Tuesday, March 5, 2013

Pemimpin Wanita Part 2

1. KRONOLOGIS MASALAH
Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang tinggi. Beberapa pranata sosial Arab jahiliah yang diskriminatif, bahkan cenderung tidak menghargai perempuan, berhasil diperbaiki. Di antaranya adalah masalah warisan. Semuanya, perempuan tidak berhak mendapatkan warisan bahkan perempuan di zaman jahiliah dipandang sebagai barang yang dapat diwariskan. Tradisi itu hilang setelah Islam diturunkan dan perempuan mendapat kedudukan dan hak yang setara dengan laki-laki.
Dalam bidang politik, banyak wanita muslimah yang ikut dalam kegiatan politik praktis. Dalam perempuan, Ummu Aiman dan Aisyah tercatat sebagai anggota regu penolong korban yang terluka dan menyiapkan kebutuhan makan dan minum pasukan perang. Bahkan, Aisyah pernah memimpin pasukan perang dalam perang Jamal.
Pada masa selanjutnya, seketika pemerintahan Islam dipegang oleh daulah yang berdasarkan dinasti, trdapat beberapa perempuan yang diangkat sebagai kepala negara, seperti Sajarat Al-Dur (Mesir), Padishah Khatun (dinasti Mongol), dan Sultanat Taj Al-Alam Safiataddin Shah (Aceh).
Selain pendapat yang memperbolehkan perempuan memimpin negara, ada pula pendapat yang tidak memperbolehkannya. Hal ini mengundang adanya pro dan kontra di kalangan kaum muslimin. Jangankan sebagai kepala negara, sebagai kepala rumah tangga pun masih banyak yang keberatan. Masing-masing pendapat tersebut diperkuat dengan dalil yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits sehingga hal tersebut sering membingungkan masyarakat, karena dalil Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam. Oleh karena itu, kerangka konseptual tentang perempuan sebagai kepala negara sampai sekarang masih sering diperdebatkan.
Kontroversi itu umumnya muncul sewaktu ada peristiwa politik yang melibatkan perempuan tampil dalam bursa calon kepala negara seperti yang terjadi di Pakistan pada tahun 1988 sewaktu Benazir Bhutto terpilih sebagai perdana mentri. Reaksi keras muncul dari lawan-lwan politiknya seperti Nawaz Syarif  yang mempengaruhi masyarakat dengan mengutip hadits yang melarang perempuan memimpin suatu negara. Walaupun pada akhirnya Benazir Bhutton menduduki mentri negeri Pakistan, pemerintahannya sering digoyang oleh persoalan politik yang dikemas dengan simbol agama.
Di Indonesia, persoalan boleh atau tidaknya seorang perempuan menjadi kepala negara pernah mencuat pula sewaktu Megawati Soekarno Putri dicalonkan sebagai presiden. Masalah tersebut sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan peserta kongres umat Islam Indonesia pada tahun 1998.
Di samping menimbulkan kontrofersi di kalangan umat Islam, persoalan tersebut sering digunakan pula oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskeditkan Islam. Oleh karena itu, diperlukan pembahasan tentang hadits yang sering digunakan  sebagai acuan tentang larangan perempuan menjadi kepala negara.
2. SUBSTANSI KAJIAN
1) Beberapa Pemimpin Wanita
    a) Ratu Balqis Sebagai Kepala Negara
                Ditampilkannya  kisah Ratu Balqis oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an tentu mengandung maksud agar dijadikan contoh teladan bagi manusia. Dalam Surat Yusuf ayat 111:
                          
Artinya:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.
Allah menjelaskan bahwa dalam kisah para nabi  dan umat terdahulu yang dimuat dalam Al-Qur’an terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Oleh karena itu, kisah-kisah yang berada dalam Al-Qur’an diperintahkan untuk disebarluaskan agar manusia dapat memikirkan akibat dari perbuatan yang baik dan jelak, yang dilakukan oleh umat terdahulu. Hal-hal yang baik perlu diteladani, sedangkan yang jelek perlu dihindari.
Salah satu kisah dalam Al-Qur’an adalah kepemimpina Ratu Balqis yang menjadi kepala pemerintahan di kerajaan Saba’iyah. Ia dilukiskan sebagai penguasa yang yang mampu membawa rakyatnya kepada kesejahteraan jasmani dan rahani sehingga negri Saba’ dikenal memiliki tanah yang subur dan penduduknya mampu mengelolah kekayaan buminya.  Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hasil pertaniannya melimpah dan memiliki jaringan perdagangan yang luas sehingga rakyatnya merasakan kesejahteraan dan kemakmuran, dengan kemakmuran dibidang ekonomi menjadi penopang bidang pertahanan sehingga negri itu memiliki pasukan yang kuat.
Kekayaan dan kemakmuran negri Saba’ di bawah pemerintahan Ratu Balqis dilaporkan oleh burung hud-hud kepada Nabi Sulaiman sebagaimana dalam surat An Naml ayat 23 sebagai berikut:
             
Artinya;
 “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita [Ratu Balqis] yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”.
Ratu Balqis memrintah dengan bijaksana dan demokratis. Oleh karena itu, ia mendapatkan dukungan dari para pembesar dan rakyatnya. Walaupun mampu membuat keputusan tentang persoalan penting, ia tidak lupa bermusyawarah terlebih dahulu dengan para pembesar negri itu. Misalnya, sewaktu akan menjawab surat Nabi sulaiman yang menyangkut soal perubahan keyakinan kelangsungan eksistensi negri Saba’, ratu Balqis meminta pendapat para pembesar negri tersebut melalui sabdanya dalam surat An-Naml ayat 32:
              
Artinya:
“Berkata Dia (Balqis): "Hai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)".
Karena telah mengetahui kemampuan Balqis, para pembesar memberikan kepercayaan penuh kepadanya untuk mengambil keputusan dan mereka siap mendukungnya. Jika diperlukan untuk melawan secara fisik, mereka pun telah siap dengan balatentaranya. Hal ini juga di tulis dalam Al-qur’an lanjutan ayat di atas:
     •         
Artinya:
 “Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".
    Pada waktu itu, ratu Balqis dihadapkan pada situasi politik yang amat berat karena Nabi Sulaiman AS dalam suratnya meminta agar ratu Balqis beserta rakyatnya takluk pada Sulaiman. Apabila ratu Balqis menolak, pasti akan terjadi pertempuran. Telah menjadi kebiasaan pada waktu itu, jika seorang raja berhasil memasuki wilayah kerajaan itu, mereka akan menghancurkan negeri itu dan menjadikan penduduknya sebagai budak. Mengingat keselamatan negeri dan rakyatnya yang terancam oleh Sulaiman dan balatentaranya, ratu Balqis menempuh diplomasi dalami. Dia mengirim utusan yang membawa hadiah kepada Sulaiman. Namun, setelah hadiah itu ditolak Sulaiman, ratu Balqis merasa perlu datang ke istana nabi Sulaiman untuk merundingkan perdamaian.
    Dalam kehidupan rohaniah, setelah diseru oleh nabi Sulaiman, ratu Balqis yang semula menyembah matahari, kemudian beralih kepercayaan tauhid. Ia menyadari keagungan serta kemahakuasaan Allah. Di samping itu, timbul pula kesadaran terhadap kesalahannya selama ini. hal ini dilukiskan dalam ungkapannya dalam surat 27 (An-Nahl) ayat 44.
                                 
Artinya:    
“Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala Dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam".
    Peristiwa itu menunjukkan bahwa ratu Balqis memiliki keterbukaan pemikiran dan sikap untuk menerima sesuatu yang baru, yang diyakini kebenarannya. Ini merupakan salah satu indikator sebagai pemimpin yang dinamis. Dia juga memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang ideal, seperti berwibawah, jujur, bijaksana, melindungi rakyat, berani dan mampu mengatasi kesulitan, bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, berjiwa besar dan dinamis.
    Pengalaman ratu Balqis menemukan kepercayaan tauhid setelah berdialog dengan realitas yang menunjukkan kemahakuasaan Allah, memantapkan langkahnya untuk mengajak rakyat Saba’ kepada akidah yang benar. Maka, di bawah kepemimpinan ratu Balqis negara Saba’ menjadi negeri yang sangat makmur dan rakyatnya mendapat kesejahteraan lahir batin.
    Surat An-Naml yang memuat kisah ratu Balqis tersebut disampaikan oleh Rosululloh kepada orang-orang yang berkumpul di kota Makkah.  Dimuatnya kisah tentang ratu Balqis dalam Al-Qur’an tentu bukan hanya sebuah dongeng pada masa lalu, melainkan kisah nyata yang mengandung pelajaran tentang kemampuan perempuan dalam memimpin negara super power yang digambarkan dalam surat An-Naml ayat 23 sebagai berikut.
             
Artinya:   
         “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita[1095] yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”.
  b) Dinamika Pemerintahan Sultanah
Hak politik bagi perempuan yang telah diberikan pada masa Rosululloh SAW bergulir pada masa pemerintahan dinasti Islam dengan diangkatnya beberapa ratu atau sultanah. Fatimah Marnissi menyebut beberapa nama perempuan yang menjadi kepala negara diantaranya ialah sultanah Rodiyah (634 H/1236 M), putri Sultan Iltutmisy, Raja Delhi. Suatu masih hidup, ayahnya telah memilih Rodiyah sebagai calon pewaris tahta walaupun ayahnya memiliki tiga anak laki-laki. Iltutmisy memilih Rodiyah dengan alasan bahwa Rodiyah dipandang memiliki kemampuan memimpin negara. Dengan pertimbangan itu, Rodiyah diangkat sebagai Sultan sepeninggal ayahnya. Ia memiliki loyalitas dan kecakapan tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya dan dikenal sebagai administrator yang ulung oleh ahli sejarah.
    Ratu Islam lainnya adalah  Syajarat Al-Dur yang menjadi kepala pemerintahan di Mesir. Sepeninggalan suaminya, Malik Al-Saleh (Penguasa Dinasiti Ayubiyah terakhir),  Syajarat Al-Dur diangkat menjadi penguasa setelah Turan Syah, anak tirinya, tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Pada masa pemerintahan Turan Syah timbul pertentangan antara Sultan dengan para perwira Turki yang memimpin pasukan. Pertentangan itu berakhir dengan terbunuhnya Turan Syah.
Setelah terbunuhnya Turan Syah, diangkatlah Syajarat Al-Dur sebagai Sultanah. Semenjak suaminya masih hidup, Syajarat Al-Dur telah menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan yang diahadapi pemerintah. Selain cerdas, ia memiliki wawasan yang luas karena banyak membaca dan minulis. Ia juga memiliki kepekaan politik yang terlihat sewaktu kerajaan dalam keadaan genting. Waktu itu ia mengambil keputusan yang tepat untuk merahasiakan kematian suaminya agar tidak menimbulkan kerusuhan politik.
 Karena belum disiapkan penggantinya,  hal itu dapat memicu timbulnya gangguan keagamaan, terutama dari tentara yang dikhawatirkan akan merebut kekuasaan. Dalam kondisi demikian itu, ia memilih bekerjasama dengan para pemimpin pasukan untuk mengambil langkah-langkah pengamanan negara. Selain masalah politik, Syajarat Al-Dur juga berusaha memajukan pendidikan bagi masyarakat dengan mendirikan sekolah yang terkenal dengan nama Jami’ Syajarat Al-Dur.
            Beberapa perempuan lainnya yang dikenal sebagai kepala negara, antara lain dari Dinasti Mongol terdapat Sultanah Kuthugh Tukan (681 H/1282 M), Absh Khatun (1287 M), Padisyah Khatun (1295 M), Dawlat Khatun dan Sati Bek (739 H). Di Baghdad terdapat Sultanah Tindu, Sultanah Fatema di Asia Tengah (1679-1681). Di Meldives/Maladewa ada Sultanah Khodijah (1379 M), Sultanah Meriam (1383 M), Sultanah Fatima (1388 M). Di Aceh juga pernah diperintah oleh Sultanah, yaitu Taj Al-Alam Din Syah (1641-1675 M), Nur Al-Alam Din Syah (1675-1678 M), Inayat Shah Din Shah (1678-1688 M) dan Kamalat Syah (1699).
    Pemerintahan sulanah itu diakui oleh rakyatnya. Mereka sebagaian besar adalah turunan sultan. Namun, pengangkatanya tidak semata-mata karena warisan, tetapi juga atas persetujan dari para pembesar atau rakyat d negerinya. Misalnya, yang terjadi pada Sultanah Khadijah. Putri Sultan Jalal al-Din Shalih Albendjali di Maladewa itu dipilih oleh pnduduk kepulauan tersbut.
        Pemerintahan para sultanah itu pada umumnya bentuk kerajaan yang dibantu para wazir. Diantara sultanah yang memiliki wewenang penuh untuk mengambil keputusan penting bagi negerinya, seperti Syajarat Al-Dur yang dalam engembalian tidak  keputusan diharuskan mengadakan musyawarah dengan pembesar kerajaan. Namun, adapula Sultanah yang memberikan kewenangan lebih banyak kepada wazirnya untuk mengendalikan pemerintahan, seperti Sultanah Khadijah yang lebih banyak mendelegasikan urusan pemerintahan kepada wazirnya.
        Dengan membagi wewenang itu, pemerintahan Sultanah Khadijah mendapat dukungan dari para pembesar sehingga stabilitas politik terjaga. Pemerintahan Sultanah Khadijah berlangsung selamah 33 tahun dan rakyat merasakan kemakmuran. Hal ini menimbulkan kepercayaan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memimpin negara. Kepercayaan itu menyebabkan para pembesar dan rakyat tidak ragu-ragu lagi untuk menyerahkan pemerintahan berikutnya kepada Sultan perempuan. Maka, berturut-turut Mala Dewa diperintah para Sultanah. Sepeninggalan Khadijah, diangkatlah saudaranya Mayriam. Pada masa sesudahnya putri Meyriam yang bernama Fatimah dinobatkan sebagai Sultanah yang memerintah di Mala Dewa sampai akhir hayatnya pada tahun 790 H (1388 M).
        Kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan perempuan, seperti di Mala Dewa, terdapat pula di Aceh. Sejak awal sampai abad ke 17 M, kerajaan Aceh diperintah para Sultanah, yang dimulai penguasa  ke 14, yaitu Sultanah Taj Al-Alam Safiyyat Al-Din Syah (1641-1675 M), Sultanah Nur Al-Alam Nakyyat Al-Din Syah (1675-1678 M), Inayat Syah Zakyyat Al-Din Syah (1678-1688 M) dan Kamalat Syah (1688-1699 M).
        Sultanah Taj Al-Alam Safyyat Al-Din Syah merupakan wanita pertama yag memimpin kerajaan Aceh selama 34 tahun. Putri dari Sultan Iskandar muda ini diangkat menjadi Sultanah setelah suaminya, Sultan Iskandar Tsani, meninggal dunia. Karena tidak memiliki anak laki-laki, Taj Al-Alam yang menjadi istri Iskandar Tsani dan juga putri Iskandar muda diangkat menjadi penggantinya.
        Dalam buku Bustanulsalatin Nuruddin Ar-Raniri menggambarkan pribadi Sultanah Al-Alam memiliki sifat yang terpuji dan seorang yang salihah. Selain ketaatannya menjalankan ibadah, ia memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya dalam menegakkan keadilan, ia tidak segan-segan menjatuhkan hukuman bagi yang bersalah maka, pada masa pemerintahannya, rakyat Aceh hidup dalam ketenganan. Peningkatan hasil bumi dan tambang pun tidak lepas dari perhatian Sultanah sehingga negerinya mencapai kemakmuran.
        Disamping perhatian Sultanah di dalam pendidikan, perekonomian, dan sosial, kehidupan beragamapun semakin semarak. Semenjak pemerintahan ayahnya (Sultan Iskandar muda), rakyat telah diperintahkan agar menjalankan sholat wajib lima waktu, puasa wajib dan sunah, menjauhkan diri dari judi dan minuman keras.
Situasi kerajaan Aceh pada pemerintahan Taj Al-Alam menghadapi tantangan berat karena VOC telah melebarkan sayapnya untuk mendominasikan perdagangan dan kekuasaan. Namun, Taj Al-Alam mampu mengahadpi tekanan-tekanan Belanda karena ia telah membangun fondasi yang kuat bagi pemerintahannya dengan menerapkan sistem demokrasi. Sejak masa ayahnya (Iskandar Muda), masyarakat Aceh telah diberi hak untuk berkumpul/berserikat. Dalam “hak Seureukat” perempuan mendapat hak yang sama dengan laki-laki. Peranan perempuan di bidang publik ini ditingkatkan dengan menyertakan kaum wanita dalam lembaga musyawarah kesultanan.
Peningkatan peran Al-Alam membuahkan hasil sehingga pada masa selanjutnya tampillah beberapa tokoh perempuan di Aceh, seperti Tjut Nya’ Kesti yang menjadi Uleebalang (pejabat) di keurutan dan Tjut Fatimah di Aceh barat. Lahirnya pejuang putri yang gagah berani, seperti Tjut Nya’ Dien, kiranya tak dapat dilepaskan dari rantai perjuangan Sultanah Taj Al-Alam yang berhasil mendobrak tradisi yang melarang perempuan tampil di pemerintahan atau sektor publik lainnya.   
c) Sekilas Tentang Benazir Bhutto
Benazir Bhutto pernah berkata: "Ketika saya pertama kali terpilih, mereka berkata: Seorang wanita telah merebut tempat laki-laki! Dia harus dibunuh! Dia harus dibunuh! Dia telah melakukan bid'ah!"
Pada usia 35, Benazir Bhutto adalah salah satu kepala negara termuda didunia. Lebih dari itu, ia adalah wanita pertama yang pernah menjabat sebagai perdana menteri di negara Islam, tapi jalan yang membawanya kepada kekuasaan untuk memimpin harus melalui pengasingan, penjara dan menghancurkan tragedi pribadi. Hanya beberapa hari setelah Benazir Bhutto muda kembali ke tanah asalnya, Pakistan setelah belajar di universitas luar negeri, pemerintah terpilihnegara itu digulingkan. Ayahnya, Perdana Menteri Ali Bhutto, dipenjarakan dan akhirnya dieksekusi.
Benazir muda juga berulang kali ditangkap, lalu dipenjarakan, dan akhirnya dipaksa ke pengasingan, tetapi dia tidak pernah meninggalkan harapan untuk memulihkan demokrasi ke tanah airnya.
