Mahasiswa PascaSarjana UIN Maliki Batu
Juli, 2014
Oleh:
Subur Wijaya
A. PENDAHULUAN
Rasulullah
SAW, sebagai suri teladan dan rahmatan lil’alamin bagi orang yang mengharapkan
rahmat kedatangan hari kiamat dan banyak menyebut Allah (al-ahzab:21) adalah
pendidik pertama dan terutama dalam dunia pendidikan Islam. Proses transformasi
ilmu pengetahuan, internalisasi nilai-nilai spiritualisme dan bimbingan
emosional yang dilakukan Rasulullah dapat dikatakan sebagai mukjizat yang luar
biasa, yang manusia apa dan dimana pun tidak dapat melakukan hal yang sama.
Hasil
pendidikan Islam pada periode Rasulullah terlihat daari kemampuan
murid-muridnya (para sahabat) yang luar biasa, misalnya: Umar Ibn Khotob ahli
hokum dan pemerintahan, Abu Hurairah ahli hadits, Salman al-Farisi ahli
perbandingan Agama: Majusi, Yahudi, Nasrani dan Islam; dan Ali ibn Abi Thalib
ahli hokum dan tafsir al-Qur’an, kemudian murid dari para sahabat dikemudian
hari, tabi-tabiiin, banyak yang ahli dalam berbagai bidang ilmu sains, teknologi,
astronomi, filsafat yang mengantar Islam ke pintu gerbang zaman keemasan. Hanya
periode Rasulullah, fase Makkah dan Madinah, para aktivis pendidikan dapat
menyerap berbagai teori dan prinsip dasar yang berkaitan dengan pola-pola
pendidikan dan interaksi social yang lazim dilaksanakan dalam setiap manajemen
pendidikan Islam.
Gambaran
dan pola pendidikan Islam di periode Rasulullah SAW, di Mekkah dan Madinah
adalah sejarah masa lalu yang perlu kita ungkapkan kembali, sebagai bahan
perbandingan, sumber gagasan, gambaran strategi menyukseskan pelaksanaan proses
pendidikan Islam. Pola pendidikan Islam di masa Rasulullah SAW, tidak terlepas
dari metode, evaluasi, materi, kurikulum, pendidikan, peserta didik, lembaga,
dasar, tujuan dan sebagainya yang bertalian dengan pelaksanaan pendidikan
Islam, baik secara teoritis maupun praktis.
B.
SOSIOKULTURAL MASYARAKAT MEKKAH DAN MADINAH
Kondisi
sosiokultural masyarakat Islam pra-Islam.[1]
Terutama pada masyarakat Mekkah dan Madinah sangat memengaruhi pola pendidikan
periode Rasulullah di Mekkah dan Madinah. Secara kualitas orang-prang yang
masuk Islam pada fase Mekkah lebih sedikit daripada orang-orang yang masuk
Islam pada fase Madinah. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh watak dan
budaya nenek moyang mereka sedangkan masyarakat Madinah lebih mudah dimasuki
ajaran Islam karena saat kondisi masyarakat, Aus dan Khazraj khususnya,sangat
membutuhkan seorang pemimpin, untuk melenturkan pertikaian sesama mereka dan
sebagai “pelindung” dari ancaman kaum Yahudi, disamping sifat penduduknya yang
lebih ramah yang dilatarbelakangi factor geografis yang lebih aman, nyaman dan
subur. Pemakalah mencoba mengungkapkan pola pendidikan Islam periode Rasulullah
yang dapat dibedakan menjadi dua fase, yaitu (1) fase Mekkah; dan (2) fase
Madinah.
1.
Fase
Mekkah
Allah Maha Bijaksana, sebagai calon
panutan umat manusia, Muhammad ibn
Abdullah sejak “awal sekali” telah disiapkan Allah, dengan menjaganyadari
sikap-sikap jahiliah.[2]
Dengan akhlaknya yang terpuji, syarat dengan nilai-nilai humanism dan
spiritualisme ditengah-tengah umat yang hamper saja tidak berperikemanusiaan.
