Saturday, January 5, 2013

Perdagangan Perempuan dan Anak

Perdagangan perempuan dan Anak (trafficking woman and children) Merupakan Pelangggaran HAM
Risma Dwi Arisona*
Abstrak: artikel ini menjelaskan tentang wilayah yang berpotensi, faktor penyebab, upaya dan hambatan dalam penangulangan perdagangan perempuan dan anak yang   merupakan pelanggaran HAM sehingga kita dapat mengetahui secara jelas dan obyektif realitas yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dalam mengolah data-data yang diperoleh sehingga kita dapat mengetahui secara jelas dan obyektif realitas yang terjadi di masyarakat. Trafficking terjadi tidak hanya dalam wilayan nasional tetapi juga transnasional dan kemiskinan merupakn salah satu faktor penyebab terjadinya trafficking. Trafficking merupakan pelanggaran HAM berat karena telah merampas hak-hak yang dimiliki perempuan dan anak secara tidak manusiawi. Sampai saat ini, upaya pemerintah masih mendapat hambatan dari berbagai pihak sehingga belum efektif dan lemahnya hukum membuat trafficking sulit diberantas.
Kata kunci: perdagangan, perempuan dan anak, pelanggaran HAM, kemiskinan, hukum.
A.   Latar Belakang
Fenomena Perdagangan Manusia khususnya anak dan perempuan atau dikenal dengan istilah  Trafficking bukanlah merupakan hal yang asing lagi dewasa ini. Perdagangan manusia ini diartikan sebagai suatu fenomena perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu tempat ketempat lain, yang kemudian dibebani utang untuk biaya proses berimigrasi ini.             
Mengingat masalah  trafficking sebagai masalah yang serius, maka pada tahun 1994 Sidang Umum PBB menyetujui Resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak, yaitu: Pemindahan orang melewati batas  nasional dan internasional secara gelap dan melawan hukum, terutama dari Negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secar seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindak illegal lainnya, yang berhuhungan dengan perdagangan perempuan seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrut, pedagang, dan sindikat kejahatan (Rachmad Syafaat, 2002:12).
Menurut konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing tahun 1995 “Trafficking women and children merupakan salah satu bentuk eksploitasi global yang melecehkan hak asasi dari jutaan perempuan dan anak di seluruh dunia. Adapun yang termasuk dalam eksploitasi seksual tidak hanya terbatas pada perdagangan perempuan untuk kepentingan prostitusi,tapi juga pornografi, pariwisata seks, perdagangan pengantin perempuan dan perkawinan sementara. Dan eksploitasi sosial ini mengabadikan posisi subordinat wanita.”
Perempuan dan anak adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa perlu dilindungi hak asasi manusianya. Adapun yang dimaksud dengan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan augerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinngi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (UU tentang HAM pasal 1). Karena itu, segala bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus segera dihentikan tanpa kecuali. Namun, dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang dengan teganya telah memperlakukan perempuan dan anak untuk kepentingan bisnis, yaitu melalui trafficking.
Masalah  perdagangan  perempuan dan anak  atau dikenal dengan  istilah  trafficking akhir-akhir ini  muncul menjadi suatu  masalah yang banyak diperdebatkan baik ditingkat regional maupun global dan dikatakan sebagai bentuk perbudakan masa kini serta melanggar HAM. Sebenarnya perdagangan manusia bukanlah hal baru, namun  baru beberapa  tahun  belakangan, masalah ini muncul ke permukaan dan menjadi perhatian tidak saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah transnasional.
