REKONSTRUKSI LATAR BELAKANG
LAHIRNYA FILSAFAT ISLAM
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Filsafat
Ilmu
yang dibina
oleh Bapak Prof.DR. Syamsul Arifin
M.Si
Oleh :
Nama :
SUROTO
Kelas : B
NIM : 12760031
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN GURU
MADRASAH IBTIDAIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
Oktober 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH
Filsafat awalnya berasal dari Yunani yang
berkembang sejak sebelum masehi. Hal ini berarti lahirnya filsafat adalah jauh
sebelum datangnya agama Islam. Agama Islam yang melahirkan filsafat Islam bukan
bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani. Filsafat Islam lahir berdasarkan
pada kitab suci yang difikirkan secara mendalam, sedangkan filsafat Yunani
berdasarkan pada mitos yang berkembang saat itu. Ketika Islam muncul dan
berkembang pada abad ketujuh Masehi, aturan dan kaidah berfikir didasarkan pada
Alqur’an dan Al-Hadits yang ditimba dari perkataan, tingkah laku, dan keimanan
Nabi Muhammad.
Teks suci sebagai salah satu sumber
pengetahuan tidak digunakan di masyarakat Barat dalam mengembangkan filsafat
akibat konflik mereka dengan gereja di masa lalu. Para pemikir Barat
mengembangkan filsafat dengan menambahkan intuisi sebagai salah satu sumber.
Namun konsep intuisi masyarakat Barat merupakan abstraksi dari ber-bagai
tangkapan indera, sehingga masih bersifat empirik, bukan metafisika sebagai-mana
dalam Islam.
Rasionalisme dan empirik yang lepas dari
ajaran wahyu dan agama menyebab-kan terjadinya kekeringan spiritual dan
hilangnya jati diri manusia. Untuk mengisi kekosongan tersebut perlu pemecahan
masalah dengan melakukan integrasi antara agama dan sains. Agama dijadikan
dasar sebagai upaya dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan hal-hal
ghaib dan akibat yang ditimbulkan dipecahkan dengan sains, sedangkan hal-hal
yang bersifat inderawi dipecahkan dengan sains yang menggunakan sandaran agama.
Filsafat dalam Islam pada dasarnya bercorak
tetap dalam semangat makna aslinya sebagai cinta kearifan. Dalam Islam sendiri
terdapat istilah hikmah yang
diidentifikasi sebagai filsafat. Dalam hikmah kebenaran yang dicari akan
berpuncak pada kebenaran tertinggi, yakni Tuhan sebagai Yang Maha Benar (Al-Haqq). Kearifan dalam filsafat Islam
yang dicari tidak hanya dalam tataran konseptual, tetapi juga memiliki tujuan
teoritis yaitu kebenaran dan tujuan praktis yaitu perilaku yang sesuai dengan
kebenaran yang diperoleh.
Pandangan Islam tentang realitas sebagai
obyek kajian ilmu ternyata tidak hanya terpaku pada dunia empiric tetapi juga
hati, perasaan, jiwa, dan ruh yang merupakan bagian dari ciptaan Tuhan. Karena
itu metodologi pemikiran Islam tidak bisa hanya mengandalkan
eksperimen-eksperimen lahiriyah dan kejeniusan rasio tetapi harus disertai
dengan kesucian hati.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka pada
makalah ini akan diuraikan pengertian dari filsafat Islam, perkembangan
filsafat Islam, dan pemikiran-pemikiran ahli hikmah yang merupakan istilah yang
digunakan para pemikir islam dalam membahas filsafat Islam.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
a.
Apakah pengertian filsafat Islam ?
b.
Bagaimanakah perkembangan filsafat islam ?
c.
Bagaimanakah pemikiran ahli hikmah (al-Farabi,
al-Ghazali, dan Suhrawardi)?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam
makalah ini adalah :
a.
Menjelaskan pengertian filsafat Islam
b.
Memaparkan perkembangan filsafat islam dari
masa ke masa.
c.
Menjelaskan pemikiran ahli hikmah (al-Farabi,
al-Ghazali, dan Suhrawardi).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Filsafat Islam
Di
kalangan kaum muslimin, orang yang pertama memberikan pengertian filsafat dan
lapangannya adalah Al-Kindi. Ia membagi filsafat menjadi 3 bagian, yaitu (1) Thibiyyat (ilmu fisika), sebagai
tingkatan yang terbawah; (2) al-ilm-ur-riyadli
(matematika) sebagai tingkatan tengah; dan (3) ilm-ur-Rububbiyah (ilmu ketuhanan) sebagai tingkatan tertinggi.
Pembagian tersebut karena ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat
diindera yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda yang mempunyai
wujud sendiri, yaitu matematika yang terdiri dari ilmu hitung, teknik,
astronomi, dan music atau tidak berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud
sendiri. Obyek yang ketiga adalah sesuatu yang tidak berhubungan dengan benda
sama sekali, yaitu ilmu ketuhanan.[1]
Menurut Al-Kindi alam ini asalnya tidak ada kemudian menjadi ada karena
diciptakan oleh Tuhan.
Menurut
Ibn-Arabi yang merupakan tokoh sufi masyhur hingga mendapat julukan muhy al-Din (Penghidup Agama) menyatakan
bahwa tidak ada jalan lain untuk bisa memahami realitas hidup yang hakiki
kecuali menyelami langsung lewat penghayatan. Pengetahuan intuitif yang
diperoleh lewat experience inilah
pengetahuan yang sebenarnya dan terpercaya. Selain itu untuk mampu menangkap,
menyelami, dan memahami rahasia dan hakekat wujud, seseorang harus membersihkan
jiwa kemudian menghadap Tuhan dengan penuh cinta dan rindu.
Pemikiran
Al-Ghazali tentang filsafat menyatakan bahwa realitas sesuatu terbagi menjadi
dua bagian, yaitu alam indera (alam al-syahadah) dan alam kasat mata (alam malakut atau alam al-ghaib). Perbandingan kedua alam ini seperti kulit dan isinya,
bentuk luar sesuatu dengan ruhnya, kegelapan dengan cahaya, atau kerendahan
dengan ketinggian. Alam malakut disebut alam atas, alam syahadah adalah alam
bawah, alam jasmani, dan alam gelap. Realitas yang ada tersusun secara herarkhi
dimulai dari alam indera yang merupakan alam paling bawah dan rendah, naik pada
alam ghaib. Mata tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat atau terlalu
jauh. Sementara bagi mata hati, soal jauh dan dekat adalah sama. Dalam sekejab
mata hati bisa terbang ke langit dan sekejab berikutnya meluncur ke bumi.[2]
Ketiga
tokoh sufi tersebut pada dasarnya memandang sesuatu berdasarkan pada hal-hal
yang bersifat indrawi dan ghaib. Sesuatu tidak hanya dipandang dari wujud yang
dapat diamati secara inderawi, tetapi juga memahami hakekat dari wujud itu
sendiri. Memahami wujud tidak hanya diselesaikan menggunakan proses berfikir
ilmiah saja, namun dalam memahaminya juga didasari dengan semangat religius
yang telah memiliki pijakan yang sangat kuat berupa Alqur’an dan al-Hadts.
Inilah konsep filsafat menurut Islam.
Dalam
Islam, kesadaran religius terhadap tauhid
merupakan sumber dari semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan. Oleh
karena itu, tradisi intelektual Islam tidak menerima gagasan bahwa pengetahuan
hanya berdasarkan pada ilmu alam yang ilmiah saja, juga tidak bisa menerima
bahwa ilmu alam lebih ilmiah daripada ilmu-ilmu lainnya. Gagasan-gagasan
obyektifitas yang begitu esensial dalam kegiatan ilmiah tidak dapat dipisahkan
dari kesadaran religius.
Pemikiran
rasionalisme Islam benar-benar berakar pada ajaran dan kebutuhannya sendiri.
Perkembangan logika bahasa untuk memahami bahasa alqur’an, perkembangan
pemikiran hukum (fiqh) untuk menjawab persoalan hukum dan masyarakat, dan
perkembangan pemikiran teologi untuk menjawab persoalan-persoalan aqidah.
Ketiga factor tersebut merupakan pilar bangunan rasionalisme Islam. Filsafat
dan logika Yunani menyempurnakan tata pemikiran yang telah ada.[3]
2.2
Perkembangan Filsafat Islam
Filsafat
Islam secara garis besar terbagi menjadi tiga periode yang meliputi periode
Klasik, periode Pertengahan, dan periode Modern. Periode klasik terjadi sejak
abad 7 hingga abad ke-12 yang berakhir pada tahun 1258 M dengan ditakhlukkannya
Bagdad oleh pasukan Mongol. Periode Modern terjadi sejak runtuhnya Bani
Abbasiyah dan berdirinya Kerajaan Usmani, Syafawi, dan Mughal hingga kini.
2.2.1 Pemikiran Filsafat Islam pada Periode
Klasik
Filsafat
Islam adalah ilmu yang paling sedikit dipahami sekaligus paling banyak
disalahpahami. Pangkal kontroversi yang ada di sekitar filsafat Islam adalah
sejauh mana Islam mengijinkan adanya masukan dari luar. Filsafat Islam
terpengaruh oleh pemikiran Yunani atau Hellenisme
hingga Ernest Renan menyatakan bahwa “filsafat Arab” tidak lain hanyalah
filsafat Yunani yang ditulis dalam bahasa Arab.[4]
Hal ini terjadi saat kaum muslim melakukan kontak dengan otoritas-otoritas
keagamaan Yahudi dan Kristen yang berusaha mempertahankan keimanan mereka
dengan menyerang ajaran Islam menggunakan argument-argumen yang diambil dari
logika dan filsafat yang belum dikenal kaum muslim. Kaum muslim berusaha
mempertahankan keimanan Islam menggunakan perisai intelektual dari jenis yang
sama, maka dilaku-kanlah penerjemahan
karya-karya filosofis dan ilmiah ke dalam bahasa Arab.
Dengan
menggunakan filsafat dan ilmu-ilmu Yunani, Persia, dan juga India, kaum muslim
secara bertahap mulai menampilkan beragam perspektif intelektual yang
mendominasi cakrawala peradaban Islam sejak saat itu. Ilmu-ilmu dari luar
dipadukan dengan beragam perspektif intelektual yang telah dimiliki oleh kaum
muslim sendiri yang telah memiliki pijakan yang begitu kuat berupa Alqur’an dan
Hadits, maka lahirlah madzhab-madzhab filsafat, seni, dan ilmu pengetahuan yang
bermacam-macam. Dengan demikian Islam memiliki aliran sendiri yang dikenal
dengan Filsafat Islam karena konsep dan formulasi yang digunakan terintegrasi
ke dalam pandangan Islam sekalipun ia berasal dari yang lain.
Banyak
masalah yang dikaji oleh filosof muslim bukan bersumber dari bangsa Yunani.
