Risma
Dwi Arisona*
Abstrak: artikel ini menjelaskan tentang wilayah
yang berpotensi, faktor penyebab, upaya dan hambatan dalam penangulangan perdagangan
perempuan dan anak yang merupakan pelanggaran HAM sehingga kita dapat
mengetahui secara jelas dan obyektif realitas yang terjadi di masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dalam mengolah
data-data yang diperoleh sehingga kita dapat mengetahui secara jelas dan
obyektif realitas yang terjadi di masyarakat. Trafficking terjadi tidak hanya
dalam wilayan nasional tetapi juga transnasional dan kemiskinan merupakn salah
satu faktor penyebab terjadinya trafficking. Trafficking merupakan pelanggaran
HAM berat karena telah merampas hak-hak yang dimiliki perempuan dan anak secara
tidak manusiawi. Sampai saat ini, upaya pemerintah masih mendapat hambatan dari
berbagai pihak sehingga belum efektif dan lemahnya hukum membuat trafficking
sulit diberantas.
Kata kunci: perdagangan,
perempuan dan anak, pelanggaran HAM, kemiskinan, hukum.
A.
Latar Belakang
Fenomena Perdagangan Manusia khususnya anak dan perempuan atau
dikenal dengan istilah Trafficking
bukanlah merupakan hal yang asing lagi dewasa ini. Perdagangan manusia ini
diartikan sebagai suatu fenomena perpindahan orang atau sekelompok orang dari
satu tempat ketempat lain, yang kemudian dibebani utang untuk biaya proses
berimigrasi ini.
Mengingat masalah trafficking sebagai masalah yang serius, maka
pada tahun 1994 Sidang Umum PBB menyetujui Resolusi menentang perdagangan
perempuan dan anak, yaitu: Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan
melawan hukum, terutama dari Negara berkembang dan dari Negara dalam transisi
ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam
situasi penindasan dan eksploitasi secar seksual dan ekonomi, sebagaimana juga
tindak illegal lainnya, yang berhuhungan dengan perdagangan perempuan seperti
pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi
kepentingan perekrut, pedagang, dan sindikat kejahatan (Rachmad Syafaat,
2002:12).
Menurut konferensi
Perempuan Sedunia IV di Beijing tahun 1995 “Trafficking women and children
merupakan salah satu bentuk eksploitasi global yang melecehkan hak asasi dari
jutaan perempuan dan anak di seluruh dunia. Adapun yang termasuk dalam
eksploitasi seksual tidak hanya terbatas pada perdagangan perempuan untuk
kepentingan prostitusi,tapi juga pornografi, pariwisata seks, perdagangan
pengantin perempuan dan perkawinan sementara. Dan eksploitasi sosial ini
mengabadikan posisi subordinat wanita.”
Perempuan dan anak
adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa perlu dilindungi hak asasi manusianya.
Adapun yang dimaksud dengan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan augerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinngi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia (UU tentang HAM pasal 1). Karena itu,
segala bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus segera
dihentikan tanpa kecuali. Namun, dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang
dengan teganya telah memperlakukan perempuan dan anak untuk kepentingan bisnis,
yaitu melalui trafficking.
Masalah
perdagangan perempuan dan
anak atau dikenal dengan istilah
trafficking akhir-akhir ini muncul
menjadi suatu masalah yang banyak
diperdebatkan baik ditingkat regional maupun global dan dikatakan sebagai
bentuk perbudakan masa kini serta melanggar HAM. Sebenarnya perdagangan manusia
bukanlah hal baru, namun baru beberapa tahun
belakangan, masalah ini muncul ke permukaan dan menjadi perhatian tidak
saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah transnasional.
Realitas yang ada adalah bahwa
keterlibatan perempuan dalam berbagai sisi kehidupan termasuk dalam migrasi global
lebih disebabkan oleh terbukanya akses komunikasi dan norma-norma sosial
kultural yang menjadi gerbang di dalam seluruh proses perubahan. Namun
demikian, patut pula disadari bahwa perubahan-perubahan yang terjadi tersebut
menyimpan resiko yang lebih besar berkaitan dengan kemungkinan-kemunkinan
munculnya model-model perbudakan baru atas nama kepentingan ekonomi (Abdul
Haris, 2005: 127-128).