Realitas yang ada adalah bahwa keterlibatan perempuan dalam berbagai sisi kehidupan termasuk dalam migrasi global lebih disebabkan oleh terbukanya akses komunikasi dan norma-norma sosial kultural yang menjadi gerbang di dalam seluruh proses perubahan. Namun demikian, patut pula disadari bahwa perubahan-perubahan yang terjadi tersebut menyimpan resiko yang lebih besar berkaitan dengan kemungkinan-kemunkinan munculnya model-model perbudakan baru atas nama kepentingan ekonomi (Abdul Haris, 2005: 127-128).
Jika pada masa lalu praktik-praktik perbudakan dilakukan atas nama adat, dimana keterlibatan besar norma kultural menentukan kepemilikan seseorang atas tubuh orang lain, makapada masa modern kondisinya berberda atas alasan yang berbeda pula. Alasan ekonomi yang berada dalam kerangka legalitas hukum formal melalui sistem kontrak memberikan dimensi perbudakan modern dalam pengertian yang lebih berkualitas. Program penempatan tenaga kerja luar negeri terutama dari negara berkembang seringkali terjebak pada praktik trafficking (Abdul Haris, 2005: 128).
Perdagangan manusia  merupakan  bagian kelam bangsa Indonesia, artinya persoalan perdagangan  manusia adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian, persoalan trafficking belum mendapat perhatian yang memadai untuk diatasi, hal ini sering menjadi sensualitas pemberitaan di media massa yang berusaha untuk menarik perhatian pihak-pihak yang berwenang. Kemudian ketika kasus ini masuk ke pengadilan, pelaku sering mendapat ganjaran hukuman yang ringan, sementara aktor intelektualnya tidak tersentuh oleh aparat penegakan hukum. Berbagai latar belakang dapat dikaitkan dengan meningkatnya masalah perdagangan perempuan dan anak seperti; lemahnya penegakan hukum, peraturan perundang-undangan yang ada, peran pemerintah dalam penaganan maupun minimnya informasi tentang trafficking. Tidak terlalu berlebihan bila berbagai kalangan menilai lemahnya penegakan hukum telah membuat aparat pegak hukum kehilangan kepercayaan dari masyarakat t dalam kasus trafficking perempaun dan anak. Masyarakat menjadi apatis, mencemohkan dan dalam keadaan tertentu kerap melakukan proses pengadilan jalanan (street justice).
 Trafficking in Persons Report (juli 2001) yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (Economy Social Comission on Asia Pacific/ESCAP) yang menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan perdagangan perempuan dan anak. Negara-negara dalam peringkat ini dikatagorikan sebagai negara yang memiliki korban dalam jumlah yang besar, pemerintahannya belum sepenuhnya menerapkan ”standart-standart minimum” serta tidak atau belum melakukan ”usaha-usaha yang berarti” dalam memenuhi standart pencegahan dan penanggulangan trafficking.
B. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berupaya menjelaskan  secara jelas tentang perdagangan perempuan dan anak yang merupakan pelanggaran HAM dan hambatan penanggulangannya. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data diperoleh dari buku khususnya yang mengkaji tentang perdagangan perempuan dan anak, artikel-artikel, pendapat para ahli, dan peraturan perundang-undangan. Data-data yang diperoleh dalam penelitian  mengkaji melalui buku, dokumen, artikel koran, tayangan televisi, dan internet yang telah di analisis sehingga sumber tersebut dapat di percaya.
Dalam menganalisa data penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu menggambarkan keadaan secara obyektif di lapangan. Data yang diperoleh diolah terlebih dahulu, kemudian baru dianalisis sesuai atau tidak dengan masalah yang diangkat. Setelah itu, diinterpretasikan dengan cara berpikir deduktif untuk mendapatkan kesimpulan secara lebih objektif.  


