By: Khofif, S.Pd.I
Mahasiswa PascaSarjana UIN Maliki Malang
10 April 2014
A.
Pemerintahan Kholifah Bani
Umayyah
Masyarakat
muslim merasa tentram, damai dan sejahtera setelah terbai’atnya Mu’awiyah bin
Abi sufyan menjadi Kholifah pada tahun 40 H/661 M, dari yang semula
porakporanda ketertiban dan kefahaman yang beraneka ragam dengan penghujung
tindakan radikalis. Namun pada tahun 41 H./662 M. Kaum muslim kembali terusik
dengan pengejawantahan kembali dari Kaum Khowarij yang terkkoordinir dibawah
pimpinan Farwat ibn Naufal Al-Asja’i. Mereka mengadakan penyerangan terhadap
pemerintahan Kholifah Muawiyah bergerak dari Irak menuju Suriyah. Dengan sigap
Kholifah mengeksekusi dengan mengirimkan pasukan untuk menyerang mereka,
sehingga keadaan pun kembali dalam kondisi stabil. Farwat ibn Naufal yang gugur diganti oleh
Abdulloh ibn ‘Auff sebagai pimpinan sisa dari mereka yang selanjutnya diburu
oleh pembesar kufah atas perintah kholifah sampai mereka berangsur-angsur
lumpuh pada tahun 43 H./663 M.
Pada tahun
48 H/668 M, ekspansi ke Constantinople yang digencarkan oleh Kholifah Utsman
bin Affan yang sempat terhenti akibat beliau wafat, kembali dilanjutkan oleh
Kholifah Mu’awiyah. Beliau mempercayakan kepada Panglima Sufyan ibn Auff untuk
memimpin penyerangan ke utara dengan membagi pasukan perang menjadi dua
kelompok besar : angkata darat menerobos Asia kecil dan angkatan laut melintasi
selat Hellespont. Menanggapi hal tersebut Kaisar Constan II menyambut mereka
dengan memberangkatkan armada besar menuju selat Hellespont. Tepatnya di
Semenanjung selatan Asia kecil yang menjulur ke laut Ageia, kedua Armada
raksasa bertemu sehingga pecahlah peperangan yang terkenal dengan istilah The
Bettle of Mount Phoenix. Armada Bezantium yang dipimpin langsung oleh Kaisar
Constan hancur dan dia melarikan diri menuju Constantinople sehingga Laut
tengah jatuh dalam kekuasaan umat Islam.[1]
Akan tetapi penyerangan selanjutnya ke kota benteng Constantinople tidak
mencapai seperti apa yang diharapan, hal ini karena minimnya pengalaman dan
kecanggihan senjata yang dimiliki oleh kaum muslim. Dalam keadaan penyerangan
penuh digencarkan oleh kaum muslim melalaui armada laut dimana hujan panah dan
batu dari kedua belah pihak (Kaum Constantinople berada dalam benteng dan Kaum
Muslim diluar benteng/mengepung), dari pihak Constantinople menggunakan senjata
terbaru dalam sejarah yang disebut Greek-Fire. Senjata ini melontarkan bola
yang pecah mengeluarkan benda berserakan di lautan yang bisa terbakar di
permukaan laut. kemudian disusul panah api yang menyebabkan kaum muslimin
bermuara di lautan api. Sebagian dari mereka tidak bisa menyelamatkan diri dan
sisanya kembali ke Pantai Asia. Termasuk diantara korban yang gugur yaitu
sahabat Nabi Muhammad SAW bernama Abu Ayyub Al-Anshori dan dimakamkan diluar
benteng.[2]
Ekspansi
kembali dilanjutkan pada tahun 50 H/670 M menuju wilayah pesisir Afrika Utara
di seberang Cyreneica (Libya) yang sebagiannya masih dalam kekuasaan Imperium
Roma Timur dan wilayah pesisir baratnya berada dalam kekuasaan bangsa Visigoth
dari Spanyol. Jumlah pasukan yang diutus berjumlah 10.000 pasukan berkuda
dibawah pimpinan Panglima Okbah Bennafi Al-Fihri yang kemudian mendapat bantuan
tambahan pasukan dari mesir. Menyikapi rencana tersebut Kaisar Constan II
kembali menyambut mereka dengan mengirimkan pasukan ke Libya dari Chartago
dengan 30.000 tentara yang mana pembekalan dan pembiayaannya di pungut melalui
aksi perampasan kekayaan gereja di Roma dan berbagai kota di Italia dan Sicily.
Kedua pasukan bertemu di Tripoli dengan prosentase tidak seimbang dengan
kuantitas lebih unggul pasukan Imperium Roma. Namun kehendak Alloh SWT melalui
kecerdasan Okbah Bennafi dalam strategi perang, pasukan Imperium Roma dapat
dipukul mundur dan dihancurkan serta Napoli jatuh dalam kekuasaan Islam.
Pihak
imperium Roma kembali mengirimkan bala tentaranya melalui laut dari pulau
Sicilia dan Italia setelah mendengar kemenangan Okbah Bennafi. Mengetehui hal
ini Kholifah Mu’awiyah juga mengirimkan tentara bantuan, sehingga pasukan
Imperium Roma dengan sangat mudah dihancurkan. Kemudian pasukan islam mengepung
kota Carthago dan melanjutkan perjalanan menyelusuri pantai utara merebut
Aljazair, mengepung kota Ceuta (Benteng pusat kedudukan bangsa Vishigoth),
merebut kota Tangier di pantai Atlantik sampai kota Tiznit dari kekuasaan
bangsa Vishigoth. Pasukan islam mengalami peningkatan personil dari suku Barbar
yang menyatakan masuk islam karena hidayah Alloh Melalui kekaguman mereka
terhadap etika dan estetika yang diimplementasikan oleh pasukan Okbah Bennafi.
Dengan kekuatan yang semakin besar pasukan islam kembali ke Carthago yang
notabene masih dikepung oleh sebagian tentara islam yang bertugas. Pada tahun
51 H/671 pasukan islam menggempur kota Carthago yang menyebabkan peperangan
yang sangat dahsyat berlangsung beberapa bulan sehingga kota itu hancur dan
porakporanda.
Selanjutnya
pada tahun 52 H/672 M Kholifah Mu’awiyah merebut kembali pulau Rhodes yang
pernah dikuasai pada masa Kholifah Utsman bin Affan yang melepaskan diri pada
masa Kholifah Ali bin Abitholib dengan pimpinan perang Junadah ibn Abi
Mu-Umayyat. Gubernur Zayad ibn Abihi mengutus pasukan dibawah pimpinan Muhallib
ibn Abi Shafra untuk mengejar Kaum Khowarij yang telah membuat kerusuhan di
Kerman dan Sijistan (wilayah selatan Iran) dengan berujung peperangan. Sehingga
kaum Khowarij porakporanda dan berhamburan ke bebagai daerah. Panglima Muhallib
melanjutkan ekspansi ke lembah Sind menguasai kota Quetta, Khalat, Garruk,
Kuzhdar, Shireza, Mehar, Dadu, Sehwan dan kota tua Patala. Kemudian bergerak
menuju utara menguasai kota Shikarpur, Khanpur, Bahawalpur dan daerah sekitar
sungai Punjab dan Taxilia yang merupakan anak benua India bekas kekuasaan
bangsa Grik. Perjalanan dilanjutkan melalui Khyber Pass memasuki dataran tinggi
Pamir dan menguasai Kota Khabul dan bagian timur Afganistan yang mana penduduk
di daerah ini pada akhirnya mau memeluk agama Islam dengan sangat fanatik dan
gagah berani, padahal semula tidak sudi memeluk Islam walaupun wilayahnya telah
dikuasai. Panglima muda dan cerdas bernama Muhallib ibn Abishafro ini masih
enggan membenamkan kakinya, beliau langkahkan kakinya merebut kota tua Balkh,
Tranxosiana, Bukhoro pada tahun 54 H/674 M dan Samarkand pada tahun 56 H/676 M.