Jika pada masa lalu praktik-praktik
perbudakan dilakukan atas nama adat, dimana keterlibatan besar norma kultural
menentukan kepemilikan seseorang atas tubuh orang lain, makapada masa modern
kondisinya berberda atas alasan yang berbeda pula. Alasan ekonomi yang berada
dalam kerangka legalitas hukum formal melalui sistem kontrak memberikan dimensi
perbudakan modern dalam pengertian yang lebih berkualitas. Program penempatan
tenaga kerja luar negeri terutama dari negara berkembang seringkali terjebak
pada praktik trafficking (Abdul Haris, 2005: 128).
Perdagangan manusia merupakan
bagian kelam bangsa Indonesia, artinya persoalan perdagangan manusia adalah realitas yang tidak dapat
dipungkiri. Namun demikian, persoalan trafficking
belum mendapat perhatian yang memadai untuk diatasi, hal ini sering menjadi
sensualitas pemberitaan di media massa yang berusaha untuk menarik perhatian
pihak-pihak yang berwenang. Kemudian ketika kasus ini masuk ke pengadilan,
pelaku sering mendapat ganjaran hukuman yang ringan, sementara aktor
intelektualnya tidak tersentuh oleh aparat penegakan hukum. Berbagai latar
belakang dapat dikaitkan dengan meningkatnya masalah perdagangan perempuan dan
anak seperti; lemahnya penegakan hukum, peraturan perundang-undangan yang ada,
peran pemerintah dalam penaganan maupun minimnya informasi tentang trafficking.
Tidak terlalu berlebihan bila berbagai kalangan menilai lemahnya penegakan
hukum telah membuat aparat pegak hukum kehilangan kepercayaan dari masyarakat t
dalam kasus trafficking perempaun dan anak. Masyarakat menjadi apatis,
mencemohkan dan dalam keadaan tertentu kerap melakukan proses pengadilan
jalanan (street justice).
Trafficking in Persons Report (juli 2001) yang
diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika serikat dan Komisi Ekonomi dan
Sosial Asia Pasifik (Economy Social Comission on Asia Pacific/ESCAP) yang menempatkan
Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan
perdagangan perempuan dan anak. Negara-negara dalam peringkat ini dikatagorikan
sebagai negara yang memiliki korban dalam jumlah yang besar, pemerintahannya
belum sepenuhnya menerapkan ”standart-standart minimum” serta tidak atau belum
melakukan ”usaha-usaha yang berarti” dalam memenuhi standart pencegahan dan
penanggulangan trafficking.
B. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berupaya
menjelaskan secara jelas tentang
perdagangan perempuan dan anak yang merupakan pelanggaran HAM dan hambatan
penanggulangannya. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data
diperoleh dari buku khususnya yang mengkaji tentang perdagangan perempuan dan
anak, artikel-artikel, pendapat para ahli, dan peraturan perundang-undangan.
Data-data yang diperoleh dalam penelitian mengkaji melalui buku, dokumen, artikel koran,
tayangan televisi, dan internet yang telah di analisis sehingga sumber tersebut
dapat di percaya.
Dalam menganalisa data
penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu menggambarkan keadaan secara
obyektif di lapangan. Data yang diperoleh diolah terlebih dahulu, kemudian baru
dianalisis sesuai atau tidak dengan masalah yang diangkat. Setelah itu,
diinterpretasikan dengan cara berpikir deduktif untuk mendapatkan kesimpulan
secara lebih objektif.
B.