Dia kembali untuk memimpin gerakan pro-demokrasi, dan ketika pemilu yang bebas akhirnya diselenggarakan di Pakistan pada tahun 1988, Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri. Dia menjadikan kelaparan dan perawatankesehatan sebagai prioritas utamanya, membawa listrik ke pedesaan, dan membangun sekolah-sekolah di seluruh negeri. Meskipun dia sendiri seorang Muslim yang taat, dia sering membawa reformasi ke dalam konflik dengan fundamentalis agama yang sama yang telah menentang pemilihan seorang wanita sebagai Perdana Menteri.
Ia terpilih untuk kedua kalinya pada tahun1993, tapi presiden negara itu memecat dia dari jabatannya dan membubarkan Majelis Nasional. Sebuah kudeta militer mengusirnya dari negaranya lagi, tetapi setelah lebih dari delapan tahun di pengasingan, Bhutto kembali kePakistan pada 2007. Beberapa minggu sebelum pemilihan umum nasional dimana Benazir Bhutto dan partainya diharapkan untuk menang, ia dibunuh oleh seorang dengan modus bom bunuh diri. Kematiannya adalah kehancuran baginegaranya dan bagi demokrasi.
2) Syarat Menjadi Pemimpin
Sebelum membahas kontroversi di kalangann ulama tentang kepemimpinan wanita, terlebih dahulu akan mengemukakan beberapa argumen ulama tentang berbagai persyaratan sebagai imam, apakah laki-laki (sebagai biologis) yang menjadi persyaratan mutlak dalam sebuah kepemimpinan ataukah kekuatan dan kemampuan (sebagai symbol ke-lelaki-an seseorang) itu yang menjadi syarat penting dalam kepemimpinan.
Persyaratan yang diterapkan oleh ulama Sunni terhadap seorang khalifah bertujuan untuk menegakkan negara yang Islami dan Ideal yaitu terwujudnya negara yang demokratis, berkeadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat melalui pemimpin terbaik yang dihaarapkan dapat membentuk sebuah negara yang adil dan makmur. Oleh karenanya pemimpin menjadi tonggak terwujudnya negara yang adil, demokratis. Maka kualifikasi seorang pemimpin menjadi pembahasan yang serius dalam perpolitikan Sunni, sehingga sangat wajar, kualifikasi seorang pemimpin ini menjadi perdebatan sengit diantara ulama Sunni. Karenanya seorang pemimpin harus benar-benar terseleksi dan teruji kemampuannya.
Demi terciptanya cita-cita negara yang adil sejahtera, maka seorang pemimpin harus memenuhi beberapa syarat. Ibnu Abi Rabi’ (833 M-842 M) mensyaratkan seorang pemimpin harus memenuhi:
1.    Sebagai anggota dari keluarga raja, artinya dia masih mempunyai pertalian keturunan dengan raja yang berkuasa sebelumnya.
2.     Bercita-cita besar, berpendidikan tinggi, dan berakhlak mulia.
3.    Pandangannya mantap dan kokoh.
4.    Memiliki kekayaann yang besar.
5.    Memiliki pembantu-pembantu yang berloyalitas tinggi. 
Bagi al-Baqillani (w. 403 H/1013 M), seorang kepala negara harus memiliki kualitas sebagai berikut:
1.    Berilmu pengetahuan yang luas.
2.    Kepala negara harus bertindak adil dalam segala urusan, sehingga tidak ada diskriminasi terhadap semua uurusan.
3.    Berani dalam peperangan dan bijaksana dalam mengorganisir militer yang bertugas melindungi rakyat dari semua gangguan dari musuh.
4.    Seorang kepala negara harus dari suku Quraisy.
Syarat terhadap adanya kepala negara harus dari suku Quraisy ini sebagai penolakan terhadap doktrin khawarij, yang menyatakann bahwa setiap muslim berhak menjadi kepala negara. Demikian ini juga sebagai penolakan terhadap konsep Syi’ah yang membatasi kepala negara harus dari keluarga Ali ibn Abi Thalib.
Menurut al-Baghdadi, kualifikasi seorang pemimpin harus memiliki kualitas sebagai berikut:
1.    Berilmu pengetahuan, terutama ilmu Syari’ah yang berkaitan dengan hukum.
2.    Bersifat jujur dan sholeh.
3.    Bertindak adil dalam melaksanakan segala tugas pemerintahan.
4.    Pandai dalam mengatur pemerintahan dan administrasi negara.
5.    Berasal dari keturunan Quraisy.
Keturunan Quraisy menjadi persyaratan dalam pemilijhan imam mempunyai alas an rasional karena kredibilitas dan kemampuan suku Quraisy dalam memimpin Negara tidak pernah gagal, sehingga menurut al-Baghdadi syarat pemimpin dari suku Quraisy adalah ketentuan syari’at Islam. Apabila tidak dari suku Quraisy, maka kholifah tersebut tidak sah. Argumen ini didasarkan pada hadits Nabi: الأئـمه من قريش   (para pemimpin harus dari bangsa Quraisy).
Tampaknya al-Baghdadi mempunyai keyakinan, bahwa suku Quraisy merupakan syarat mutlak dalam sebuah kepemimpinan karena dia menganggap bahwa keunggulannya, kepercayaannya dalam memegang amanat, kekuatannya dalam menegakkan negara dan keistimewaan-keistimewaan lain yang menurutnya tidak diragukan lagi kualitasnya.
 Kalau kita kaji secara cermat, pendapat al-Baghdadi perlu dianalisa secara kritis dan objektif. Untuk kondisi negara pada zaman sekarang, apakah di setiap Negara di dunia ini terdapat orang-orang Quraisy, kalaupun ada apakah kemampuannya sekuat pada zaman dahulu padahal sudah ada pergeseran waktu, tempat, perubahan sosial-budaya dan kekuatan-kekuatan politik yang tumbuh dalam masyarakat. Oleh karenanya hadits yang menyatakan الأئـمه من قريش   perlu ditinjau lebih lanjut, apakah hadits tersebut tergolong hadits mutawaatir atau hadits dha’if.
Kalaupun itu hadits mutawaatir (shahih), maka pemaknaan kontekstualnya lebih ditonjolkan ketimbang makna tekstualnya. Termasuk Quraisy dalam pemaknaan kontekstual ini adalah golongan-golongan yang kuat, partai-partai yang sudah teruji kebaikan dan keistimewaannya yang didukung dan diakui oleh masyarakat secara umum. Berangkat dari sini, maka yang dibutuhkan dalam kepemimpinan adalah kualitas pemimpin yang baik, kokoh, terpercaya, handal, professional, diakui oleh rakyat (legitimate), sehingga pemaknaan seperti ini sudah termasuk syarat Quraisy dalam artian yang kontekstual.
Pandangan al-Mawardi (767 H/974 M-450 H/1058 M) seorang kepala negara harus mempunyai kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.    Berlaku adil.
2.        Berilmu pengetahuan terutama ilmu syari’ah.
3.    Sehat pendengaran, penglihatan, dan lisan.
4.    Memiliki anggota tubuh yang sempurna. Berwawasan luas dalam mengatur rakyat dan mengelola untuk kemaslahatan umum.
5.    Kuat, kokoh dan pemberani dalam menghadapi musuh dan melindungi rakyat.\ Dari suku Quraisy.
Bagi al-Juwaini, seorang kepala negara harus  memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:
1.    Seorang mujtahid, sehingga mereka menguasai berbagai hukum.
2.    Mampu mengurus berbagai permasalahan dengan baik.
3.    Memiliki wawasan luas untuk kemajuan muslim.
4.    Kokoh dan pandai strategi perang (pandai dalam ilmu-ilmmu kemiliteran).
5.    Memiliki sifat lemah lembut.
6.    Adil (menegakkan hukum).
7.    Laki-laki.
Beberapa syarat yang dikemukakan oleh al-Juwaini (419 H/1028 M-478 H/1078 M), pemimpin harus mempunyai kemampuan (kifayat) menggunakan kekuasaannya untuk mengatur semua permasalahan kenegaraan dan kesejahteraan masyarakat (bangsa). Dalam persyaratan di atas al-Juwaini tidak mencantumkan seorang imam dari Quraisy, dia beralasan bahwa syarat suku Quraisy adalah masalah khilafiyyah (perselisihan diantara ulama), maka syarat Quraisy merupakan hal yang tidak mutlak kebenarannya karena hal itu menjadi lapangan ijtihadiyyah. .
Sementara itu al-Ghazali mensyaratkan seorang imam (kepala negara) harus memiliki kualifikasi sebagai berikut:
1.    Laki-laki yang dewasa (baligh).
2.    Berakal sehat.
3.    Sehat penglihatan dan pendengaran.
4.    Merdeka.
5.    Dari suku Quraisy.
6.    Mempunyai kekuasaan yang nyata  (al-Najat).
7.    Mempunyai kemampuan (kifayat).
8.    Wara’.
9.    Berilmu.
Al-Najat sebagai syarat yang ke-6 mempunyai arti bahwa seoranh kepala Negara harus mempunyai seperangkat alat negara yang memadai, termasuk di dalamnya adalah angkatan bersenjata dan kepolisian yang dapat memaksakan keputusannya terhadap mereka yang hendak menentang, menindas dan membentaknya. Sedang yang dimaksud kifayat adalah kemampuan berpikir, mengelola negara dengan baik dan mau bermusyawarah. Artinya seorang kepalaa negara harus mahir dalam ilmu-ilmu kepemerintahan dann bersedia dikritik serta membuang jauh-jauh sifat kesewenang-wenangan dan menindas. Sedang yang dimaksud wara’ adalah berbudi luhur, punya moral yang baik sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Ibn Taimiyah seorang yang pantas menjabat kepala negara harus:
1.    Mempunyai kekuatan dan kecakapan (al-quwwah).
2.    Mempunyai integritas yang tinggi (al-amanah).

Hal ini berdasar pada al-Qur’an:
             

Artinya:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (al-Qashash: 26).
Pemikiran Ibn Taimiyah ini mengandung makna yang luas, walau agaknya persyaratan itu hanya dua, karena dia beralasann bahwa dengan persyaratan yang begitu banyak tidak mungkin dapat dipenuhi oleh seorang kepala negara secara pribadi. Sehingga kualifikasi seorang kepala negara dapat terpenuhi apabila seorang pemimpin memiliki jiwa kepemimpinan dalam mengatur umat dan dapat dipercaya (mempunyai integritas tinggi) untuk menciptakan kesejahteraan dan kemajuan terhadap umat.
Bagi Ibn Taimiyyah pemilihan seorang kepala negara harus memilih seorang putra negara yang paling utama (most exellent atau al-fadhil), kemudiann mengangkat yang paling layak dan sesuai (al-ashlah). Namun bila tidak terpenuhi kedua syarat di atas, maka dapat dipilih kualitas yang ada di bawahnya, karena pada dasarnya menurut Ibn Taimiyyah kekuasaan adalah kekuasaan kolektif tidak kekuasaan individu.
Menurut Ibn Kholdun, seorang kepala negara harus memenuhi lima syarat, yaitu:
1.     Berilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu syari’at (hukum Islam).
2.    Sanggup melaksanakan hukum sesuai dengan undang-undang, sanggup pergi ke medan perang dan ikut memobilisir peperangan, sanggup memelihara tugas-tugas politik dan siasat berdiplomasi, mengetahui ash’abiyah (solidaritas kelompok), mempunyai kemampuan melindungi agama, mampu melawan musuh, mampu mengelola kepentingan-kepentingan umum.
3.    Berlaku adil, adil menjadi prasyarat penting karena dengan berperilaku adil, seorang kepala negaradapat melenyapkan terjadinya tindakan sewenang-wenang di dalam sebuah Negara, baik dari pihak pemerintahan atau dari masyarakat.
4.    Sehat panca indera.
5.    Keturunan dari Quraisy.
Dari persyaratan di atas, tampak jelas bahwa persyaratan laki-laki dalam pemilihan kepala Negara hanya dikemukakan oleh al-Juwaini (w. 478 H/1078 M) dan al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Pendapat kedua tokoh ini juga didukung oleh berbagai ulama fiqh syari’ah (tidak ulama fiqh siyasah).  Para ulama ini berpendapat bahwa seorang pemimpin harus laki-laki, wanita tidak boleh menjadi pemimpin (kepala negara). Ketidakbolehan ini dianalogikan (di-qiyas-kan) dengan ketidakbolehan wanita menjadi hakim (qodhi). Argument ini diambil dari kitab Bijiiremi alaa al-Khatiib juz IV, hlm. 318, I’anah al-Thaalibiin dan berbagai literature kitab-kitab fiqh yang menjelaskan bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi hakim, oleh karenanya mereka tidak boleh menjadi kepala negara.
Di sisi lain, ulama fiqh syari’ah menganggap peran dan aktivitas seorang wanita sangat terbatas, terutama aktivitas-aktivitas mereka dalam bidang publik. Seperti ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin politik, pemimpin partai, pemimpin dalam masyarakat, ketidakbolehan ikut angkat senjata, berangkat perang dan ketidakbolehan mereka pergi haji sendiri.
Masih berkait dengan ulama fiqh syari’ah, dengan terbatasnya peran dan aktivitas perempuan dalam wilayah publik, maka ulama fiqh syari’ah menghargai seorang perempuan dengan harga separo dari laki-laki, dikarenakan adanya anggapan ketidakcakapan dan ketidakmampuan mereka dalam bidang tersebut.
Hal ini dibandingkan dalam ketentuan-ketentuan fiqh bahwa peran perempuan 1 : 2 dari laki-laki seperti dalam masalah waris (pembagian harta pusaka), kesaksian, aqidah dan diyat (denda). Dari dasar pemikiran hukum di atas para ulama fiqh menyamakan statusnya sebagaimana dalam wilayah-wilayah politik, sehingga dengan metode analogi ini, ulama fiqh syari’ah menyimpulkan bahwa seorang kepala negara harus laki-laki, seorang perempuan diharamkan untuk menduduki jabatan pemimpin (kepala negara) karena mereka dianggap tidak mampu dan tidak cakap.
Kelompok ulama fiqh ini, mendasarkan pada firman Allah yang artinya: “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….”  Dan berdasarkan sebuah hadits:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَءَةَ
Artinya:
 “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya (mengangkat penguasa, presiden, pemimpin) seorang perempuan”.
 Dari berbagai argumen yang dipaparkan oleh ulama-ulama di atas, jelas bahwa terjadi pro dan kontra diantara “ulama fiqh syari’ah” dan “ulama fiqh siyasah”. Mayoritas “ulama fiqh siyasah” tidak menekankan syarat kepala Negara pada jenis kelamin (laki-laki atau perempuan), tapi lebih pada aspek kemampuan mengatur Negara, administrasi pemerintahan, mempertahankan keutuhan Negara dari ancaman musuh baik dari dalam atau dari luar, mampu berbuat adil dan mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat baik mereka laki-laki atau perempuan.
Sebagaimana al-Mawardi tidak memakai harga mati terhadap persyaratan kepala Negara, dia berlaku fleksibel, apabila tidak tepenuhi satu syarat dalam pemilihan kepala Negara ini, maka orang yang paling mempunyai resiko lebih sedikit diperbolehkan. Al-Mawardi membolehkan pengangkatan seorang imam yang kurang persyaratannya (Imam al-Mafdhul atau less excellent), dengan catatan imam (kepala negara) tersebut denga kebutuhan dan konteks masyarakat yang ada.
Demikian juga menurut Ibn Taimiyah apabila syarat-syarat ideal seorang kepala Negara tidak dapat terpenuhi maka boleh memilih dibawahnya, asal mereka mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang kuat (ahl al-syaukah), karena pada dasarnya pemimpin Negara adalah bukan kemampuan individu, tapi kemampuan yang kolektif.
Demikian juga pendapat al-Ghazali yang terkesan sangat fleksibel dan realistis. Menurutnya apabila tidak terpenuhi persyaratan-persyaratan imam secara ideal, maka seorang imam dapat mengandalkan orang lain yang mampu menangani masalah-masalah yang belum ia kuasai seperti dalam masalah-masalah hukum dan kemiliteran.
Ibn Khaldun berpendapat bahwa seorang pemimpin yang cacat dari syarat-syarat ideal, dia dapat dipilih sebagai kepala Negara asalkan memiliki ash’abiyah (solidaritas kelompok). Karena hal ini akan menjamin persatuan dan kesatuan serta ketertiban dalam pemerintahan.
Menurut Rasyid Ridha bahwa dalam lembaga kekhalifahan ada istilah “imamah darurat” yaitu pengangkatan Negara yang kurang memenuhi kualifikasi seorang imam, namun keadaan darurat dan dalam kasus tertentu maka imam tersebut dapat dingkat sebagai kepala Negara. Menurutnya, pengangkatan tersebut sebagai pemberian toleransi kepada variasi-variasi imam yang kurang memenuhi syarat dan dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak yang bersifat sementara dalam situasi dan kondisi yang khusus.
3) Larangan Menjadi Kepala Negara
a) Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Di kalangan pemeluk Islam, hadits merupakan sumber ajaran pokok setelah Al-Qur’an. Hadits yang berupa sabda, perbuatan, maupun ketetapan atau taqriri (Nabi) memiliki beberapa tingkatan. Adapun upaya untuk memalsukan hadits, terutama pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, mengharuskan umat Islam untuk berhati-hati dalam menerima hadits yang dijadikan pedoman.
Beberapa sebab yang mendorong timbulnya pemalsuan hadits antara lain, adalah kesengajaan untuk merusak ajaran Islam, untuk memperkuat pendirian suatu golongan atau kedudukan penguasa, maupun untuk mencapai peghidupan dunia.
Hadits yang sering dijadikan rujukan tentang larangan menjadi kepala negara bagi perempuan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang berbunyi:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَءَةَ
“Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”
Hadits tersebut terdapat dari musnad Ahmad Hambal (juz V), Shahih Al-Bukhari (juz IV), dan Sunnah An-Nasai (juz IV). Hadits itu oleh Al-Ghazali dalam kitabnya As-Sunah Al-Nabawiyah Baina Al-Hadits dinilai shahih dari sisi matan, sedangkan dari sisi sanad adalah hadits ahad, yang oleh sebagian orang otensitasnya diragukan. Dengan demikian, hadits itu merupakan komentar Nabi atas situasi yang terjadi di Persia.
Peristiwa yang melatar belakangi hadits tersebut adalah wafatnya kaisar Persia dan diangkatlah anak perempuannya yang bernama Buran  mengantikan ayahnya. Kerajaan persia pada saat itu dihadapkan pada tantangan yang berat, yaitu kerajaan Romawi yang menyerbu wilayah Persia dan berhasil menguasai beberapa daerah . disamping situasi kerajaan yang kacau, diperkirakan Buran tidak memiliki kemampuan untuk memimpin kemampuan untuk memimpin kerajaan besar seperti Persia.
Penuturan tentang kondisi Persia itu disampaikan oleh Abdullah bin Hadhafah yang baru pulang dari Persia. Ketika mendengar berita itu, Rasulullah berkomentar melalui sabdanya :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَءَةَ
Di sini terlihat adanya peristiwa tertentu yang menyebabkan lahirnya hadits tersebut. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan hal ini, sabda Rasulullah tersebut tidak berlaku untuk wanita pada umumnya, tetapi kondisional (Buran).
Selanjutnya ayat yang sering digunakan sebagai rujukan tentang larangan wanita sebagai kepala negara adalah surat  An Nisa ayat 34 yaitu:
                                       •       
Artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Dari ayat di atas ada dua penafsiran, ayat ini bersifat global atau bersifat khusus dalam lingkup keluarga. Jadi kita harus kembali melihat tafsir dari ayat ini terlebih dahulu sebelum mengunakan ayat ini sepenuhnya untuk melarang wanita sebagai pemimpin.
b)    Faktor-Faktor Tabiat Wanita
    Sesuai dengan penciptaannya, wanita itu dibentuk berdasarkan gharizah (instink) yang sesuai dengan tugas untuk apa dia diciptakan, yaitu tugas sebagai seorang ibu, memelihara serta mendidik anaknya. Faktor inilah yang menjadikannya memiliki kepekaan khusus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan rasa kasih sayang.
    Instink-instink inilah yang telah mendorong kaum wanita memasuki lingkungan kewanitaan yang tinggi, hingga perasaan dan kasih sayangnya mengalahkan pertimbangan akal serta kebijaksanaanya.
    Orang-orang yang melarang pencalonan wanita juga mengemukakan alasan bahwa wanita itu menghadapi kendala yang sudah merupakan tabiatnya atau pembawaan mereka, seperti menstruasi setiap bulan beserta keluhan-keluhannya, mengandung beserta penderitaannya, melahirkan dengan segala resikonya, menyusui beserta segala bebannya, dan sebagai ibu dengan segala tugasnya. Semua itu menjadikan wanita secara fisik, psikis dan pemikirannya tidak mampu mengemban tugas sebagai angota dewan yang bertugas membuat undang-undang dan mengawasi pemerintahan.
    `Saya katakan:  hal itu memang benar, tetapi tidak semua wanita layak menjadi anggota dewan dengan segala tugasnya. Wanita yang sibuk sebagai ibu dengan segala tugasnya tidak akan menceburkan dirinya dalam pertarungan pencalonan diri mengemban tugas-tugas penting itu. Dan seandainya dia nekat ikut serta, niscaya orang lain baik laki-laki maupun perempuan akan mengatakan kepadanya: “Jangan ikut, anakmu lebih utama kau perhatikan”
    Tetapi, yang dimaksud konteks ini adalah wanita yang tidak mempunyai anak, dan dia memiliki kelebihan yang berupa kemampuan, kesempatan, ilmu, serta kecerdasan. Atau mereka yang telah berusia sekitar 50 tahun (berpengalaman), tidak direpotkan oleh urusan- urusan tabi’iyah sebagaimana yang telah disebutkan, kalaupun mempunyai anak tapi sudah berumah tangga (tidak merepotkan). Jika keadaanya seperti ini dan syarat-syarat sebagai calon dapat terpenuhi, maka apakah yang menghalanginya untuk ikut serta dalam pemilihan menjadi anggota Dewan Perwakilan rakyat?
4) Landasan Hukum Pembolehan Sebagai Kepala Negara
Secara umum, Islam tidak melarang perempuan menjadi kepala pemerintahan. Hal itu disebabkan laki-laki dan perempuan adalah sama-sama hamba Allah. Seperti dalam surat  Adz-Dzariyaat ayat 56:
        