Masalah tersebut murni bersumber dari ajaran Islam sendiri yang tidak dikenal
oleh bangsa Yunani. Salah satunya adalah masalah kenabian. [5]
Meski demikian, diakui bahwa rasionalisme yang digunakan untuk mengembangkan
pembahasan masalah menggunakan logika-logika Yunani melalui
penerjemahan-penerjemahan karya-karya filosofis dan ilmiah.
Menurut
Al-Jabiri dalam buku Takwin al-Aql
al-Farabi halaman 29-30 [6]
ada perbedaan mendasar antara pola fikir filsafat Islam dengan pola fikir
Yunani. Dalam Islam, yang dimaksud dengan berfikir (aql) lebih merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang
harus berbuat. Sedangkan dalam tradisi Yunani, akal lebih merupakan pemikiran
yang berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu. Perbedaan pola pikir
tersebut disebabkan perbedaan pijakan yang digunakan. Dalam pola pikir filsafat
Islam, adalah kata atau bahasa, sedangkan Yunani berpijak pada makna dan
logika.
2.2.2 Pemikiran Filsafat Islam pada Periode
Pertengahan
Jatuhnya
kota Baghdad yang merupakan pusat kebudayaan dan peradaban Islam oleh bangsa
Mongol merupakan awal kemunduran Islam. Baghdad sebagai sebagai pusat
kebudayaan dan peradaban Islam sangat kaya akan khazanah ilmu pengetahuan
lenyap dibumihanguskan oleh tentara Mongol. Hal ini lebih diperburuk dengan
banyak-nya dinasti-dinasti yang lahir dan berusaha melepaskan diri dari
kekuasan Baghdad.
Hal ini
berdampak pula pada perkembangan filsafat Islam. Para sarjana modern umumnya
beranggapan bahwa pemikiran filsafat Islam mulai masa ini mengalami kelumpuhan.
Hal ini tidaklah benar bila dipandang dari pemikiran filsafat Islam secara
keseluruhan. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa justru pada pasca penyerbuan
pasukan Mongol, muncul pemikiran filsafat Islam yang berkembang di wilayah
Persia. Tradisi filsafat Islam tersebut dipelopori oleh Syihab Al-Din
Suhrawardi yang dikenal dengan filsafat Ilmuninatif. Filsafat Illuminatif
disamping mendasarkan pada deduksi rasional juga mendasarkan pada jalan hati
dan penyucian jiwa. [7].
Pada
masa itu muncul filosof “ Yang dinyatakan secara bulat sebagai filosof terbesar
di jaman modern Persia, yaitu Shadr Al-Din Al-Syirazi yang lebih dikenal dengan
Mulla Shandra. Jalan kebenaran menurut Mulla Shandra bagi manusia adalah :
wahyu (wahy atau syar’), intellection (aql),
dan keterbukaan secara mistik (kasyf).
Sin-tesisnya mewakili suatu perspektif intelektual yang baru dalam filsafat
islam. Filsafat Islam ini memiliki banyak pengikut khususnya di Persia dan
India, di samping di Iraq dan beberapa wilayah Arab yang lain.
Pada
masa ini kajian filsafat Islam berkembang sangat terbatas. Keterbatasan ini
disebabkan oleh minimnya literatur. Kalaupun ada literatur, tekanan kajiannya
masih berkisar pada aspek metafisik, belum banyak menyentuh aspek kajian epistemologi
maupun etik. Kajian pemikiran filsafat Mulla Shandra belum banyak tersentuh.
Menurut
Nasr, empat topic pemikiran Mulla Shandra, yang dalam setiap topic memulainya
dari beberapa perspektif filosofis sebelumnya dan membentuk prinsip-prinsip
dari seluruh visi intelektualnya. Keempat topic yang dimaksud meliputi: pertama, mengenai wujud (being) dan berbagai polarisasinya; kedua, mengenai gerakan substansial (substantial motion) atau yang menjadi (becoming) dan perubahan substansi dunia;
ketiga, mengenai pengetahuan dan
hubungan antara yang mengetahui dengan yang diketahui; dan keempat, mengenai jiwa, kemampuan, pemunculan, penyempur-naan,
serta kebangkitan akhirnya. [8]
Menurut Rahman, system pemikiran Mulla Shandra ini sebagai pemikiran yang
segar, orisinal, menawan, paling canggih, dan paling kompleks dalam seluruh
sejarah filsafat Islam. Mulla Shandra banyak mencurahkan pemikirannya dalam
bidang metafisika sehingga oleh sementara ahli dipandang sebagai metafisikawan
Muslim terbesar.
Filsafat
illuminationisme menyatakan bahwa sumber perubahan bentuk kehidupan emosional
untuk mencapai tindakan dan harmoni. Hikmah bukan sekedar teori melainkan
perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya
pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang
bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai
bersama-sama. [9]
2.2.3 Pemikiran Filsafat Islam pada Periode
Modern
Mayoritas
ahli sejarah mengatakan bahwa akhir abad 14 sekaligus sebagai akhir jaman
pertengahan yang ditandai suatu gerakan yang disebut Renaissance suatu istilah dari bahasa Perancis yang berarti
kelahiran kembali (rebirth). Periode
muncul sebagai akibat dari usaha manusia untuk keluar dari pengaruh gereja
untuk mencari alternative agar pemikiran bisa berkembang begitu bebas dan maju.
Pemikiran tidak lagi dikung-kung sehingga sains dapat berkembang. [10]
Ketika
Parlemen Agama-Agama Dunia (The
Parliament of World’s Religions) mengeluarkan Declaration Toward a Global Ethic Deklarasi Menuju Etika Global) di
Chicago tanggal 28 Agustus sampai dengan 4 September 1993, yang
melatarbelakangi-nya adalah kenyataan bahwa dunia dilanda krisis global yang
salah satunya adalah ketidak-adilan sosial. [11]
Dalam
perspektif sejarah, persoalan keadilan sosial muncul bersamaan dengan munculnya
revolusi industri dan jaman Feodalisme. Feodalisme adalah jaman di mana
ketidaksamaan hak para raja dan bangsawan untuk memperoleh pelayanan pekerjaan
masyarakat dianggap merupakan hal yang wajar. Begitu juga pada masa Revolusi
Industri.
Hasil
deklarasi tersebut, kemiskinan tidak lagi dipandang sebagai nasib yang harus
diterima begitu saja, melainkan disebabkan oleh struktur sosial yang bisa
diubah. Pemilik modal yang menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan
menggunakan usaha sekecil-kecilnya menimbulkan ketimpangan ekonomi antara
pemilik modal dan kaum buruh. Kondisi itulah yang memunculkan “masalah sosial”.
Di
Negara-negara sosialis beranggapan bahwa asalkan Negara memiliki perusa-haan,
maka kaum buruh akan lebih baik. Pada kenyataannya, orang-orang juga meragu-kan
apakah kaum birokrat lebih menguntungkan bagi masyarakat daripada kaum
kapitalis. Kondisi ini juga banyak ditentang oleh warga Negara di Negara
Sosialis se-hingga banyak yang melakukan pembelotan.
Dengan
demikian, baik kapitalisme maupun sosialisme ternyata gagal dalam menciptakan
keadilan sosial. Banyak pemikiran baru muncul dalam pencarian model keadilan sosial.
Diantara para pemikir Islam kontemporer yang secara khusus menulis tentang
keadilan sosial adalah Sayyid Qutb dalam bukunya yang berjudul Al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam. [12]
Dalam
karyanya ini, pemikiran Qutb menyatakan adanya keadilan sosial dalam Islam.
Konsep yang muncul adalah tentang pembatasan kekayaan, redistribusi kekaya-an,
dan gaji minimum. Keyakinan Qutb terhadap Islam sebagai solusi bagi berbagai persoalan
sosial yang disebabkan oleh gagalnya ideology kapitalisme maupun sosialis-me.
Menurut
Qutb hakekat keadilan sosial dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep
tentang alam, kehidupan, dan manusia. Baginya, Islam adalah undang-undang yang
mengatur keseluruhan sisi kehidupan manusia. Dalam pandangan Islam, kemanu-siaan
merupakan satu kesatuan; berbeda bagian untuk membentuk masyarakat; berla-inan
pendapat untuk saling melengkapi dalam mencapai tujuan. Sedangkan kehidupan
dalam pandangan Islam merupakan kasih sayang, persaudaraan, tolong menolong,
baik antara umat Islam ataupun antara individu-individu manusia pada umumnya.
Pembicaraan
tentang keadilan social dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan
tentang politik pemerintahan Islam. Keterkaitan politik pemerintahan Islam
dengan keadilan sosial bukan saja sekedar hubungan dalam tujuannya melaksa-nakan
syariat dan mengikat masyarakat dari semua sisinya, namun juga merealisasikan keadaan
dan keseimbangan, serta membagikan kekayaan sesuai dengan kaidah yang telah
ditetapkan Islam.[13]
Islam
mendasarkan politik kepemilikan berdasarkan hukum dan pengarahan. Dengan
peraturan hukumnya, Islam mencapai tujuan berupa terbentuknya masyarakat yang
sehat dan bersih yang berorientasi pada perkembangan dan pertumbuhan. Sedang-kan
pengarahan, Islam mendorong masyarakat untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan-nya
yang wajar dan mempertinggi tingkat kehidupan yang ideal.
Keadilan
sosial dalam Islam menurut Sayyid Qutb ada tiga, yaitu: (1) kebebasan jiwa yang
mutlak; (2)persamaan kemanusiaan yang sempurna; (3) jaminan sosial yang kuat.
Islam menjamin kebebasan jiwa dengan kebasan dari semua bentuk ketundukan
kepada apapun dan siapapun selain Allah. Pertama,
manusia yang terbebas dari ketundukan kepada semua hal selain Allah tidak akan
takut menghadapi kehidupan yang dapat menyeret kepada kehinaan, menghilangkan
harga diri dan hak-haknya. Islam mendorong terwujudnya kehormatan dan keluhuran
martabat manusia serta mengokohkan kebesaran jiwa yang memberi jaminan
terwujudnya keadilan social.
Kedua, dalam konsep Islam, kebebasan jiwa yang
penuh dalam diri manusia akan membebaskan segala bentuk bayangan perbudakan,
percaya sepenuhnya bahwa mati, penderitaan, kemiskinan semuanya berada di
tangan Allah. Seluruh alam semesta menghadapkan diri tanpa membangkan kepada
Allah akan memperoleh seluruh kebutuhan hidupnya melalui jaminan yang diatur
oleh system dan pelaksanaan syariat. [14].
Ketiga, Islam menetapkan
prinsip baik buruk dalam diri individu dalam meneri-ma kebebasannya dan
menetapkan kaidah-kaidahnya bagi masyarakat yang mencakup kebebasan individu
dan masyarakat. Individu harus menempatkan kepercayaan terha-dap otoritas
Allah, bukan manusia, sehingga tidak ada yang ditakuti individu di dunia ini
selain Allah. Oleh karena itu jaminan social yang kokoh akan terbentuk dengan
meyakinkan setiap individu untuk saling peduli dan tanggung jawab terhadap
masyarakat umum terutama terhadap pemenuhan kebutuhan pokok kelompok miskin
melalui pelembagaan zakat.
Zakat
merupakan hak orang-orang miskin yang terdapat pada harta orang-orang kaya.
Zakat harus dipungut dari orang-orang kaya melalui penggerakan qalbu sebagai
suatu kerelaan orang-orang kaya untuk membayarnya berdasarkan banyaknya
kekayaan yang dimiliki orang tersebut. Ikatan persaudaraan dan kasih sayang merupakan
realisasi ikatan kemanusiaan dan jaminan social melalui jalan perasaan terhadap
suatu kewa-jiban. Ikatan kasih sayang ini merupakan sesuatu yang manusiawi dan
murni yang menembus batas-batas persaudaraan agama.
2.3
Pemikiran Para Ahli Hikmah
Islamisasi
Sains merupakan perpaduan antara akal yang berusaha melakukan pemikiran yang
berkaitan dengan upaya mencari sebab dengan memberikan penjelasan atau tindakan
bagaimana seseorang harus berbuat. Warisan intelektual paling berharga yang
dimiliki ulama Islam tentunya Alqur’an dan Hadits sebagai sumber utama. Dalam
mengembangkan filsafat Islam ini, pemikiran klasik filosof Islam perlu
diketahui seba-gai bahan rujukan dalam mengembangkan apa yang telah ada dan
menyempurnakan-nya. Filosof-filosof tersebut adalah :
1) Al Farabi (870-950 M)
Al-Farabi hidup pada periode kedua masa
pemerintahan Abbasiyah. Kegiatan ilmiah pada masa Abbasiyah bergerak dinamis
seiring dengan dinamika politik yang ada. Kegiatan intektual periode ini
menempuh dua jalan yang berbeda. Pertama,
jalan ortodoks (salaf) yang banyak
dianut oleh kaum Muslim. Kedua, jalan
yang kurang ortodoks (Khalaf) yang dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, Syiria,
dan Persia. Jalan ini menuju kepada pengembangan berbagai disiplin tentang
filsafat, matematika, astronomi, fisika, dan geografi.
Pergolakan dan pergeseran pemikiran yang
terjadi pada masa ini tidak hanya antara salaf dan ilmu-ilmu rasional saja,
tetapi juga fiqh yang juga salaf dengan mistik (tasawuf). Al-Farabi yang memang
menyukai filsafat paham benar tentang kondisi tersebut sehingga ia segera
menyetujui tawaran Saif Al-Daulah Abu al-Hasan Ali, penguasa Aleppo, ketika
mengundangnya untuk ikut dalam lingkaran diskusi di istananya karena
karya-karya dan kontribusinya dalam perkembangan keilmuan.
Menurut laporan Osman Bakar, [15]al-Farabi
menulis sekitar 100 karya ilmiah yang mencakup berbagai tema: linguistic,
logika, fisika, metafisika, politik, astronomi, music yang ditulis dalam bahasa
Arab dan dilakukan di Baghdad, Damaskus, dan Khurasan. Menurut penelitian
Bakar, sebagian karya-karya berharga tersebut hilang, sementara yang
terselamatkan belum banyak dikaji, masih dalam bentuk naskah-naskah sehingga
sulit untuk memberikan catatan komprehensif. [16]
Karya Al-Farabi bidang metafisika dikenal
banyak memberikan pengaruh besar bagi perkembangan filsafat sesudahnya.Karya Fushush al Hikam (Permata Kebijaksanaan)
berisi uraian tentang hubungan antara esensi dan eksistensi, antara khaliq dan
makhluk. Menurut Nasr, [17]
karya ini memberi pengaruh besar bagi pemi-kiran metafisika Timur dan Barat
sesudahnya. Konsep metafisika al-Farabi tidak hanya menunjuk soal wujud non
materi, tetapi mencakup juga persoalan psikhis, konsep yang ada dalam pikiran,
bahkan metodologis. Eksistensi manusia berada diantara wujud-wujud materi yang
rendah dan wujud metafisis yang tinggi.
2) Al-Ghazali (1058-1111 M)
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thusi al-Ghazali yang lahir di Thus,
dekat Masyhad, Khurasan tahun 1058 M. Pendidikan dalam bidang fiqh, awalnya dibimbing Abu Nasr al
Ismaili di Jurjan. Pada usia 20 tahun ia pergi ke Nisabur mendalami fiqh dan
teologi pada al-Juwaini yang kemudian menjadi asisten gurunya sampai gurunya
wafat. Al-Juwaini adalah tokoh yang punya peran penting dalam memfilsafatkan
teologi Asy’ariyah. Melalui al-Juwaini inilah al-Ghazali mengenal logika dan
filsafat alam lewat disiplin teologi.
Selain fiqh dan teologi, al-Ghazali juga
melakukan praktik Tasawuf yang dibimbing Farmadzi, tokoh sufisme murid
al-Qusyairi. Al-Ghazali belum berhasil mencapai tingkat di mana sang mistis
menerima inspirasi dari alam atas. Tahun 1091 M al-Ghazali diundang Nidzm
al-Mulk, wazir dari Malik Syah untuk menjadi guru besar di Nidzamiyah Baghdad.
Di sini ia menuntaskan studinya tentang teo-logi, filsafat, ta’limiyah dan
tasawuf, dan merupakan periode penulisan paling pro-duktif. [18]
Perkenalannya dengan empat klaim metodologis tersebut, ia mengalami krisis
epistemologis sehingga ia mengundurkan diri dari jabatannya dan melakukan
pengembaraan selama 10 tahun mulai dari Damaskus, Yerussalem, Makkah, dan
kembali ke Baghdad.[19]
Setelah melalui pengasingan spiritual dan meyakinkan
dirinya bahwa “kaum sufi-lah orang yang menempuh jalan kepada Tuhan secara
benar dan langsung”.[20]
Karya al-Ghazali yang dianggap paling monumental adalah Ihya’ Ulum al-Din (Menghidupkan kembali Ilmu Religius); sebuah
kitab yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselasaran antara dimensi
eksoterik dan esoteric Islam. Masih banyak lagi kitab yang ditulis al-Ghazali
tentang filsafat dan logika, teologi, ushul fiqh, tasawuf, dan kebatinan. [21]
Menurut al-Ghazali[22],
tingkat dan kualitas sesuatu dalam dua bagian, yaitu alam tampak mata atau alam
indera (‘alam al-syahada) dan alam
kasat tidak kasat mata atau alam supranatural (‘alam al-malakut). Perbandingan antara dua alam ini seperti kulit
dan isinya, bentuk luar dan ruhnya, kegelapan dengan cahaya, atau kerendahan
dengan ketinggian. Alam malakut disebut alam atas, alam ruhani, sementara alam
syahada adalah alam bawah, alam jasmani, dan alam gelap. Realitas yang ada
tersusun secara hierarkhis.
Tingkat dan kualitas sesuatu oleh al-Ghazali
diumpamakan dengan cahaya bulan yang menerobos masuk melewati lubang angin dan
jatuh di atas cermin dan terbiaskan oleh cermin tersebut hingga menerangi
ruangan. Dalam perumpamaan ini, cahaya di lantai berasal dari dinding.
Terangnya dinding berasal dari cermin. Cermin memantulkan cahaya dari bulan,
dan cahaya bulan adalah hasil pantulan dari sinar matahari. Sumber cahaya
pertama dinilai lebih utama dan sempurna disbanding cahayadi bawahnya. Dimulai
dari alam indera yang merupakan realitas paling bawah dan rendah, naik pada
alam ghaib, dan bertemu dengan sumber pertama dan utama, yaitu Tuhan yang
segala realitas ada dalam kekuasaan dan perintahNya.
Alam ghaib sendiri meskipun tidak dapat disaksikan
dengan mata indera, tetapi bisa disaksikan dengan mata hati (al-Bashirah) yang telah tersucikan. Ke-tidakmampuan
mata indera untuk menangkap realitas ghaib disebabkan adalah kelemahan yang ada
pada mata indera tersebut. Pertama, mata
indera tidak mampu melihat dirinya, sedang mata indera mampu melihat dirinya
dan sesuatu yang ada di luar dirinya. Kedua,
mata indera tidak dapat melihat hal yang terlalu dekat dan terlalu jauh. Ketiga, mata indera tidak dapat melihat sesuatu di balik tabir, sementara mata
indera bergerak bebas. Mata hati bahkan dapat melihat sesuatu hakekat segala
sesuatu yang terhijab apapun. Kecuali mata hati menghijab dirinya sendiri
sebagaimana mata indera menutup dirinya dengan kelopak matanya.[23] Keempat, mata indera hanya dapat
menangkap bagian permukaan segala sesuatu, sedangkan mata hati mampu menerobos
bagian dari segala sesuatu dan rahasia-rahasianya, menyimpulkan sebab-sebab,
sifat-siaft dan hokum-hukumnya.
Pemikiran al-Ghazali tentang atas dan bawah
sebenarnya bukan hal baru di kalangan filsafat. Namun pemikiran yang
membedakannya dengan filosof sebelum-nya adalah: pertama, sesuatu dicipta dari sesuatu yang tiada. Kedua, particular dan universal sama-sama merupakan substansi yang
mempunyai bangunan tersendiri tetapi saling berkaitan. Ketiga, Pembagian eksistensi wujud
adalah: (1) aktual yang eksistensinya tidak hanya ada dalam mental, konsep, dan
pikiran, tetapi kongkrit, nyata dalam wujud realitas dan (2) wujud potensial
yang hanya ada dalam konsep, mental, atau pikiran dan masih dalam posisi dari
tidak ada (imkan), pada gilirannya
akan bisa mengarah pada kesimpulan bahwa aksiden lebih penting dibanding
substansi, karena aksiden itulah yang menentukan eksistensi sesuatu. Hal ini
sejalan dengan konsep al-Farabi.
3) Suhrawardi (1153-1191 M)
Suhrawardi merupakan salah satu ahli filsafat
iluminatif. Filsafat ini lahir sebagai alternative atas kelemahan-kelemahan
yang ada pada filsafat sebelumnya, khususnya paripatetik Aristotelian. Menurut
filsafat paripatetik yang sampai saat itu dianggap paling unggul ternyata
secara epistemologi tidak bisa menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu
yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional. Dalam soal eksistensi-essensi,
menurut Suhrawardi yang fundamental dari realitas adalah essensi, bukan
eksistensi seperti yang diklaim dari kaum paripatetik. Essensi yang primer,
sedangkan eksistensi hanya sekunder, merupakan sifat dari esensi dan hanya ada
dalam pikiran. [24]
Suhrawardi, lengkapnya Syihab al-Din Yahya
ibn Habasy ibn Amira’ Suhrawardial Maqtul. Ia lahir di desa Suhraward dekat
kota Zinjan di iran Timur Laut tahun 1153 M. Pendidikannya dimulai di Maraghah
kota terkenal karena lahirnya Nasirud al-Din al-Tusi yang membangun
observatorium I dalam Islam. Ia belajar fiqh dan teologi dari Majdud al-Din-al
Jilli. Selanjutnya belajar kepada Fakrud al-Din al Mardini yang merupakan guru
terpenting dari Suhrawardi. Ia juga belajar logika pada Zahir al-Farsi yang
mengajarkan kitab al-Bashir al-Nashiriyah,
juga belajar kepada ‘Umar ibn Sahlan al-Sawi yang merupakan ahli logika serta
salah satu pemikir illuminasionis awal.