Hasil dan Pembahasan
Wilayah yang Berpotensi
Besar dalam Praktik Trafficking
Fenomena perdagangan
perempuan dan anak sudah lama berkembang di berbagai negara, seperti; Saudi
Arabia, Jepang, Malaysia, Hongkong Taiwan, Singapura dan termasuk juga
Indonesia. Tidak ada Negara yang kebal terhadap trafficking, setiap tahunnya
diperkirakan 600.000-800.000 perempuan dan anak diperdagang. Menurut PBB
perdagangan manusia ini adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga
tingkat dunia yang menghasilkan 9,5 juta US$ dalam pajak tahunan menurut
itelijen AS. Hal ini merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan
perdagangan ini tidak lagi terbatas pada batas wilayah negara melainkan
berlangsung lintas batas. Pola perdagangannyapun mengalami perubahan, tidak
lagi hanya dilakukan oleh perseorangan melainkan sindikat-sindikat terorganisir
yang disinyalir memiliki kegiatan illegal lainnya seperti penjualan obat-obatan
adiktif dan senjata.
Menurut catatan Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, daerah yang memiliki kasus trafficking tertinggi
di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara
Barat. Namun tidak berarti wilayah lain "bersih". Jawa tengah,
Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa tenggara Timur adalah wilayah lain yang
potensial. Sedangkan Jakarta, Riau, Batam, Bali, Balikpapan, dan Papua dikenal
sebagai daerah tujuan perdagangan orang, khususnya untuk keperluan eksploitasi
seksual. Di Provinsi NAD pasca Tsunami juga dikejutkan dengan adanya berita di
media massa yang mengatakan bahwa sebanyak 300 anak korban Tsunami telah di
bawa ke luar Aceh secara diam-diam dan beberapa kasus lainnya diperdagangkan ke
Riau dan Medan.
Dalam kenyataannya di masyarakat dapat
disaksikan begitu banyak peristiwa yang menimpa anak-anak sehingga merenggut
masa kecilnya dan bahkan masa depannya. Hal ini dapat dilihat di kota-kota
besar dengan adanya praktek eksploitasi terhadap anak yang dijadikan pengemis,
pengamen jalanan, pekerja anak, pekerja seks komersial, diperdagangkan dan
sebagainya. Berbagai kasus perempuan dan
anak yang diperdagangkan seringkali mereka dipekerjakan di sektor yang
berbahaya, pekerjaan terlarang, kurir narkoba, untuk kerja paksa, pembantu
rumah tangga, korban ekploitasi seksual
dalam pornografi, prostitusi dan tidak jarang anak diperdagangkan untuk
kepentingan adopsi atau dimanfaatkan organ tubuhnya untuk kepentingan medis
bagi transplantasi untuk orang-orang kaya yang membutuhkan.
Berkaitan
dengan perkembangan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) hak-hak asasi perempuan dan anak kembali menjadi perhatian
yang selama ini belum mendapat perhatian serius mengingat masih banyaknya
kasus-kasus yang menimpa anak Indonesia. Dalam laporan Deplu AS mengenai
traficking in person, bersama 22 negara lainnya Indonesia termasuk negara yang
menjadi sumber trafficking, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun manca
Negara. Menurut laporan American Center for International Labor Solidarity
(ACILS) dan Jaringan Penanggulangan Anak Indonesia (JARAK), khusus untuk Propinsi Jawa Timur, daerah yang
rawan dan potensi terjadinya perdagangan perempuan dan anak adalah Bayuwangi, Malang, Blitar, Tulungagung,
dan Trenggalek.
Faktor-faktor
Terjadinya Trafficking
Faktor
terjadinya perdagangan perempuan dan anak merupakan multi faktor, dan dapat
dikatakan bukanlah masalah yang sederhana, sehingga diperlukan kerjasama yang
sinergi dari berbagai instansi aparat penegak hukum. Pemberdayaan sumber daya
manusia merupakan salah satu faktor yang dapat dilaksanakan untuk pencegahan
terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Beberapa faktor latar belakang
terjadinya perdagangan tersebut dapat disebutkan, yaitu karena : Kemiskinan,
pendidikan rendah, pengangguran, migrasi keluar desa dan keluar negeri,
ketahanan keluarga yang rapuh, factor ketidaksetaraan gender dan budaya
patriarkhi, konsumerisme, meningkatnya permintaan, dorongan penyiaran dan
tulisan porno di media massa, penegakan hukum terhadap pelaku masih belum tegas
dan konsisten, dan kesadaran pemerintah dan masyarakat tentang trafficking
belum memadai.
