesir dan sebagian daeah Italia
serta sejumlah kecil wilayah di perisir Afrika Utara juga berada di bawah
kekuasaannya.
Saingan berat Bizantium dalam perebutan kekuasaan di Timur Tengan adalah
Persia. Ketika itu, imperium ini berada di bawah kekuasaan dinasti Sasanid
(sasaniyah). Ibu kota Persia adalah al-Mada’in, terletak sekitar 20 mil di
sebelah tenggara kota Baghdad yang sekarang. Wilayah kekuasaannya terbentang
dari Irak dan Mesopotamia hingga pedalaman timur Iran dewasa ini serta
Afganistan.
Perebutan Kekuasaan kedua Imperium adidaya di atas memiliki pengaruh nyata
terhadap situasi politik di Arabia ketika itu. Kira-kira pada 512, kerajaan Kristen
Abisinia dengan dukungan penuh Bizantium menyerbu serta menaklukkan dataran
tinggi Yaman yang subur di barat daya Arbia. Memandang serbuan tersebut sebagai
ancaman terhadap kekuasaannya, Dzu-Nuwas penguasa Arabia selatan pro Persia
bereaksi dengan membantai orang-orang kristen Najran yang menolak memeluk agama
Yahudi.
Peristiwa pembantaian ini,
terjadi di sekitar 523, memiliki pengaruh traumatik terhadap keseluruhan
jazirah Arab dan dirujuk dalam satu bagian al-Qur’an (85:4-8).[5]
Atas desakan dan dukungan Bizantium, pada 525 Dzu Nuwas berhasil digulingkan
dari tahtanya lewat suatu ekspedisi yang dilakukan orang-orang Abisinia. Tetapi, sekitar 575, dataran tinggi Yaman
kembali jatuh ke tangan Persia.
Menjelang lahirnya Nabi
Muhammad SAW, penguasaan Abisinia di Yaman – Abraham, atau lebih populer di
rujuk dalam literatur Islam sebagai Abrahah – melakukan invasi ke Mekkah,
tetapi gagal menaklukkan kota tersebut lantara epidemi cacar yang menimpa bala
tentaranya, Ekpedisi ini – merujuk Al-Qur’an dalam surat 105 pada prinsipnmya
memiliki tujuan yang secara sepenuhnya berada di dalam kerangka politik
internasional ketika itu. Yaitu upaya Bizantyum untuk menyatukan suku-suku Arab
di bawah pengaruhnya guna menantang Persia.
Sementara para sejarawan
muslim menambahkan tujuan lain untuknya. Menurut mereka ekpedisi tersebut –
terjadi kira-kira pada 552 – dimaksudkan untuk menghancurkan Ka’bah dalam
rangka menjadikan gereja megah di San’a yang dibangun Abrahah, sebagai pusat
ziarah pusat keagamaan di Arabia.
Pada permulaan abad ke 7, Persia
mencata serangkaian kemajuan berarti dalam upaya perluasan pengaruh politiknya
pada 611 bala tentaranya berhasil menaklukkan kota Raha, kemudian bergerak ke
selatan dan menundukkan satu demi satu wilayah Imperium Bizantium. Siria jatuh ke tangannya pada 613, menyusul
Yerusalem pada 614 dan Mesir pada 617. Bahkan pada 626 pasukan Persia mengepung konstantinopel, meskipun
berlangsung sangat singkat dan tidak membawa hasil. Namun, penjarahan Yerusalem
yang dilakukan setelah suatu pemberontakan terhadap Persia, pembantaian
penduduk kota tersebut dan dibawa larinya benda yang dipandang sebagai salib
suci, telah membangkitkan emosi keagamaan orang-orang Kristen di seluruh
wilayah Imperium Bizantium. Kejadian ini tentunya sangat kondusif bagi Heraclius – penguasa tertinggi
Bizantium ketika itu – untuk menggalang kembali kekuatan meliternya.
Setelah menghadapi orang-orang
yang menyerang konstaltinopel dari utara, pada 622 Heraclius memusatkan
perhatian untuk menghadapi Persia. Suatu invasi yang berani ke Irak pada 627.
Walaupun belatentara Bizantium segera ditarik mundur setelah penyerbuan itu,
namun ketegangan-ketegangan yang muncul di dalam negeri Persia, akibat
peperangan berkepanjangan, mulai terasa. Kurang lebih setahun sebelumnya,
Khusru II – penguasa Persia waktu itu – dibunuh dan penggantinya yang memiliki
banyak musuh di dalam negeri lebih menginginkan perdamaian. Peperangan akbar
antara kedua Imperium adikuasa ini pun berakhir. Negosiasi penyerahan
propinsi-propinsi Bizantium yang direbut Persia berjalan berlarut-larut hingga
pertengahan 629. Akhirnya, pada penghujung tahun itu Heraclius kembali ke Konstantinopel
dengan kemenangan di tangan.
Perebutan kekuasaan yang
berkepanjangan antara Bizantium dan Persia, seperti telah diutarakan, mendapat
perhatian serius dari orang-orang ketika itu, lantaran relevansi politiknya yang
nyata terhadap mereka. Tentang perebutan kekuasaan kedua adikuasa tersebut,
al-Qur’an menuturkan : ” Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri terdekat
yang setelah dikalahkan itu mereka akan memperoleh kemenangan dalam beberapa
tahun lagi......” (30:2-4). Bagian awal pernyataan ini merujuk kepada
serangkaian kekalahan yang dialami Bizantium pada permulaan abad ke-7 –
khususnya pendudukan Yerusalem oleh belatentara Persia. Sementara bagian
selanjutnya merupakan prediksi tentang kemenangan akhir Bizantium atas Persia
pada perempatan kedua abad yang sama.