Artinya:
     “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
Yang disini mengisyaratkan semua makhluk Allah memiliki kedudukan yang sama di sisi-Nya. Seperti dalam surat Al-Hujaraat ayat 13:
 ••           •      •      
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
Dan surat An Nahl ayat 97:
         •    •        
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. Al-Qur’an juga memberikan contoh adanya perempuan yang menjadi kepala negara, yaitu Ratu Balqis yang memerintah di negri Saba’.
Adanya perbedaan antara hadits yang melarang perempuan menjadi kepala negara dengan Al-Qur’an yang memberikan contoh tentang kemampuan perempuan sebagai kepala negara yang super power, perlu disikapi secara hati-hati. Menurut syekh Ghazali, karena Al-Qur’an derajatnya lebih tinggi daripada hadits, ayat Al-Qur’an-lah yang dipegang sebagai pedoman.
Adapun hadits yang melarang, seperti riwayat Abu Bakrah itu, disampaikan oleh Abu Bakrah sewaktu dia menghadapi situasi yang sulit karena harus memilih antara mendukung Ali atau Aisyah yang pada waktu itu terlibat konflik yang berpangkal pada terbunuhnya Khalifah Usman. Konflik itu memuncak dengan terjadinya Perang Jamal. Sebagai seorang budak yang mendapatkan kemerdekaan setelah masuk Islam, Abu Bakrah merasa sulit untuk memilih salah satu dari orang-orang yang dicintai Rasulullah  yang sedang terlibat konflik tersebut. Akhirnya, Abu Bakrah cenderung memihak pada Ali bin Abu Thalib yang pada waktu itu berhasil mengalahkan Aisyah dan menguasai kota Basrah. Dalam kondisi tersebut Abu Bakrah mengamalkan hadits tersebut. Dengan demikian, kiranya dapat diketahui bahwa hadits itu tidak berlaku umum dan pemunculannyapun diwarnai oleh tujuan oportunistis.
Selain hadits yang diriwayatkan Abu Bakrah tersebut, sumber yang sering digunakan sebagai rujukan tentang larangan wanita sebagai kepala negara adalah surat  An Nisa ayat 34 yaitu:
                      ...الخ
Artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).....”
Menurut Nasaruddin Umar, kata  الرجال dalam ayat tersebut lebih ditekankan pada aspek jender laki-laki (maskulinitas), bukan jenis kelaminnya.   Dan ayat ini terkait dengan kepemimpinan di dalam rumah tangga, bukan dalam pengertian umum. Karenanya, perempuan yang memiliki sifat maskulin, seperti independen, tidak emosional, rasional ataupun percaya diri dapat menjadi pemimpin dalam rumah tangganya. Fakta di masyarakat menunjukkan bahwa banyak perempuan yang dinilai berhasil sebagai kepala rumah tangga, seperti kasus istri ditinggal mati suami, suami sakit dalam waktu lama, atau suami menjadi korban PHK.
Muhammad Abduh  juga pernah mengemukakan bahwa ayat di atas tidak dapat dijadikan sebagai alasan bahwa kepemimpinan mutlak berada di tangan laki-laki.
Hal ini diperjelas dalam surat An Nisa ayat 124 yaitu:
            •      
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”
Dalam ayat ini  Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk mengerjakan amal-amal saleh dalam berbagai segi kehidupan. Mereka pun akan mendapatkan hasil atau balasan yang sama. Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa Islam memiliki konsep keadilan jender dan tidak mengenal diskriminasi.
Perempuan, menurut Quraish Shihab, memiliki hak dibidang politik, seperti terdapat dalam Al-Qur’an surat At Taubah ayat 71 sebagaimana berikut:
              •         •      
Artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat tersebut dikemukakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban melakukan kerja sama dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik.
Pada kenyataanya, kita juga melihat bagaimana seorang wanita dapat mematahkan gagasan Umar di dalam masjid, lalu Umar menarik pendapatnyadan menerima pendapat wanita itu seraya berkata:
 اَصَابَتِ المَرْأَةُ وَاَخْطَأَ عُمَرُ. (رواه ابن كثير)
Artinya:
    Wanita itu benar dan umar keliru
Disamping itu Nabi juga pernah bermusyawarah dengan Ummu Salamah mengenai peperangan Hudaibiyah. Ummu Salamah ketika itu mengemukakan pendapatnya yang kemudian dilaksanakan oleh Nabi saw. Ternyata pendapat Ummu Salamah ini tepat dan membawa kebaikan yang sangat bermanfaat.
Orang yang mau memperhatikan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah niscaya akan menemukan bahwa hukum-hukum di dalamnya itu berlaku umum untuk kedua jenis manusia ini, kecuali yang dikhususkan kepada keduanya sesuai dengan fitrah dan keadaan masing-masing. Wanita punya hukum-hukum khusus berkenaan dengan haid, nifas, istihadhah, hamil, melahirkan, menyusui, melahirkan anak, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki mempunyai tugas memikul tanggungjawab emberi nafkah dan perlindungan kepada wanita (istri).
Kemudian ada pula hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah warisan, yang laki-laki diberi dua kali lipat dari wanita, yang hikmahnya sudah jelas, yaitu didasarkan kepada perbedaan tugas dan beban kehartabendaan antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, ada juga hukum yang berhubungan dengan kesaksian dalam muamalah maliyah (kehartabendaan) dan sosial kemasyarakatan, dalam hal ini kesaksian dua orang perempuan disamakan dengan kesaksian seorang laki-laki. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan dan praktik untuk menjaga kekuatan pembuktian, sebagai sikap hati-hati dalam menjaga hak dan kehormatan manusia.
5) Beberapa Peringatan Penting
     Yusuf  Qardhawi mengingatkan beberapa hal yang penting:
1.    Janganlah kita menempatkan sesuatu yang tidak sahih, seperti hadits-hadits yang dha’if  atau nash-nash yang shahih dan sharih yang memberikan ketetapan.