Trafficking
Merupakan Pelanggaran HAM
Di dalam Hukum Nasional
Indonesia upaya-upaya hukum untuk menangani kejahatan perdagangan perempuan dan
anak dilakukan dengan Pasal 296, 297, 298, KUHP, namun pasal-pasal ini
cenderung tidak mampu menjerat para pelaku perdagangan perempuan, karena
cakupannya terlalu sempit dan rancu. Peraturan yang lain adalah dalam Pasal 65
UU No 39/1999 tentang HAM. Selain itu, dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi
Manusia 1948 ditegaskan, bahwa "setiap orang dilahirkan mempunyai hak akan
kehebasan dan martabat yang setara". Penegasan ini merupakan simbol suatu
kehidupan bermasyarakat dengan suatu visi tentang perlunya menghormati
kemanusiaan setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, keyakinan agama dan
politik, bahasa dan jenis kelamin. Dengan demikian perempuan dan anak berhak
memperoleh perlindungan hak asasi manusia.
Perdagangan perempuan
dan anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, karena melanggar: 1) Hak
atas kehidupan; 2) Hak atas persamaan; 3) Hak atas kemerdekaan dan keamanan
pribadi; 4) Hak atas perlindungan yang sama di muka umum; 5) Hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya; 6) Hak
atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik; 7) Hak untuk pendidikan
lanjut; 8) Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain,
perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenang-wenang (diadopsi
oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 1993, GA Res 48/104).
Bentuk-bentuk
pelanggaran HAM tersebut dapat terjadi pada saat proses perekrutan, transpotasi saat sampai di negara tujuan, dan
saat proses perdagangan. Pelanggaran yang terjadi berupa: penipuan, penyekapan, ancaman dan penggunaan
kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan pemutusan akses dengan keluarga dan/atau
bantuan jenis apapun, hak atas informasi, penyiksaan, kondisi hidup yang buruk,
perempuan dipaksa melacur, kondisi kerja yang tidak layak, penghapusan akses ke
kesehatan, penyitaan identitas dan dokumen perjalanan, pelanggaran terhadap
aspek budaya/agama, penolakan akses kebangsaan, pendidikan, perempuan dipaksa
menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan, diskriminasi, kehilangan
kontrol terhadap hidup, penyangkalan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia, penahanan dan dipenjara illegal dengan tuduhan palsu, penganiayaan dan
perkosaan dalam penahanan, dan pelanggaran dalam aspek hukum.
Upaya dan Hambatan Penanggulangan Trafficking
Akhir-akhir ini pemerintah telah melakukan berbagai
kebijakan untuk mengurangi bahkan menghapuskan bentuk-bentuk kejahatan ini.
Pada tahun 2002, berdasarkan Keppres No. 88/2002, pemerintah mengeluarkan RAN Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak (RAN P3A). Di samping itu pemerintah juga telah menyerahkan
RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUUTPO) ke DPR di
samping telah menyiapkan RUUKHUP yang salah satu bagiannya mengatur mengenai
kejahatan Perdaganaga Manusia Perdagangan perempuan dan anak telah
dikriminalisasi (proses penetapan menjadi
suatu tindak pidana) dalam hukum Indonesia, tetapi tidak ada definisi resmi
tentang perdagangan perempuan dan anak di dalam Pasal 297 KUHP atau di dalam
Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, sehingga dalam praktiknya pasal-pasal
ini sulit untuk digunakan.
Tidak adanya hukum yang khusus yang mengatur tentang
masalah perdagangan perempuan dan anak, mengakibatkan meningkatnya jumlah kasus
perdagangan dan lemahnya penegakan hukumnya. Aturan yang diberlakukan sementara
ini adalah berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002, maupun UU Nomor 23 Tahun 2004.