Muhammad ibn Abdullah masih sempat mendapat gelar penghargaan tertinggi, yaitu
al-Amiin.[3]
Ibn Abullah, seorang yang teguh mempertahankan tradisi Nabi Ibrahim, tabah dalam
mencari kebenaran hakiki, menjauhkan diri dari keramaian dan hedonisme dengan
berkontemplasi (ber-tahannus) di Gua Hira. Pada tanggal 17 Ramadhan
turunlah wahyu yang pertama, surat al-Alaq ayat 1-5 sebagai fase pendidikan
Islam Mekkah.
a. Tahapan Pendidikan Islam Pada Fase
Mekkah
Pola pendidikan yang dilakukan ole
Rasulullah sejalan dengan tahapan-tahappan dakwah yang disampaikannya kepada
kaum Quraisy. Dalam hal ini pemakalah akan membaginya menjadi tiga tahap.
1) Tahap Pendidikan Islam Secara Rahasia
dan Perorangan
Pada awal turunnya wahyu pertama (the
first revelation) al-Qur’an surat 96 ayat 5, pola pendidikan yang dilakukan
adalah dengan cara sembunyi-sembunyi. Mengingat keadaan social politik yang
belum stabil, dimulai dari istrinya sendiri dan keluarga dekatnya. Mula-mula
Rasulullah mendidik istrinya untuk beriman dan menerima petunjuk dari Allah,
kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali bin Abi Thalib (anak pamannya) dan
Zaid ibn Haritsah (seorang pembantu rumah tangganya dan kemudian dijadikan anak
angkatnya). Kemudian sahabat karibnya
Abu Bakar Shidiq. Secara berangsur-angsur ajaran tersebut disampaikan secara
meluas tetapi masih dalam batas di kalangan keluarga dekatdari suku Quraisy
saja, seperti Usman ibn Affan, Zubair ibn Awwan, Sa’ad ibn Abi Waqas,
Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jahrah, Arqam
ibn Arqam, Fatimah binti Khatab, Said ibn Zaid, dan beberapa orang lainnya,
mereka semua tahap awal ini disebut Assabiqunal Awwalun, yakni
orang-orang yang mula-mula masuk Islam. Sebagai lembaga pendidikan dan pusat
kegiatan pendidikan Islam yang pertama pada era awal ini adalah ruma Arqam bin
Arqam.[4]
2) Tahap Pendidikan Islam Secara
Terang-terangan
Pendidikan secara sembunyi-sembunyi
berlangsung selama 3 tahun, sampai turun waktu berikutnya, yang memerintahkan
dakwah secara terbuka dan terang-terangan.[5]
Ketika wahyu tersebut turun, beliau mengundang keluarga dekatnya untuk
berkumpul di bukit shafa, menyerukan agar berhati-hati terhadap adzab yang akan
datang dikemudian hari
(hari kiamat) bagi orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Seruan tersebut dijawab oleh Abu Lahab, Celakalah kau Muhammad! Untuk inikah kami dikumpulkan? Saat itu turun wahyu yang menjelaskan Abu Lahab dan Istrinya.[6]
(hari kiamat) bagi orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Seruan tersebut dijawab oleh Abu Lahab, Celakalah kau Muhammad! Untuk inikah kami dikumpulkan? Saat itu turun wahyu yang menjelaskan Abu Lahab dan Istrinya.[6]
3) Tahap Pendidikan Islam untuk Umum
Hasil seruan dakwah secara
terang-terangan yang terfokus kepada keluarga dekat, kelihatannya belum
maksimal sesuai apa yang diharapkan. Maka, Rasulullah mengubah strategi
dakwahnyadari seruan yang terfokus kepada keluarga dekat beralih kepada seruan
umum, umat manusia secara keseluruhan. Seruan dalam skala “Internasional”
tersebut didasarkan kepada perintah Allah, surat al-Hijr ayat 94-95. Sebagai
tindak lanjut dari perintah tersebut pada musim haji Rasulullah mendatangi
kemah-kemah para jama’ah haji. Pada awalnya tidak banyak yang menerima, kecuali
sekelompok jama’ah haji dari Yastrib, kabilah Khazraj yang menerima dakwah
secara antusias. Dari sinilah sinar Islam memancar ke luar Makkah.