B.   Hasil dan Pembahasan
Wilayah yang Berpotensi Besar dalam Praktik Trafficking
 Fenomena perdagangan perempuan dan anak sudah lama berkembang di berbagai negara, seperti; Saudi Arabia, Jepang, Malaysia, Hongkong Taiwan, Singapura dan termasuk juga Indonesia. Tidak ada Negara yang kebal terhadap trafficking, setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 perempuan dan anak diperdagang. Menurut PBB perdagangan manusia ini adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan 9,5 juta US$ dalam pajak tahunan menurut itelijen AS. Hal ini merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan perdagangan ini tidak lagi terbatas pada batas wilayah negara melainkan berlangsung lintas batas. Pola perdagangannyapun mengalami perubahan, tidak lagi hanya dilakukan oleh perseorangan melainkan sindikat-sindikat terorganisir yang disinyalir memiliki kegiatan illegal lainnya seperti penjualan obat-obatan adiktif dan senjata.
Menurut catatan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, daerah yang memiliki kasus trafficking tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Namun tidak berarti wilayah lain "bersih". Jawa tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa tenggara Timur adalah wilayah lain yang potensial. Sedangkan Jakarta, Riau, Batam, Bali, Balikpapan, dan Papua dikenal sebagai daerah tujuan perdagangan orang, khususnya untuk keperluan eksploitasi seksual. Di Provinsi NAD pasca Tsunami juga dikejutkan dengan adanya berita di media massa yang mengatakan bahwa sebanyak 300 anak korban Tsunami telah di bawa ke luar Aceh secara diam-diam dan beberapa kasus lainnya diperdagangkan ke Riau dan Medan.
 Dalam kenyataannya di masyarakat dapat disaksikan begitu banyak peristiwa yang menimpa anak-anak sehingga merenggut masa kecilnya dan bahkan masa depannya. Hal ini dapat dilihat di kota-kota besar dengan adanya praktek eksploitasi terhadap anak yang dijadikan pengemis, pengamen jalanan, pekerja anak, pekerja seks komersial, diperdagangkan dan sebagainya. Berbagai kasus  perempuan dan anak yang diperdagangkan seringkali mereka dipekerjakan di sektor yang berbahaya, pekerjaan terlarang, kurir narkoba, untuk kerja paksa, pembantu rumah tangga,  korban ekploitasi seksual dalam pornografi, prostitusi dan tidak jarang anak diperdagangkan untuk kepentingan adopsi atau dimanfaatkan organ tubuhnya untuk kepentingan medis bagi transplantasi untuk orang-orang kaya yang membutuhkan.
Berkaitan dengan perkembangan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) hak-hak asasi  perempuan dan anak kembali menjadi perhatian yang selama ini belum mendapat perhatian serius mengingat masih banyaknya kasus-kasus yang menimpa anak Indonesia. Dalam laporan Deplu AS mengenai traficking in person, bersama 22 negara lainnya Indonesia termasuk negara yang menjadi sumber trafficking, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun manca Negara. Menurut laporan American Center for International Labor Solidarity (ACILS) dan Jaringan Penanggulangan Anak Indonesia (JARAK),  khusus untuk Propinsi Jawa Timur, daerah yang rawan dan potensi terjadinya perdagangan perempuan dan anak  adalah Bayuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek.
Faktor-faktor Terjadinya Trafficking
Faktor terjadinya perdagangan perempuan dan anak merupakan multi faktor, dan dapat dikatakan bukanlah masalah yang sederhana, sehingga diperlukan kerjasama yang sinergi dari berbagai instansi aparat penegak hukum. Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang dapat dilaksanakan untuk pencegahan terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Beberapa faktor latar belakang terjadinya perdagangan tersebut dapat disebutkan, yaitu karena : Kemiskinan, pendidikan rendah, pengangguran, migrasi keluar desa dan keluar negeri, ketahanan keluarga yang rapuh, factor ketidaksetaraan gender dan budaya patriarkhi, konsumerisme, meningkatnya permintaan, dorongan penyiaran dan tulisan porno di media massa, penegakan hukum terhadap pelaku masih belum tegas dan konsisten, dan kesadaran pemerintah dan masyarakat tentang trafficking belum memadai.
Trafficking Merupakan Pelanggaran HAM  
Di dalam Hukum Nasional Indonesia upaya-upaya hukum untuk menangani kejahatan perdagangan perempuan dan anak dilakukan dengan Pasal 296, 297, 298, KUHP, namun pasal-pasal ini cenderung tidak mampu menjerat para pelaku perdagangan perempuan, karena cakupannya terlalu sempit dan rancu. Peraturan yang lain adalah dalam Pasal 65 UU No 39/1999 tentang HAM. Selain itu, dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia 1948 ditegaskan, bahwa "setiap orang dilahirkan mempunyai hak akan kehebasan dan martabat yang setara". Penegasan ini merupakan simbol suatu kehidupan bermasyarakat dengan suatu visi tentang perlunya menghormati kemanusiaan setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa dan jenis kelamin. Dengan demikian perempuan dan anak berhak memperoleh perlindungan hak asasi manusia.
Perdagangan perempuan dan anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, karena melanggar: 1) Hak atas kehidupan; 2) Hak atas persamaan; 3) Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi; 4) Hak atas perlindungan yang sama di muka umum; 5) Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya; 6) Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik; 7) Hak untuk pendidikan lanjut; 8) Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenang-wenang (diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 1993, GA Res 48/104).
