Nama : Abdul Aziz Kirom
Nim : 13770064
Kela C : C
1.
Roland
Cavanagh mengemukakan bahwa agama merupakan berbagai macam ekspresi simbolik
tentang dan respon tepat terhadap segala nilai yang tidak terbatas bagi mereka
(Cavanagh, 1978: 20).
Charles Glock dan Rodney Stark yang mengidentifikasi lima dimensi
saling berbeda, namun hanya dengan kelimanya seseorang disebut “religious”:
eksperimental, ideologis, ritualistic, intelektual, dan konsekuensional (Holm,
1977: 18). Berikut penjelasannya,
Pertama, Dimensi kepercayaan
(belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok ajaran imannya. ini
merupakan unsur yang amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama
lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu
seseorang tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman. contoh bila
seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak
mungkin ia menjadi seorang anggota gereja.
Kedua, Dimensi praktis, terdiri dari
dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan sebagai suatu ibadah
yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima sakramen. Secara
asasi ritual adalah bentuk pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah
terjadi pada masa awal pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan
dengan devotional adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal,
seperti misalnya berdoa, berpuasa.
Ketiga, Dimensi pengalaman
(experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan subyektif dengan
Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya Allah dalam
kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa menjadi awal
dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani
suatu agama tertentu. pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman
percaya seseorang.
Keempat, Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.
Kelima, Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah benar adanya.
Keempat, Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.
Kelima, Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah benar adanya.
Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind
(1967) menyebutkan, bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu :
1
dimensi
praktis atau ritual
2
naratif
atau mistis (Narrative and Mythic)
3
pengalaman
dan emosional (Experiential and emotional)
4
dimensi
sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional)
5
etis atau
legal (Ethical and legal)
6
doktrinal
atau filosofis (Doctrinal and philosophical)
7
material/bahan.
2.
Secara
garis besar fenomena agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat
kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi fenomena agama dalam antropologi diawali dengan fenomena agama dari
sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam
setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development)
dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang
berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya
kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis
ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari
animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi
intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang
anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama
menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu
ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan
anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada
ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama
bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak
itu.
3.
Adapun isu tentang kesetaraan atau keadilan
jender. saat kesempatan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki terbuka lebar, ternyata belum dibarengi dengankemampuan perempuan dalam
menjalankan kewajiban yang melekat dengan hak-hak tersebut. Akhirnya, feminisme tidak lagi
menjadi
gerakan
pemberdayaan perempuan melainkan memperdaya perempuan dengan klaim tentang ketertindasan, diskriminasi,dan lain sebagainya.
4.
Berikut ini corak atau tipologi
keberagamaan masyarakat muslim kontemporer :
1.
Islam Fundamentalis
Adalah gerakan atau paham yang
bertumpu pada ajaran mendasar dalam Islam, teutama terkait dengan rukun Islam
dan Iman. Diantara ciri dari corak Islam fundamentalis ini adalah sikap dan
pandangan mereka yang radikal, militan, berpikiran sempit, bersemangat secara
berlebihan atau bahkan dalam mencapai tujuannya dengan memakai cara-cara
kekerasan.
2.
Islam Neo-Tradisionalis
Adalah kelompok yang awalnya
ditujukan kepada mereka yang berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah, namun
kemudian juga ditujukan kepada mereka yang berpegang pada produk-produk
pemikiran para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam keilmuan fiqh,
tafsir, teologi, tasawuf, lughah, ushul fiqh dan lainnya. Kemudian belakangan
ini munculah gerakan neo-tradisionalis, yang digagas oleh tokoh atau kelompok
yang hendak merubah paradigma berfikir tradisionalis. Istilah Neo-tradisionalis
terkadang didentikkan dengan Gus Dur. Sekalipun bukanlah satu-satunya.
3.
Islam Neo-Modernis
Adalah Kelompok yang menempatkan
Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras
dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang
lebih inklusif, moderat, dan mengakui adanya kemajemukan dalam kehidupan,
sehingga membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan.
secara umum Islam neo-modernisme bisa
dicirikan sebagai berikut: pertama, neo-modernisme
Islam merupakan gerakan kultural-intelektual yang muncul untuk melakukan
rekontruksi internal pada umat Islam dengan merumuskan lagi warisan Islam
secara lebih utuh, konprehensif, kontekstual dan universal. Kedua, pada prinsipnya neo-modernisme muncul
sebagai tindak lanjut atas usaha-usaha pembaru kelompok modernis terdahulu,
yang karena keterbatasan-keterbatasan tertentu masih meninggalkan sejumlah
masalah yang belum bisa diatasi. Ketiga, dalam konteks
keindonesiaan, kemunculan gerakan neo-modernisme Islam atas pandangan dua arus
utama yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis yang selalu berada dalam
pertarungan konseptual yang nyaris tidak pernah usai. Neo-modernisme Islam
hadir untuk menawarkan konsep-konsep pemikiran yang melampaui kedua arus utama
tersebut. Keempat, kemunculan
neo-modernisme Islam merupakan wacana awal gerakan modernisasi dalam arti
rasionalisasi, yaitu merombak cara kerja lama yang tidak aqliyah.
4.
Islam liberal
Adalah jama’ah Islam Liberal atau di
sebut juga JIL. menyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya
”ekstremisme” dan ”fundamentalisme” agama di Indonesia. ditandai oleh munculnya
kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara
aspirasi ”Islam militan”, serta penggunaan
istilah ”jihad” sebagai dalil serangan.
Tanggapan untuk islam Radikal : lahirnya kelompok-kelompok Islam garis
keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama,
para penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan
alienasi karena "ketertinggalan" ummat Islam terhadap kemajuan Barat
dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka
untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan
kekerasan untuk menghalangi ofensif materialistik dan penetrasi Barat. Kedua,
kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari adanya
pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan
mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat
dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari
mereka yang belatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan ekonomi. Latar
belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan
matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam
secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang
didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan
mereka terhadap ayat-ayat suci Al Qur'an dan Hadits dalam jumlah besar memang
mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah
karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushulfiqh,
maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.
No comments:
Post a Comment