Penerimaan masyarakat Yastrib
terhadap ajaran Islam secara antusias tersebut dikarenakan beberapa faaktor:
(1) adanya kabar dari orang Yahudi akan lahirnya seorang Rosul; (2) suku Aus
dan Khazraj mendapat tekanan dan ancaman dari kelompok Yahudi; (3) konflik
antara Khazraj dan Aus yang berkelanjutan dalam rentang waktu yang sudah lama,
oleh karena itu mereka mengharapkan seorang pemimpin yang mampu melindungi dan
mendamaikan mereka.
Berikutnya, di musim haji pada
tahun kedua belas kerasulan Muhammad SAW, Rasulullah didatangi dua belas orang
laki-laki dan seorang wanita untuk berikrar kesetiaan, yang dikenal dengan “Bai’ah
al-Aqabah I” mereka berjanji tidak
akan menyembah selain kepada Allah SWT, tidak akan mencuri dan berzina; tidak
akan membunuh anak-anak, dan menjauhkan perbuatan keji serta fitnah, selalu
taat kepada Rasulullah dalam yang benar, dan tidak mendurhakainya terhadap
sesuatu yang mereka tidak inginkan.
Berkat semangat yang tinggi yang
dimiliki para sahabat dalam mendakwahkan ajaran Islam, sehingga seluruh penduduk
Yastrib masuk Islam kecuali orang-orang Yahudi. Musim haji berikutnya 73 orang
jamaah haji dari Yastrib mendatangi Rasulullah SAW, dan menetapkan keimanan
kepada Allah dan Rasul-Nya ditempat yang sama dengan pelaksanaan “Bai’ah
al-Aqabah I” tahun lalu, yang
dikenal dengan “Bai’ah al-Aqabah Ii” dan mereka bersepakat akan memboyong
Rasulullah ke Yastrib.
b. Materi Pendidikan Islam
Materi pendidikan pada fase Mekkah dapat dibagi
kepada dua bagian yaitu:
Pertama, materi
pendidikan tauhid, materi ini lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama
tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim, yang telah diselewengkan oleh masyarakat
jahiliyah. Secara teori intisari ajaran tauhid terdapat dalam kandungan surat
al-Fatihah ayat 1-7 dan surat al-Ikhlas ayat 1-5. Secara praktis pendidikan
tauhid diberikan melalui cara-cara yang bijaksana, menuntun akan pikiran dengan
mengajak umatnya untuk pembaca, memerhatikan dan memikirkan kekuasaan dan
kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau mengajarkan cara
bagaimana mengaplikasikan pengertian tauhid tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Rasulullah langsung menjadi contoh bagi umatnya. Hasilnya,
kebiasaan masyarakat arab yang memulai perbuatan atas nama berhala, diganti
dengan ucapan bismillahirrahmanirrohim. Kebiasaan menyembah berhala,
diganti dengan mengagungkan dan
menyembah Allah SWT.[7]
Kedua, materi
pengajaran al-Qur’an. Materi ini dapat dirinci kepada: (1) Materi baca tulis
al-Qur’an, untuk sekarang ini disebut dengan materi imla’ dan iqra’. Dengan
materi ini diharapkan agar kebiasaan orang arab yang biasa membaca syair-syair
indah, diganti dengan membaca al-Qur’an sebagai bacaan yang lebih tinggi nilai
sastranya, (2) Materi menghafal ayat-ayat al-Qur’an, (3) materi fahmi al-Qur’an
dan tafsir Qur’an: tujuan materi ini adalah meluruskan pola pikir umat Islam
yang dipengaruhi pola piker jahiliah. Disinilah letaknya fungsi hadis sebagai
bacaan al-Qur’an.
c. Metode Pendidikan Islam
Metode pendidikan yang dilakukan
Rasulullah dalam membidik sahabatnya antara lain: (1) metode ceramah,
menyampaikan wahyu yang baru diterimanyadan memberikan penjelasan-penjelasan
serta keterangan-keterangannya; (2) dialog, misalnya dialog antara Rasulullah
dengan Mu’adz ibn Jabal ketika Mu’adz akan diutus sebagai kadi di negeri Yaman,
dialog antara sahabat dengan Rasulullah untuk mengatur strategi perang. (3)
Diskusi atau Tanya jawab; sering sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang
suatu hokum, kemudian rasul menjawab; (4) metode perumpamaan, misalnya orang
mukmin itu laksana satu tubuh, bila sakit salah satu anggota tubuh maka anggota
tubuh lainnyaakan turut merasakannya; (5) metode kisah, misalnya kisah beliau
dalam perjalanan isra’ mi’raj dan kisah pertemuan antara nabi Musa dengan nabi
Khidir AS, (6) metode pembiasaan: membiasakan kaum muslimin shalat berjamaa’ah;
(7) metode hafalan misalnya para sahabat dianjurkan untuk menjaga al-Qur’an
dengan menghafalnya.