Namun sebenarnya aturan tersebut tidak efektif dalam menjerat pelaku
perdagangan orang yang pada umumnya sifatnya terorganisasi (dalam jaringan
sindikat), sehingga dapat dikatakan upaya pemberantasan terhadap kejahatan
perdagangan perempuan dan anak tersebut tidak terungkap.
Hambatan trafficking juga terjadi dimasyarakat itu
sendiri. Pandangan streotopi masyarakat terhadap perempuan yang memandang
perempuan (lebih tepatnya seksualitas perempuan) lebih dilihat sebagai simbol
kehormatan masyarakat daripada seorang manusia. Selain itu, karena masyarakat
Indonesia juga misogenistik (menganngap perempuan sebagai representasi dari
sifat-sifat jahat), maka masyarakat cenderung menyalahkan perempuan atas
kejadian tersebut atau setidaknya menganggap pasti terdapat unsur kesalahan
dari perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual tersebut. Dalam upaya
penanganan kasus trafficking, hambatan tersebut umumnya terjadi pada kasus
trafficking diman didalamnya terdapat unsur kejahatan seksual.
C.
Kesimpulan
Masalah
trafficking perempuan dan anak dengan
alasan dan tujuan apapun tetap merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap HAM.
Indonesia sebagai anggota PBB bertanggungjawab secara`moral dan hukum untuk
menjamin keberadaan harkat dan martabat yang dimiliki oleh seorang manusia.
Permasalahan trafficking belum dapat
tersosialisasi secara menyeluruh, khususnya ke pelosok-pelosok pedesaan yang
rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak, di mana salah satu alasan penyebab terjadinya perdagangan perempuan dan
anak karena faktor ekonomi (kemiskinan).
Perdagangan
perempuan dan anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, karena melanggar
hak atas kehidupan, hak atas persamaan, hak atas kemerdekaan dan keamanan
pribadi, hak atas perlindungan yang sama di muka umum, hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya, hak atas pekerjaan
yang layak dan kondisi kerja yang baik, hak untuk pendidikan lanjut, dan hak
untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau
penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenang-wenang.
Masih
lemahnya perangkat hukum yang memadai yang dapat menjerat pada pelaku trafficking perempuan dan anak maupun dapat
memberikan perlindungan kepada korban yang umumnya terjadi pada perempuan
dewasa dan anak perempuan. Sehingga hal ini akan menyebabkan lebih meningkatnya
tidak pidana trafficking, lebih-lebih
bila dicermati bahwa pelaku trafficking perempuan dan anak itu terorganisasi
dengan rapi baik d`lam jaringan nasional maupun internasional. Dibutuhkannya
Undang-Undang yang khusus mengatur trafficking perempuan dan anak sebagai salah
satu upaya untuk memberantasnya.
Walaupun
saat ini upaya penanggulangan perdagangan perempuan dan anak masih mendapatkan hambatan dari berbagai
pihak namun tidak sepatutnya kita berkecil hati untuk memberantas perdagangan
perempuan dan anak sampai ke akar-akarnya.
Daftar Rujukan
Luhulima,
Achie Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk-
Bentuk tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta:
PT. Alumni.
Haris,
Abdul. 2005. Gelombang Migrasi dan Jaringan Perdagangan Manusia.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Yentriani,
Andy. 2004. Politik Perdagangan
Perempuan. Yogyakarta: Galang Press.
Syafaat,
Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian
Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera
Pustaka Utama.
Ihroni,
Tapi Omas. 2005. Hak Azasi Perempuan Instrumen
Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
http://www.kompas.com-cetak/0209/16/dikbud/perd36.htm.
diakses pada 29 Mei jam 06.30 WIB
* Penulis
adalah mahasiswa program studi pendidikan geografi Universitas Negeri Malang
angkatan 2009 offering A (109821417282). Email: rhe_iema@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment