Mahasiswa PascaSarjana UIN Maliki Batu
Juli, 2014
I. Pendahuluan
Hingga saat ini, persoalan asal-usul hadits masih
menjadi bahan perdebatan di kalangan para pemikir hadits. Sejumlah pemikir
meragukan kebenaran hadits sebagai berasal dari nabi dan hal itu, menurut
mereka, dapat dibuktikan secara historis, sedangkan sebagian pemikir yang lain
mempercayai bahwa hadits memang berasal dari nabi. Masing-masing kelompok
mengemukakan berbagai argumen yang tampak sama-sama meyakinkan.
Ignaz Goldziher (1850-1921)yang termasuk kelompok
pertama mengatakan: fenomena hadits
berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadits
yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi muslim
materi hadits berjalan parallel dengan doktrin-doktrin fiqh dan teologi yang
seringkali bertentangan maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk
menentukan hadits-hadits orisinal yang berasal dari nabi. Lebih lanjut dia
berpendapat bahwa sebagian besar materi hadits dalam koleksi kitab hadits,
merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua
abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang Nampak pada
masyarakat muslim selama masa-masa tersebut. Akibatnya, produk-produk kompilasi hadits yang ada saat
ini tidak dapat dipercaya secara keseluruhan sebagai sumber ajaran dan perilaku
nabi sendiri.
Josep Schacht (1902-1969) yang mengklaim sebagai
penerus Goldziher menyatakan bahwa isnad, yakni rangkaian para periwayat
hadits yang menjadi sandaran kesahihan sebuah matan hadits, memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang.
Menurutnya, isnad berawal dari bentuk
yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan
doktrin-doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti
sahabat dan akhirnya kepada nabi. Oleh
karena itu isnad merupakan rekayasa
sebagai hasil dari pertentangan antara ahli aliran fiqh klasik dan ahli hadits
maka taksatu pun dari hadits nabi, terlebih yang berkenaan dengan persoalan
hukum, dapat dipertimbangkan sebagai hadits shahih. Singkatnya, hadits-hadits
tersebut sebenarnya tidak berasal dari nabi, tetapi dari generasi tabiin.
Teori-teori Goldziher dan Schacht tersebut
selanjutnya diikuti dan dikembangkan oleh seorang ahli sejarah Islam klasik dan
hadits, G.H.A. Juynboll, yang lahir d Leiden pada 1935 M. Sejak tahun 1965
hingga sekarang, ia secara serius mengabdikan dirinya untuk mengkaji sejarah
awal hadits. Hasil-hasil temuannya masih terus bermunculan di berbagai jurnal
internasional, seperti Arabica, Der
Islam, Bibliotheca Orientalis, Jerusalem Studies in Arabic and Islam, Le
Museon, dan Islamic Law and Society. Ia juga termasuk
salah satu kontributor dalam Encyclopedia
of Islam New Edition, khususnya
volume VII, VIII, dan IX.
Dalam mengkaji sejarah awal hadits, Juynboll
mengadopsi teori-teori Schacht, terutama teori common link-nya. Teori ini merupakan struktur fundamental bagi
seluruh kajiannya mengenai hadits nabi. Menurutnya, teori common link adalah teori yang brilian. Sayangnya, teori tersebut
belum dikembangkan dalam skala yang oleh para pengkaji hadits. Hal itu
barangkali karena teori ini kurang mendapat perhatian, elaborasi, atau
penekanan yang selayaknya, bahkan oleh Schacht sendiri. Padahal menurutnya,
jika orang mau memahami teori ini maka akan tampak bahwa ia sangat menarik dan
mengagumkan, serta tergolong teori yang relatif baru.
Common link adalah
istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang
lebih dari) seorang yang berwenang lalu menyiarkannya kepada sejumlah murid
yang pada gilirannnya kebanyakan dari mereka menyiarkannya lagi kepada dua atau
lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang
disebut dalam isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu
murid. Dengan demikian, ketika berkas isnadyangmeneruskan
hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk
yang pertama kalinya maka di sanalah ditemukan common link-nya.
Oleh karena itu, teori ini berangkat dari asumsi
dasar bahwea semakin banyak garis periwayatan yang bertemu atau meninggalkan
periwayatan tertentu maka semakin besar pula momen periwayatan itu memiliki
klaim kesejarahan. Sebaliknya, jika suatu hadits diriwayatkan dari nabi melalui
seseorang (sahabat), kepada orang lain (tabiin), dan kemudian kepada orang lain
lagi (tabiit-tabiin), yang pada akhirnya sampai pada common link, dan setelah itu jalur isnad tersebut bercabang keluar maka kesejarahan jalur periwayatan
tunggal itu tidak dapat dipertahankan. Dalam kenyataannya, sebagian besar isnad yang mendukung bagian yang sama
dari sebuah matan hadits baru mulai
bercabang dari kaitan bersama, yakni seorang periwayat yang berasal dari
generasi kedua atau ketiga setelah nabi.
Dengan demikian, yang sering terjadi adalah bahwa
yang menjadi common link(kaitan bersama)
sebuaha hadits adalah tabiin dan muridnya (tabiit-tabiin). Jarang sekali
seorang sahabat atau bahkan nabi sendiri menjadi kaitan bersama suatu hadits.
Jika demikian maka hadits itu tidak, atau setidak-tidaknya secara historis
belum terbukti berasal dari nabi atau sahabat, tetapi berasal dan bersumber
dari para tabiin atau bahkan dari para tabiit-tabiin. Hal ini memperkuat ide
Juynboll tentang kronologi hadits yang menyatakan bahwa hadits yang berakhir
pada tabiin lebih tua daripada hadits yang berakhir pada sahabat, dan pada
gilirannya ia lebih tua daripada hadits yang berakhir pada nabi. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa semakin dalam penyelaman di bawah common link, semakin baru asal-usul isnad itu, dan, dengan demikian, semakin
baru pula asal-usul hadits tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, beberapa persoalan yang
menjadi focus kajian ini adalah : (a) apa yang dimaksud dengan teori common link?; (b) bagaimana implikasi
teori tersebut bagi persoalan asal-usul dan perkembangan hadits?; (c) apakah
teori common link dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya?