Dengan begitu lalulintas dagang sepanjang jalan Sutera (Silk Road) telah berada
di bawah imperium Islam di mana lokasi ini merupakan jalur dagang antara Tiongkok
dan dunia bagian barat.[3]
Ekspansi
menjadi prioritas Kholifah Umayyah merupakan tanda praktis kesejahteraan dan
keamanan sistem internal pemerintahan dan masyarakat terimplementasi dengan
baik. Kesejahteraan mulai terusik ketika kholifah mengeluarkan intruksi kepada
seluruh masyarakat Islam agar berbai’at kepada putranya yakni Yazid bin
Mu’awiyah. Meskipun Irak, Syam(Surih dan Palestina) dan Iran menyatakan setia
dan berbai’at, namun penduduk Hijaz (Arab Tengah) menyatakan statemen ketidak
setujuan mereka terhadap intruksi Kholifah Mu’awiyah tersebut. Di samping sebab
akhlak tidak baik yang dimiliki Yazid bin Mu’awiyah, unsur nondemokratis dalam
menentukan Kholifah juga merupakan faktor utama penduduk Hijaz enggan
berbai’at. Tokoh yang berada dibalik penolakan tersebut diantaranya Abdulloh
bin Umar, Abdurrohman bin Abu Bakar, Husain bin Ali dan Abdulloh bin Zubair.
Setelah Kholifah mengirimkan 1000 pasukan, maka rakyat Hijaz berbai’at kecuali
empat tokoh tadi. Penolakan berbai’at terus terjadi sampai Kholifah Wafat dan
diganti oleh Putranya yakni Yazid bin Mu’awiyah.
Di awal
pemerintahan beliau, golongan dari Kufah yang masih tunduk pada Abdulloh bin
Zubair mengadakan sikap penentangan terhadap Kholifah di bawah pimpinan Mukhtar
ibn Abdillah Al-Saggaf dengan alasan tuntutan terhadap pembunuhan Sayyidina
Husain bin Ali di Karbala. Sebelumnya mereka sudah mengadakan gerakan
penangkapan terhadap orang yang langsung menjadi eksekutor terhadap Sayyidina
Husain, yaitu Syammar ibnu Ziljausan dan Umar ibnu Sa’ad, kemudian memenggal
kepala keduanya. Sekilas gerakan mereka dinilai positif, namun sepintar apapun
menyimpan bangkai maka akan ketahuan juga. Rupanya mereka adalah aliran
kebatinan dengan topeng agama yang mana sisi negatif gerakan ini mulai
tersingkap ketika mereka mengadakan pengejaran terhadap Abdulloh ibn Zayyad yang
merupakan sumber perintah pembunuhan terhadap sayyidina Husain, yang melarikan
diri ke Mosul. Dalam perjalanan mereka menjunjung semacam kursi di atas keledai
yang diyakini mempunyai kekuatan ghoib sebagai lambang kodrat ilahi sebagaimana
Tabut-Nabi Musa AS untuk Bani Isro’il.[4]
Menyikapi
hal itu Abdulloh bin Zubair memerintahkan kepada saudaranya Mashab bin Zubair
Al-Wali dari wilayah Iran dan Iraq dibantu oleh Muhallib ibn Abishafro Al-Amil
wilayah Khurasan untuk membasmi mereka. Dalam rangka pembasmian aliran
kebatinan terseput pecahlah peperangan di sekitar Kufah yang menewaskan Mukhtar
Al-Saggaf sekaligus musnahnya aliran yang dibawanya.
Terjadi
keresahan mendalam dalam hati Kholifah Abdul Malik bin Marwan dengan bertambah
kuatnya kedudukan Abdulloh bin Zubair yang ditambah dengan gerakan pendukungnya
yang dinilai otoriter. Karena semenjak tahun 64-72 H setiap jama’ah Haji
diharuskan mengangkat bai’at terhadap Abdlloh bin Zubair. Gerakan tersebut
tidak membuat Kholifah serta merta menyikapi dengan pemikiran pendek, karena
terfokus dengan stabilisasi internal pemerintahan. Setelah lima tahun berjalan
barulah beliau menyikapi gerakan Abdulloh bin Zubair dengan terlebih dahulu
mengusai Irak, Iran, Khurasan sampai Bukhoro yang merupakan penyuplai dana yang
sangat besar untuk gerakan mereka. Tepatnya pada awal tahun 72 H/692 M, melalui
daerah Tho’if sekitar 120 Km dari Mekkah Kholifah menyerang Baitulloh dengan
pasukan besar dibawah pimpinan panglima Hujjaj ibn Yusuf. Tidak seperti
serangan sebelumnya, kali ini rupanya Alloh SWT menghendaki Abdulloh bin Zubair
menjadi syahid dalam membela kaum Muslimin khususnya daerah Hijaz dengan
keyakinan ketidak absahan Kholiwah yang ada. Pasukan Kholifah baru bisa
menembus Ka’bah setelah selang waktu tujuh bulan berkecamuk di arena
pertempuran. Abdulloh bin Zubair terjepit hingga berperang dengan baground
Ka’bah. Beliau terbunuh akibat terkena pelontar dan kepalanya dijunjung dengan
ujung tombak, kemudian diturunkan atas permintaan dari ibunda beliau.
Kemelut
internal pemerintahan Kholifah Abdul Malik menyebabkan mengecilnya daerah
kekuasaan islam akibat dikuasinya daerah-daerah tertentu oleh pemerintahan
Imperium Roma dan serangan dari suku Ber-ber pedalaman. Pada tahun 77 H/697 M
pertempuran yang dipimpin oleh Panglima Ibn Walid guna merebut kembali Asia
kecil dari tangan Imperium Roma menelan korban dari pihak muslim sebanyak
200.000 jiwa dan pihak Roma diatas jumlah tersebut. Kota benteng Lazuca dan
Baruncium yang selama ini sulit ditundukkan akhirnya juga bisa dikuasai umat
islam. Kemudia pada tahun 78 H/698 M Kholifah mengirimkan 4.000 pasukan berkuda
dibawah pimpinan Hassan ibn Nukman yang selanjutnya dapat bantuan pasukan dari
wilayah Mesir dan Syiria menuju Afrika utara dan berhasil menguasai dan
meratakan kota benteng Karthago yang sebelumnya dikuasai oleh Imperium Roma.
Dalam tahun ini juga Kota benteng Karthago kembali dikuasai oleh pasukan
gabungan Kaisar Leontius dan Bangsa Goths Spanyol. Menyikapi hal tersebut
kholifah mengirimkan bantuan pasukan darat dan laut untu Panglima ibn Nukman
yang bertahan di Kairwan. Pertempuran akhirnya terjadi di darat dan laut yang
memporak-porandakan pasukan gabungan Roma dan Goths sehingga wilayah Afrika
Utara hingga sekarang masih berada dalam kekuasaan Islam.[5]
c)
Umar bin ‘Abdul ‘Aziz [‘Umar II],
(717-720M),
Gelombang
perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Abd al-Aziz –rahimahullaahu
ta’ala- tahun 99 H/717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah
sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan
kepada Al-Samah –rahimahullaahu
ta’ala-, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102
H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin ‘Abdullah al-Ghafiqi –rahimahullaahu
ta’ala-. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordreu, Poiter, dan dari
sini ia mencoba menyerang kota Tours. Akan
tetapi, diantara kota Poiter dan Tours itu ia
ditahan oleh Charles Martel, sehingga
penyerangan ke Perancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.
Kemenangan-kemenangan
yang dicapai umat Islam nampak
begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan
internal yang menguntungkan. Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu
kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan
ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa
negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap
aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliranMonofisit, apalagi terhadap
penganut agama lain, Yahudi. Penganut
agama Yahudi yang
merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara
brutal.[6]
Rakyat
dibagi-bagi ke dalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh
kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi
seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru
pembebasnya mereka temukan dari orang Islam. Berkenaan
dengan itu Amerali, seperti
dikutip oleh Imamuddin mengatakan,
ketika Afrika (Timur dan
Barat) menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan,
tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan
tangan besi penguasa Visighotic. Di sisi
lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan
masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang
penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakkan. Perpecahan dalam
negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun
711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan
Gothic berdiri.
Perpecahan
politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal,
sewaktu Spanyol masih berada di bawah pemerintahan Romawi (Byzantine), berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat.
Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan karena didukung oleh
sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth,
perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah
dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu
daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat
perawatan.
Buruknya
kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh
keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan
Raja Roderick, Raja Goth terakhir
yang dikalahkan Islam. Awal
kehancuran kerajaan Ghoth adalah
ketika Raja Roderick memindahkan
ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat
itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo,
diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan
anak Witiza. Keduanya
kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka
pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu
Julian, mantan
penguasa wilayah Septah. Julian juga
bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk
menguasai Spanyol, Julian bahkan
memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa Rahimahumullah.[7]
Hal
menguntungkan tentara Islam lainnya
adalah bahwa tentara Roderick yang
terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang
Selain itu, orang Yahudi yang selama
ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan
kaum Muslimin. Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah
suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokon-tokoh pejuang dan para
prajurit Islam yang
terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang
kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap,
berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya
adalah ajaran Islam yang
ditunjukkan para tentara Islam, yaitu
toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan
persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
B. Keadaan pendidikan
1.
Visi dan misi
Spektrum setiap
perjalanan segala macam bentuk subtansi, tidak akan lepas dari sumbangan dan
pengaruh berbagai faktor yang mengitarinya. Hal yang sama juga terjadi pada
ranah pendidikan, termasuk perjalanan pendidikan Islam pada masa bani Umayyah
dimana dimensi politik, sosial, budaya dan agama ikut campur tangan mewarnai
sistem dan bentuk implementasi pendidikan. Ekspansi akbar teritorial yang
digencarkan oleh para punggawa bani Umayyah dalam beberapa periode, disamping beresultan
semakin luasnya daerah kekuasaan, juga secara otomatis meningkatkan volume
kebutuhan primer maupun sekunder dan pelayanan dari pemerintah untuk Masyarakat yang tidak bisa hanya dipandang dengan
sebelah mata . Dalam hal ini pendidikan pun merupakan kebutuhan yang pokok
dalam mensejahterakan dan meningkatkan pola hidup bermasyarakat yang harus
diprogramkan oleh pemerintah pada saat itu.
Dalam
kondisi yang menuntut keahlian yang terpadu antara profesionalisme hati dan
otak, pada masa bani Umayyah secara eksplisit pendidikan mempunyai visi unggul
dalam ilmu agama dan umum, sejalan dengan kebutuhan zaman dan masing-masing
wilayah Islam. Sedangkan untuk mewujudkannya terdapat misi yang diprogramkan, diantaranya
:
1. Menyelenggarakan
pendidikan agama dan umum secara seimbang.
2. Melakukan
penataan kelembagaan dan aspek-aspek pendidikan Islam.
3. Memberikan
pelayanan pendidikan pada seluruh wilayah Islam secara adil dan merata.
4. Menjadikan
pendidikan sebagai penopang utama kemajuan wilayah Islam.
5. Memberdayakan
Masyarakat agar dapat memecahkan masalahnya sesuai dengan kemampuannya sendiri.
Dalam
istilah tercatat bahwa faktor yang terpenting dalam pembangunan adalah
membangun manusia yang membangun pembangunan. Mungkin inilah yang paralel
dengan apa yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan bani Umayyah. Hal ini
sangat bertolak belakang dengan apa yang terukir dari sejarah perjalanan usaha pembangunan
bangsa Indonesia, dimana prioritas pembangunan bertumpu pada perbaikan dan
penambahan infra struktur, baik dalam bidang ekonomi, industri dan pariwisata
dengan mengenyampingkan peningkatan pembangunan SDM. Akibatnya, rendahnya SDM
yang tersedia tidak mampu mengimbangi SDA dan teknologi yang tinggi yang ada.
Dalam menanggulanginya terpaksa mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri
bahkan mengadakan kerjasama yang lebih menguntungkan pihak luar. Dengan tidak
ada penanganan yang serius dalam proses pembangunan bangsa melalui peningkatan
SDM dalam hal ini pendidikan, sampai saat ini bangsa Indonesia masih sangat
bergantung pada pihak luar, baik dalam segi ekonomi, tenaga ahli maupun dalam
pendidikan itu sendiri. Berbeda halnya dengan Malaysia dan Singapura, dimana
pembangunan negara, mereka start dengan program peningkatan SDM. Dalam hal ini
pendidikan merupakan langkah utama yang digalakkan bahkan tidak sedikit dari
pelajar mereka yang dikirim untuk belajar ke luar negeri. Sehingga walaupun
pada awalnya mereka tertinggal dalam infrastruktur, namun saat ini kita yang
tertinggal bahkan segalanya.
Pada
tahun 1960-an yang di pelopori oleh Presiden Soeharto, negara Indonesia
merupakan negara terbaik dalam bidang ekonomi Asia di bawah Cina dan Thailand.
Sehingga banyak dana tergelontor ke Indonesia dari donatur dunia yang
sebenarnya menitik beratkan pada pengembalian yang relatif tinggi dibandingkan
dengan pendapatan Indonesia yang masih rendah.[8]
Belum lagi pengaruh negatif sejarah pendidikan Indonesia masa belanda yang
terjadi diskriminatif perbedaan pelayanan pendidikan kaum priyayi dan pribumi
walaupun akhirnya muncul gerakan pendidikan oleh Syekh Abdulloh Ahmad di
Minangkabau berwujud Madrasah adabiyah yang di dalamnya sudah mulai diajar ilmu
agama dan umum tanpa membedakan suku peserta didik.[9]
Bukan
hanya kesalahan dalam memulai pembangunan, bahkan bangsa kita masih kurang
tepat dalam melaksanakan pembangunan itu sendiri, khususnya dalam pendidikan,
yang mana masih kental dengan adanya dikotomi ilmu. Hal inilah yang mewarnai
hasil SDM bangsa dengan hasil lulusan berkriteria manusia berotak tanpa hati
dan manusia berhati tanpa otak. Sebenarnya langkah terbaik dalam mencapai
kesuksesan dalam pembangunan khususnya menata peradaban, adalah dengan menoleh
pada sejarah. Sebagaimana proses pembangunan yang dilakukan pada masa bani
Umayyah yang mencapai hasil yang gemilang melalui pendidikan yang didalamnya
tanpa ada dikotomi ilmu.
Cerminan
dari pencapaian tersebut, terdapat tidak sedikit munculnya statemen dan
subtansi baru yang bisa menopang kemajuan sosial pada masanya dan masa
selanjutnya, antara lain ;
1. Melakukan
pemisahan antara kekuasaan agama dan politik.
2. Melakukan
pembagian kekuasaan kedalam beberapa bentuk provinsi.
3. Membentuk
organisasi dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam bentuk departemen/dewan.
4. Membentuk
organisasi keuangan yang terpusat pada baitul mal yang diperoleh dari pajak.
5. Membentuk
organisasi ketentaraan yang umumnya terdiri dari keturunan orang arab.
6. Membentuk
organisasi kehakiman.
7. Membentuk
lembaga sosial dan budaya.
8. Membentuk
bidang seni dan sastra dengan menggunakan bahasa arab.
9. Membentuk
lembaga seni rupa seperti seni ukir, pahat dan kaligrafi.
10.Membentuk
lembaga arsitektur
2.
Kurikulum
Berbicara
pendidikan, sudah barang tentu didalamnya haruslah terdapat komponen utamanya,
yakni kurikulum. Sebagus apapun visi dan misi suatu pendidikan tanpa didukung
dengan kehadiran dan keberlakuan kurikulum yang sistematis dan efektif serta relevan
dengan tujuan pendidikan, maka kesuksesan membawa keadaan lebih baik hanya akan
jadi spektrum lamunan belaka. Pada zaman bani Umayyah, kurikulum yang
diterapkan telah diserasikan dengan dengan visi dan misi yang telah ditentukan.
Kurikulum tersebut berisi :
1. Ilmu
agama : Al-Qur’an, Hadits dan Fiqih.
2. Ilmu
sejarah dan geografi : biografi, kisah dan riwayat
3. Ilmu
pengetahuan bidang bahasa : nahwu, shorof dan lain-lain
4. Ilmu
filsafat : mantiq, kimia, astronomi, matematika dan kedokteran.[10]
Walaupun
kurikulum pada masa bani Umayyah tidak terstruktur dengan sistematis yang
diantarnya harus didukung dengan adanya hidden curiculum, namun segala
ketentuan yang sistematis terjadi pada praktek berlangsungnya pendidikan itu
sendiri. Hal ini terbukti dari hasil karya yang dihasilkan, kontribusi
pendidikan terhadap berbagai instansi termasuk pemerintahan dan lahirnya
berbagai tokoh ahli dalam disiplin keilmuan. Sedangkan sistem pelaksanaan
pembelajaran pada masa Bani Umayyah sudah menyamai dengan proses pendidikan
kita saat ini, yaitu sistem desentralisasi. Setiap daerah dan propinsi diberi
hak memproses pendidikan sesuai dengan kebijakan masing-masing, akan tetapi
harus berada pada garis ketentuan umum dari pemerintah terutama peraturan
bahasa arab adalah bahasa universal khususnya dalam pendidikan.
Terbentuknya
kurikulum pada setiap unit pendidikan pada masa Bani Umayyah dengan berbagai
disiplin ilmu, tidak menghilangkan gaya dan model alfabeth Islam. Mungkin
inilah yang juga belum dilirik oleh sistem pendidikan bangsa Indonesia.