Dalam buku”Tarbiyah Islamiyah” yang ditulis oleh Najd Khalid al-Amar
mengatakan bahwa, metode pendidikan Islam yang dilakukan nabi Muhammad SAW,
pada periode Mekkah dan Madinah adalah (1) melalui teguran langsung misalnya.
Hadis Rasulullah SAW; Umar ibn Salma r.a berkata “dahulu aku pernah menjadi
pembantu dirumah Rasulullah SAW, ketika makan misalnya aku menjulurkan tanganku
ke berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, hai ghulam bacalah bismillah,
makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada didekatmu; (2)
melalui sindiran Rasulullah bersabda: “apa keinginan kaum yang begini begitu?
Sesungguhnya aku shalat dan tidur, aku berpuasa dan aku berbuka dan aku
menikahi wanita, maka barang siapa yang tidak senang dengan sunahku berarti dia
bukan golonganku.(lihat shahirul Jami’ ash-Shaghir, juz.5 hadis no 5448.) (3)
pemutusan dari jama’ah. Perang Ka’ab ibn Malik tidak ikut beserta Rasulullah
dalam perang tabuk. Dia berkata, Nabi melarang sahabat yang lainnya berbicara
dengan aku, dikatakan Rasulullah SAW bersabda :”perintahkanlah anak-anakmu
shalat dari umur tujuh tahun dan pukul mereka bila enggan mengerjakannya pada
usia Sepuluh tahun, serta pisahkanlah mereka dari tempat tidurnya (HR. Abu Daud
dan Hakim), [8] (6)
melalui perbandingan kisah orang terdahulu; menggunakan kata isyarat misalnya
merapatkan kedua jarinya sebagai isyarat perlunya menggalang persatuan;
keteladanan setiap apa yang disampaikan oleh Rasulullah, maka yang menjadi
uswahnya adalah Rasulullah sendiri.
d. Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam pada
periode Rasulullah baik di Mekkah maupun Madinah adalah al-Qur’an yang Allah
wahyukan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yang dialami
umat Islam pada saat itu, karena itu dalam praktiknya tidak saja logis dan
rasional, tetapi juga fitrah dan pragmatis. Hasil cara yang demikian dapat
dilihat dari sikap rohani dan mental para pengikutnya.
e. Lembaga Pendidikan Islam
Menurut hemat penulis, lembaga pendidikan Islam pada
fase Mekkah ada dua macam tempat yaitu:
(1) Rumah Arwam ibn Arqam merupakan tempat
pertama berkumpulnya kaum muslimin beserta Rasulullah untuk belajar hokum-hukum
dan dasar-dasar ajaran Islam. Rumah ini merupakan lembaga pendidikan pertama
atau madrasah yang pertama sekali dalam Islam adapun yang mengajar dalam
lembaga tersebut adalah Rasulullah sendiri.
(2) Kuttab,
pendidikan di kuttab tidak sama dengan pendidikan yang dilaksanakan
dirumah Arqam ibn Arqam, pendidikan dirumah Arqam kandungan materi tentang
hokum Islam dan dasar-dasar agama Islam, sedangkan pendidikan di kuttab pada
awalnya lebih terfokus kepada materi baca tulis sastra, syair arab, dan
pembelajaran berhitung namun setelah dating Islam materinya ditambah materi
baca tulis Qur’an dan memahami hokum-hukum Islam. Adapun guru yang mengajar di kuttab
pada era awal Islam adalah
orang-orang non-Islam. Dalam sejarah pendidikan Islam istilah kuttab
berasal dari bahasa arab yakni kataba, yaktubu, kitaaban, yang artinya telah menulis, sedang menulis dan
tulisan, sedangkan maktab artinya meja atau tempat menulis.