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM tersebut dapat terjadi pada saat  proses perekrutan,  transpotasi saat sampai di negara tujuan, dan saat proses perdagangan. Pelanggaran yang terjadi berupa:  penipuan, penyekapan, ancaman dan penggunaan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan pemutusan akses dengan keluarga dan/atau bantuan jenis apapun, hak atas informasi, penyiksaan, kondisi hidup yang buruk, perempuan dipaksa melacur, kondisi kerja yang tidak layak, penghapusan akses ke kesehatan, penyitaan identitas dan dokumen perjalanan, pelanggaran terhadap aspek budaya/agama, penolakan akses kebangsaan, pendidikan, perempuan dipaksa menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan, diskriminasi, kehilangan kontrol terhadap hidup, penyangkalan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, penahanan dan dipenjara illegal dengan tuduhan palsu, penganiayaan dan perkosaan dalam penahanan, dan pelanggaran dalam aspek hukum.
 Upaya dan Hambatan Penanggulangan Trafficking
Akhir-akhir ini pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengurangi bahkan menghapuskan bentuk-bentuk kejahatan ini. Pada tahun 2002, berdasarkan Keppres No. 88/2002, pemerintah  mengeluarkan RAN Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Di samping itu pemerintah juga telah menyerahkan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUUTPO) ke DPR di samping telah menyiapkan RUUKHUP yang salah satu bagiannya mengatur mengenai kejahatan Perdaganaga Manusia Perdagangan perempuan dan anak telah dikriminalisasi  (proses penetapan menjadi suatu tindak pidana) dalam hukum Indonesia, tetapi tidak ada definisi resmi tentang perdagangan perempuan dan anak di dalam Pasal 297 KUHP atau di dalam Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, sehingga dalam praktiknya pasal-pasal ini sulit untuk digunakan.
Tidak adanya hukum yang khusus yang mengatur tentang masalah perdagangan perempuan dan anak, mengakibatkan meningkatnya jumlah kasus perdagangan dan lemahnya penegakan hukumnya. Aturan yang diberlakukan sementara ini adalah berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002, maupun UU Nomor 23 Tahun 2004. Namun sebenarnya aturan tersebut tidak efektif dalam menjerat pelaku perdagangan orang yang pada umumnya sifatnya terorganisasi (dalam jaringan sindikat), sehingga dapat dikatakan upaya pemberantasan terhadap kejahatan perdagangan perempuan dan anak tersebut tidak terungkap.
Hambatan trafficking juga terjadi dimasyarakat itu sendiri. Pandangan streotopi masyarakat terhadap perempuan yang memandang perempuan (lebih tepatnya seksualitas perempuan) lebih dilihat sebagai simbol kehormatan masyarakat daripada seorang manusia. Selain itu, karena masyarakat Indonesia juga misogenistik (menganngap perempuan sebagai representasi dari sifat-sifat jahat), maka masyarakat cenderung menyalahkan perempuan atas kejadian tersebut atau setidaknya menganggap pasti terdapat unsur kesalahan dari perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual tersebut. Dalam upaya penanganan kasus trafficking, hambatan tersebut umumnya terjadi pada kasus trafficking diman didalamnya terdapat unsur kejahatan seksual.
C.   Kesimpulan
Masalah trafficking perempuan dan anak  dengan alasan dan tujuan apapun tetap merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap HAM. Indonesia sebagai anggota PBB bertanggungjawab secara`moral dan hukum untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat yang dimiliki oleh seorang manusia. Permasalahan  trafficking belum dapat tersosialisasi secara menyeluruh, khususnya ke pelosok-pelosok pedesaan yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak, di mana salah satu alasan  penyebab terjadinya perdagangan perempuan dan anak karena faktor ekonomi (kemiskinan).
   Perdagangan perempuan dan anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, karena melanggar hak atas kehidupan, hak atas persamaan, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas perlindungan yang sama di muka umum, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya, hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik, hak untuk pendidikan lanjut, dan hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenang-wenang.
Masih lemahnya perangkat hukum yang memadai yang dapat menjerat pada pelaku  trafficking perempuan dan anak maupun dapat memberikan perlindungan kepada korban yang umumnya terjadi pada perempuan dewasa dan anak perempuan. Sehingga hal ini akan menyebabkan lebih meningkatnya tidak pidana  trafficking, lebih-lebih bila dicermati bahwa pelaku trafficking perempuan dan anak itu terorganisasi dengan rapi baik d`lam jaringan nasional maupun internasional. Dibutuhkannya Undang-Undang yang khusus mengatur trafficking perempuan dan anak sebagai salah satu upaya untuk memberantasnya.
Walaupun saat ini upaya penanggulangan perdagangan perempuan dan anak  masih mendapatkan hambatan dari berbagai pihak namun tidak sepatutnya kita berkecil hati untuk memberantas perdagangan perempuan dan anak sampai ke akar-akarnya.

                                                                 




Daftar Rujukan

Luhulima, Achie Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk- Bentuk tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: PT. Alumni.
Haris, Abdul. 2005. Gelombang Migrasi dan  Jaringan Perdagangan Manusia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yentriani, Andy. 2004. Politik Perdagangan Perempuan. Yogyakarta: Galang Press.
Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Ihroni, Tapi Omas. 2005. Hak Azasi Perempuan Instrumen  Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
http://www.kompas.com-cetak/0209/16/dikbud/perd36.htm. diakses pada 29 Mei jam 06.30 WIB



* Penulis adalah mahasiswa program studi pendidikan geografi Universitas Negeri Malang angkatan 2009 offering A (109821417282). Email: rhe_iema@yahoo.co.id

No comments:

Post a Comment