Adapun nash yang tidak shahih, seperti hadits-hadits dha’if, atau nash yang mengandung banyak kemungkinan pengertian dan penafsiran, seperti yang berkenaan dengan urusan wanita. Maka siapa pun tidak diperkenankan untuk menetapkan kepada umat dengan tidak memperbolehkan pemahaman yang lain. Lebih-lebih, mengenai masalah kemasyarakatan umum yang sensitif dan perlu kemudahan.
2.    Ada hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang kita tidak dapat menjelaskan zamannya dan lingkungannya, padahal Islam menerima perubahan sesuai dengan perubahan faktor-faktor yang dominan. Karena itu, para muhaqiq menetapkan fatwa itu dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi, dan kebiasaan yang berlaku.
Hal ini banyak yang berhubungan dengan wanita, yang disikapi dengan sangat keras dan ketat, sehingga diharamkan mereka pergi ke masjid, meskipun ketetapan itu bertentangan dengan nash yang shahih dan sharih. Namun, mereka lebih mengutamakan sikap hati-hati dan menutup pintu kerusakan daripada  menerapkan nash, dengan alasan karena perubahan zaman.
3.    Bahwa kaum sekuler sekarang memperdagangkan persoalan wanita (mengangkat persoalan-persoalan wanita) dan mencoba mengaitkan dengan Islam mengenai hal-hal yang sebenarnya Islam terlepas darinya. Misalnya anggapan bahwa Islam itu mendiskreditkan kaum wanita serta menyia-nyiakan  kemempuan dan kodratnya, dengan alasan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir, dan dengan alasan beberapa pendapat kaum ekstrim pada zaman sekarang.
6)  Referensi Kitab   
a. Bidayatul Mujtahid
وَكَذَلِكَ اخْتَلَفُوْا فِىْ اِشْتِرَاطِ الذُكُوْرةِ فَقَالَ الجُمْهُوْرُ هِىَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الحُكْمِ وَقَالَ اَبُوحَنِيفَةَ يَجُوْزُ اَنْ تَكُوْنَ المَرْأَةُ قَاضِيًافِيْ الأَمْوَالِ قَالَ الطَّبَرِي يَجُوْزُ اَنْ تَكُوْنَ حَاكِمًا عَلَى الإِطلاَكِ فِى كُلِّ شَئٍ . قَلَ عَبْدُ الوَهَابِ وَلاَ اَعْلَمُ بَيْنَهُم اِخْتِلاَفًا فِي اشْتِرَاطِ الحُرِّيَةِ. فَمَنْ رَدَّ قَضَاءَ المَرْاَةِ شَبَّهَهُ بِقَضَاءِ الإِمَامَةِ الكُبْرَى وَقَاسَهَا اَيْضًا عَلَى العَبْدِلِنُقْصَانِ حُرْمَتِهَا. وَمَنْ اَجَازَا حُكْمَهَانَافِدًا فِيكُلِّ شَيْءٍ. قَالَ اِنَّ الأَصْلَ هُوَ كُلُّ مَا يَتَأَتَي مِنْهُالفَصلُ بَيْنَ النَّاسِ فَحُكْمُهُ جَائِزٌ إلاَّ مَ خَصَّصَهُ الإِمَامَةِالكُبْرَى. وَاَمَّا اِشْتِرَاطُ الحُرِّيَةِ فَلَا خِلَافَفِيْهِ.
b. Al-Mizan al-Kubra
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ الأَ ئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ اَنَّهُ لاَيَصِحُّ تَوْلِيَّةُ المَرْأَةِالقَضَاءَ مَعَ قَوْلِ اَبِي حَنِيْفَةَ إِنَّهُ يَصِحُّ اَنْ تَكُوْنَ قَاضِيَةً فِي كُلِّ شَئٍ تُقْبَلُ فِيْهِ شَهَادَةُ النِّسَاءِ. وَعِنْدَهُ أَنَّ شَهَادَةَ النّسَاءِتُقْبَلُ فِي كُلِّ شَيْءِ إِلاَّ الحُدُوْدَوَالجَرَاحَ فَإِنَّهَالاَتُقْبَلُ عِنْدَهُ. وَمَعَ قَوْلِ مُحَمَّدِ بْنِ جَرِيْرٍ الطَّبَرِيَِ يَصِحُّ اَنْ تَكُوْنَالمَرْأَةُ قَاضِيَةً فِي كُلّؤ شَئٍ. فَالأوَّلُ مُشَدَّدٌ وَعَلَيْهِجَرَى السَّلَفُ وَالخَلَفُ.وَالثَّانِي فِيْهِ تَخْفِيْفٌ والثَّالِثُمُخَفَّفٌ فَرَجَعَ الأَمْرُإِلَى مَرْتَبَتَيِ المِيْزَانِ، وَوَجْهُ الثَانِى وَالثَّالِثُ إِنْ فَصْلَ الخُصُوْمَاتِ مِنْ بَابِ الأَمْرِبِالمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ المُنْكَرِ وَلَمْ يَشْتَرِطُوْا فِيْ ذَلِكَ الذُّكُرَةَ. فَإِنَّ المُعَوَّلَ عَلَى شَرِيعَةِ المُطَهَّرَةِ الثَّابِتَةِ فِى الحُكْمِ لاَ عَلىَ الحَكِمِ بِهَا وَقَدْ قَالَ النَبِيّ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَءَةَ. قَالَ ذَلِكَ لَمَّا وَلّى جَمَاعَةٌ المَلِكَ الكِسْرَى ابْنَتَهُ مِنْ بَعْدِهِ المُلْكَ. وَقَدْ أَجْمَعَ اَهْلُ الكَشْفِ عَلَى إِشْتِرَاطِ الذُّكُوْرَةِ فِي كُلِّ دَاعٍ إِلي اللهِ. وَلَمْ يَبْلُغْنَا إِنَّ أَحَدًا مِنْ السَّلَفُ الصَّالِحِ تَصَدَّرَتْ لِتَربِيَةِالمُرِيْدِيْنَ أَبَدًا لِنَقْصِ النِّسَاءِ فِي الدَّرَجَةِ. وَإِنْ وَرَدَ الكَمَالُ  فِي بَعْضِهِنَّ كَمَرْيَمَ ابْنَةِ عِمْرَانَ وآسِيَةَ امْرَاَةِ فِرْعَوْنَ. فَذَلِكَ كَمَلُ بِالنِّسْبَةِ لِتَّقْوي وَالدِّيْنَ لاَبِنِّسْبَةِ لِلحُكْمِ بَيْنَ النَّاسِ وَسَلِيْكِهِمْ فِي مَقَامَاتٍ الوِلاَيَاتِ.
7) Analisis
    Setelah panjang lebar membahas kajian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa, bukan tidak mungkin seorang wanita mampu memimpin sebuah negara, dan dari hadits dan Al-Qur’an sendiri banyak dalil yang mensejajarkan wanita dengan kaum laki-laki. Namun, ada hal-hal tertentu yang masih dibedakan yakni hak waris dan ketentuan bersaksi.   
Saat ini, kita sekarang memeperbolehkan kaum wanita melakukan bermacam-macam aktivitas yang tidak dikenal sebelumnya. Didirikan sekolah-sekolah dan fakultas-fakultas untuk mereka, yang menampung berjuta-juta anak perempuan, dan mencetak guru, dokter, akuntan, ahli administrasi, sebagian lagi menjadi dewan direktris  pada berbagai yayasan atau lembaga yang di dalamnya juga ada petugas laki-laki. Nah, petapa banyaknya guru pria yang mengajar di sekolah yang kepala sekolahnya wanita, betapa banyak dosen-dosen yang mengajar di fakultas yang dekannya seorang wanita. Bahkan kadang-kadang seorang suami menjadi bawahan istrinya di suatu sekolah, dikampus, di rumah sakit, atau disuatu lembaga yang dipimpinya, tetapi setelah pulang kerumah, si istri kembali menjalani kodratnya sebagai bawahan suami.
Dan pada saat ini, masyarakat moderen di bawah sistem domokrasi, apabila memberi kedudukan umum pada seorang wanita, seperti pada kementrian, perkantoran, atau di dewan perwakilan, tidak berarti bahwa mereka menyerahkan segala urusan mereka pada wanita itu dan sepenuhnya membebankan tanggung jawab kepadanya.
Pada kenyataanya tanggung jawab itu bersikap kolektif dan kekuasaan itu dijalankan bersama-sama oleh sejumlah orang dalam lembaga terkait, dan  wanita itu menanggung sebagian saja bersama yang lain.
SISTEMATIKA