2. Fase Madinah
Kedatangan Nabi Muhammad Saw
bersama kaum muslimin Mekkah, disambut oleh penduduk Madinah dengan gembira dan
penuh dengan rasa persaudaraan. Maka, Islam mendapat lingkungan baru yang bebas
dari ancaman para penguasa Quraisy Mekkah, lingkungan yang dakwahnya,
menyampaikan pelajaran Islam dan menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Wahyu secara beruntun selama periode Madinah kebijaksanaan Nabi Muhammad Saw
dalam mengajarkan al-Qur’an adalah menganjurkan pengikutnya untuk menghafal dan
menulisnya sebagaimana yang diajarkan, beliau sering mengadakan ulangan-ulangan
dalam pembacaan al-Qur’an dalam shalat, dalam pidato-pidato, dalam
pelajaran-pelajaran dan lain kesempatan.
a. Lembaga Pendidikan Islam
Ketika Rasulullah dan para sahabat
hijrah ke Madinah salah satu program pertama yang beliau lakukan adalah
pembangunan sebuah mesjid. Setelah selesai pembangunan mesjid, maka rasul
pindah menempati sebagian ruangannya yang memang khusus disediakan untuknya.
Demikian pula diantara kaum muhajirin yang miskin yang tidak mampu membangun
tempat tinggalnya sendiri.
Masjid itulah pusat kegiatan
Rasulullah beserta para pengikutnya kaum muslimin, untuk secara bersama membina
masyarakat baru, masyarakat yang disinari oleh tauhid, yang mencerminkan rasa
persatuan dan kesatuan umat. Dimasjid itulah beliau bermusyawarah berbagai
urusan, mendirikan shalat berjamaa’ah, membaca Qur’an, maupun membacakan
ayat-ayat yang baru diturunkan. Dengan demikian, mesjid itu merupakan tempat
pendidikan dan pengajaran.
Suatu kebijaksanaan yang sangat
efektif dalam pembinaan dan pengembangan masyarakat baru di Madinah, adalah
disyariatkannya media komunikasi berdasarkan wahyu, yaitu shalat jum’at yang
dilaksanakan secara berjama’ah dan adzan. Dengan sholat jum’at tersebut hamper
seluruh warga masyarakat berkumpul untuk secara langsung mendengarkan khotbah
dari Rasulillah dan shalat jum’at berjama’ah.[9]
b. Materi Pendidikan Islam di Madinah
Pada fase Madinah materi yang diberikan lebih
kompleks dari pada fase Mekkah. Diantara pelaksanaan pendidikan Islam di
Madinah adalah:
1) Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara
kaum muslimin. Dalam melaksanakan pendidikan ukhuwah ini, Nabi Saw bertolak
dari struktur kekeluargaan yang ada pada masa itu. Untuk mempersatukan keluarga
itu nabi berusaha untuk mengikatnya menjadi satu kesatuan yang terpadu. Mereka
dipersaudarakan karena Allah bukan karena yang lainnya. Sesuai dengan isi konstitusi
Madinah juga, bahwa antara orang yang beriman, tidak boleh membiarkan
saudaranya menanggung beban hidup dan utang yang berat diantara sesame mereka.[10]
2) Pendidikan Kesejahteraan Sosial.
Terjaminnya kesejahteraan social tergantung pertama-tama pada terpenuhinya
kebutuhan pokok dari pada kehidaupan sehari-hari. Untuk itu setiap orang harus
bekerja mencari nafkah. Untuk mengatasi permasalahan pekerjaan tersebut, Nabi
memerintahkan kaum muhajirin yang telah dipersaudarakan dengan anshor agar
mereka bekerjasama dengan saudara-saudaranya tersebut.
3) Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum
kerabat, yang dimaksud dengan keluarga adalah suami, istri dan anak-anaknya.