Suhrawardi menjalani kehidupannya melalui
jalan sufi dan cukup lama berkhalwat untuk
belajar dan memikirkannya. Ia pergi ke Allepo untuk berguru pada Syafir
Ikhtifar al-Din dan di kota ini Suhrwardi terkenal sehingga para faqih menjadi
iri dan mengecamnya. Akibatnya ia dipanggil Pangeran Malik al-Zahir, penguasa
Allepo untuk dipertemukan dengan para fuqaha dan teolog. Dalam perdebatan ini,
Suhrawardi mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat. Hal itu justru
membuatnya dekat dengan pangeran Zahir dan pendapat-pendapatnya disambut secara
baik.
Kehebatan Suhrawardi yang begitu menguasai
ilmu filsafat, memahami ushul fiqh, dan ungkapannya begitu fasih dan cerdas
semakin membuat iri dan dendam lawan-lawannya. Setelah tidak berhasil
mempengaruhi pangeran Zahir, para fuqaha yang dengki langsung berkirim surat
pada Sultan Shalah al-Din dan memperingatkan bahayanya tersesatnya aqidah
pangeran Zahir jika terus bersahabat dengan Suhrawardi. Karena surat tersebut,
Sultan Shalah terpengaruh dan memerintahkan putranya (Pangeran Zahir) untuk
menghukum mati Suhrawardi, hingga akhirnya Suhrawardi mati di tiang gantungan
pada tahun 1191 M dengan usia yang masih belia, yaitu 38 tahun.
Perjalanan hidup yang relatif pendek dari
Suhrawardi meninggalkan banyak karya tulis. Menurut Husein Nasr, [25]
sekitar 50 judul buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab dan Persia meliputi
berbagai bidang, yaitu (1) Tiga buku membahas filsafat paripatetik yang
melakukan pembenaran filsafat aristoteles, dan satu buku yang berbicara sekitar
konsep iluminasi; (2) Risalah-risalah pendek yang juga membahas tentang konsep
iluminasi tetapi ditulis dalam bahasan yang lebih sederhana; (3) Kisah-kisah
sufisme yang mencari keunikan dan iluminasi . Semua kisah ditulis dalam bahasa
Persia; (4) Terjemahan dan penjelasan terhadap buku filsafat lama dan tafsir
sejumlah ayat serta hadits Nabi; (5) Wirid-witid dan doa-doa dalam bahasa Arab.
Suhrawardi menganut faham iluminatif yang
dalam bahasa Arab Isyraq berarti
cahaya atau penerangan yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan,
kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Cahaya merupakan
symbol utama filsafat isyraqi yang digunakan untuk menetapkan satu factor yang
menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan
sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingkat intensitas
pengalaman mistik.
Sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran
isyraqi Suhrawardi menurut Nasr, [26]
terdiri dari 5 aliran. Pertama,
Pemikiran sufisme khususnya karya al-Hallaj dan al-Ghazali. Salah satu karya
al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang
menjelaskan hubungan antara cahaya dengan iman mempunyai pengaruh langsung pada
pemikiran iluminasi Suhrawardi. Kedua, pemikiran
paripatetik Islam. Walaupun Suhrawardi mengkritiknya tetapi ia memandangnya
sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan isyraqi. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum
Islam. Keempat, Pemikiran-pemikiran
(hikmah) Iran-Kuno. Suhrawardi berusaha membangkitkan keyakinan-keyakinan
secara baru dan memandang para pemikir Iran Kuno sebagai pewaris langsung
hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum nabi Idris
(Hermes). Kelima, bersandar pada
ajaran-ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan.
Dari kelima aliran tersebut menunjukkan bahwa
pemikiran isyraqi merupa-kan penggabungan dari berbagai aliran yang beragam
yang tidak hanya berasal dari Islam saja, tetapi juga aliran dari non-Islam
yang secara garis besar dikelompokkan menjadi aliran filsafat dan sufisme. Ia
tidak berusaha melakukan pembersihan terhadap pemikiran-pemikiran sebelumnya,
ia justru mengklaim dirinya sebagai pemersatu antara apa yang disebut hikmah laduniyah(genius) dan hikmah al-atiqah (antik).
Isyraqi
|
Berdasarkan paparan tentang para filosof Islam (ahli
hikmah) tersebut menunjukkan bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani yang
ditulis dengan bahasa Arab, tetapi merupakan filsafat yang memiliki bentuk
sendiri karena menggunakan dasar pijakan yang berbeda dengan filsafat Yunani.
Filsafat Islam menggunakan dasar pijakan yang memiliki tingkat kebenaran
mutlak.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka kesimpulan dari makalah ini adalah :
1.
Filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani yang
ditulis dalam bahasa Arab, tetapi merupa-kan filsafat yang menggunakan pola
berfikir yang dipakai oleh filsafat
Yunani dan sum-ber dari segala sumber yang ada di dunia, yaitu Alqur’an dan
hadits.
2.
Filsafat Yunani berkembang berdasarkan pada mitos
dan pengamatan gejala kosmis dan fisik sebagai ikhtiar untuk menemukan asal
mula yang merupakan awal terjadinya gejala-gejala. Sedangkan Filsafat Islam dalam
memahami wujud tidak hanya didasarkan pada berfikir ilmiah saja, tetapi
didasari dengan semangat religious yang telah memiliki pijakan yang kuat yaitu
Alqur’an dan Hadits.
3.
Perkembangan filsafat Islam sejak jaman
klasik hingga jaman modern melakukan perpaduan antara pola berfikir filsafat
Yunani dengan sumber ajaran Islam, yaitu Alqur’an dan Hadits. Namun pada
masalah-masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ghaib diselesaikan
dengan membersihkan jiwa kemudian menghadap Tuhan dengan penuh cinta dan rindu.
4.
Pemikiran para ahli hikmah mengembangkan
filsafat Islam menggunakan dasar pijakan Islam yaitu Alqur’an - Hadits dan
menggunakan metodologi pemikiran Yunani. Pemikiran Islam berakar pada ajaran
dan kebutuhannya sendiri. Perkembangan logika bahasa untuk memahami bahasa
alqur’an, perkembangan pemikiran hukum (fiqh) untuk menjawab persoalan hukum
dan masyarakat, dan perkembangan pemikiran teologi untuk menjawab
persoalan-persoalan aqidah.
DAFTAR RUJUKAN
Bakar,
Osman. 1995. Tauhid & Sains. Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Bandung:
Pustaka Hidayah
Hanafi,
A. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
http://en.wikipedia.org/wiki/Towards_a_Global_Ethic:_An_Initial_Declaration diakses 22 Oktober 2012 20:55
Leaman,
Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam
Abad Pertengahan. Jakarta: CV. Rajawali
Nasr,
Seyyed Hossein. 2006. Tiga Madzhab Utama
Filsafat Islam.Jogjakarta: IRCiSoD
Shihab,
Quraish. 2005. Logika Agama. Batas-Batas Akal
& Kedudukan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Penerbit Lentera Hati
Sholihan.
2010. Pernik-Pernik Pemikiran Filsafat
Islam dari Al-Farabi sampai Al-Faruqi. Semarang: Waligongo Press
Soleh,
Khudori. 2010. Integrasi Agama &
Filsafat. Pemikiran Epistemologi Al-Farabi. Malang: UIN-Maliki Press
Soleh,
Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syekhuddin. 2009. http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/filsafat-modern-dan-pembentukannya-renaisans-rasionalisme-dan-empirisme. Diakses Diakses
27 Oktober 2012 pukul 05:00
[1] Ahmad Hanafi. 1996. Pengantar
Filsafat islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm 7
[2] A. Khudori Soleh. 2004. Wacana
Baru Filsafat Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 84-85
[3] Ibid. hlm. 30
[4] Sholihan. 2010. Pernik-Pernik
Pemikiran Filsafat Islam dari Al-Farabi sampai Al Faruqi. Semarang:Wali
Songo Press. Hlm.39-40
[5] Ibid. hlm 40
[6] Op.cit. hlm 4
[7] Murtadha Muthahhari. 1993. Tema-Tema
Penting Filsafat Islam, terj. A.Rifa’I dan Yuliani (Bandung: Mizan) dalam
Sholichan. 2010. Pernik-Pernik Filsafat
Islam. (Semarang: Walisongo Press) hlm. 74.
[8] Seyyed Hossein Nasr. “Sadr al-din Shirazi (Mulla Shandra)”.
Hlm.942-958. Dalam Sholichan.hlm. 82.
[9] Khudori Soleh. 2004. Wacana
Baru Filsafat Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Hlm. 120.
[10] http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/filsafat-modern-dan-pembentukannya-renaisans-rasionalisme-dan-empirisme.
Diakses 27 Oktober 2012 05:00
[11] Sholichan. Op.Cit. Hlm. 96
[12] Ibid. Hlm. 100
[13] Ibid. Hlm. 106
[14] Ibud. Hlm. 110
[15] Osman Bakar, Hierarkhi Ilmu. Hlm.
37 dalam Khudori Soleh. Integrasi Agama & Filsafat. Pemikiran Epistemologi
al-Farabi. Hlm. 30
[16] Ibid. hlm. 38
[17] Husein Nasr, Tiga Pemikir
Islam. Hlm. 11
[18] Ibid. hlm. 184-186
[19] Al-Ghazali, al-Munqid, hlm
71-76 dalam Khudori Soleh. 1997. Kegelisahan
al-Ghazali. (Bandung: Pustaka Hidayah). Hlm 58-59
[20] Ibid. hlm 77; Osman Bakar, Herarkhi
Ilmu. Hlm 189
[21] Khudori Soleh. 2004. Wacana
Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 82
[22] Al-Ghazali. Misykat al-Anwar.hlm
274; al-Ghazali. Misykat Cahaya-Cahaya.hlm.
30
[23] Ibid. hlm271; al-Ghazali. Misykat
Cahaya-Cahaya. Hlm. 21-22
[24] Husein Nasr. 1986. Tiga Pemikir
Islam. Bandung:Risalah) hlm. 85
[25] Ibid. hlm. 72
[26] Ibid. hlm. 74
No comments:
Post a Comment