8. Kehidupan di
Jazirah Arab
Risalah yang dibawa Muhammad memiliki keterkaitan yang erat dengan milie dunia
perniagaan masyarakat perkotaan Arab ketika itu. Tanah air pertama Islam,
mekkah, merupakan pusat periagaan yang sangat makmur. Sementara tanah air
keduanya, Yatsrib - atau kemudian berganti nama dan lebih populer dengan
Madianah – adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga. Sekalipun tidak
sebesar mekkah. Meskipun Madinah memiliki peran sentral yang amat vital dalam
evolusi eksternal misi kenabian Muhammad SAW, namun milik komersial Mekkahlah
yang tampaknya paling mendominasi ungkapan-ungkapan al-Qur’an.
Pada penghujung abad ke-6, para pedagang besar kota Mekkah telah memperoleh
kontrol monopoli atas perniagaan yang lewat bolak-balik dari pinggiran pesisir
barat Arabia ke Laut Tengah. Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke
selatan di musim dingin dan ke utara di musim panas, dirujuk dalam al-Qur’an
(106:2). Rute ke selatan adalah Yaman, tetapi biasanya juga diperluas ke
Abisinia. sementara rute ke utara adalah ke Siria.
Di tangan kafilah-kafilah
dagang inilah orang-orang mekkah mempertaruhkan eksistensinya yang asasi. Di
lembah kota Mekkah yang tandus pertanian maupun peternakan adalah impian indah
di siang bolong kota ini sangat bergantung pada impor bahan makanan. karena
itu, kehidupan ekonominya yang khas adalah di bidang perniagaan dan kemungkinan
besar hanya bersifat moniter.
Perdagangan dan urusan-urusan finasial yang bertalian dengannya menjanjikan
satu-satunya penghasilan bagi penduduk kota makkah. Bahkan, secara ekonomis, hampir setiap orang
menaruh minat yang besar pada kafilah-kafilah dagang. Penjarahan atas suatu
kafilah ataupun musibah lain yang menimpanya akan merupakan pukulan berat dan
bencana bagi penduduk kota tersebut. Itulah sebabnya, supaya keamanan
kafilah-kafilah terjamin, orang-orang Quraisy harus melakukan negosiasi dengan
negara-negara tetangganya dan menjalin hubungan bauk dengan suku-suku
pengembara di berbagai bagian rute perniagaan.
Empat bersaudara anggotaa suku Quraisy dari keluarga Abd al-Manaf – Hasyim,
al-Muththallib, Abd al-Syam dan Naufal – dikabarkan telah memperoleh jaminan
keamanan dari sejumlah penguasa-penguasa Bizantium, Persia, Abisinia dan
Himyari. Hasyim dilaporkan memperolah jaminan keamanan dari sejumlah penguasa,
termasuk dari Qasyhar Bizantium; Al-Muththallib juga memperoleh perjanjian
yang sama dari penguasa Yaman; Abd al-Syams mendapatkannya dari penguasa
Abisinia; dan Naufal memperolehnya dari Kisra Persia. Jaminan keamanan
sejenis juga diperoleh dari suku-suku Arab di sepanjang perjalanan keempat
bersaudara anggota suku Quraisy itu. Jadi, bisa dikatakan bahwa Imperium niaga
orang-orang Makkah dalam kenyataannya dibangun keluarga Abd Manaf lewat
fakta-fakta perniagaan mereka.
Supremasi kaum Quraisy di dunia perniagaan, dalam kenyataannya, memiliki
fondasi religius. Mereka berdiam di dalam suatu kawasan yang di pandang suci
seluruh suku Arab. Suku-suku ini bahkan rela meregang nyawa mempertahankan
gagasan tentang kesucian makkah. Lebih jauh mereka juga merupakan penjaga Ka’bah,
dengan ”batu hitama’ (al-hajat al-aswad) beserta segala berhala di
dalamnya, yang merupakan tempat suci yang diziarahi orang dari berbagai penjutu
Arabia Barat. Jadi, ka’bah jelas merupakan tempat suci yang memiliki posisi
sentral bagi suku-suku di Arabia Barat, dan hal ini tentunya sangat menguntungkan
bagi aktivitas niaga yang dijalankan orang-orang mekkah.
C. Penutup
Demikianlah
sekelumit gambaran tentang kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada penulis
khsususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin...
Daftar rujukan :
Abd al-Aziz bin Muhammad
al-Faishal. 1405 H. al-Adab
al-Arabi Wa Tarikhuhu. Riyadh:
al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su'udiyah.
Hasan Asari. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung: Mizan.
Hitti, Philip K. 2006. History
of The Arabs. Jakarta :
Serambi Ilmu Semesta.
Ja'far Subhani. 1996. Ar-Risalah, Sejarah Kehidupan
Rasulullah Saw. Jakarta
: Penerbit Lentera
[1] QS. Az-Zukhruf, 43 : 9.
[2] QS. Az-Zumar, 39: 3.
[3] Baca Bulugh al-Adab fi Ma’rifah Ahwal
al-Arab karya Sayyid Mahmud Alusi
[4] Baca ar-Risalah hlm. 29-30
[5] Al-Buruj : “ Binasa dan
terlaknatlah orang-orang yang membuat parit 5. yang berapi (dinyalakan dengan)
kayu baker 6. ketika mereka duduk di sekitarnya 7. sedang mereka menyaksikan
apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. 8. Dan mereka tidak
menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman
kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuj.”
No comments:
Post a Comment