Nabi berusaha untuk memperbaiki keadaan itu
dengan memperkenalkan dan sekaligus menerapkan system kekeluargaan, yang
berasaskan taqwa kepada Allah Swt. Diperkenalkannya system kekeluargaan yang
berdasarkan pada pengakuan hak-hak individu, keluarga dan keturunannyadalam
kehidupan kemasyarakatan yang seadil dan seimbang, seperti yang terlihat dalam
surat al-Hujrat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
4) Pendidikan
hankam (pertahanan dan keamanan) dakwah Islam. Masyarakat kaum muslimin
merupakan satu state (Negara) dibawah bimbingan Rasulyang mempunyai
kedaulatan. Ini merupakan dasar dakwahnya sebagai sarana menyampaikan ajaran
Islam kepada seluruh umat manusia secara bertahap. Oleh karena itu, setelah
masyarkat kaum muslimin di Medinah berdiri dan berdaulat, usaha rasul
berikuitnya adalah memperluas pengakuan kedaulatan tersebut dengan jalan
mengajak kabilah-kabilah sekitar Madinah untuk mengakui konstitusi Madinah,
ajakan tersebut disampaikan dengan baik dan bijaksana.
Untuk mereka yang tidak
mau mengikat perjanjian damai ada dua kemungkinan tindakan nabi yaitu: (1)
kalau mereka tidak menyatakan permusuhan atau tidak menyerang kaum muslimin
atau kabilah yang telah mengikat perjanjian dengan kaum muslimin, maka mereka
dibiarkan saja; (2) tetapi kalu mereka menyatakan permusuhan dan menyerang kaum
muslimin atau menyerang kabilah yang telah mengikat perjanjian dengan kaum
muslimin, maka harus diperangi, sehingga mereka menyatakan tunduk dan mengakui
kedaulatan kaum muslimin.[11]
- PENUTUP
Pola pendidikan Islam periode
Rasulullah fase Mekkah-Madinah belum kiranya penulis dapat tuangkan ke dalam
makalah. Paling tidak pembahasan tersebut akan ditemukan benang merah bahwa
pola pendidikan Islam fase Mekkah dan Madinah memiliki persamaan dan perbedaan,
fase Mekkah ada dua lembaga pendidikan yaitu Arqam ibn Arqam dan Kuttab ,
sedangkan fase Madinah lembaga pendidikan terdapat dirumah sahabat dan masjid
yang multifungsi.
1. Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara
kaum muslimin
2. Pendidikan Kesejahteraan Sosial
3. Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum
kerabat
4. Pendidikan
hankam (pertahanan dan keamanan) dakwah Islam
Kurikulum yang
dipakai di Mekkah dan Madinah adalah sama, yakni al-Qur’an yang dijelaskan oleh
hadis Nabiyang diturunkan secara berangsur-angsur, hanya kurikulum di Madinah
lebih komplit seiring dengan bertambahnya wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah Saw.
DAFTAR
PUSTAKA
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Penj. Ali
Audah (Jakarta: Balai Pustaka, 1972)
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Penj. H. A. Baharudin (Jakarta: Kalam Mulia, 2002) Jilid I, cet. 1
Najbb Khalid al-Amar, Tarbuyah Rasulullah, penj. Ibn
Muhammad Fakhruddin Nursyam, (Jakarta: Gema Insani Pres 1996), cet ke-3
Syafiyurrahman al-mubarakfury, Shirah Nabawiyah,
Penj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000), cetakan ke-9,
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara bekerjasama dengan
Direktorat Jenderal Kelembagaaan Agama Islam, 1997), cet, ke-5,
Software Qur’an Digital versi 2.04
[1]Kondisi social
kemasyarakatan di kalangan bangsa Arab, terdapat beberapa kelas masyarakat,
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bangsa Arab sangat mendewakan tuan dan
menghina budak. Bahkan tuan berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, dan
hamba diwajibkan membayar denda dan pajak, budak laksana lading bercocok tanah
menghasilkan banyak kekayaan. Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah dictator.
Banyak hak yang hilang dan terabaikan. Para budak tidak dapat melakukan
perlawanan sedikitpun, banyak diantara mereka yang kelaparan, penderitaan, dan
kesulitan yang tidak jarang merenggut nyawanya, dengan sia-sia. Kondisi ekonomi
mengikuti kondisi social, yang bisa dilihat dari jalan kehidupan bangsa Arab.