II. Pembahasan
- Biografi
dan Karya-karya G.H.A Juynboll
Gautier H.A Juynboll yang lahir di Leiden, Belanda
pada 1935 adalah seorang pakar dibidang sejarah perkembangan awal hadits. Selama
tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk
melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer. Kepakaran
murid J. Brugmen ini dalam kajian sejarah awal hadits, menurut P.S. van
Koningsveld, telah memperoleh pengakuan internasional. Oleh karena itu, tidak
diragukan ketokohannya dalam bidang itu dapat disejajarkan dengan nama-nama
seperti James Robson, Fazlur Rahman, M.M Azami, dan Michael Cook.
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on
the Origins and Uses of Islamic Hadith, Juynboll mengklaim telah
menjelaskanperkembangan penelitiannya atas literatur haduts secara kronologis
sejak akhir tahun 1969-an hingga 1996.
Semasa menjadi mahasiswa S1, Juynboll bergabung
bersama sekelompok kecil orang untuk mengedit satu karya yang kemudian
menghasilkan separo akhir dari kamus Hadits,
Concordance et indices de la tradition musulmane, tepatnya dari
pertengahan huruf ghayn hingga akhir karya tersebut. Pada 1965 hingga 1966,
dengan dana bantuan dari The Netherlands Organisation for the advecement of
pure Research (ZWO). Juynboll hingga di Mesir untuk melakukan penelitian
Disertasi mengenai pandangan para teolog Mesir terhadap literatur Hadits,
akhirnya, Disertasi yang disusunnya itu dapat dipertahankan di depan komisi
senat pada kamis, 27 Maret 1969, pukul 14.15, dalam rangka meraih gelar doktor
di bidang sastra di Fakultas Sastra, Universitas Negeri Leiden, Belanda.
Setelah disertasi tersebut diterbitkan oleh penerbit
E.J. Brill, Leiden, pada 1969, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai
berbagai persoalan, baik yang klasik maupun kontemporer. Pada 1974, ia menulis
makalah bertitel: “on The Origins Of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku,
Studies On The First Century Of Islamic Society. Sejak saat itu, ia memusatkan
perhatiannya pada studi hadits dan tidak pernah meninggalkannya lagi.
Selain meneliti, Juynboll yang dalam beberapa
kesempatan sering mengatakan, “seluruhnya akan kupersembahkan untuk hadits
nabi,” juga mengajar di berbagai Universitas di Belanda. Hanya saja, kegiatan
mengajar para mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu
diminatinya. Sebagai seorang ilmuan Swasta (Private Scolar), ia tidak terikat
dengan Universitas manapun dan sebagai akibatnya tidak mempunyai jabatan akademis
sebagaimana para ilmuan besarlainnya. Oleh karena itu kegiatan sehari-harinya
adalah sebagai Daily Visitor di perpustakaan Universitas Leiden. Belanda. Untuk
melakukan penelitian hadits khususnya diruang baca koleksi perpustakaan Timur
Tengah Klasik (Oriental Reading Room) , di bawah seorang supervisor bernama
Hans van de Velde. Diusianya yang telah menginjak 69 tahun itu, Juynboll
tinggal di Burggravenlaan 40 NL-23 HW Leiden, Belanda.
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang
studi Hadits, Juynboll telah menghasilkan sebuah karya, baik dalam bentuk buku
maupun artikel, yang pada gilirannya ikut memberikan sumbangan terhadap studi
haditsnpada khususnya dan studi islam pada umumnya. Sebagian besar
pemikirannya, terutama yang terkait dengan studi hadits dan teori Common link,
di elabiorasi dalam tiga bukunya, The Autentifity of the Tradition Literature:
Discusion in Modern Egypt. Muslim Tradition. Studies in Chronology. Provenance
and Authorshipof Early Hadith. Dan Studies on the origins and Uses of Islamic
Hadits. Oleh karena itu tidak salah jika penulis memberikan perhatian perhatian
khusus kepada tiga karya tersebut dan kemudian mengemukakan kandungannya secara
ringkas.
The authentificity of The Tradition Literature
adalah karya orisinal Juynboll yang berdasarkan berbagai sumber klasik dan
kontemporer mengkaji pendapat-pendapat para teo;og muslim mesir tentang
keshahihan hadits nabi. Dalam pendahuluan buku ini dia menjelaskan pendapat
para orientalis, seperti A. Sprenger, orang pertama yang menganggap sebagian
besar hadits palsu, G. Weil, W. Muir, dan R.P.A. Dozy yang menyatakan,
setidak-tidaknya separo hadits yang terdapat dalam koleksi al-Bukhari adalah
otentik.
Pada bagian selanjutnya Juynboll mengupas pendapat
Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht serta pendapat para pemikir hadits modern,
seperti Fuat Seizgen dan Fazlur Rahman tentang kedudukan hadits dalam Islam.
Menurutnya, Goldziher telah berkesimpulan bahwa jarang sekali sebuah hadits
dapat dibuktikan sebagai perkataan nabi atau deskripsi mengenai perilaku nabi
yang asli dan dapat dipercaya. Literature hadits, kata Goldziher, merupakan
akibat Dari perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad
pertama. Sedangkan Joseph Schacht mengatakan isnad sebenarnya memiliki
kecenderungan berkembang ke belakang. Pada awalnya, hadits hampir tidak pernah
kembali kepada nabi atau sahabat sekalipun, tetapi disebarkan berdasarkan
otoritas para tabiin. Dikemudian hari, hadits sering kali dikembalikan kepada
seorang sahabat dan akhirnya kepada nabi sendiri.
Berbeda dengan Goldziher dan Schacht, Fazlur Rahman
yang diharapkan dapat menjembatani jurang antara kesarjanaan barat dan
nilai-nilai islam ortodoks, memperkenalkan konsep-konsep kesinanambungan sunah
nabi dan praktek keagamaan umat islam. Menurutnya konsep sunah nabi sudah
dipakai pada masa nabi sendiri. Dengan berbagai argumen, ia menegaskan bahwa
sunah, sebagaimana dihimoun dalam koleksi hadits, mencakup perilaku nabi.
Dengan kata lain, ia menghembuskan semangat nabi. Oleh karena itu, literature
Hadits harusnya tidak dianggap sebagai data sejarah yang tidak dapat dipercaya
sama sekali dan dibuang secara keseluruhan. Meskipun bagian yang dianggap
mewakili sunah nabi itu sedikit, sisanya merefleksikan sunnah yang hidup
(Living Tradition), sementara sunah yang hidup merupakan penafsiran dan
perumusan progresif dari sunnah nabi. Sementara itu, Fuat Seizgin lebih
mengarahkan perhatiannya pada problem penulisan Hadits yang berujung pada bukti
mengenai kesejarahan isnad Hadits. Ia merevisi kesimpulan Goldziher tentang
kronologi penulisan Hadits. Baginya, aktivitas penulisan Hadits telah
dipraktekan pada masa yang lebih awal dapida yang dipahami oleh Goldziher.
Setelah, di dalam buku ini Juynboll juga
mengemukakan definisi-definisi Islam ortodoks tentang beberapa istilah teknis
dan ringkasan historis mengenai evolusi Hadits dalam islam dengan menekankan
adanya jarak satu abad dari masa nabi hingga masa umar bin abdul aziz dalam
masalah penulisan Hadits. Secara umum, diskusi mengenai keshahihan Hadits dalam
karya tersebut didasarkan pada beberapa persoalan, seperti persoalan tadwin
(penulisan Hadits), ‘adalah (keadilan), wadh, periwayatan Hadits, israiliyat,
dan Hadits-Hadits tentang pengobatan.
Pada bagian selanjutnya, Juynboll menguji kesuksesan
sejumlah teolog mesir, seperti muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Mahmud Abu
rayyah yang menyoroti keshahihan Hadits. Dalam bab II buku tersebut dikatakan
bahwa sejak awal, Muhammad Abduh yang merasa kesulitan untuk menentukan Firqoh
yang selamat dalam Hadits sataftariqu Ummati, tidak bermaksud menolak sebagian
besar Hadits sebagai tidak relevan, tetapi dia hanya berusaha untuk melepaskan
diri dari ketundukan (taqlid) kepada para ulama sebelumnya, termasuk para
teolog dan ahli Hadits.
Pada Bab III, Juynboll membicarakan pandangan kritis
Rasyid Ridha tentang Hadits, menurutnya, Ridha sangat menghargai kedudukan
sunnah dan kodifikasinya dalam literature Hadits. Akan tetrapi dia tidak
bersandar pada kritik Hadits klasik. Ia memandang sunnah sebagai akar kedua
dari agama, dan karena itu, Hadits sebagai registrasi sunnah harus diteliti
secara cermat untuk dipisahkan antara yang otentik dan tidak. Kemudian, pada
Bab IV dikemukakan, setelah menguji enam koleksi Hadits secara mendalam, Mahmud
Abu Rayyah yakin bahwa banyak Hadits shahih yang direkam dalam koleksi
tersebut. Ia menyesalkan para ulama Hadits yang terlalu percaya pada metode
kritik Hadits seperti halnya para ulama abad pertengahan. Menurutnya, para ahli
Hadits tidak memperhatikan kritik teks (Kritik matan), dan tidak pernah
mempertimbangkan apakah sebuah matan Hadits layak diterima atau tidak.
Sedangkan pada Bab V, Juynboll membicarakan
perdebatan para ulama, seputar persoalan penulisan dan pembukuan Hadits
(tadwin). Rafiq al-Azm, misalnya, berpendapat bahwa pada masa hidup nabi,
beberapa sahabat membuat daftar sebagian besar sabda nabi dalam bentuk tulisan
yang disebut Shaha’if. Sambil menyebutkan sejumlah Hadits yang mengijinkan
dilakukannya sejumlah Hadits yang mengijinkan dilakukannya penulisan Hadits, ia
juga menyimpulkan bahwa penulisan Hadits pada saat itu tidak dilarang. Ridha
mengkritik pendapat Rafiq seraya menyatakan bahwa ia hanya menyebutkan
Hadits-Hadits yang memperbolehkan penulisan Hadits. Selanjutnya, Ridha
menjelaskan seluruh Hadits yang melarang penulisan Hadits.
Persoalan ‘adalah (keadilan) sahabat dijadikan pokok
bahasan bab VI. Berbeda dengan ahli hadits abad pertengahan, Rasyid Ridha
mengatakan bahwa keadialan Seorang riwayat tidak dapat dijadikan jaminan untuk
menerima apa saja yang diriwayatkannya. Lebih jauh, juynboll mengeksplorasikan
pendapat kaum modernis yang menyatakan bahwa kritik isnad klasik dipandang
tidak memadai. Mereka juga menolak pernyataan,
ash-shahabah kulluhum ‘udul (semua sahabat berstatus adil). 18Sebagai
konsekuensinya, keadilan abu hurairah juga diragukan, sebagaimana dikaji pada
bab VII. Diantara para penulis kontemporer, Abu Rayyah adalah orang yang paling
keras menyerang pribadi Abu Hurairah.
Bersama dengan Ahmad Amin, Abu Rayyah mempertanyakan iktsar Abu
Hurairah. Dalam waktu yang sangat singkat, sekitar tiga tahun atau dua puluh
satu bulan, tampaknya tidak masuk akal jika Abu Hurairah meriwayatkan
sedemikian banyak hadits. Hal ini membuat Ridha mengemukakan sejumlah pendapat
dikalangan ulama ortodok. Dikatakan olehnya, Abu Hurairah mengumpulkan hadits
dengan maksud untuk disebarkan, sementara sahabat lain memperbincangkan
hadits bila diperlukan, seperti ketika
mengambil keputusan.19
Dalam bab VIII, Juyboll lebih menekankan
pembahasannya pada persoalan betapa pemalsuan hadits secara besar-besaran telah
terjadi sehingga menimbulkan kerusakan terhadap keseluruhan materi hadits.
Pemalsuantersebut dilakukan oleh lima golongan, yakni (1) orang-orang zindiq,
(2) para teolog dan ahli hukum, (3) orang-orang yang lemah daya ingatannya, (4)
para qushashash (para tukang cerita), dan (5) orang-orang yangh ingin
mendapatkan kedudukan dari penguasa.20
Sedangkan bab IX membicarakan riwayat hadits,
khususnya periwayatan hadits secara maknawi (ar-riwayah bil al-ma’na). Semua
penulis modern sepakat bahwa telah terjadi periwayatan Hadits. Hnya saja,
mereka berbeda pendapat mengenai konsekuensi periwayatan secara ma’nawi
tersebut. Rasyid Ridha, memandang bahwa Hadits-Hadits kanonik adalah otentik,
menghawatirkan riwayah bi al-ma’na karena menurutnya kebanyakan periwayat hanya
meriwayatkan Hadits yang mereka pahami. Padahal menurutnya, pemahaman mereka
tentang Hadits yang diriwayatkannya terkadang kurang memadai. Lebih tegas lagi
Abu Rayyah berpendapat bahwa periwayatan secara ma’nawi telah menyebabkan
hilangnya kata-kata nabi yang asli, karena para periwayat Hadits sering kali
mengubah materi (matan) Hadits.
Adapun bab X membicarakan masalah isra’iliyyat,
Hadits-hadits yang mengandung unsur-unsur yahudi. Dalam hal ini, Rasyid Ridha,
memandang israiliyat secara negatip. Menurutnya, orang-orang sejamannya harus
berpegang pada ajaran islam yang sesuai dengan para leluhur yang shaleh (as
salaf as shaleh). Mereka tidak memperhatikan kisah-kisah orang yahudi dan
persia yang masuk islam, tetapi menjaga kebersihan agama dari pengaruh luar.
Sedangkan
pada bab terakhir ( Bab XI), penulis membicarakan Hadits-Hadits tentang
pengobatan yang diragukan otentisitasnya, seperti Hadits lalat yang membuat
heboh para teolog dan ilmuan pengobatan. Riwayat Abu Hurairah mengatakan bahwa
nabi di duga pernah mengatakan, “bila
lalat jatuh kedalam kendimu, tenggelamkan sepenuhnya terlebih dahulu, kemudian
buanglah karena salah satu sayapnya membawa obat, sedangkan yang satunya lagi membawa
penyakit. Sama dengan sidqi, Ridha melihat adanya keganjilan adanya keganjilan
dalam matan Hadits lalat tersebut. Akan tetapi, ia juga memberikan pertimbangan
mengenai dualitas pada binatang yang mungkin saja sesuai dengan realitas.
- Teori
Common Link Sebelum G.H.A. Juynboll
G.H.A. Juynboll bukanlah orang pertama yang
membicarakan fenomena Common Link dalam periwayatan Hadits. Ia mengakui dirinya
sebagai pengembang dan bukan penemu dari teori tersebut. Dalam beberapa
tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya menyetakan bahwa dialah
pembuat istilah Common Link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The
Origins. Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena
tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.
Sejak awal, fenomena Common Link ini sudah dikenal
oleh para ahli hadits di kalangan Islam. At-Tirmidzi dalam koleksi Haditsnya
menyebut Hadits-Hadits, yang menunjukan adanya seorang periwayat tertentu. Si a
misalnya, sebagai Common Link dalam Isnadnya, dengan “Hadits-Hadits si A”.
Istilah tekhnis yang dipakai at-Tirmidzi untuk menggambarkan gejala seperti itu
adalah Imadar (poros). Hadits-Hadits itu membentuk sebagian besar Hadits
gharib, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tunggal pada
thabaqah (tingkatan) isnad tertentu. Akan tetapi, kelihatannya para ahli Hadits
dikalangan islam tidak menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala tersebut
terhadap problem penanggalan Hadits.
Schacht mengatakan bahwa teori Common Link dapat
dipakai untuk memberikan penanggalan terhadap Hadits-Hadits dan dontrin-doktrin
para ahli fiqh. Penjelasan mengenai kepalsuan isnad bagian atas seharusnya
mengubah sikap penerimaan yang tidak kritis terhadap keaslian isnad. Selain
itu, ada kemungkinan bahwa nama Common Link hanya digunakan oleh orang lain
yang tidak dikenal, dan dengan demikian kemunculannya hanya sebatas sebagai
terminus a quo, khususnya pada periode tabiin. Lebih jauh mengatakan bahwa
penomena semacam ini juga terjadi pada Hadits-Hadits yang terkait dengan
sejarah.
Robson menilai teori ini sebagai sumbangan yang
sangat bernilai terhadap studi perkembangan Hadits karena metode itu tidak
hanya memberikan penanggalan terhadap Hadits yang disandarkan kepada nabi,
tetapi juga menjelaskan nilai jalur isnad secara pasti bahwa bagian isnad yang
timbul belakangan adalah otentik, sementara isnad bagian awal yang kembali
kepada nabi adalah palsu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Juynboll
ingin mengembangkan dan menerapkan teori ini dalam skala lebih luas.
- Cara
kerja teori Common Link: metode rekonstruksi dan analisis Isnad
Setelah diketahui secara umum bahwa setiap Hadits
terdiri dari dua bagian. Dibagian pertama terdapat rangkaian (silsilah)
nama-nama periwayat dari otoritas yang paling tua, yang dalam berbagai koleksi
Hadits mewujud dalam pribadi nabi saw. yang mengarah kepada para periwayat yang
termuda, yaitu para penghimpun Hadits, seperti al-Bukhari (w. 256 H/870 M),
Muslim (w. 261 H/ 875 M), Abu Dawud (w.275 H/889 M). At-Turmudzi (w.279 H/892
M), an-Nasai (w. 303 H/915 M), Ibnu Majah (w. 273 H/887 M). Rangkaian yang
berisi sejumlah nama periwayat yang menjembatani masa antara nabi dan para
pegnhimpun Hadits ini disebut dengan sanad atau isnad. Dalam berbagai Hadits,
jalur isnad tersebut rata-rata berisi lima, enam, atau tujuh nama periwayat,
tetapi dalam kitab al-Muwatha’ Malik (w.179 H/795 M). Misalnya, jalur itu hanya
terdiri dari tiga nama. Sementara bagian kedua, yang berisi susunan kata aktual
tentang apa yang dianggap pernah dikatakan atau dilakukan oleh nabi disebut
matan, teks Hadits.
Matan Hadits itu dapat dinyatakan otentik jika
rangkaian para periwayat dalam isnad memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
dalam metode kritik Hadits. Oleh karena itu, tidak salah bila dikatakan bahwa
dalam meneliti laporan atau Hadits, para ulama Hadits lebih menekankan
penelitian isnad daripada matan. Jika isnad sebuah Hadits terdiri dari
orang-orang yang dapat dipercaya maka Hadits itu dinyatakan shahih, dan
sebaliknya, jika isnad Hadits terdiri dari orang-orang yang tidak dapat
dipercaya maka Hadits itu tidak dappat diterima. Dalam sejarah periwayatan
Hadits memang telah terjadi pemalsuan sejumlah Hadits. Akan tetapi
Hadits-Hadits yang dianggap lemah dan palsu itu telah dipisahkan dari yang
otentik oleh para ahli dengan menggunakan metode kritik isnad. Oleh karena itu,
Hadits nabi secara keseluruhan sudah berhasil dihimpun dalam koleksi Hadits
pada abad III H/IV M. Dengan demikian proses penyeleksian antara Hadits otentik
dan Hadits lemah maupun Hadits palsu. Menurut para ahli Hadits sudah dianggap
final.
Dari berbagai tulisan Juynboll mengenai Hadits,
khususnya yang menggunakan teori Common Link dan metode analisis isnad, penulis
dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode
tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu adalah:
1.
Menentukan Hadits yang akan diteliti
2.
Menelususri Hadits dalam berbagai koleksi Hadits
3. Menghimpun seluruh isnad Hadits
4. Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur
isnad dalam satu bundel isnad
5. Mendeteksi Common Link, periwayat yang
bertanggung jawab atas penyebaran Hadits
Dalam kasus Hadits yang merendahkan martabat
perempuan, Juynboll juga menerapkan analisis matan. Secara umum,
langkah-langkah metode analisis matan yang diajukan olehnya adalah:
1. Mencari matan yang sejalan
2. Mengidentifikasi Common Link yang terdapat
pada matan yang sejalan
3. Menentukan Common Link yang tertua
4. Menentukan bagian teks yang sama dalam semua
Hadits yang sejalan
Metode
analisi isnad cum matan, menurut Motzki, terdiri dari beberapa langkah:
1. Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang
dilengkapi dengan isnad.
2. Menghimpun
seluruh jalur isnad untuk mendeteksi Common Link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini,
hipotesis mengenai sejarah periwayatan Hadits mungkin diformulasikan. Akan
tetapi, hal ini belum cukup dan harus dilanjutkan dengan langkah selanjutnya
3. Membandingkan teks-teks dari
berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur
maupun susunan katanya..langkah ini juga memungkinkan untuk membuat suatu
rumusan tentang sejarah periwayatan dari Hadits yang dibicarakan
4. Membandingkan hasil analisis isnad dan matan
- Teori-teori
terkait
Selain teori common link, masih ada lagi dua teori
lain yang memiliki kaitan erat dengan teori common link dan bahkan tidak bisa
dipisahkan darinya. Yaitu teori backward projection dan teori argumenta e
silentio. Hanya saja Juynboll kurang memberikan perhatian yang cukup memadai
untuk mengelaborasi kedua teori ini. Hal itu barangkali karena ia merasa bahwa
schacht telah mengkajinya secara luas dan terperinci sehingga ia tidak perlu
mendiskusikan kembali teori-teori tersebut. Meski demikian, keterkaitan kedua
teori ini dengan teori common link menyebabkan setiap pengkaji Hadits merasakan
sesuatu yang hilang jika tidak membicarakannya, walaupun secara ringkas.
1. Backward Projection
Backward Projection adalah upaya, baik dari aliran
fiqh klasik maupun dari para ahli Hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin
mereka kepada otoritas yang lebih tinggi di masa lampau, seperti para tabiin,
sahabat, dan akhirnya nabi sendiri. Upaya ini perlu dilakukan agar
doktrin-doktrin mereka dipercaya oleh generasi berikutnya karena dianggap
sebagai berasal dari tokoh-tokoh yang terpercaya.
2. Argumenta e silentio
Teori lain yang berhubungan erat dengan teori common
link adalah argumenta e silentio. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa. Cara
terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah Hadits tidak ada pada masa tertentu
adalah dengan cara menunjukan bahwa Hadits itu tidak pernah dipergunakan
sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan untuk merujuk kepadanya,
jika Hadits itu memang ada. artinya, sebuah Hadits dinyatakan tidak ada pada
saat tertentu jika ia tidak dipakai sebagai argumen hukum –dalam kitrab-kitab
fiqh awal yang ditulis oleh imam malik, as-syafi’i dan Abu Dawud-yang
mengharuskan merujuk kepadanya.
Menurut Zafar Ishaq Ansari, asumsi dari Argumenta
e silentio dapat dibenarkan jika seseorang terlebih dahulu mengakui
validitas asumsi-asumsi berikut ini:
1. Selama dua abad pertama, ketika
berbagai doktrin hukum mulai dihimpun, Hadits-Hadits yang dipakai sebagai
argumen untuk mendukungnya juga disebutkan secara konsisten.
2. Hadits yang diketahui oleh
seorang ahli hukum atau ahli Hadits diketahui pula oleh ahli hukum dan ahli
Hadits pada masanya
3.
Semua Hadits yang beredar pada masa tertentu dihimpun dan dipublikasikan
secara luas serta dipelihara sedemikian
rupa hingga jika seseorang tidak menemukan sebuah Hadits dalam karya-karya para
ulama terkemuka maka hal itu merupakan bukti ketiadaannya pada masa itu, di
daerahnya dan juga di duni Islam.
- Sumber
dan Asal Usul Hadits
Implikasi yang pertama dan utama dari teori common
link adalah menyangkut sumber Hadits, siapa yang menjadi sumber Hadits yang
terhimpun dalam berbagai koleksi Hadits, khususnya koleksi Hadits kanonik:
apakah nabi, sahabat, tabiin, atau tabiit tabiin? Mayoritas ahli Hadits
dikalangan umat islam berpendapat bahwa sebagian besar materi Hadits,
setidak-tidaknya yang terdapat dalam koleksi Hadits kanonik, adalah otentik dan
dengan demikian, bersumber dari nabi saw. pendapat ini hampir dapat dikatakan
sebagai sebuah konsensus ahli Hadits, seperti dalam koleksi al-Bukhari dan
Muslim.
Memang ada pendapat dikalangan ahli Hadits yang
menyatakan bahwa sumber Hadits tidak hanya nabi, tetapi juga para sahabat dan
tabiin. Akan tetapi, karena Hadits sahabat (mauquf) dan tabiin (maqhtu’) tidak
memenuhi kriteria marfu’ (disandarkan kepada nabi) maka Hadits-Hadits dalam
kategori tersebut tidak dijumpai dalam koleksi Hadits kanonik karena koleksi
Hadits tersebut merupakan hasil koreksi dari berbagai Hadits untuk menghimpun
Hadits-Hadits nabi yang otentik. Adalah benar bahwa dalam kitab-kitab sunan ada
sejumlah Hadits hasan dan dhaif, namun Hadits-Hadits ini adalah Hadits marfu’
dan bukan Hadits mauquf maupun maqhtu’. Selain itu, para penghimpunnya juga
menunjukan kualitas Hadits yang dianggap tidak shahih.
Menurut Juynboll, gejala single trand dibawah Common
Link dan kenyatan dibawah sebagian besar common link terjadi terjadi pada
generasi ketiga atau keempat dan tidak terjadi pada generasi pertama dan kedua
sebenarnya bisa dipahami jika seseorang memahami kronologi kelahiran isnad
secara cepat. Perdebatan mengenai persoalan tersebut muncul karena adanya perbedaan
interpretasi sejarah atas pernyataan ibnu sirrin (w. 110 H) sebagai mana
termuat dalam muqaddimah shahih Muslim berikut ini :
“Dulu
orang-orang tidak bertanya tentang isnad, ketika telah terjadi fitnah (perang
sipil), mereka berkata, “jelaskan nama-nama isnad kalian! Jika berasal dari
ahli as-sunah maka Hadits kalian diterima dan jika berasal dari ahl al-bida’
maka Hadits kalian diabaikan”
Berdasar pernyataan tersebut, lahirlah beberapa
teori tentang kelahiran isnad. Pertama, sebagian besar ahli Hadits dikalangan
islam dari abad pertengahan hingga masa sekarang sepakat bahwa yang dimaksud
dengan fitnah dalam pernyataan ibnu sirrin adalah perang sipil pertama yang
ditandai dengan terbunuhnya khalifah
Utsman pada 35 H. Sebagai awal perkembangan isnad. kedua, schacht berpendapat
bahwa fitnah yang disebut oleh ibnu sirrin adalah perang sipil ketiga yang
dimulai dengan terbunuhnya khalifah bani umayah, Walid bin Yazid, pada 126
H. ketiga, J. Robson yang mendasarkan pendapatnya
pada data-data dan bukti-bukti baru yang berada diantara dua teori diatas dan
menyatakan perang sipil kedua adalah titik tolak bagi kelahiran dan
perkembangan isnad. Perang sipil itu terjadi pada 63 H. Dengan
diploklamirkannya Abdullah bin Zubair sebagai khalifah tandingan di Mekkah yang
menantang kekuasaan Umayyah di Damaskus dan berakhir pada 73 H
Dari tiga teori ini, Juynboll memilih teori ketiga
sebagai titik tolak bagi penyelidikannya mengenai kronologimkelahiran isnad.
Dia tidak mengingkari bahwa para sahabat sudah membicarakan Hadits nabi pada
dekade-dekade setelah nabi meninggal sudah ada dalam bentuk periwayatan formal
dan terstandarisasi. Sebab, menurutnya, standarisasi Hadits baru dimulai dengan
diperkenalkannya isnad sebagai alat untuk membuktikan kelahiran Hadits
padaakhir abad I H. Dengan demikian, pemakaian isnad sebagai alat untuk
memisahkan antara Hadits yang otentik dan palsu tidak lebih awal dari akhir
abad pertama hijriah. Hal ini juga sangat cocok dengan kronologi dari Common
Link tertua dalam Hadits.
- Metode
Kritik Hadits Konvensional
Dalam rangka menghadapi gerakan pemalsuan Hadits,
para ahli Hadits telah mengembangkan sebuah kritik untuk membedakan antara
Hadits Hadits otentik dengan Hadits yang lemah dan palsu. Metode tersebut
berpijak pada lima kriteria:
1.
Persambungan sanad (ittishal as-sanad)
2.
Keadilan periwayat (‘adalah arruwat)
3.
Ke-dhabith-an periwayat (dhabth ar-ruwat)
4.
Keterhindaran dari syudzudz
5.
Keterhindaran dari ‘illat.
Belakangan ini syuhudi ismail mencoba
menyistematisasi kriteria itu dengan membaginya menjadi dua kategori:
1.
Unsur-unsur kaidah mayor
2.
Unsur-unsur kaidah minor
Selain itu dia juga meringkas lima kriteria
keshahihan Isnad Hadits menjadi tiga unsur mayor, yakni:
1.
Persambungan sanad
2.
Keadilan periwayat
3.
Ke-dhabitannya
Sementara
kriteria kesahihan matan dia ringkas menjadi dua unsur mayor, yakni:
1.
Terhindar dari syudzudz
2.
Terhindar dari ‘illat
Metode studi Hadits ini sudah dianggap mapan dan
baku oleh para ahli Hadits. Metode ini menurut mereka, telah terbukti
kehandalannya dan mampu menyingkirkan Hadits-hdais yang lemah dan palsu.
Bahkan, keunggulan metode ini tidak dapat digantikan oleh metode apapun,
termasuk oleh para sarjana barat modern. Setidak-tidaknya, seperti itulah yang
dikatakan Azami dan Iftikharuz zaman. Lebih lanjut dikatakan bahwa materi
Hadits yang terdapat dalam berbagai koleksi Hadits lebih tepat bila dipahami
dan dikaji dengan menggunakan metode tersebut. Pemakaian metode yang lain
justru akan mengakibatkan kesalahan.
- Teori
Mutawatir dalam Hadits
Hadits jika dilihat dari sudut kualitas
periwayatnya, terbagi atas tiga bagian, yakni shahih, hasan dan dhaif. Akan
tetapi, jika dilihat dari sudut kuantitas periwayatnya, ia terbagi menjadi dua
bagian, yakni mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah periwayat (dan mereka juga memperolehnya) dari
sejumlah periwayat dari awal hingga akhir sanad yang menurut nalar dan
kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Hanya saja, para
ulama Hadits berbeda pendapat mengenai jumlah periwayat Hadits mutawatir.
Pendapat mereka bervariasai dari empat, lima, sepuluh, dua belas, dua puluh,
hingga empat puluh, tujuh puluh, dan bahkan tiga ratus tiga belas periwayat
laki-laki dan dua orang periwayat perempuan. Semua pendapat itu sebenarnya
didasarkan pada ayat al-qur’an, namun seluruhnya tidak berdasarkan ayat yang
jelas kandungannya (sharih ad-dhalalah), oleh karena itu, Ibnu Hajar
berpendapat bahwa definisi mengenai Hadits mutawatir tidak perlu disertai
dengan ketentuan mengenai jumlah periwayatnya.
Hadits mutawatir terbagi menjadi dua, yakni
mutawatir lafdzi, dan mutawatir maknawi, mutawtir lafdzi adalah Hadits yang
diriwayatkan dengan cara seperti disebutkan diatas, dengan lafadz dan bentuk
yang sama. Sedangkan mutawatir maknawi adalah Hadits yang diriwayatkan dengan
cara seperti diatas, yang maknanya mutawatir, namun versinya berbeda-beda. Jika
dalam mutawatir lafdzi disyaratkan adanya kesesuaian lafadz (muthabaqah
Lafdziyah) maka dalam mutawatir maknawi hal itu tidak disyaratkan.
- Posisi
Syu’bah bin Hajjaj dalam perkembangan Hadits
Dalam
buku biografi periwayat Hadits, seperti al-jarh wa at-ta’dil Abu Harim Ar-Razi
dan Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hazar al-Atsqolani. Syu’bah bin Hajjaj
menduduki posisi yang terhormat diantara para ahli Hadits lainnya, khususnya di
Basrah. Dalam beberapa hal ia ditempatkan di tempat yang lebih tinggi daripada
al-‘Amasy dan Sufyan at-Syauri. Pada puncaknya, sufyan at-syauri menyebutnya
sebagai amir al-mu’minin fi al-Hadits.
Selanjutnya Syu’bah terlibat dalam perkembangan
Hadits anti Khadzib (anti kebohongan), sebuah Hadits populer dan menurut para
ahli Hadits pada abad pertengahan ia berstatus mutawatir. Hadits yang berbunyi
man Khadzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa maq’adahu min nar tersebut
bersumber dari Syu’bah. Dalam beberapa bundel isnad yang mendukung matan Hadits
yang dianggap berasal dari nabi ini, Syu’bah adalah Common Link tertua dan
dianggap paling teruji kebenarannya. Hadits tersebut muncul karena syu’bah
marah karena semakin maraknya pemalsuan Hadits yang dilakukan oleh para ahli
Hadits yang sezamannya. Khususnya para Khushah (para tukang cerita) yang suka
menambah-nambah Hadits, seperti Abban bin Abi Ayyas. Bahkan, dilaporkan karena
begitu marahnya Syu’bah kepada Abban Bin Abi Ayyas, suatu hari Syu’bah pernah
menyeretnya kehadapan Qhadi dan memintanya untuk menghukum Abban bin Abi Ayyas.
Untuk menghentikan gerakan pemalsuan Hadits yang
dirasakan membahayakan ajaran islam. Syu’bah membuat matan Hadits yang mencaci
kebohongan dalam Hadits desertai dengan ancaman api neraka. Sayangnya, kata
Juynboll, Hadits anti khadzib yang diciptakan oleh Syu’bah ini tidak terdeteksi
oleh para ahli Hadits hingga saat ini. Hal ini menunjukan paradoks yang sangat
luar biasa dalam periwayatan Hadits
Untuk meneliti keterlibatan Syu’bah dalam penyebaran
Hadits ini, Juynboll meneliti enam Hadits berikut:
1. Syu’bah menyebarkan laporan yang
didukung oleh sebuah jalur dengan isnad: Jami bin Syaddad-Amir bin Abdullah bin
az-Zubair yang menghubungkan laporan tersebut kepada ayahnya, abdullah bin
az-Zubair yang bertanya kepada ayahnya, az-Zubair bin al-Awwam
2.
Versi dari sebuah jalur berdasarkan isnad al-hakam bin Utaibah-Abd
ar-Rahman bin Abi Laila-Samurah bin Jundab yang berdasar pada perkataan nabi:
“siapa saja yang meriwayatkan sebauh hadits dariku, sementara ia tahu bahwa ia
adalah sebuah kebohongan maka ia sendiri adalah seorang pendusta.
3.
Versi yang sama dengan jalur yang lain (berbeda), yang kembali kepada
nabi melalui seorang sahabat, Mughirah bin Syu’bah
4. Versi dengan sebuah jalur
berdasarkan isnad manshur bin almu’tamir- Rib bin Hirasy- Ali yang bersandar
pada perkataan nabi:”jangan berdusta atas namaku karena siapa saja yang
melakukannya akan masuk neraka”
5. Versi lain dengan sebuah jalur berdasarkan
isnad Yazid bin Khumair-Sulaim bin Amir-Awsath bin Ismail al-Bajali sebagai
bagian dari sebuah Hadits panjang yang sangat menyerupai Hadits anti khazib
yang disandarkan kepada A’masy:”.....kalian harus berkata jujur karen kejujuran
akan membawa kepada kebajikan dan kebajikan akan membawa ke surga, namun
jauhilah kebohongan karena kebohongan akan membawa kepada kejahatana dan
kejahatan akan menggiring ke neraka
6.
Versi yang berstatus spider (laba-laba) dengan isnad Hammad bin Sulaiman
(dan Qhatadah serta Sulaiman bin Tharkan)-Anas, versi man khadzaba Klasik
lengkap dengan kata-kata Muta’ammidan pada versi ini, Syu’bah juga ditemukan
sebagai tokoh kunci.
- Isnad
Keluarga: Historisitas Isnad Malik–nafi-Ibn Umar
Sejak awal sejarah periwayatan hadits, tidak sedikit
Hadits yang diriwayatkan melalui isnad-isnad keluarga. Kata keluarga disini
mencakup tidak hanya hubungan darah, yakni, hubungan anak dengan orangtuanya,
tetapi juga hubungan Mawali, hubungan budak dengan tuannya. Beberapa contoh
isnad semacam itu adalah: Ma’mar bin Muhammad dari ayahnya,
Isa
bin Abdullah dari ayahnya
Katsir
bin Abdullah dari ayahnya
Musa
bin mathir dari ayahnya
Yahya
bin Abdullah dari ayahnya
Nafi
dari tuannya, Ibn Umar, dan
Muhammad
bin Sirih dari tuannya, Anas bin Malik
Analisis atas isnad-isnad di atas, kata schact,
membuktikan bahwa isnad keluarga adalah palsu dan dengan demikian ia
bukan merupakan indikasi bagi otentitas hadits, melainkan lebih sebagai alat
untuk menjamin kemunculannya. Berbeda dengan schacht, Abbott berpendapat bahwa
isnad keluarga memiliki hubungan langsung, dan sejak awal, dengan periwayatan
hadits secara tertulis selama beberapa generasi. Fenomena isnad keluarga,
menurutnya, semakin memperkuat teorinya yang menyatakan bahwa terdapat
kesinambungan dalam periwayatan hadits secara tertulis dari masa nabi hingga
munculnya beberapa koleksi hadits Kanonik.
- Beberapa
Isu Penting Dalam Hadits
1. Hadits tentang pembangunan Kota Baghdad
Salah satu hadits yang dikaji oleh juynboll dengan
metode common link adalah hadits tentang pembangunan kota baghdad dan
kekhawatiran originator-nya atas masa depan kota baghdad dan para penguasanya,
para khalifah Abbasiyah. Hadits tersebut terdapat dalam Tarikh Baghdad, karya
al-Khatib al-Baghdadi dan kitab al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jawzi.
2. Hadits tentang mengecat rambut dan janggut
Hadits lain yang dikaji oleh Juynboll dengan
menggunakan teori common link adalah hadits tentang mengecat rambut kepala dan
janggut, suatu kebiasaan bersolek yang terdapat dalam berbagai sumber islam
kuno, seperti koleksi hadits, kumpulan biografi, dan naskah-naskah sejarah.
Tujuan utama pengkajian hadits ini, bagi Juynboll, tiada lain adalah untuk
menelusuri kronologi, asal-usul dan sumber hadits tersebut. Dari ketiga masalah
ini, persoalan kedua lebih dapat dikaji secara cermat, meskipun masalah pertama
dan ketiga tetap saja bisa diselidiki. Tentu saja, jika dilihat dari
perkembangan tulisannya dibidang hadits, anlisis Juynboll tentang hadits ini
dapat dikatakan sebagai upayanya untuk memperkenalkan teori common link.
Hasil analisi Juynboll menunjukkan bahwa
hadits-hadits yang disandarkan kepada nabi dan para tokoh awal islam yang
membicarakan masalah mengecat rambut itu pada dasarnya berasal dari tiga
tempat: Hijaz, Syria, dan Irak. Menurutnya, ada laporan penting yang terkait
dengan Hijaz, yang berasal dari Hasan al-Bashri (w. 110H./728M).
Diberitahukanbahwa Hasan al-Basri pernah mengatakan:”saya melihat
perempuan-perempuan madinah tertentu melakukan shalat dengan rambut bercat
wasmah”. Kata-kata ini selanjutnya di ikuti dengan cerita tentang percakapan
antara asy-sya’bi, ahli fiqh Kufah (w. 103-110 H./721-728 M.) dengan Ibn Umar
(w.74 H./693 M.) tentang mengecat dengan wasmah, yang terjadi tidak lama
menjelang Ibn Umar meninggal, namun tampaknya Ibn Umar tidak tahu hal itu.
Oleh karena itu, lanjut Juynboll, nama Ibn Umar
dalam cerita ini hanya disisipkan saja untuk memberikan penegasan. Pada
kenyataannya, Ibn Umar telah mendengar kombinasi hinna dengan katam. Dilaporkan
pula bahwa Ibn Umar tertarik dengan masalah ini. Akan tetapi, analisis isnad
menunjukkan bahwa hadits tersebut berasal dari waktu yang relatif lebih
belakangan dan bahkan mungkin. Pula berasal dari luar Hijaz.
3. Hadits merendahkan martabat perempuan (misoginis)
Pada bab II subbab ketiga buku ini, hadits yang
merendahkan martabat perempuan telah didiskusikan dalam kaitannya dengan cara
kerja teori common link: metode rekonstruksi dan analisis isnad. Agar tidak
mengakibatkan pengulangan pembahasan yang tidak perlu, disini, pembicaraan mengenai
hadits tersebut dilakukan secara singkat saja dan hanya menitikberatklan pada
materi haditsnya yang kurang dibahas sebelumnya.
Pada awalnya, Juynboll tampak curiga atas berbagai
generasi tentang perempuan yang terdapat dalam berbagai literatur hadits karena
generalisasi itu dianggap telah merendahkan martabat perempuan. Apakah hadits
itu benar-benar berasal dari nabi atau tidak, karena menurutnya, meskipun suatu
hadits tertentu yang berkaitan dengan nabi dapat ditemukan di berbagai koleksi
hadits kanonik, hal itu tidak berarti bahwa penyadarannya telah terjamin secara
historis. Dengan asumsi ini, ia mencoba menelusuri hadits-hadits yang
merendahkan martabat perempuan hingga para pencetus (originator)nya.
- Keimpulan
Verifikasi teori common link membuktikan
bahwa teori ini dapat diterima kebenarannya sebagai sebuah metode untuk
menelusuri asal-usul hadis. Teori tersebut dapat memberi jawaban yang lebih
akurat dan memadai mengenai kapan, di mana, dan oleh siapa sebuah hadis mulai
disebarkan secara publik. Namun berbeda dengan Juynboll yang menganggap common
link sebagai seorang pemalsu (fabricator) hadis yang bertanggung jawab atas
perkembangan isnad dan matan hadis dan bahwa hampir tidak pernah seorang
sahabat memainkan peranan sebagai common link, studi ini membuktikan bahwa
common link adalah seorang periwayat yang menjadi titik pindah dari periode
periwayatan hadis secara publik dan massal. Common link bukanlah seorang
pemalsu hadis. Ia adalah orang yang pertama yang meriwayatkan hadis dengan
kata-katanya sendiri, tetapi subtansi maknanya tetap memiliki kesinambungan
dengan tokoh yang lebih tua dari pada dirinya, baik sahabat maupun Nabi saw.
studi ini juga menunjukkan bahwa seorang periwayat yang menduduki posisi common
link dalam sebuah bundel isnad berasal dari generasi yang beragam: generasi
sahabat kecil, tabin atau tabiit tabiin walaupun sebagian besar periwayat yang
menduduki posisi tersebut berasal dari generasi tabiin.
Daftar
Pustaka
Masrur, Ali, Teori common link, (Yokyakarta:
PT. LKis Pelangi Aksara, 2007.
No comments:
Post a Comment