Pendidikan Islam era bani Umayyah punya keunikan tersendiri dalam penerapannya,
dimana Ilmu yang diprioritaskan untuk dipahami pertama kali adalah Al-Qur’an
dan Al-Hadits yang selanjutnya disusul ilmu fiqih kemudian ilmu-ilmu yang lain.
Terdapat tidak sedikit tokoh yang muncul dalam ilmu hadits : Imam Bukhori,
Ishaq bin Rohwiyah, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal dan yang lainnya. Sedangkan
Ulama’ ahli fiqih : Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dan yang
lainnya. Pada masa ini pula sudah mulai proses penerjemahan dari kitab-kitab
yunani ke bahasa arab.[11]
3.
Lembaga
Pergerakan
pendidikan yang terstruktur dan sistematis tak ubahnya gulungan ombak yang
menggoreskan lukisan pasir di pantai atau melodi hembusan angin yang
membubuhkan lipatan pasir di padang sahara, yakni menumbuhkan lembaga-lembaga
pendidikan di berbagai tempat dan kalangan. Walaupun dalam faktor internal,
pendidikan pada masa bani Umayyah sudah mulai tertata dengan baik, akan tetapi
bentuk dan model kelembagaan masih dominan dipengaruhi oleh faktor eksternal,
utamanya dari segi pisau politik. Budaya monarki yang masih membalut roda
pemerintahan, membawa dampak adanya klasifikasi dan spesialisasi berdasarkan
ras dan suku masyarakat menjadi terkotak-kotak yang selanjutnya menjalar mewarnai
pendidikan.
Adapun
lembaga-lembaga pendidikan yang terbentuk pada masa dinasti bani Umayyah antara
lain :
1. Istana
Kegiatan pendidikan yang diaplikasikan dalam istana
dengan sub menu pokok ilmu agama dan umum, bukan hanya terbatas pada prioritasi
aspek kognitif, akan tetapi sudah mulai menyentuh dan menekankan juga
pendidikan pada ranah aspek afektif dan psikomotorik. (Abdul Malik ibn Marwan)
2. Badiah
Lembaga pendidikan ini merupakan lembaga yang
mempelajari khusus bahasa arab yang masih murni, tidak terkontaminasi oleh
adopsi dari bahasa lain dan perjalanan waktu. Berdirinya Badiah dilatar
belakangi oleh program arabisasi daulah bani Umayyah yang dari lembaga ini
kemudian muncullah Qowa’id Al-Lughoh. Melalui badi’ah inilah bahasa arab
menyebar luas ke seluruh teritorial di bawah kekuasaan Islam, termasuk
diantaranya : Irak, Syria, Mesir, Lebanon, Libya, Tunisia, Al-Jazair, Maroko,
Yaman, Emirat Arab dan sekitarnya. (160 H./776 M.)
3. Perpustakaan
Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan serta
ditambah dengan kegiatan pendidikan yang berupa penelitian, mewajibkan
tersedianya perpustakaan sebagai tempat khusus yang dapat mendukung pemenuhan
segala kebutuhan dalam kegiatan pendidikan khususnya penelitian. Selanjutnya
perpustakaan bertambah fungsi sebagai kegiatan belajar mengajar, seminar buku
oleh pengarangnya, analisis buku bacaan, penyalinan dan penerjemahan buku.
Al-Hakam ibn Nasir (350 H./961 M.) mendirikan perpustakaan besar di Kordoba.
4. Al-Bimaristan
Lembaga ini merupakan rumah sakit tempat berobat dan
perawatan orang sakit serta sekaligus berfungsi sebagai tempat melakukan magang
dan penelitian bagi calon dokter. Dalam istilah sekarang sama halnya dengan Teaching
Hospital (Rumah sakit Pendidikan). Pada masa ini cucu Mu’awiyah (Kholid ibn
Yazid) sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Dia memerintah sarjana
yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke
bahasa arab yang mana penerjemahan ini merupakan awal sejarah berlangsungnya
alih bahasa dari barat ke arab. (Al-Walid ibn Abdul Malik). Adopsi melalui
penerjemahan buku-buku persia, Romawi, India dan Yunani oleh islam bukan hanya
mengambil subtansi isi sebagai wujud taqlid, akan tetapi dari ilmu yang diserap
dikembangkan menjadi disiplin ilmu yang jauh berkembang dari pada asalnya.[12]
Tidak hanya sebagai pelaku yang pasif dalam proses
pendidikan, bimaristan juga memberi kontribusi terhadap lembaga kedokteran
begitu juga sebaliknya. Sehingga keduanya saling melengkapi antara yang satu
dengan yang lain guna mencapai hasil yang maksimal dalam tercapainya tujuan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat melalui ranah pendidikan.[13]
Dalam
dekade terkhir ini kita sudah mulai menyentuh dan meraba apa yang sudah digapai
oleh umat islam sebelumnya. Diantaranya bahasa Indonesia yang digunakan sebagai
bahasa sentral (bahasa Indonesia materi wajib UN), banyaknya penerjemahan
buku-buku asing baik bahasa inggris atau bahasa arab ke bahasa Indonesia
sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan yang merupakan orang
yang pertama kali menerjemahkan syair-syair bahasa persia ke bahasa arab,[14]
terdapatnya unit pendidikan yang mempunyai tempat khusus praktik ilmu khususnya
dalam bidang kesehatan dan begitupun dari pihak rumah sakit atau industri yang
mulai menerima dan meminta tenaga ahli dari instansi pendidikan. Akan tetapi
dengan masih rendahnya mutu pendidikan yang resultan terhadap hasil produk
pendidikan berkualitas dibawah standart kelayakan kerja, maka pengambilan
tenaga ahli masih merekrut dari luar negeri.
Akan
tetapi berbagai bentuk munculnya lembaga pendidikan dan sistemnya yang baru
pada masa bani Umayyah bukan berarti menghapuskan tradisi pendidikan yang lama
dari masa Rosululloh SAW hingga masa khulafa’ur Rosyidin. Pola pengajaran
dengan sistem kuttab, membaca dan menulis Al-Qur’an dimana Masjid sebagai
sentral, masih tetap eksis mewarnai perjalanan proses pendidikan. Hanya saja
terdapat perbedaan sebagai wujud perkembangan sistem pendidikan dibandingkan
yang terdahulu. Misalnya, pada masa bani Umayyah seorang guru (Mu’addib) sudah
mulai dijamin kesejahteraannya meliputi pemenuhan biaya hidup, penghormatan dan
tempat tinggal. Akan tetapi bagi anggota didik yang terbilang masih lemah dalam
hal ekonomi, pendidikannya berlangsung di kebun atau pekarangan dekat Masjid
dan guru masih belum ada jaminan kesejahteraan terkecuali hanya bersumber dari
Masyarakat tanpa campur tangan dari pemerintah.[15]
[1]Sou’yb, Joesoef.
(Sejarah Daulat Umayyah Di Damaskus). Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Hal.
22.
[2] Ibid, Hal. 44.
[3]Sou’yb, Joesoef.
(Sejarah Daulat Umayyah Di Damaskus). Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Hal.
29-42.
[4] Sou’yb,
Joesoef. (Sejarah Daulat Umayyah Di Damaskus). Jakarta: Bulan Bintang,
1977. Hal. 90.
[6] Ibid, 133
[7] Ibid, 173-179.
[8] Hill, Hal. Ekonomi indonesia.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002. Cet, 2. Hal, 9.
[9] Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2005. Hal, 17.
[10][10] Nata, Abuddin. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Cet,1. Hal, 134.
[11] Bakar, Hammad Al-Alyan. Al-Tarbiyah
Wa Al-Ta’lim fi Daula Al-Islamiyah Khilal Al-Qorn 14 min Al-Taba’iyyah ila
Al-Sholah. Daru Al-Anshor. Hal,26.
[12] Mansur. Junaedi, Mahfudz. Rekonstruksi
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005. Hal,
27.
[13] Abdud Da’im, Abdulloh. Al-Tarbiyah
Abara Al-Tarikh Min Al-Ushuri Al-Qodimah
Hatta Awa’ili Al-Qorni Al-‘Isyrin. Libanon: Daru Al-Alam Al-Malayin.
Hal, 160.
[14] As-Suyuthi, Imam. Tarikh
Khulafa’, Sejarah Penguasa Islam: Khulafa’urrasyidin, Bani Umayyah, Bani
Abbasiyyah. Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Cet, 4. Hal, 260.
[15]Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan
Islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rosululloh Sampai Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Cet, 2. Hal, 61.
No comments:
Post a Comment