Perdagangan merupakan sarana yang paling dominan untuk menyambung kebutuhan
hidup, kondisi kehidupan beragama sangat ironis sekali. Orang-orang Yahudi dan
kafir tumbuh subur berimbas pada kehidupan social politik dan agama. Orang
Yahudi berubah menjadi orang yang angkuh dan sombong. Pimpinan-pimpinan mereka
menjadi sesembahan selain Allah. Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi agama
peganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampur adukkan antara Allah
dan manusia. Dari segi akhlak, mereka adalah orang yang berlomba-lomba dan
membanggakan diri dari masalah kedermawanan dan kemurahan hati, orang yang
menepati janji, kemuliaan jiwadan keengganan menerima kehinaan dan kezhaliman,
pantang mundur, kelemah lembutan atau menolong orang lain, kesederhanaanpola
kehidupan badui. Lihat, Syafiyurrahman al-mubarakfury, Shirah Nabawiyah,
Penj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000), cetakan ke-9, h.
46-64.
[2] Jika ada kecendrungan
jiwa yang tiba-tiba menggelitik untuk mencoba sebagian kesenangan dunia atau
ingin mengikuti tradisi yang tidak terpuji, maka pertolongan Allah yang masuk
sebagai pembatas antara diri beliau dengan kesenangan dan kecendrungan itu.
Ibnu Katsir meriwayatkan, bahwa rasulullah SAW. Pernah bersabda, tidak
pernah terlintas dalam benakku suatu keinginan untuk mengikuti kebiasaan yang
dilakukan orang-orang jahiliah kecuali dua kali. Namun kemudian Allahmenjadi
penghalang diantara diriku dan keinginan itu. Setelah itu tidak lagi
berkeinginan sedikitpun hingga Allah memuliakan kau dan risalahnya, suatu malam
aku pernah berkata pada seseorang yang mengembala kambing bersamaku disuatu
bukit di Mekkah.”tolong awasilah kambing-kambing gembalaanku,karena aku hendak
masuk Mekkah dan hendak mengobrol disana seperti pemuda yang lain. “Aku akan
melaksanakannya, kata pemuda rekanku, maka aku beranjak pergi. Disamping rumah
pertama ku lewati di mekkahaku mendengar suara tabuhan rebana, “apa ini? Aku
bertanya. Orang-orang menjawab “perhelatan pernikahan antara fulan dan fulanah,
“aku ikut duduk dan mendengarkan. Namun Allah menutup telingaku dan aku
langsung tertidur, hingga aku terbangun karena terkena sengatan matahari pada
esok harinya. Aku kembali ke rekanku lau dia menanyakan keadaanku. Maka aku
mengabaran apa yang terjadi. Pada malam lainnya aku berkata seperti itu pula
dan berbuat hal yang sama seperti malam sebelumnya. Maka setelahitu aku tidak
lagi ingin berbuat hal yang buruk,
(keshahihan hadis ini diperselisihkan. Al-hakim menshahihkannya dan ibn Katsir
mendhaifkannya di dalam al-Bidayah Wa an-Nihayah, 2/287). Ibid. h. 86-87.
[3] Rasulullah SAW. Adalah seorang hamba Allah
yang berhiaskan budi pekerti yang baik luhur dan terpuji. Beliau sangat
terkenal dikalangan Quraisy sebagai kesatria, selalu teguh dan repat memegang
janji, orang yang baik dengan tetangga dan sangat santun dan orang yang selalu
menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak baik, rendah hati (tawadhu’),
dermawan, dan jujur terpercaya sehingga mereka menjuluki dengan “al-Amin”.
Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Penj. H. A.
Baharudin (Jakarta: Kalam Mulia, 2002) Jilid I, cet. 1, h. 141-142.
[4] Lihat Q.S. 26.
213-216
[5] Haekal, Sejarah
Hidup Muhammad, Penj. Ali Audah (Jakarta: Balai Pustaka, 1972), h.
30-32.
[6] Lihat Q.S. 111:1-5.
[7] Zuhairini dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kelembagaaan Agama Islam,
1997), cet, ke-5, h. 23-27
[8] Lihat Najbb Khalid
al-Amar, Tarbuyah Rasulullah, penj. Ibn Muhammad Fakhruddin Nursyam,
(Jakarta: Gema Insani Pres 1996), cet ke-3, h. 33-41.
[9] Zuhairini dkk, Op.Cit.
h.23-7
[10] Ibid, h. 44
[11] Ibid, h. 62
No comments:
Post a Comment