HUKUM PEMIMPIN WANITA



















Daftar Pustaka


A. Yazid. Koho, Qosim. 1992.  Himpunan Hadits-Hadits Lemah dan Palsu, Surabaya: Bina Ilmu.
Abdul Malik ibn Abdillah ibn Yusuf al-Juwaini.1950. al-Irsyad. Mesir: Maktabah al-Khanji.
Djaja, Tamar. 1965.  Pustaka Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.
Farih, Amin. 2010. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam Perbedaan Pandangan Kyai NU tentang Presiden Wanita. Semarang: Walisongo Press
Ghazali. 1990. As Sunna an Nabawiya: Bayna Ahl al Fiqh wa Ahl al Hadits, Bairut: Dar Achchourouq
  http://www.scribd.com/doc/31444192/Kepemimpinan-Wanita-di-Negara-Islam
Jalal Syarat, Muhammad dan Ali Abd al-Mu’thi Muhammad. al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam, (Iskandariyat: Dar al-Jami’at al-Misriyat, 1978
  Khaldun, Ibn. 1987. Muqaddimat. Beirut: Dar al-Fikr.
Mernissi, Fatimah. 1994. Ratu-ratu Islam yang terlupakan. (Bandung: Mizan
Mernissi, Fatimah. 1995. Setara di Hadapan Allah, Yogyakarta: SPPA Yayasan Prakasa.
Pulungan, J. Suyuti. 1997. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Rajawali Press
Qardhawi, Yusuf. 1988.  Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II, Birut: Gema Insani Press. Cet IV.
Rusdy, Ibnu. 2006. Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Juz II
Shihab, Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
Suhandjati Sukri, Sri. 2002. Pemahaman Islam dan Tentang Keahlian Jender. Yogyakarta: Gama Media.
Taimiyyah, Ibn. 1951. as-Siyaasah  al-Syari’ah fi al-Ishlah al-Raa’I wa al-Ra’iyyah. Cairo: Dar al-Kitab al-Arabi.
Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Paramadina.
Wahab al-Sya’rani, Abdul. al-Mizan al-Kubra. Mesir: Musthafa al-Halabi, t. Th. cet I, Juz II.
Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

No comments:

Post a Comment